“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”
Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.
“Tunggu!” Ralin berseru.
Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.
“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.
“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.
“Aku gurunya. Ini muridku.”
Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.
“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.
“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- “
“Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”
Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian, Ralin segera membayar snack-snack yang dimakan Levi. Sambil berpikir bagaimana ceritanya Levi bisa terpisah dari orang tuanya.
Ralin kemudian memastikan keadaan sekitar minimarket namun tidak ada seorang pun yang mencari Levi.
Levi, bocah laki-laki berusia enam tahun dengan gangguan spektrum autis itu masih saja merengek pada Ralin ketika melihat deretan coklat di depan meja kasir. Setelah selesai membayar, Ralin mengajak Levi duduk di kursi teras minimarket dengan membawa sebotol air putih.
“Levi, jangan makan coklat. Nanti perutnya sakit.”
“Coklat!” Bentaknya lalu memanyunkan bibir.
Sebagai guru yang terbiasa bersama dengan anak-anak spesial seperti itu, Ralin tidak kehilangan akal untuk membujuknya agar tidak meminta coklat.
Dia berusaha tetap tenang karena Levi membutuhkan waktu lebih lama untuk meredakan emosinya.
Ralin melihat ada potongan beberapa buah siap makan di etalase lalu segera membelinya. Lengkap dengan satu kotak tusuk gigi. Lalu meletakkan potongan buah itu di atas meja dan mulai menghiasnya dengan menancapkan beberapa tusuk gigi hingga berbentuk seperti landak.
“Ini ada pepaya sama melon. Manis kayak coklat. Cobain ayo.”
Ralin mencicipinya sedikit lalu menyodorkan pada Levi yang langsung melengos dengan wajah cemberut.
Tapi Ralin tidak putus asa dan paham sekali menangani anak-anak seperti Levi. Hingga Levi akhirnya mau memakannya meski tidak banyak.
Setelah emosi Levi terkendali dan kondusif, Ralin mulai mengajaknya berbicara meski jawaban yang keluar sangat terbatas..
“Levi, tadi kok bisa sampai sini?”
Kepalanya hanya menggeleng dengan mata sayu. Ternyata Levi mulai mengantuk.
“Papa sama Mama dimana?”
Levi jusru merebahkan kepalanya di atas meja.
Rupanya ia tidak takut sekalipun terpisah dari keluarganya. Beberapa menit kemudian, matanya terpejam dengan rambut lurusnya tertiup hembusan angin siang.
Ralin menghela nafas lalu menatap kopernya karena baru saja diusir oleh Emran dan selingkuhannya. Dan sekarang, ia justru bersama salah satu murid spesialnya yang terpisah dari keluarga.
Andai Ralin memiliki tempat tinggal, pasti akan membawa Levi ke tempatnya sementara waktu.
Dari pada melaporkan hal ini ke pihak kepolisian, Ralin justru menghubungi pihak sekolah dan bertanya nomer ponsel keluarga Levi.
“Lho, gimana Levi bisa sama Bu Ralin? Padahal hari ini Levi izin nggak masuk karena ada acara keluarga,” ucap kepala sekolah.
“Saya tidak sengaja bertemu dengannya.”
Setelah mendapat nomer wali Levi, Ralin segera menghubunginya. Namun sayangnya, tidak ada jawaban!
Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya kemudian tidak memiliki cara selain menggendong Levi dan menggeret kopernya di bawah terik matahari.
Ralin terlihat seperti seorang ibu dengan satu anak yang tidak memiliki tempat tinggal. Ia terus berjalan dengan menggendong Levi dan menarik koper hingga merasa sangat kelelahan kemudian berteduh di bawah pohon.
Levi kemudian terjaga, merasa asing dengan sekeliling, dan hampir menangis.
“Tenang, Levi. Ada Bu Ralin disini.”
Ralin segera memeluk Levi lalu memberinya minum air putih.
Sekarang, giliran perut Ralin yang berbunyi kemudian menggandeng Levi sambil menggeret koper menuju sebuah kedai makan.
“Levi, kamu lapar?”
Bukannya menjawab, Levi justru asyik mengamati sekeliling. Ralin memegangi satu tangan Levi agar tidak pergi kemana-mana sedang satu tangannya dipakai menyendok makanan.
“Levi, coba makan dikit nasinya Bu Ralin. Ini enak.”
Levi hanya mau satu suap saja lalu hendak berdiri lagi. Lalu Ralin melahap makanan siangnya terburu-buru karena anak spesial seperti Levi tidak betah duduk terlalu lama.
Setelah membayar semangkuk makanan, Ralin kembali menggandeng Levi dan melanjutkan pencarian keluarga muridnya itu. Barangkali mereka ada di sekitar sini.
“Den Levi!”
Dua orang baby sitter dan dua laki-laki memakai jas segera menyeberang dengan terburu-buru padahal jalanan sedang ramai.
“Ya Tuhan, Den! Den Levi dari mana aja?! Mbak bingung nyariin!” ucap seorang baby sitter sambil berdiri dengan kedua lututnya agar sejajar dengan tinggi Levi.
Ralin pun lega akhirnya Levi bertemu dengan keluarganya.
“Kalian bertiga nggak becus! Jaga Levi aja kalian nggak bisa! Terus kalian ngapain aja sampai Levi hilang nggak ada yang ngerti?!” Bentak seorang pria berusia matang memakai jas hitam dengan penampilan menawan.
Raden Mas Satria Lewis Hartadi.
Perlahan Ralin melepaskan genggaman tangannya dari Levi dan mundur beberapa langkah. Ini sudah bukan urusan dan tanggung jawabnya sudah selesai.
"Maafkan kami, Den Mas Lewis. Maafkan kami."
Kedua baby sitter dan seorang laki-laki seperti bodyguard hanya bisa menunduk takut di hadapan Lewis. Lalu ia meraih Levi dengan lembut dan menelitinya dari atas hingga bawah.
“Levi, jangan pergi seenaknya lagi. Ayah bingung nyari Levi kemana-mana.”
Kemudian Lewis memeluk Levi penuh cinta.
Tanpa berkata apapun, Ralin kemudian pergi dengan membawa kopernya.
“Tunggu!”
Ralin menoleh ketika Lewis memanggil. Kemudian Levi melepaskan diri dari pelukan ayahnya dan berlari ke arah Ralin lalu berkata.
“Makan.”
Ralin bingung dengan sikap Levi lalu menatapnya Lewis.
“Levi mau makan apa?”
“Makan.”
Paham jika anak seperti Levi tidak mudah mengutarakan apa yang diinginkan, Ralin kembali bertanya selayaknya mengajar Levi di sekolah. Namun kali ini dengan bantuan gambar yang ditunjukkan dari ponselnya.
Interaksi keduanya tidak lepas dari pandangan Lewis. Bagaimana Ralin bisa membujuk bahkan mengambil hati Levi. Hingga bocah cilik tampan itu mengangguk menerima menu makanan yang Ralin tunjukkan.
Lalu Ralin mendekati Lewis.
“Permisi, Ayahnya Levi. Ini adalah menu makanan yang baik untuk Levi. Karena dia sudah sepakat dengan menu ini, anda bisa membuatkannya di rumah atau membelikannya. Saya permisi.”
“Anda siapa? Kenapa bisa kenal Levi baik?” Tanya Lewis.
“Saya Ralin, wali kelas Levi.”
Lewis mengangguk paham. "Terima kasih sudah menjaga Levi, Bu Ralin."
“Sama-sama, Pak. Harap memperhatikan makanan yang tepat untuk Levi agar gangguan perilakunya tidak muncul.”
Kemudian Ralin menatap Levi.
“Levi, nanti makanannya dimakan semua ya? Bu Ralin pergi dulu.”
Tapi Levi langsung menahan tangan Ralin.
“Makan.”
“Levi makan sama Ayah. Oke?”
Kepalanya menggeleng sembari menatap Ralin.
“Makan.”
Ralin kebingungan lalu menatap mereka berdua bergantian.
“Iya, Levi makan sama Ayah, ya?”
Kepalanya kembali menggeleng.
“Makan.”
Tapi masalahnya Ralin harus segera mencari tempat menginap sebelum malam menjelang. Dia juga tidak mungkin mengatakan masalah pribadinya pada Lewis.
“Levi, Bu Ralin --- “
“Bu Ralin, tolong temani Levi makan dulu. Anda tidak keberatan, kan?”
Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.“Baiklah.”“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.“Biar koper Bu Ralin
Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin."Maaf? Diusir?"Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. "Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. "Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.""Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak
Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin. Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan. "Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis."Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda.""Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri. Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi. Jam hampir
Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.“Tisyu.”Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.“Terima kasih, Pak.”“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.Bayangan Emran telah
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
"Maaf, Bu Ralin, ini saya, baby sitternya Den Levi."Mendengar nama Levi, kesedihan Ralin berubah menjadi penasaran."Ya? Kenapa?""Maaf, Bu, Den Levi tidak mau makan dan mengacaukan isi rumah. Dari tadi Den Levi terus bilang bu guru bu guru terus. Saya tidak tahu harus minta tolong siapa kalau bukan Bu Ralin."Kemudian Ralin teringat akan janjinya tadi siang sebelum Levi pulang sekolah. Ralin berjanji akan datang ke rumahnya dan tidak menyangka jika bocah laki-laki itu menanti kedatangannya.Karena Ralin tidak kunjung datang lalu Levi melampiaskannya dengan mengacaukan rumah. Bayangan Lewis yang lelah sepulang bekerja lalu melihat rumah berantakan dan memarahi Levi membuatnya tidak tega. "Saya mohon, Bu Ralin. Tolong bantu saya menenangkan Den Levi."Lalu terdengar seperti sebuah benda dari kaca terjatuh.Pyar!"Astaga, Den Levi!" Teriak baby sitternya.Lalu baby siter Levi pergi dan membiarkan telfon tersambung. Entah apa yang terjadi karena samar-samar Ralin bisa mendengar kekacaua
"Pelakunya adalah mantan suami anda, Bu Ralin."Ralin menatap David tidak percaya dengan hati hancur berkeping-keping. Kemudian memorinya berlari ke kejadian beberapa hari lalu saat Ralin mendatangi Emran ke kantor tempat pria itu bekerja.Dengan jelas dan masih dalam ingatan Ralin jika Emran berkata sudah tidak peduli dengan hidup mati Ralin sekalipun. Dia benar-benar ingin segera bercerai dari Ralin dan menikahi selingkuhannya demi mendapatkan keturunan. Tanpa bisa berkata apa-apa, Ralin kemudian menundukkan kepalanya dengan hati sesak.Meski Emran telah melukainya begitu dalam, namun sisa cinta yang ada di hati Ralin tidak secepat itu memudar. "Maaf, Bu Ralin," ucap David karena melihat Ralin begitu terpukul.Ralin kemudian mengangkat kepala dan menggeleng dengan senyum tipis terpaksa. "Saya justru yang berterima kasih, Pak David.""Sebenarnya, masih ada informasi lain terkait hal ini. Namun, bila Bu Ralin tidak ingin mengetahuinya, saya tidak akan mengatakannya.""Katakan saja,
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
Begitu bel pintu apartemen berbunyi, Ralin langsung melepas celemek dan membukanya. "Hai, Vid.""Hai." David balas menyapa dengan wajah bingung.Setelah David masuk, Ralin segera menutup pintu lalu menuju dapur kembali. Waktunya menuangkan air panas ke dalam cappucino yang sedang ia buat. David memperhatikan meja makan mini yang sudah tersaji tiga jenis menu makanan yang menggugah selera beserta minumannya. Juga memperhatikan mimik wajah Ralin yang tidak terlihat sendu. Melainkan ada seulas senyum yang tersungging di bibirnya."Selesai. Kamu mau makan sekarang, Vid?"David justru menarik kursi dan menatap Ralin. Ia masih mengenakan kemeja kerja."Tumben kamu belum pulang, Lin? Ini hampir jam tujuh malam.""Kamu nggak suka aku di apartemenmu lebih lama?""Kalau bisa kamu di apartemenku aja setiap hari. Nggak usah pulang ke rumah Pak Lewis."Ralin tertawa lirih mendengar pengakuan David yang mirip sebuah rayuan gombal. "Oke, aku akan pulang sekarang."Ketika Ralin akan menuju sofa, D
"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudian
"Masuk!"Kemudian Ralin menutup pintu ruang kerja dan berjalan mendekat. Lewis, pria itu sedang bersandar di meja kerja dan menatap Ralin tanpa keraguan. Begitu juga dengan Ralin, dia balas menatap Lewis seakan-akan tidak takut. "Kenapa kamu keluar dari kesepakatan?""Kesepakatan yang mana?"Lewis mendengus geli lalu berdiri di depan Ralin dengan wajah serius. Dan Ralin pun membalas tatapan mata tajam Lewis tanpa mundur satu langkah pun. "Jangan jadi kacang yang lupa sama kulitnya, Lin. Aku nyelametin hidupmu setelah diusir dan diperlakukan Emran dengan cara yang nggak baik. Aku kasih kamu tumpangan di rumah ini dan gaji yang lebih dari cukup setiap bulannya karena merawat dan mendidik Levi.""Terima kasih, Den Mas.""Tapi kenapa kamu lalai sama tugasmu? Kenapa kamu biarin Levi berubah nggak terkontrol?! Kenapa kamu biarin Zaylin kelimpungan sendiri ngurus Levi, heh?!"Jadi, Zaylin masih membiarkan Lewis tenggelam dalam kesalahpahamannya. Atau justru dia makin membuat Lewis salah pa
Levi menangis dan memporak-porandakan makanannya di atas meja makan. Dan Zaylin berada di sampingnya berusaha menenangkan namun Levi menolak sentuhan dari ibu kandungnya itu. Ketika Ralin tiba di ruang makan, sorot mata Lewis begitu tajam menatapnya. Pria itu tetap duduk di kursi makan yang biasa ia tempati tanpa berusaha membantu Zaylin menenangkan Levi. "Apa kamu mau tetap diam disitu dan jadi penonton setia?!"Mendengar sindiran Lewis, kemudian Ralin melangkah lebar menghampiri Levi.Bocah itu menangis dengan air mata meleleh di pipi dengan kedua tangan terulur. Ia ingin dipeluk dan didekap Ralin. Tanpa mengucapkan permisi pada Zaylin, tangan Ralin langsung menggapai Levi. Mengangkatnya untuk digendong lalu mengusap rambutnya. "Cup, sayang."Ceceran nasi dan lauk yang ada di atas piring Levi ada di atas meja dan lantai. Bahkan sebagian lagi ada yang mengotori seragam sekolah Levi yang berwarna putih.Entah apa yang terjadi sampai membuat Levi menangis. Lalu mata Ralin menatap me
Ralin beruntung menempati kamar baby sitter yang berada di belakang. Setidaknya, dia tidak bisa mendengar tangis Levi atau melihat gaya mendidik Zaylin yang menurutnya kurang sesuai. "Hah ... dia itu ibunya. Dia paling tahu apa yang terbaik buat Levi. Kenapa aku berani-beraninya menjudge Zaylin nggak becus?!"Untuk mengusir pikiran buruknya pada Zaylin, kemudian Ralin menuju dapur. Tiga asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan sarapan kemudian mengangguk hormat. "Selamat pagi, Den Ayu Ralin."Ralin langsung meletakkan telunjuk di depan mulut lalu mendekati mereka. "Jangan panggil aku Den Ayu. Panggil aja Ralin."Ketiganya saling tatap karena merasa sangat tidak sopan jika memanggil Ralin dengan nama saja. Sedangkan sudah jelas jika dialah Nyonya di rumah ini. "Apa ada yang bisa aku bantu?"Salah satu asisten yang sedang menata lauk kemudian menatap Ralin. "Den Ayu, kami masih memiliki sopan santun untuk tidak memanggil anda dengan begitu tidak sopan.""Panggil saja Bu Ralin. Ka
Cinta itu buta kalau berada pada hati yang salah. Lalu membuat seseorang menjadi terluka. Bukan untuk dihujat atas kesalahannya. Melainkan karena dengan luka itu kemudian seseorang akan berubah menjadi versi terbaik dirinya. "Lin, bisa bicara bentar?" ucap David.Kebetulan Ralin berada di rumah dan beberapa hari ini menyibukkan diri seperti mood yang diinginkan. Lalu David mengajaknya berbicara empat mata di taman rumah megah Lewis. "Masih sibuk baca-baca buku tentang hairdressing?" Tanya David dengan duduk di sebelahnya. "Iya. Kenapa?"David tahu apa saja kesibukan Ralin karena hampir setiap waktu ia tidak pernah melepas komunikasi dengan istri main-main tuannya itu."Nggak apa-apa. Oh ya, Den Levi pulang dari rumah sakit hari ini."Kemudian Ralin menoleh dan menatap David."Oh ... syukurlah dia udah sembuh. Pulang jam berapa?""Siang ini.""Kalau siang ini kenapa kamu nggak barengan sama mereka aja? Kok malah kesini sendirian?"David membalas tatapan Ralin dan berucap ... "Karen