“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”
Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.
“Tunggu!” Ralin berseru.
Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.
“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.
“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.
“Aku gurunya. Ini muridku.”
Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.
“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.
“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- “
“Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”
Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian, Ralin segera membayar snack-snack yang dimakan Levi. Sambil berpikir bagaimana ceritanya Levi bisa terpisah dari orang tuanya.
Ralin kemudian memastikan keadaan sekitar minimarket namun tidak ada seorang pun yang mencari Levi.
Levi, bocah laki-laki berusia enam tahun dengan gangguan spektrum autis itu masih saja merengek pada Ralin ketika melihat deretan coklat di depan meja kasir. Setelah selesai membayar, Ralin mengajak Levi duduk di kursi teras minimarket dengan membawa sebotol air putih.
“Levi, jangan makan coklat. Nanti perutnya sakit.”
“Coklat!” Bentaknya lalu memanyunkan bibir.
Sebagai guru yang terbiasa bersama dengan anak-anak spesial seperti itu, Ralin tidak kehilangan akal untuk membujuknya agar tidak meminta coklat.
Dia berusaha tetap tenang karena Levi membutuhkan waktu lebih lama untuk meredakan emosinya.
Ralin melihat ada potongan beberapa buah siap makan di etalase lalu segera membelinya. Lengkap dengan satu kotak tusuk gigi. Lalu meletakkan potongan buah itu di atas meja dan mulai menghiasnya dengan menancapkan beberapa tusuk gigi hingga berbentuk seperti landak.
“Ini ada pepaya sama melon. Manis kayak coklat. Cobain ayo.”
Ralin mencicipinya sedikit lalu menyodorkan pada Levi yang langsung melengos dengan wajah cemberut.
Tapi Ralin tidak putus asa dan paham sekali menangani anak-anak seperti Levi. Hingga Levi akhirnya mau memakannya meski tidak banyak.
Setelah emosi Levi terkendali dan kondusif, Ralin mulai mengajaknya berbicara meski jawaban yang keluar sangat terbatas..
“Levi, tadi kok bisa sampai sini?”
Kepalanya hanya menggeleng dengan mata sayu. Ternyata Levi mulai mengantuk.
“Papa sama Mama dimana?”
Levi jusru merebahkan kepalanya di atas meja.
Rupanya ia tidak takut sekalipun terpisah dari keluarganya. Beberapa menit kemudian, matanya terpejam dengan rambut lurusnya tertiup hembusan angin siang.
Ralin menghela nafas lalu menatap kopernya karena baru saja diusir oleh Emran dan selingkuhannya. Dan sekarang, ia justru bersama salah satu murid spesialnya yang terpisah dari keluarga.
Andai Ralin memiliki tempat tinggal, pasti akan membawa Levi ke tempatnya sementara waktu.
Dari pada melaporkan hal ini ke pihak kepolisian, Ralin justru menghubungi pihak sekolah dan bertanya nomer ponsel keluarga Levi.
“Lho, gimana Levi bisa sama Bu Ralin? Padahal hari ini Levi izin nggak masuk karena ada acara keluarga,” ucap kepala sekolah.
“Saya tidak sengaja bertemu dengannya.”
Setelah mendapat nomer wali Levi, Ralin segera menghubunginya. Namun sayangnya, tidak ada jawaban!
Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya kemudian tidak memiliki cara selain menggendong Levi dan menggeret kopernya di bawah terik matahari.
Ralin terlihat seperti seorang ibu dengan satu anak yang tidak memiliki tempat tinggal. Ia terus berjalan dengan menggendong Levi dan menarik koper hingga merasa sangat kelelahan kemudian berteduh di bawah pohon.
Levi kemudian terjaga, merasa asing dengan sekeliling, dan hampir menangis.
“Tenang, Levi. Ada Bu Ralin disini.”
Ralin segera memeluk Levi lalu memberinya minum air putih.
Sekarang, giliran perut Ralin yang berbunyi kemudian menggandeng Levi sambil menggeret koper menuju sebuah kedai makan.
“Levi, kamu lapar?”
Bukannya menjawab, Levi justru asyik mengamati sekeliling. Ralin memegangi satu tangan Levi agar tidak pergi kemana-mana sedang satu tangannya dipakai menyendok makanan.
“Levi, coba makan dikit nasinya Bu Ralin. Ini enak.”
Levi hanya mau satu suap saja lalu hendak berdiri lagi. Lalu Ralin melahap makanan siangnya terburu-buru karena anak spesial seperti Levi tidak betah duduk terlalu lama.
Setelah membayar semangkuk makanan, Ralin kembali menggandeng Levi dan melanjutkan pencarian keluarga muridnya itu. Barangkali mereka ada di sekitar sini.
“Den Levi!”
Dua orang baby sitter dan dua laki-laki memakai jas segera menyeberang dengan terburu-buru padahal jalanan sedang ramai.
“Ya Tuhan, Den! Den Levi dari mana aja?! Mbak bingung nyariin!” ucap seorang baby sitter sambil berdiri dengan kedua lututnya agar sejajar dengan tinggi Levi.
Ralin pun lega akhirnya Levi bertemu dengan keluarganya.
“Kalian bertiga nggak becus! Jaga Levi aja kalian nggak bisa! Terus kalian ngapain aja sampai Levi hilang nggak ada yang ngerti?!” Bentak seorang pria berusia matang memakai jas hitam dengan penampilan menawan.
Raden Mas Satria Lewis Hartadi.
Perlahan Ralin melepaskan genggaman tangannya dari Levi dan mundur beberapa langkah. Ini sudah bukan urusan dan tanggung jawabnya sudah selesai.
"Maafkan kami, Den Mas Lewis. Maafkan kami."
Kedua baby sitter dan seorang laki-laki seperti bodyguard hanya bisa menunduk takut di hadapan Lewis. Lalu ia meraih Levi dengan lembut dan menelitinya dari atas hingga bawah.
“Levi, jangan pergi seenaknya lagi. Ayah bingung nyari Levi kemana-mana.”
Kemudian Lewis memeluk Levi penuh cinta.
Tanpa berkata apapun, Ralin kemudian pergi dengan membawa kopernya.
“Tunggu!”
Ralin menoleh ketika Lewis memanggil. Kemudian Levi melepaskan diri dari pelukan ayahnya dan berlari ke arah Ralin lalu berkata.
“Makan.”
Ralin bingung dengan sikap Levi lalu menatapnya Lewis.
“Levi mau makan apa?”
“Makan.”
Paham jika anak seperti Levi tidak mudah mengutarakan apa yang diinginkan, Ralin kembali bertanya selayaknya mengajar Levi di sekolah. Namun kali ini dengan bantuan gambar yang ditunjukkan dari ponselnya.
Interaksi keduanya tidak lepas dari pandangan Lewis. Bagaimana Ralin bisa membujuk bahkan mengambil hati Levi. Hingga bocah cilik tampan itu mengangguk menerima menu makanan yang Ralin tunjukkan.
Lalu Ralin mendekati Lewis.
“Permisi, Ayahnya Levi. Ini adalah menu makanan yang baik untuk Levi. Karena dia sudah sepakat dengan menu ini, anda bisa membuatkannya di rumah atau membelikannya. Saya permisi.”
“Anda siapa? Kenapa bisa kenal Levi baik?” Tanya Lewis.
“Saya Ralin, wali kelas Levi.”
Lewis mengangguk paham. "Terima kasih sudah menjaga Levi, Bu Ralin."
“Sama-sama, Pak. Harap memperhatikan makanan yang tepat untuk Levi agar gangguan perilakunya tidak muncul.”
Kemudian Ralin menatap Levi.
“Levi, nanti makanannya dimakan semua ya? Bu Ralin pergi dulu.”
Tapi Levi langsung menahan tangan Ralin.
“Makan.”
“Levi makan sama Ayah. Oke?”
Kepalanya menggeleng sembari menatap Ralin.
“Makan.”
Ralin kebingungan lalu menatap mereka berdua bergantian.
“Iya, Levi makan sama Ayah, ya?”
Kepalanya kembali menggeleng.
“Makan.”
Tapi masalahnya Ralin harus segera mencari tempat menginap sebelum malam menjelang. Dia juga tidak mungkin mengatakan masalah pribadinya pada Lewis.
“Levi, Bu Ralin --- “
“Bu Ralin, tolong temani Levi makan dulu. Anda tidak keberatan, kan?”
Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.“Baiklah.”“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.“Biar koper Bu Ralin
Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin."Maaf? Diusir?"Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. "Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. "Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.""Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak
Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin. Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan. "Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis."Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda.""Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri. Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi. Jam hampir
Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.“Tisyu.”Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.“Terima kasih, Pak.”“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.Bayangan Emran telah
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
"Maaf, Bu Ralin, ini saya, baby sitternya Den Levi."Mendengar nama Levi, kesedihan Ralin berubah menjadi penasaran."Ya? Kenapa?""Maaf, Bu, Den Levi tidak mau makan dan mengacaukan isi rumah. Dari tadi Den Levi terus bilang bu guru bu guru terus. Saya tidak tahu harus minta tolong siapa kalau bukan Bu Ralin."Kemudian Ralin teringat akan janjinya tadi siang sebelum Levi pulang sekolah. Ralin berjanji akan datang ke rumahnya dan tidak menyangka jika bocah laki-laki itu menanti kedatangannya.Karena Ralin tidak kunjung datang lalu Levi melampiaskannya dengan mengacaukan rumah. Bayangan Lewis yang lelah sepulang bekerja lalu melihat rumah berantakan dan memarahi Levi membuatnya tidak tega. "Saya mohon, Bu Ralin. Tolong bantu saya menenangkan Den Levi."Lalu terdengar seperti sebuah benda dari kaca terjatuh.Pyar!"Astaga, Den Levi!" Teriak baby sitternya.Lalu baby siter Levi pergi dan membiarkan telfon tersambung. Entah apa yang terjadi karena samar-samar Ralin bisa mendengar kekacaua
"Pelakunya adalah mantan suami anda, Bu Ralin."Ralin menatap David tidak percaya dengan hati hancur berkeping-keping. Kemudian memorinya berlari ke kejadian beberapa hari lalu saat Ralin mendatangi Emran ke kantor tempat pria itu bekerja.Dengan jelas dan masih dalam ingatan Ralin jika Emran berkata sudah tidak peduli dengan hidup mati Ralin sekalipun. Dia benar-benar ingin segera bercerai dari Ralin dan menikahi selingkuhannya demi mendapatkan keturunan. Tanpa bisa berkata apa-apa, Ralin kemudian menundukkan kepalanya dengan hati sesak.Meski Emran telah melukainya begitu dalam, namun sisa cinta yang ada di hati Ralin tidak secepat itu memudar. "Maaf, Bu Ralin," ucap David karena melihat Ralin begitu terpukul.Ralin kemudian mengangkat kepala dan menggeleng dengan senyum tipis terpaksa. "Saya justru yang berterima kasih, Pak David.""Sebenarnya, masih ada informasi lain terkait hal ini. Namun, bila Bu Ralin tidak ingin mengetahuinya, saya tidak akan mengatakannya.""Katakan saja,
Ralin kemudian menunduk dan David segera berdiri lalu sedikit membungkuk hormat. "Selamat pagi, Pak."Lewis ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sejak kapan. Apakah dia sempat melihat David mengajari Ralin berjalan menggunakan alat bantu jalan itu atau tidak?Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar Ralin dengan penampilan tidak jauh berbeda dari David. Sudah sangat tampan dan rapi karena hendak menuju pabrik.Ia memperhatikan Ralin dan alat bantu jalan yang digunakan. "Kamu yang membelikannya, Vid?""Iya, Pak." Jawab David tanpa keraguan.Jiwa lelaki sejatinya tidak perlu diragukan. "Karena Nyonya membutuhkan alat itu."Lewis tidak bertanya lagi kemudian menghampiri Levi. "Ayo kita sarapan, Lev?"Levi kemudian menggeleng. "Makan. Ibu."Ralin paham jika yang Levi maksud adalah ingin sarapan bersama Ralin. "Kamu bisa jalan ke meja makan, Lin?""Akan aku coba, Den Mas."Jangankan ke meja makan, menuju kamar mandi saja Ralin membutuhkan bantuan. Namun, bagaimana dia menolak permi
"Apa Nyonya butuh alat bantu jalan?"Kepala Ralin mengangguk. "Sebenarnya iya. Tadi dokter bilang begitu sekalian untuk terapi jalan.""Besok akan saya bawakan."Ralin tersenyum dan mengangguk karena David seakan-akan tahu apa yang dibutuhkan. Tanpa Ralin harus meminta-minta. "Makasih banyak, Vid. Maaf merepotkan.""Sama-sama, Nyonya. Saya undur diri dulu."Setidaknya, masih ada David yang membantu Ralin manakala Lewis masih diliputi rasa kecewa. Kemudian Bu Tatik datang dengan membawa minuman dan camilan. Setelah menandaskannya bersama Levi, Ralin meminum obatnya. "Den Ayu, apa perlu saya temani tidur?"Kepala Ralin mengangguk tegas ketika mendapatkan tawaran yang lagi-lagi sangat ia butuhkan tanpa harus meminta. "Kalau Bu Tatik nggak merasa repot.""Tugas saya sudah pasti untuk melayani keluarga Den Mas. Tidak ada kata repot untuk itu."Satu lagi, selain David, kini Bu Tatik juga menunjukkan dukungan selama Ralin belum sembuh sepenuhnya. Setidaknya Ralin bisa melewati ini semu
Ralin tidak sedih meski Emran akan mendapatkan hukuman penjara yang tidak main-main akibat ulahnya. Dia berhak mendapatkan balasannya!Dia ingin mencelakai Levi, namun Ralin yang terkena getahnya.Kedua kaki Ralin hampir saja lumpuh jika tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Beruntungnya, Lewis bersedia memberikan pengobatan terbaik.Meski untuk saat ini Ralin masih harus terapi, namun itu jauh lebih baik dari pada ia lumpuh untuk selamanya.Begitu tiba di rumah, Lewis masih menerima panggilan telfon dari pengacaranya. Sudah pasti yang mereka bahas adalah tuntutan penjara seadil mungkin yang Lewis inginkan untuk membuat jera Emran.“Jika dimungkinkan bisa dituntut dengan pasal berlapis, lakukan!” Titah Lewis.Kemudian dia turun dari mobil dengan menggandeng tangan Levi. Sedang Ralin berusaha turun dari mobil perlahan-lahan tanpa bantuan.“Aku nggak bisa bayangin gimana jadinya, andai tabrakannya itu melukai Levi. Anak sekecil Levi terhantam mobil. Emran sudah gila!”“Mesk
"Emran?" Tanya Lewis dengan alis berkerut. "Betul, Pak. Mobil yang dipakai menabrak mobil Den Levi adalah mobil Emran. Dan mobilnya ada di halaman rumahnya."Lewis kemudian teringat akan ucapan bernada tidak suka yang keluar dari bibir Ralin tempo hari ketika Emran datang berkunjung. Tapi Emran dengan tidak tahu dirinya mengirimkan buket bunga dengan pesan penuh cinta. "Tim menyimpulkan jika kemungkinan yang melakukan tabrakan itu adalah Emran. Dan sebelum membawanya ke kantor polisi, tim akan menginterogasi Emran lebih dulu."Kepala Lewis mengangguk dengan wajah tidak bersahabat. "Kalau sampai dia terbukti melakukannya, aku nggak akan ngasih dia nafas kebebasan. Meski itu cuma satu hirupan."Lalu bayangan Levi saat menangis usai kecelakaan itu membuat Lewis makin geram. Dan dia akan bersabar sampai tim mendapatkan informasi yang akurat. "Kita ke rumah sakit sekarang.""Baik, Pak.""Beri tahu Mas Tira."Kondisi Ralin terpantau membaik pasca operasi. Masa kritisnya telah terlewati.
"Halo, Lew.""Halo, Bun. Bunda lagi apa?""Baru selesai bikin kue. Tumben kamu telfon jam segini? Kerjaan udah rampung?"Bukan sudah rampung. Melainkan Lewis meninggalkannya begitu saja demi Ralin. "Bun, Ralin kecelakaan."Hari belum terlalu sore dan Lewis memberi kabar sangat buruk. Membuat sore hari itu terasa kelabu. "Apa?! Kecelakaan gimana, Lew?""Penyebabnya masih diselidiki sama tim yang aku bawa, Bun.""Ralin gimana keadaannya sekarang?""Nggak baik, Bun. Dia harus operasi.""Ya Tuhan, Lew.""Satu jam lagi kita akan berangkat ke Jakarta. Aku mau Ralin dirujuk ke rumah sakit dan dokter paling bagus.""Levi gimana, Lew?""Levi cuma terpental dan trauma, Bun. Bunda bisa kan kemari buat jagain Levi?""Iya. Di rumah sakit mana?"Setelah menunggu setengah jam lamanya, Ibunda dan Ayah Lewis tiba di rumah sakit dengan wajah cemas dan khawatir. Ayahnya pun masih mengenakan kemeja kerja. Levi pun langsung mengulurkan tangan untuk digendong Ayah Lewis. Sedang David selalu setia berada
Kedua mata Ralin melebar melihat kedua foto itu. Foto yang menunjukkan dirinya sedang dipeluk oleh Emran. Kejadian beberapa hari yang lalu saat Ralin menemuinya di gerbang rumah. "Dan ada sebuah kartu ucapan. Isinya ... " Lewis sedikit menyipitkan mata karena tidak memakai kacamata, "I still love you, Lin. Emran."Usai membacanya Lewis mengangsurkan kartu ucapan itu ke meja. Berdekatan dengan kedua foto tersebut. Jantung Ralin berdetak tidak karuan ketika Lewis telah mengerti segalanya. Ralin pun diam-diam mengutuk perbuatan Emran karena telah mengirimkan satu buket bunga sialan beserta foto itu ke rumah ini. Otaknya pun berpikir cepat, jika apa yang Emran lakukan beberapa hari yang lalu memang sengaja telah direncanakan!Karena, mana mungkin Emran bisa mengirimkan foto mereka saat berpelukan jika bukan menyuruh orang lain untuk memotretnya.Benar-benar licik!Ralin pun bisa menyimpulkan jika Emran sedang berusaha mengacaukan hubungannya dengan Lewis. "Kenapa kalian berpelukan di
Ralin bergegas memanggil Bu Tatik lalu menitipkan Levi padanya. "Titip levi bentar ya, Bu Tatik. Ada tamuku di depan gerbang. Bentar aja kok."Tanpa menunggu persetujuan, Ralin langsung berlari meninggalkan levi bersama Bu Tatik. Dia menuruni tangga teras rumah Lewis dengan begitu tergesa-gesa. Kemudian berlari sekencang mungkin menuju gerbang. Ralin tidak memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan masalah kedatangan Emran ke rumah ini. Lewis sedang mandi dan pria itu pasti tidak akan membuang banyak waktu untuk segera berangkat menyenangkan Levi. Dengan nafas naik turun, Ralin tiba di pos satpam. "Buka ... gerbangnya. Tolong."Begitu gerbang terbuka sebagian, sosok Emran terlihat berdiri di samping mobilnya. Sedang Ralin masih menetralkan deru nafasnya. Ralin tidak tahu apa yang Emran pikirkan tentang dirinya yang kini tinggal di rumah ini. Atau satpam sudah menjelaskan statusnya. "Mau apa kamu kemari?" Tanya Ralin. "Jadi kamu tinggal disini?""Kalau kedatanganmu nggak ada alas
"Akhirnya aku bisa ketemu kamu, Lin."Ralin langsung menyentak tangan Emran namun mantan suaminya itu justru menggunakan satu tangannya lagi untuk menggenggam tangan Ralin. "Lepas, Em!""Please, Lin. Aku pengen bicara sama kamu."Kepala Ralin menggeleng tegas."Kita udah nggak ada urusan dan nggak ada yang perlu diomongin!""Aku mohon kasih satu kesempatan lagi buat memperbaiki segalanya, Lin. Aku mohon."Ralin tetap berusaha melepaskan tangan Emran tapi tidak bisa. "Nggak! Aku nggak mau balikan sama kamu!""Maafin salahku, Lin. Gara-gara aku, kamu dipecat dari sekolah ini lalu kamu sekarang jadi baby sitter. Maafin aku yang udah bikin hidupmu jadi berantakan kayak gini.""Lepas!"Ralin terus berusaha melepaskan tangannya tapi gagal. "Maafin aku yang udah ambil pekerjaanmu yang terhormat sebagai seorang guru. Malah sekarnag kamu jadi baby sitter.""Lepasin, Emran!!!"Emran saja yang tidak tahu jika Ralin saat ini bukanlah seorang baby sitter rendahan. Baby sitter hanyalah topeng ag
Ini seperti menghadiri sidang tindak pidana kriminal!Bagaimana tidak, di ruang tengah sudah menunggu Ibunda dan Ayah Lewis layaknya hakim sidang. Beserta Luzia, adik perempuan Lewis, layaknya jaksa penuntut umum. Ralin memiliki firasat jika ini tidak akan baik-baik saja. Pasalnya ketika ia datang, mereka bertiga tidak menunjukkan senyum sama sekali. Kemudian Luzia menunjukkan sebuah kotak mainan besar bergambar susunan lego ke hadapan Levi. "Levi, Tante punya apa ini ya?" Tanya Luzia.Kemudian Levi merosot turun dari gendongan Lewis dan menghampiri Luzia. Dia memperhatikan kotak mainan itu dengan seksama. "Kamu mau main?" Levi mengangguk dengan menatap takjub kotak mainan itu. Lalu Luzia membawanya pergi dari ruang tengah. Ini seperti sudah direncanakan.Bahwa kedua orang tua Lewis ingin menginterogasi Ralin dan Lewis tanpa melibatkan Levi dan Luzia. Ralin yang menyadari hal itu makin menundukkan pandangan. Ia ingin bersembunyi di belakang tubuh Lewis namun tangannya tetap di