Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin.
Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan.
"Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."
Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis.
"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda."
"Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."
Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri.
Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi.
Jam hampir menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ini hampir tengah malam namun Ralin juga tidak bisa membiarkan barang-barangnya digeletakkan sembarangan.
Berbekal kenekatan, Ralin terus menggeret kopernya menuju gerbang utama rumah megah Lewis dengan air mata kembali membasahi pipi. Ralin begitu sedih namun dia tidak bisa berbuat apapun selain menjalani takdir ini.
Sambil berdiri di depan rumah megah Lewis, tangan Ralin merogoh ponsel dan memesan taksi online. Beruntung masih ada taksi yang beroperasi di jam itu.
Ralin terus menyemangati diri sendiri jika bisa melalui ujian ini dengan kuat. Dia tidak boleh terus menerus menangisi Emran atau takdir hidupnya.
Emran adalah pilihannya. Dan apapun konsekuensinya Ralin harus menerimanya. Meski ada penyesalan mengapa dulu tidak mendengarkan ucapan kedua orang tuanya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah yang ia tempati dengan Emran selama empat tahun, Ralin berdoa agar pria itu suatu saat akan mendapatkan karmanya.
Ralin hanyalah manusia biasa yang bisa menaruh dendam dan amarah karena Emran memilih berselingkuh demi mendapatkan keturunan. Bahkan Emran bersama selingkuhannya tega mengusir Ralin dari rumah tanpa diberi uang sepeser pun.
Ia seharusnya memiliki hak atas rumah yang mereka bangun bersama-sama dan Emran tidak boleh mengusirnya secara sepihak.
Ketika taksi berhenti di depan rumah itu, suasana sudah cukup sepi. Lalu Ralin melihat jam di pergelangan hampir menunjukkan pukul sepuluh malam.
Ada dua buah tas besar yang tergeletak di halaman rumah dengan isi tidak ditata rapi. Lalu ia membuka pagar setinggi perut itu tanpa menimbulkan suara apapun. Ralin tidak mau kedatangannya diketahui Emran lalu menuai pertengkaran yang mengundang atensi tetangga.
Ralin berjongkok dengan hati pedih sambil memungut tas berisi pakaian dan beberapa barangnya yang dimasukkan sembarangan.
Emran benar-benar memperlakukannya dengan begitu hina dan melupakan semua jasa baiknya.
Setelah menutup reseleting tas itu dengan benar dan menyeka air mata, Ralin menatap mobil Emran yang terparkir. Mobil kesayangan Emran yang dibeli dengan jerih payah berhemat mereka berdua. Tapi, tadi pagi Emran justru persilahkan selingkuhannya menduduki kursi penumpang mobil itu.
Kursi yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk Ralin.
Lalu Ralin menatap dua pasang sepatu di teras rumah. Ia berjalan mendekat untuk memastikan satu pasang sepatu yang lain milik siapa.
Dan ternyata itu satu pasang sepatu laki-laki milik Emran dan satu lagi milik ...
"Fayza." Gumamnya.
Ralin menatap pintu rumah dengan hati pilu karena ia bisa menduga jika Emran dan selingkuhannya berada di dalam rumah. Entah apa yang dilakukan dua orang manusia dewasa di dalam rumah tanpa ikatan pernikahan.
Ceklek ...
Pintu terbuka dan Ralin masih berdiri di sana.
Emran yang tadinya tertawa lebar dengan memeluk pundak Fayza, terdiam seketika melihat Ralin berdiri di hadapannya. Kemudian wajahnya berubah tidak bersahabat dengan Fayza justru memeluk perut Emran dengan begitu mesra.
"Ambil barang rongsokanmu itu! Lalu buruan pergi!"
Cukup sudah Ralin menahan sabar dengan semua hinaan Emran selama ini. Lalu ia menatap Fayza.
"Nggak ada ceritanya kamu bakal bahagia sama Emran tapi bikin aku sedih nggak karuan, Fay."
"Halah! Banyak ceramah! Sana pergi! Nggak usah ganggu kesenangan orang!"
Lalu Ralin berganti menatap Emran.
"Aku doakan kalian bakal dapat karma terbaik setelah ini."
Emran kemudian mendorong tubuh Ralin hingga jatuh terduduk.
"Pergi!!"
"Lelaki hidung belang emang cocok bersanding sama wanita murahan!"
Mendengar hinaan Ralin, emosi Emran langsung membumbung tinggi. Lelaki itu segera mengangkat kursi yang berada di teras dan akan dihantamkan pada Ralin.
Dengan cepat Ralin berdiri lalu berlari menjauh. Bertepatan dengan itu sebuah mobil mewah yang tadi ia tumpangi berhenti di halam rumah Emran.
David segera turun dari kursi depan lalu membuka pintu tengah. Dengan penuh wibawa, Lewis turun dari mobil lalu menatap Ralin yang ketakutan. Kemudian Ralin segera mencari perlindungan dengan bersembunyi dibalik tubuh Lewis.
"Siapa kamu?!" ucap Emran ketus dengan tangan membawa kursi.
"Pak Lewis, tolong selamatkan saya," ucap Ralin dari balik tubuhnya.
Lewis dan David langsung paham apa yang terjadi antara Ralin dan mantan suaminya. Meski Lewis tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga Ralin, tapi bagaimana bisa dia tega melihat Ralin terpojok seperti ini.
"Siapa kamu, heh?! Kenapa nggak jawab?! Bisu?!"
"Aku kesini karena mau ngasih cardlock Bu Ralin," ucap Lewis tenang.
Lalu ia mengeluarkan cardlock kamar hotel dari saku dan memberikannya pada Ralin yang berada di belakangnya.
"Tadi terjatuh di teras rumah saya. Lalu saya buru-buru ngikutin taksi yang Bu Ralin naiki."
Emran tidak bodoh tentang apa itu cardlock. Kedua alisnya berkerut dan otaknya menyimpulkan dengan cepat bahwa ...
"Oh ... ternyata selama ini kamu jadi simpanan om-om ya, Lin! Ngatain aku selingkuh padahal kamu yang selingkuh duluan! Apa kalian habis check-in atau mau check-in bareng sampai susah payah njemput kamu kemari, heh?!"
Kepala Ralin menggeleng dengan tegas.
"Kamu salah paham, Em. Pak Lewis itu wali murid siswaku."
"Oh ... wali murid yang merangkap jadi selingkuhanmu begitu?! Kamu nyuruh aku ninggalin Fayza, tapi kamu sendiri main mata! Pantas kamu nggak hamil-hamil, ternyata ada lelaki lain yang lagi kamu senengin!"
"Emran! Kamu salah paham!"
"Dimana salahnya, heh?! Ngapain dia susah payah nyari kamu buat ngasih kunci hotel?! Kamu pikir aku bodoh sampai nggak bisa mikir jauh?"
"Pak Lewis itu nolongin aku gara-gara ulahmu!"
"Munafik! Aku kira kamu istri yang lugu, nyatanya tukang selingkuh! Untung aja aku punya hubungan sama Fayza! Ingat baik-baik, Lin, aku nggak bakal ngasih kamu sepeser pun!"
"Kamu keterlaluan, Emran! Aku doakan Fayza nggak bakal bisa ngasih kamu keturunan!"
Emosi Emran kembali membuncah lalu melemparkan kursi itu ke arah Lewis dan Ralin berdiri. Tapi dengan sigap, asisten Lewis segera menepis kursi itu sebelum melukai tuannya.
Ralin terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan. Sedang Lewis membetulkan kerah kemejanya dengan santai.
"Jangan berani menyentuh Pak Lewis kalau kamu masih mau hidup!"
Merasa tidak terima, Emran kembali berusaha menyerang namun David lebih dulu melumpuhkannya. Emran terjatuh setelah David mengunci tangannya ke belakang lalu mendorongnya.
Ralin benar-benar tidak menyangka jika David bukanlah asisten pribadi Lewis semata. Melainkan dia juga merangkap sebagai bodyguard.
"Aku tegaskan, kalau aku bukan selingkuhan istrimu. Kamu salah paham. Dan cara menyelesaikan masalah dengan istri itu bukan pakai kekerasan, tapi bicara pakai kepala dingin. Paham?" Lewis berucap tenang.
"Diem kamu!"
Kemudian Emran menatap Ralin dengan sorot marah.
"Awas kamu, Lin! Kamu harus membayar semua ini! Sampai ketemu di pengadilan!"
Emran kemudian kembali ke dalam rumah bersama selingkuhannya dan menutup pintu dengan keras. Ralin hanya bisa menunduk sedih sambil meremas cardlock yang Lewis berikan.
"Maaf, Pak Lewis. Anda hampir terluka karena perbuatan mantan suami saya."
Kepala Lewis mengangguk dan melihat Ralin penuh rasa iba. Wajah dan penampilannya cukup menyedihkan akibat ulah mantan suaminya.
Suasana hati Ralin pasti tidak baik-baik saja pasca pertengkaran baru saja.
Kemudian Ralin mengambil kedua tas besar berisi barang-barangnya dan membungkuk hormat pada Lewis.
"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Sudah repot-repot mengantarkan kunci kamar hotel. Saya sangat berhutang budi. Kelak, kalau saya diberi kesempatan, saya ingin membalas budi baik Bapak. Sekali lagi, terima kasih."
Ralin kembali membungkuk hormat lalu berjalan dengan susah payah membawa tas dan kopernya. Lalu ...
"Bu Ralin, apa mau saya antar ke hotel?"
:-)
Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.“Tisyu.”Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.“Terima kasih, Pak.”“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.Bayangan Emran telah
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
"Maaf, Bu Ralin, ini saya, baby sitternya Den Levi."Mendengar nama Levi, kesedihan Ralin berubah menjadi penasaran."Ya? Kenapa?""Maaf, Bu, Den Levi tidak mau makan dan mengacaukan isi rumah. Dari tadi Den Levi terus bilang bu guru bu guru terus. Saya tidak tahu harus minta tolong siapa kalau bukan Bu Ralin."Kemudian Ralin teringat akan janjinya tadi siang sebelum Levi pulang sekolah. Ralin berjanji akan datang ke rumahnya dan tidak menyangka jika bocah laki-laki itu menanti kedatangannya.Karena Ralin tidak kunjung datang lalu Levi melampiaskannya dengan mengacaukan rumah. Bayangan Lewis yang lelah sepulang bekerja lalu melihat rumah berantakan dan memarahi Levi membuatnya tidak tega. "Saya mohon, Bu Ralin. Tolong bantu saya menenangkan Den Levi."Lalu terdengar seperti sebuah benda dari kaca terjatuh.Pyar!"Astaga, Den Levi!" Teriak baby sitternya.Lalu baby siter Levi pergi dan membiarkan telfon tersambung. Entah apa yang terjadi karena samar-samar Ralin bisa mendengar kekacaua
"Pelakunya adalah mantan suami anda, Bu Ralin."Ralin menatap David tidak percaya dengan hati hancur berkeping-keping. Kemudian memorinya berlari ke kejadian beberapa hari lalu saat Ralin mendatangi Emran ke kantor tempat pria itu bekerja.Dengan jelas dan masih dalam ingatan Ralin jika Emran berkata sudah tidak peduli dengan hidup mati Ralin sekalipun. Dia benar-benar ingin segera bercerai dari Ralin dan menikahi selingkuhannya demi mendapatkan keturunan. Tanpa bisa berkata apa-apa, Ralin kemudian menundukkan kepalanya dengan hati sesak.Meski Emran telah melukainya begitu dalam, namun sisa cinta yang ada di hati Ralin tidak secepat itu memudar. "Maaf, Bu Ralin," ucap David karena melihat Ralin begitu terpukul.Ralin kemudian mengangkat kepala dan menggeleng dengan senyum tipis terpaksa. "Saya justru yang berterima kasih, Pak David.""Sebenarnya, masih ada informasi lain terkait hal ini. Namun, bila Bu Ralin tidak ingin mengetahuinya, saya tidak akan mengatakannya.""Katakan saja,
"Saya turut bersedih atas apa yang menimpa Bu Ralin. Saya sudah mendengarnya dari David." Ralin melirik David yang berdiri di dekat Lewis. Rupanya, apa yang menjadi aib Ralin telah sampai di telinga Lewis. Sebenarnya itu cukup memalukan dan tidak perlu diumbar pada siapapun. "Saya juga mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Terima kasih banyak Pak Lewis telah membantu saya mencari tahu siapa yang memfitnah saya hingga sekolah pada akhirnya mengeluarkan saya." Lewis sedikit terkejut mendengar pengakuan Ralin. "Dikeluarkan?" "Iya, Pak. Saya sudah resmi dipecat dari sekolah." Kemudian Lewis menatap Levi yang sedang asyik bermain trampolin seorang diri lalu ia kembali menatap Ralin. "Pantas saja, beberapa hari ini baby sitter bilang kalau Levi susah diajak bersekolah. Ternyata Bu Ralin sudah tidak mengajar lagi rupanya." Ralin pun sedikit terkejut mendengar penuturan Lewis kemudian menatap Levi yang begitu senang bermain meski seorang diri. "Sudah tiga
[Pesan dari Emran : -foto-][Pesan dari Emran : Aku beruntung punya Fayza. Dan sekarang, dia udah sah jadi istriku meski masih siri. Proses perceraian kita udah aku daftarin ke pengadilan agama. Lalu aku bakal mengesahkan pernikahan kami.]Dengan sedih, Ralin memandang foto yang menampilkan Emran begitu tampan mengenakan kemeja putih dan Fayza dengan kebaya putih. Keduanya memamerkan cincin pernikahan dengan senyum lebar. Hati Ralin seperti dihujam belati bertubi-tubi hingga sakitnya menembus tulang. Mereka bercerai secara agama baru satu minggu yang lalu. Tapi kini Emran telah memamerkan pernikahan kedua dengan selingkuhannya. [Pesan dari Emran : Dan kamu bisa bebas jadi wanita murahan pemuas bos-bos! Aku jijik pernah punya istri kayak kamu, Lin!]Pesan terbaru Emran makin menyakiti hatinya lalu Ralin menutup riwayat percakapan. Dia tidak mau membalas pesan mantan suaminya atau pria itu akan membuat Ralin kehilangan sesuatu lain yang amat berarti untuknya.Cukup sudah Emran menghab
"Ah ... Em ... lebih cepat.""Iya, sayang ... ah ... kamu benar-benar nikmat."Seketika Ralin langsung membeku mendengar suara dua insan yang sedang memadu kasih di atas ranjang. Ralin yakin sekali jika itu suara Emran dan Fayza.Mereka sudah sah menjadi suami istri. Tapi mengapa Emran justru menghubungi Ralin saat mereka sedang menghabiskan waktu terintim?Apakah Emran ingin memamerkan kebahagiaannya bersama Fayza?Ingin membuat Ralin makin terpuruk dalam kesedihan?Tangan Ralin sedikit bergetar begitu mendengar lenguhan dan desahan mereka berdua selanjutnya. Suara-suara kenikmatan duniawi yang pernah Ralin rasakan saat masih harmonis dengan Emran.Lalu pandangannya tetiba seperti tidak bisa fokus dengan kepala terasa pening. Beruntung Levi kemudian datang dan menarik tangan Ralin lalu menunjukkan karyanya menata daun-daun secara melingkar lalu ditengahnya diberi sekuntum bunga. Melihat karya sederhana Levi yang patut di apresiasi, Ralin langsung mematikan sambungan telfon dan mema
Ralin kemudian menunduk dan David segera berdiri lalu sedikit membungkuk hormat. "Selamat pagi, Pak."Lewis ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sejak kapan. Apakah dia sempat melihat David mengajari Ralin berjalan menggunakan alat bantu jalan itu atau tidak?Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar Ralin dengan penampilan tidak jauh berbeda dari David. Sudah sangat tampan dan rapi karena hendak menuju pabrik.Ia memperhatikan Ralin dan alat bantu jalan yang digunakan. "Kamu yang membelikannya, Vid?""Iya, Pak." Jawab David tanpa keraguan.Jiwa lelaki sejatinya tidak perlu diragukan. "Karena Nyonya membutuhkan alat itu."Lewis tidak bertanya lagi kemudian menghampiri Levi. "Ayo kita sarapan, Lev?"Levi kemudian menggeleng. "Makan. Ibu."Ralin paham jika yang Levi maksud adalah ingin sarapan bersama Ralin. "Kamu bisa jalan ke meja makan, Lin?""Akan aku coba, Den Mas."Jangankan ke meja makan, menuju kamar mandi saja Ralin membutuhkan bantuan. Namun, bagaimana dia menolak permi
"Apa Nyonya butuh alat bantu jalan?"Kepala Ralin mengangguk. "Sebenarnya iya. Tadi dokter bilang begitu sekalian untuk terapi jalan.""Besok akan saya bawakan."Ralin tersenyum dan mengangguk karena David seakan-akan tahu apa yang dibutuhkan. Tanpa Ralin harus meminta-minta. "Makasih banyak, Vid. Maaf merepotkan.""Sama-sama, Nyonya. Saya undur diri dulu."Setidaknya, masih ada David yang membantu Ralin manakala Lewis masih diliputi rasa kecewa. Kemudian Bu Tatik datang dengan membawa minuman dan camilan. Setelah menandaskannya bersama Levi, Ralin meminum obatnya. "Den Ayu, apa perlu saya temani tidur?"Kepala Ralin mengangguk tegas ketika mendapatkan tawaran yang lagi-lagi sangat ia butuhkan tanpa harus meminta. "Kalau Bu Tatik nggak merasa repot.""Tugas saya sudah pasti untuk melayani keluarga Den Mas. Tidak ada kata repot untuk itu."Satu lagi, selain David, kini Bu Tatik juga menunjukkan dukungan selama Ralin belum sembuh sepenuhnya. Setidaknya Ralin bisa melewati ini semu
Ralin tidak sedih meski Emran akan mendapatkan hukuman penjara yang tidak main-main akibat ulahnya. Dia berhak mendapatkan balasannya!Dia ingin mencelakai Levi, namun Ralin yang terkena getahnya.Kedua kaki Ralin hampir saja lumpuh jika tidak mendapatkan penanganan yang cepat dan tepat. Beruntungnya, Lewis bersedia memberikan pengobatan terbaik.Meski untuk saat ini Ralin masih harus terapi, namun itu jauh lebih baik dari pada ia lumpuh untuk selamanya.Begitu tiba di rumah, Lewis masih menerima panggilan telfon dari pengacaranya. Sudah pasti yang mereka bahas adalah tuntutan penjara seadil mungkin yang Lewis inginkan untuk membuat jera Emran.“Jika dimungkinkan bisa dituntut dengan pasal berlapis, lakukan!” Titah Lewis.Kemudian dia turun dari mobil dengan menggandeng tangan Levi. Sedang Ralin berusaha turun dari mobil perlahan-lahan tanpa bantuan.“Aku nggak bisa bayangin gimana jadinya, andai tabrakannya itu melukai Levi. Anak sekecil Levi terhantam mobil. Emran sudah gila!”“Mesk
"Emran?" Tanya Lewis dengan alis berkerut. "Betul, Pak. Mobil yang dipakai menabrak mobil Den Levi adalah mobil Emran. Dan mobilnya ada di halaman rumahnya."Lewis kemudian teringat akan ucapan bernada tidak suka yang keluar dari bibir Ralin tempo hari ketika Emran datang berkunjung. Tapi Emran dengan tidak tahu dirinya mengirimkan buket bunga dengan pesan penuh cinta. "Tim menyimpulkan jika kemungkinan yang melakukan tabrakan itu adalah Emran. Dan sebelum membawanya ke kantor polisi, tim akan menginterogasi Emran lebih dulu."Kepala Lewis mengangguk dengan wajah tidak bersahabat. "Kalau sampai dia terbukti melakukannya, aku nggak akan ngasih dia nafas kebebasan. Meski itu cuma satu hirupan."Lalu bayangan Levi saat menangis usai kecelakaan itu membuat Lewis makin geram. Dan dia akan bersabar sampai tim mendapatkan informasi yang akurat. "Kita ke rumah sakit sekarang.""Baik, Pak.""Beri tahu Mas Tira."Kondisi Ralin terpantau membaik pasca operasi. Masa kritisnya telah terlewati.
"Halo, Lew.""Halo, Bun. Bunda lagi apa?""Baru selesai bikin kue. Tumben kamu telfon jam segini? Kerjaan udah rampung?"Bukan sudah rampung. Melainkan Lewis meninggalkannya begitu saja demi Ralin. "Bun, Ralin kecelakaan."Hari belum terlalu sore dan Lewis memberi kabar sangat buruk. Membuat sore hari itu terasa kelabu. "Apa?! Kecelakaan gimana, Lew?""Penyebabnya masih diselidiki sama tim yang aku bawa, Bun.""Ralin gimana keadaannya sekarang?""Nggak baik, Bun. Dia harus operasi.""Ya Tuhan, Lew.""Satu jam lagi kita akan berangkat ke Jakarta. Aku mau Ralin dirujuk ke rumah sakit dan dokter paling bagus.""Levi gimana, Lew?""Levi cuma terpental dan trauma, Bun. Bunda bisa kan kemari buat jagain Levi?""Iya. Di rumah sakit mana?"Setelah menunggu setengah jam lamanya, Ibunda dan Ayah Lewis tiba di rumah sakit dengan wajah cemas dan khawatir. Ayahnya pun masih mengenakan kemeja kerja. Levi pun langsung mengulurkan tangan untuk digendong Ayah Lewis. Sedang David selalu setia berada
Kedua mata Ralin melebar melihat kedua foto itu. Foto yang menunjukkan dirinya sedang dipeluk oleh Emran. Kejadian beberapa hari yang lalu saat Ralin menemuinya di gerbang rumah. "Dan ada sebuah kartu ucapan. Isinya ... " Lewis sedikit menyipitkan mata karena tidak memakai kacamata, "I still love you, Lin. Emran."Usai membacanya Lewis mengangsurkan kartu ucapan itu ke meja. Berdekatan dengan kedua foto tersebut. Jantung Ralin berdetak tidak karuan ketika Lewis telah mengerti segalanya. Ralin pun diam-diam mengutuk perbuatan Emran karena telah mengirimkan satu buket bunga sialan beserta foto itu ke rumah ini. Otaknya pun berpikir cepat, jika apa yang Emran lakukan beberapa hari yang lalu memang sengaja telah direncanakan!Karena, mana mungkin Emran bisa mengirimkan foto mereka saat berpelukan jika bukan menyuruh orang lain untuk memotretnya.Benar-benar licik!Ralin pun bisa menyimpulkan jika Emran sedang berusaha mengacaukan hubungannya dengan Lewis. "Kenapa kalian berpelukan di
Ralin bergegas memanggil Bu Tatik lalu menitipkan Levi padanya. "Titip levi bentar ya, Bu Tatik. Ada tamuku di depan gerbang. Bentar aja kok."Tanpa menunggu persetujuan, Ralin langsung berlari meninggalkan levi bersama Bu Tatik. Dia menuruni tangga teras rumah Lewis dengan begitu tergesa-gesa. Kemudian berlari sekencang mungkin menuju gerbang. Ralin tidak memiliki banyak waktu untuk menyelesaikan masalah kedatangan Emran ke rumah ini. Lewis sedang mandi dan pria itu pasti tidak akan membuang banyak waktu untuk segera berangkat menyenangkan Levi. Dengan nafas naik turun, Ralin tiba di pos satpam. "Buka ... gerbangnya. Tolong."Begitu gerbang terbuka sebagian, sosok Emran terlihat berdiri di samping mobilnya. Sedang Ralin masih menetralkan deru nafasnya. Ralin tidak tahu apa yang Emran pikirkan tentang dirinya yang kini tinggal di rumah ini. Atau satpam sudah menjelaskan statusnya. "Mau apa kamu kemari?" Tanya Ralin. "Jadi kamu tinggal disini?""Kalau kedatanganmu nggak ada alas
"Akhirnya aku bisa ketemu kamu, Lin."Ralin langsung menyentak tangan Emran namun mantan suaminya itu justru menggunakan satu tangannya lagi untuk menggenggam tangan Ralin. "Lepas, Em!""Please, Lin. Aku pengen bicara sama kamu."Kepala Ralin menggeleng tegas."Kita udah nggak ada urusan dan nggak ada yang perlu diomongin!""Aku mohon kasih satu kesempatan lagi buat memperbaiki segalanya, Lin. Aku mohon."Ralin tetap berusaha melepaskan tangan Emran tapi tidak bisa. "Nggak! Aku nggak mau balikan sama kamu!""Maafin salahku, Lin. Gara-gara aku, kamu dipecat dari sekolah ini lalu kamu sekarang jadi baby sitter. Maafin aku yang udah bikin hidupmu jadi berantakan kayak gini.""Lepas!"Ralin terus berusaha melepaskan tangannya tapi gagal. "Maafin aku yang udah ambil pekerjaanmu yang terhormat sebagai seorang guru. Malah sekarnag kamu jadi baby sitter.""Lepasin, Emran!!!"Emran saja yang tidak tahu jika Ralin saat ini bukanlah seorang baby sitter rendahan. Baby sitter hanyalah topeng ag
Ini seperti menghadiri sidang tindak pidana kriminal!Bagaimana tidak, di ruang tengah sudah menunggu Ibunda dan Ayah Lewis layaknya hakim sidang. Beserta Luzia, adik perempuan Lewis, layaknya jaksa penuntut umum. Ralin memiliki firasat jika ini tidak akan baik-baik saja. Pasalnya ketika ia datang, mereka bertiga tidak menunjukkan senyum sama sekali. Kemudian Luzia menunjukkan sebuah kotak mainan besar bergambar susunan lego ke hadapan Levi. "Levi, Tante punya apa ini ya?" Tanya Luzia.Kemudian Levi merosot turun dari gendongan Lewis dan menghampiri Luzia. Dia memperhatikan kotak mainan itu dengan seksama. "Kamu mau main?" Levi mengangguk dengan menatap takjub kotak mainan itu. Lalu Luzia membawanya pergi dari ruang tengah. Ini seperti sudah direncanakan.Bahwa kedua orang tua Lewis ingin menginterogasi Ralin dan Lewis tanpa melibatkan Levi dan Luzia. Ralin yang menyadari hal itu makin menundukkan pandangan. Ia ingin bersembunyi di belakang tubuh Lewis namun tangannya tetap di