Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin.
Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan.
"Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."
Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis.
"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda."
"Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."
Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri.
Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi.
Jam hampir menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Ini hampir tengah malam namun Ralin juga tidak bisa membiarkan barang-barangnya digeletakkan sembarangan.
Berbekal kenekatan, Ralin terus menggeret kopernya menuju gerbang utama rumah megah Lewis dengan air mata kembali membasahi pipi. Ralin begitu sedih namun dia tidak bisa berbuat apapun selain menjalani takdir ini.
Sambil berdiri di depan rumah megah Lewis, tangan Ralin merogoh ponsel dan memesan taksi online. Beruntung masih ada taksi yang beroperasi di jam itu.
Ralin terus menyemangati diri sendiri jika bisa melalui ujian ini dengan kuat. Dia tidak boleh terus menerus menangisi Emran atau takdir hidupnya.
Emran adalah pilihannya. Dan apapun konsekuensinya Ralin harus menerimanya. Meski ada penyesalan mengapa dulu tidak mendengarkan ucapan kedua orang tuanya.
Sepanjang perjalanan menuju rumah yang ia tempati dengan Emran selama empat tahun, Ralin berdoa agar pria itu suatu saat akan mendapatkan karmanya.
Ralin hanyalah manusia biasa yang bisa menaruh dendam dan amarah karena Emran memilih berselingkuh demi mendapatkan keturunan. Bahkan Emran bersama selingkuhannya tega mengusir Ralin dari rumah tanpa diberi uang sepeser pun.
Ia seharusnya memiliki hak atas rumah yang mereka bangun bersama-sama dan Emran tidak boleh mengusirnya secara sepihak.
Ketika taksi berhenti di depan rumah itu, suasana sudah cukup sepi. Lalu Ralin melihat jam di pergelangan hampir menunjukkan pukul sepuluh malam.
Ada dua buah tas besar yang tergeletak di halaman rumah dengan isi tidak ditata rapi. Lalu ia membuka pagar setinggi perut itu tanpa menimbulkan suara apapun. Ralin tidak mau kedatangannya diketahui Emran lalu menuai pertengkaran yang mengundang atensi tetangga.
Ralin berjongkok dengan hati pedih sambil memungut tas berisi pakaian dan beberapa barangnya yang dimasukkan sembarangan.
Emran benar-benar memperlakukannya dengan begitu hina dan melupakan semua jasa baiknya.
Setelah menutup reseleting tas itu dengan benar dan menyeka air mata, Ralin menatap mobil Emran yang terparkir. Mobil kesayangan Emran yang dibeli dengan jerih payah berhemat mereka berdua. Tapi, tadi pagi Emran justru persilahkan selingkuhannya menduduki kursi penumpang mobil itu.
Kursi yang seharusnya hanya diperuntukkan untuk Ralin.
Lalu Ralin menatap dua pasang sepatu di teras rumah. Ia berjalan mendekat untuk memastikan satu pasang sepatu yang lain milik siapa.
Dan ternyata itu satu pasang sepatu laki-laki milik Emran dan satu lagi milik ...
"Fayza." Gumamnya.
Ralin menatap pintu rumah dengan hati pilu karena ia bisa menduga jika Emran dan selingkuhannya berada di dalam rumah. Entah apa yang dilakukan dua orang manusia dewasa di dalam rumah tanpa ikatan pernikahan.
Ceklek ...
Pintu terbuka dan Ralin masih berdiri di sana.
Emran yang tadinya tertawa lebar dengan memeluk pundak Fayza, terdiam seketika melihat Ralin berdiri di hadapannya. Kemudian wajahnya berubah tidak bersahabat dengan Fayza justru memeluk perut Emran dengan begitu mesra.
"Ambil barang rongsokanmu itu! Lalu buruan pergi!"
Cukup sudah Ralin menahan sabar dengan semua hinaan Emran selama ini. Lalu ia menatap Fayza.
"Nggak ada ceritanya kamu bakal bahagia sama Emran tapi bikin aku sedih nggak karuan, Fay."
"Halah! Banyak ceramah! Sana pergi! Nggak usah ganggu kesenangan orang!"
Lalu Ralin berganti menatap Emran.
"Aku doakan kalian bakal dapat karma terbaik setelah ini."
Emran kemudian mendorong tubuh Ralin hingga jatuh terduduk.
"Pergi!!"
"Lelaki hidung belang emang cocok bersanding sama wanita murahan!"
Mendengar hinaan Ralin, emosi Emran langsung membumbung tinggi. Lelaki itu segera mengangkat kursi yang berada di teras dan akan dihantamkan pada Ralin.
Dengan cepat Ralin berdiri lalu berlari menjauh. Bertepatan dengan itu sebuah mobil mewah yang tadi ia tumpangi berhenti di halam rumah Emran.
David segera turun dari kursi depan lalu membuka pintu tengah. Dengan penuh wibawa, Lewis turun dari mobil lalu menatap Ralin yang ketakutan. Kemudian Ralin segera mencari perlindungan dengan bersembunyi dibalik tubuh Lewis.
"Siapa kamu?!" ucap Emran ketus dengan tangan membawa kursi.
"Pak Lewis, tolong selamatkan saya," ucap Ralin dari balik tubuhnya.
Lewis dan David langsung paham apa yang terjadi antara Ralin dan mantan suaminya. Meski Lewis tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga Ralin, tapi bagaimana bisa dia tega melihat Ralin terpojok seperti ini.
"Siapa kamu, heh?! Kenapa nggak jawab?! Bisu?!"
"Aku kesini karena mau ngasih cardlock Bu Ralin," ucap Lewis tenang.
Lalu ia mengeluarkan cardlock kamar hotel dari saku dan memberikannya pada Ralin yang berada di belakangnya.
"Tadi terjatuh di teras rumah saya. Lalu saya buru-buru ngikutin taksi yang Bu Ralin naiki."
Emran tidak bodoh tentang apa itu cardlock. Kedua alisnya berkerut dan otaknya menyimpulkan dengan cepat bahwa ...
"Oh ... ternyata selama ini kamu jadi simpanan om-om ya, Lin! Ngatain aku selingkuh padahal kamu yang selingkuh duluan! Apa kalian habis check-in atau mau check-in bareng sampai susah payah njemput kamu kemari, heh?!"
Kepala Ralin menggeleng dengan tegas.
"Kamu salah paham, Em. Pak Lewis itu wali murid siswaku."
"Oh ... wali murid yang merangkap jadi selingkuhanmu begitu?! Kamu nyuruh aku ninggalin Fayza, tapi kamu sendiri main mata! Pantas kamu nggak hamil-hamil, ternyata ada lelaki lain yang lagi kamu senengin!"
"Emran! Kamu salah paham!"
"Dimana salahnya, heh?! Ngapain dia susah payah nyari kamu buat ngasih kunci hotel?! Kamu pikir aku bodoh sampai nggak bisa mikir jauh?"
"Pak Lewis itu nolongin aku gara-gara ulahmu!"
"Munafik! Aku kira kamu istri yang lugu, nyatanya tukang selingkuh! Untung aja aku punya hubungan sama Fayza! Ingat baik-baik, Lin, aku nggak bakal ngasih kamu sepeser pun!"
"Kamu keterlaluan, Emran! Aku doakan Fayza nggak bakal bisa ngasih kamu keturunan!"
Emosi Emran kembali membuncah lalu melemparkan kursi itu ke arah Lewis dan Ralin berdiri. Tapi dengan sigap, asisten Lewis segera menepis kursi itu sebelum melukai tuannya.
Ralin terkejut dan menutup mulutnya dengan tangan. Sedang Lewis membetulkan kerah kemejanya dengan santai.
"Jangan berani menyentuh Pak Lewis kalau kamu masih mau hidup!"
Merasa tidak terima, Emran kembali berusaha menyerang namun David lebih dulu melumpuhkannya. Emran terjatuh setelah David mengunci tangannya ke belakang lalu mendorongnya.
Ralin benar-benar tidak menyangka jika David bukanlah asisten pribadi Lewis semata. Melainkan dia juga merangkap sebagai bodyguard.
"Aku tegaskan, kalau aku bukan selingkuhan istrimu. Kamu salah paham. Dan cara menyelesaikan masalah dengan istri itu bukan pakai kekerasan, tapi bicara pakai kepala dingin. Paham?" Lewis berucap tenang.
"Diem kamu!"
Kemudian Emran menatap Ralin dengan sorot marah.
"Awas kamu, Lin! Kamu harus membayar semua ini! Sampai ketemu di pengadilan!"
Emran kemudian kembali ke dalam rumah bersama selingkuhannya dan menutup pintu dengan keras. Ralin hanya bisa menunduk sedih sambil meremas cardlock yang Lewis berikan.
"Maaf, Pak Lewis. Anda hampir terluka karena perbuatan mantan suami saya."
Kepala Lewis mengangguk dan melihat Ralin penuh rasa iba. Wajah dan penampilannya cukup menyedihkan akibat ulah mantan suaminya.
Suasana hati Ralin pasti tidak baik-baik saja pasca pertengkaran baru saja.
Kemudian Ralin mengambil kedua tas besar berisi barang-barangnya dan membungkuk hormat pada Lewis.
"Terima kasih banyak, Pak Lewis. Sudah repot-repot mengantarkan kunci kamar hotel. Saya sangat berhutang budi. Kelak, kalau saya diberi kesempatan, saya ingin membalas budi baik Bapak. Sekali lagi, terima kasih."
Ralin kembali membungkuk hormat lalu berjalan dengan susah payah membawa tas dan kopernya. Lalu ...
"Bu Ralin, apa mau saya antar ke hotel?"
:-)
Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.“Tisyu.”Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.“Terima kasih, Pak.”“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.Bayangan Emran telah
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
“Program hamil habis puluhan juta tapi tetap nggak bisa hamil! Buang-buang uang! Lebih baik kamu pergi dari rumahku, Ralin. Aku nggak butuh istri mandul!” Ralin menggeleng dengan berurai air mata agar Emran iba sambil memegang tangan suaminya itu.“Em, aku nggak mandul. Kata dokter aku baik-baik –”Emran kemudian menyentak tangan Ralin kasar.“Halah! Kalau kamu nggak kunjung hamil, lalu apa namanya kalau bukan mandul, heh?!” Emran kembali membentak. Kemudian Ralin memohon dengan mengatupkan kedua tangan. “Em, tolong jangan begini,” pintanya dengan nada yang halus. “Aku bisa hamil. Tapi butuh waktu. Dokter juga bilang gitu. Tolong sabar dan tinggalin perempuan itu.”Emran kemudian maju dua langkah dengan kedua matanya menatap tajam dan tangannya langsung mencengkeram rahang Ralin. “Dia punya nama! Namanya Fayza! Dan dia jauh lebih baik dibanding kamu, Ralin! Camkan itu!”Ralin berusaha melepaskan cengkeraman Emran, tapi gagal.Rahangnya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit k
“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.“Tunggu!” Ralin berseru.Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.“Aku gurunya. Ini muridku.”Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- ““Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian,
Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.“Baiklah.”“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.“Biar koper Bu Ralin
Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin."Maaf? Diusir?"Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. "Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. "Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.""Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.“Tisyu.”Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.“Terima kasih, Pak.”“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.Bayangan Emran telah
Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin. Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan. "Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis."Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda.""Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri. Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi. Jam hampir
Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin."Maaf? Diusir?"Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. "Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. "Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.""Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak
Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.“Baiklah.”“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.“Biar koper Bu Ralin
“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.“Tunggu!” Ralin berseru.Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.“Aku gurunya. Ini muridku.”Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- ““Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian,
“Program hamil habis puluhan juta tapi tetap nggak bisa hamil! Buang-buang uang! Lebih baik kamu pergi dari rumahku, Ralin. Aku nggak butuh istri mandul!” Ralin menggeleng dengan berurai air mata agar Emran iba sambil memegang tangan suaminya itu.“Em, aku nggak mandul. Kata dokter aku baik-baik –”Emran kemudian menyentak tangan Ralin kasar.“Halah! Kalau kamu nggak kunjung hamil, lalu apa namanya kalau bukan mandul, heh?!” Emran kembali membentak. Kemudian Ralin memohon dengan mengatupkan kedua tangan. “Em, tolong jangan begini,” pintanya dengan nada yang halus. “Aku bisa hamil. Tapi butuh waktu. Dokter juga bilang gitu. Tolong sabar dan tinggalin perempuan itu.”Emran kemudian maju dua langkah dengan kedua matanya menatap tajam dan tangannya langsung mencengkeram rahang Ralin. “Dia punya nama! Namanya Fayza! Dan dia jauh lebih baik dibanding kamu, Ralin! Camkan itu!”Ralin berusaha melepaskan cengkeraman Emran, tapi gagal.Rahangnya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit k