Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.
Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.
Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.
Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.
“Tisyu.”
Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.
“Terima kasih, Pak.”
“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”
Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.
Bayangan Emran telah banyak menghabiskan waktu dengan selingkuhannya, lalu Ralin diusir dengan begitu hina, membuatnya begitu sedih dan menyesal telah memilih Emran.
“Tapi kalau udah takdir harus bercerai, siapapun nggak bisa melawannya, Bu Ralin,” ucap Lewis lagi.
Kemudian Ralin kembali menatap lalu lalang kendaraan dengan tatapan menerawang.
“Kalau tetap bersama tapi cuma bikin terluka, buat apa tetap dipertahankan. Yang ada malah sakit sendiri. Lebih baik berpisah lalu memperbaiki diri dan keadaan. Siapa tahu, esok atau lusa akan ada kebaikan yang siap menanti.”
Setidaknya, Ralin tersemangati setelah mendengar penuturan Lewis. Hal ini sama seperti meminum madu dari gelas pecah, yang artinya sudah tahu itu bisa melukai tapi tetap saja saja dijalani.
“Saya … benar-benar mencintai suami saya, Pak Lewis.”
“Bu Ralin hanya butuh waktu untuk terbiasa tanpa Emran.”
“Maaf, Pak Lewis, saya merasa berat untuk belajar terbiasa tanpa Emran.”
“Cinta boleh, bodoh jangan. Kalau nanti Bu Ralin ketemu seseorang yang tepat, pasti mudah untuk melupakan Emran.”
Lima menit kemudian, mereka tiba di lobby hotel berbintang. Sopir dan asisten Lewis segera mengeluarkan tas dan koper Ralin dari bagasi. Kemudian memanggil petugas hotel untuk membawanya ke kamar Ralin.
“Terima kasih banyak untuk bantuannya, Pak Lewis. Saya berhutang banyak ke anda.”
Kepala Lewis menggeleng pelan.
“Bu Ralin tidak berhutang apapun. Saya yang berhutang banyak karena Bu Ralin sudah menyelamatkan Levi. Harta terbesar dalam hidup saya.”
“Tidak, Pak. Bagaimanapun saya tetap berhutang budi ke Bapak.”
“Saya permisi.”
Ralin tidak mengerti kebaikan apa yang sudah dia lakukan hingga bertemu dengan pria baik hati seperti Lewis. Tanpa bantuan darinya, mungkin malam ini Ralin masih kebingungan akan bermalam dimana.
Setelah Lewis berlalu dari hadapannya, Ralin segera menuju kamar hotel yang akan ia tempati. Petugas hotel telah meletakkan tas dan kopernya di depan pintu kamar 315.
Kamar dengan single bed queen size itu jauh lebih bagus ketimbang kamarnya di rumah yang ditempati dengan Emran. Kemudian ia segera memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari dengan hati pilu.
Apalagi ketika menata pakaiannya yang kotor terkena tanah karena dilemparkan sembarangan oleh Fayza.
Lalu sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya.
[Dari Emran : Udah sampai hotel sama selingkuhanmu itu, heh?! Dibayar berapa kamu?!]
Luka di hatinya masih basah, namun Emran kembali menancapkan anak panah.
[Dari Emran : Siap-siap aja kamu, Lin! Kamu main licik, aku juga bisa! Jangan harap kamu dapat hartaku sepeserpun!]
Setelah membaca pesan itu, Ralin makin sedih meratapi nasib hidupnya. Emran benar-benar tidak mengasihaninya sedikit pun.
Apa yang harus Ralin lakukan sekarang?
Dia tidak memiliki banyak uang di dalam dompet karena semua tabungan dibawa Emran. Dan pengusirannya sangat lah mendadak. Ralin tidak memiliki persiapan apapun.
Bagaimana dia menyewa seorang pengacara jika tidak memiliki uang?
Pada siapa dia akan meminta bantuan?
Apakah lebih baik dia mengikhlaskan dirinya diceraikan tanpa mendapatkan apapun?
--------------
Setelah melahap sarapan yang disiapkan pihak hotel, Ralin segera berganti seragam mengajar.
Matanya terlihat sembab karena semalam terlalu banyak menangis.
Dadanya juga terasa sesak karena tidak ada satu pun keluarga yang bisa dia ajak untuk bertukar pikiran. Memikirkan permasalahan rumah tangganya dengan Emran yang menemui jalan buntu justru membuat stress.
Setelah membayar ongkos ojek online, Ralin melangkah menuju sekolah khusus ternama tempatnya mengajar anak-anak spesial. Tidak lupa ia mengenakan kacamata untuk menyembunyikan sembab di mata.
“Tumben kemarin izin mendadak, Lin? Habis dari mana?” Tanya Dira, teman dan rekan sesama guru di sekolah.
Ralin hanya tersenyum tipis, “Kemarin agak nggak enak badan aja.”
“Tapi kata kepala sekolah, kamu minta nomer wali muridnya Levi ya? Emang dia kenapa kok bisa sama kamu?”
Otak Ralin berpikir sejenak untuk menyiapkan jawaban yang tepat.
“Eh … kemarin aku nggak sengaja ketemu Levi lagi jalan sendirian aja. Bukan kenapa-kenapa.”
“Hah? Jalan sendirian? Terus baby sitternya kemana?”
“Aku juga nggak ngerti, Dir.”
Dira kemudian melipat kedua tangan di depan dada.
“Levi emang terlalu aktif dan nggak bisa banget dikontrol, Lin. Baby sitternya capek kali lalu Levi lepas pengawasan.”
Batin Ralin, ucapan Dira terlalu berlebihan. Karena Levi tidak mungkin aktif setiap jam tanpa kenal lelah.
“Padahal dia tuh dijaga dua baby sitter loh. Sopir siap antar jemput. Anaknya orang tajir melintir. Apa orang tuanya nggak terlalu ngurus Levi ya? Kan harusnya dibawa ke dokter spesialis biar dapat penanganan. Biar lebih tenang si Levi itu.”
Ini masih pagi, namun Dira sudah mengajak Ralin membicarakan keburukan keluarga Levi.
“Aku kalau kebagian jagain kelompok belajar yang ada Levi tuh aduuuh … udah pusing duluan, Lin.”
Tanpa mempedulikan ocehan Dira di pagi hari, Ralin segera berlalu dari sana. Karena sekarang adalah jadwalnya berdiri di gerbang sekolah bersama satu guru lainnya untuk menyambut kedatangan anak-anak hebat itu.
Menurutnya, Lewis tidaklah seperti yang Dira katakan. Ralin tahu jika pria itu begitu menyayangi Levi di tengah kesibukannya.
Hanya saja, Ralin memang tidak melihat kehadiran ibu Levi sama sekali.
Dan juga, Ralin tidak mau membahas keburukan Lewis setelah kebaikan yang pria itu berikan. Sudah seharusnya Ralin tidak menggunjing keburukan Lewis karena tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini.
Satu demi satu murid spesial itu berdatangan dan Ralin menyambutnya dengan suka cita. Menepikan masalahnya sendiri yang sebenarnya sangat menyita konsentrasi dan hatinya.
Tapi dia tidak mungkin menunjukkan kesedihan itu di hadapan anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Dan Ralin harus professional karena setelah diusir Emran, dia hanya memiliki pekerjaan sebagai guru untuk bertahan hidup.
Tepat ketika mobil mewah Levi tiba, bocah kecil itu langsung melepaskan diri dari baby sitter yang memegangi tangannya.
“Den Levi! Jangan lari!”
Levi berlari secepat yang dia bisa menuju halaman kelas lalu Ralin berjongkok untuk menahannya. Dengan senyum mengembang, dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan Levi.
“Tos dulu, Levi.”
Bocah itu menuruti perintahnya lalu Ralin mengangguk sopan pada baby sitter Levi jika semuanya sudah terkontrol dan menggandengnya masuk sekolah.
“Jangan lari ya, Levi. Biar nggak jatuh.”
Levi tidak menjawab dan hanya menurut ketika Ralin membawanya menuju kelas.
Lima jam lamanya Ralin menunaikan tugasnya sebagai seorang guru dari anak-anak berkebutuhan khusus ini.
Selama proses belajar mengajar, Ralin sengaja lebih memperhatikan Levi karena kebaikan Lewis padanya. Mulai dari Levi masuk kelas, mengajarinya melahap bekal dengan benar, hingga pelajaran usai. Hanya ini cara yang bisa Ralin lakukan untuk membalas budi baik Lewis.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi dan memastikan semua anak-anak telah dijemput keluarganya, kepala sekolah mendadak meminta Ralin datang ke ruangannya.
Tanpa memiliki firasat buruk apapun, Ralin menuju ke ruangan kepala sekolah. Rencananya, setelah ini dia akan mencari kos yang murah karena Lewis hanya menyewakan kamar hotel untuk Ralin selama satu minggu saja.
“Ada apa Bu Karina memanggil saya?” Tanya Ralin.
Kepala sekolah itu kemudian menunjukkan beberapa lembar foto pada Ralin.
“Apa benar orang yang ada di foto itu Bu Ralin?”
Kedua mata Ralin memindai beberapa foto itu dengan seksama dengan alis bertaut.
“Siapa yang mengirim foto tidak benar ini, Bu Karina?”
“Saya nggak tahu karena nggak ada nama pengirimnya. Cuma, tadi ada selembar pesan dari pengirimnya, kalau Bu Ralin nggak keluar dari sekolah ini, dia akan menyebarkan foto-foto Bu Ralin ke media sosial untuk menghancurkan reputasi sekolah ini.”
selamat datang di novel terbaru author. Enjoy reading :-)
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
"Maaf, Bu Ralin, ini saya, baby sitternya Den Levi."Mendengar nama Levi, kesedihan Ralin berubah menjadi penasaran."Ya? Kenapa?""Maaf, Bu, Den Levi tidak mau makan dan mengacaukan isi rumah. Dari tadi Den Levi terus bilang bu guru bu guru terus. Saya tidak tahu harus minta tolong siapa kalau bukan Bu Ralin."Kemudian Ralin teringat akan janjinya tadi siang sebelum Levi pulang sekolah. Ralin berjanji akan datang ke rumahnya dan tidak menyangka jika bocah laki-laki itu menanti kedatangannya.Karena Ralin tidak kunjung datang lalu Levi melampiaskannya dengan mengacaukan rumah. Bayangan Lewis yang lelah sepulang bekerja lalu melihat rumah berantakan dan memarahi Levi membuatnya tidak tega. "Saya mohon, Bu Ralin. Tolong bantu saya menenangkan Den Levi."Lalu terdengar seperti sebuah benda dari kaca terjatuh.Pyar!"Astaga, Den Levi!" Teriak baby sitternya.Lalu baby siter Levi pergi dan membiarkan telfon tersambung. Entah apa yang terjadi karena samar-samar Ralin bisa mendengar kekacaua
"Pelakunya adalah mantan suami anda, Bu Ralin."Ralin menatap David tidak percaya dengan hati hancur berkeping-keping. Kemudian memorinya berlari ke kejadian beberapa hari lalu saat Ralin mendatangi Emran ke kantor tempat pria itu bekerja.Dengan jelas dan masih dalam ingatan Ralin jika Emran berkata sudah tidak peduli dengan hidup mati Ralin sekalipun. Dia benar-benar ingin segera bercerai dari Ralin dan menikahi selingkuhannya demi mendapatkan keturunan. Tanpa bisa berkata apa-apa, Ralin kemudian menundukkan kepalanya dengan hati sesak.Meski Emran telah melukainya begitu dalam, namun sisa cinta yang ada di hati Ralin tidak secepat itu memudar. "Maaf, Bu Ralin," ucap David karena melihat Ralin begitu terpukul.Ralin kemudian mengangkat kepala dan menggeleng dengan senyum tipis terpaksa. "Saya justru yang berterima kasih, Pak David.""Sebenarnya, masih ada informasi lain terkait hal ini. Namun, bila Bu Ralin tidak ingin mengetahuinya, saya tidak akan mengatakannya.""Katakan saja,
"Saya turut bersedih atas apa yang menimpa Bu Ralin. Saya sudah mendengarnya dari David." Ralin melirik David yang berdiri di dekat Lewis. Rupanya, apa yang menjadi aib Ralin telah sampai di telinga Lewis. Sebenarnya itu cukup memalukan dan tidak perlu diumbar pada siapapun. "Saya juga mau mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Terima kasih banyak Pak Lewis telah membantu saya mencari tahu siapa yang memfitnah saya hingga sekolah pada akhirnya mengeluarkan saya." Lewis sedikit terkejut mendengar pengakuan Ralin. "Dikeluarkan?" "Iya, Pak. Saya sudah resmi dipecat dari sekolah." Kemudian Lewis menatap Levi yang sedang asyik bermain trampolin seorang diri lalu ia kembali menatap Ralin. "Pantas saja, beberapa hari ini baby sitter bilang kalau Levi susah diajak bersekolah. Ternyata Bu Ralin sudah tidak mengajar lagi rupanya." Ralin pun sedikit terkejut mendengar penuturan Lewis kemudian menatap Levi yang begitu senang bermain meski seorang diri. "Sudah tiga
[Pesan dari Emran : -foto-][Pesan dari Emran : Aku beruntung punya Fayza. Dan sekarang, dia udah sah jadi istriku meski masih siri. Proses perceraian kita udah aku daftarin ke pengadilan agama. Lalu aku bakal mengesahkan pernikahan kami.]Dengan sedih, Ralin memandang foto yang menampilkan Emran begitu tampan mengenakan kemeja putih dan Fayza dengan kebaya putih. Keduanya memamerkan cincin pernikahan dengan senyum lebar. Hati Ralin seperti dihujam belati bertubi-tubi hingga sakitnya menembus tulang. Mereka bercerai secara agama baru satu minggu yang lalu. Tapi kini Emran telah memamerkan pernikahan kedua dengan selingkuhannya. [Pesan dari Emran : Dan kamu bisa bebas jadi wanita murahan pemuas bos-bos! Aku jijik pernah punya istri kayak kamu, Lin!]Pesan terbaru Emran makin menyakiti hatinya lalu Ralin menutup riwayat percakapan. Dia tidak mau membalas pesan mantan suaminya atau pria itu akan membuat Ralin kehilangan sesuatu lain yang amat berarti untuknya.Cukup sudah Emran menghab
"Ah ... Em ... lebih cepat.""Iya, sayang ... ah ... kamu benar-benar nikmat."Seketika Ralin langsung membeku mendengar suara dua insan yang sedang memadu kasih di atas ranjang. Ralin yakin sekali jika itu suara Emran dan Fayza.Mereka sudah sah menjadi suami istri. Tapi mengapa Emran justru menghubungi Ralin saat mereka sedang menghabiskan waktu terintim?Apakah Emran ingin memamerkan kebahagiaannya bersama Fayza?Ingin membuat Ralin makin terpuruk dalam kesedihan?Tangan Ralin sedikit bergetar begitu mendengar lenguhan dan desahan mereka berdua selanjutnya. Suara-suara kenikmatan duniawi yang pernah Ralin rasakan saat masih harmonis dengan Emran.Lalu pandangannya tetiba seperti tidak bisa fokus dengan kepala terasa pening. Beruntung Levi kemudian datang dan menarik tangan Ralin lalu menunjukkan karyanya menata daun-daun secara melingkar lalu ditengahnya diberi sekuntum bunga. Melihat karya sederhana Levi yang patut di apresiasi, Ralin langsung mematikan sambungan telfon dan mema
Mana mungkin Ralin menuju ke sekolah selanjutnya untuk melamar pekerjaan? Sedangkan surat lamarannya telah kotor terkena cipratan genangan air. Belum lagi pakaiannya yang terkena noda. Mobil yang Ralin ikuti benar-benar mobil Emran lalu berbelok ke sebuah rumah makan untuk makan siang. Baru saja Emran dan Fayza keluar dari mobil, Ralin langsung datang dan memberinya pelajaran. Plak!Fayza terkejut sampai menutup mulut yang membola dengan telapak tangan. Sedang Emran langsung melirik tajam mantan istrinya itu. "Nggak usah berlagak seolah-olah kamu nggak ngerti apa salahmu padahal kamu tahu apa salahmu!!" ucap Ralin tegas. Emran akan membalas namun Ralin mundur beberapa langkah. "Aku udah banyak bersabar, Em! Aku relain kamu demi wanita murahan itu." Telunjuk Ralin mengarah ke arah Fayza, "Aku rela jadi janda. Bahkan aku rela kehilangan pekerjaan gara-gara ancamanmu ke pihak sekolah! Tapi nggak sama kali ini!"Emran mendengus geli karena Ralin sudah mengetahui ulahnya. "Kamu emang
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
Begitu bel pintu apartemen berbunyi, Ralin langsung melepas celemek dan membukanya. "Hai, Vid.""Hai." David balas menyapa dengan wajah bingung.Setelah David masuk, Ralin segera menutup pintu lalu menuju dapur kembali. Waktunya menuangkan air panas ke dalam cappucino yang sedang ia buat. David memperhatikan meja makan mini yang sudah tersaji tiga jenis menu makanan yang menggugah selera beserta minumannya. Juga memperhatikan mimik wajah Ralin yang tidak terlihat sendu. Melainkan ada seulas senyum yang tersungging di bibirnya."Selesai. Kamu mau makan sekarang, Vid?"David justru menarik kursi dan menatap Ralin. Ia masih mengenakan kemeja kerja."Tumben kamu belum pulang, Lin? Ini hampir jam tujuh malam.""Kamu nggak suka aku di apartemenmu lebih lama?""Kalau bisa kamu di apartemenku aja setiap hari. Nggak usah pulang ke rumah Pak Lewis."Ralin tertawa lirih mendengar pengakuan David yang mirip sebuah rayuan gombal. "Oke, aku akan pulang sekarang."Ketika Ralin akan menuju sofa, D
"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudian
"Masuk!"Kemudian Ralin menutup pintu ruang kerja dan berjalan mendekat. Lewis, pria itu sedang bersandar di meja kerja dan menatap Ralin tanpa keraguan. Begitu juga dengan Ralin, dia balas menatap Lewis seakan-akan tidak takut. "Kenapa kamu keluar dari kesepakatan?""Kesepakatan yang mana?"Lewis mendengus geli lalu berdiri di depan Ralin dengan wajah serius. Dan Ralin pun membalas tatapan mata tajam Lewis tanpa mundur satu langkah pun. "Jangan jadi kacang yang lupa sama kulitnya, Lin. Aku nyelametin hidupmu setelah diusir dan diperlakukan Emran dengan cara yang nggak baik. Aku kasih kamu tumpangan di rumah ini dan gaji yang lebih dari cukup setiap bulannya karena merawat dan mendidik Levi.""Terima kasih, Den Mas.""Tapi kenapa kamu lalai sama tugasmu? Kenapa kamu biarin Levi berubah nggak terkontrol?! Kenapa kamu biarin Zaylin kelimpungan sendiri ngurus Levi, heh?!"Jadi, Zaylin masih membiarkan Lewis tenggelam dalam kesalahpahamannya. Atau justru dia makin membuat Lewis salah pa
Levi menangis dan memporak-porandakan makanannya di atas meja makan. Dan Zaylin berada di sampingnya berusaha menenangkan namun Levi menolak sentuhan dari ibu kandungnya itu. Ketika Ralin tiba di ruang makan, sorot mata Lewis begitu tajam menatapnya. Pria itu tetap duduk di kursi makan yang biasa ia tempati tanpa berusaha membantu Zaylin menenangkan Levi. "Apa kamu mau tetap diam disitu dan jadi penonton setia?!"Mendengar sindiran Lewis, kemudian Ralin melangkah lebar menghampiri Levi.Bocah itu menangis dengan air mata meleleh di pipi dengan kedua tangan terulur. Ia ingin dipeluk dan didekap Ralin. Tanpa mengucapkan permisi pada Zaylin, tangan Ralin langsung menggapai Levi. Mengangkatnya untuk digendong lalu mengusap rambutnya. "Cup, sayang."Ceceran nasi dan lauk yang ada di atas piring Levi ada di atas meja dan lantai. Bahkan sebagian lagi ada yang mengotori seragam sekolah Levi yang berwarna putih.Entah apa yang terjadi sampai membuat Levi menangis. Lalu mata Ralin menatap me
Ralin beruntung menempati kamar baby sitter yang berada di belakang. Setidaknya, dia tidak bisa mendengar tangis Levi atau melihat gaya mendidik Zaylin yang menurutnya kurang sesuai. "Hah ... dia itu ibunya. Dia paling tahu apa yang terbaik buat Levi. Kenapa aku berani-beraninya menjudge Zaylin nggak becus?!"Untuk mengusir pikiran buruknya pada Zaylin, kemudian Ralin menuju dapur. Tiga asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan sarapan kemudian mengangguk hormat. "Selamat pagi, Den Ayu Ralin."Ralin langsung meletakkan telunjuk di depan mulut lalu mendekati mereka. "Jangan panggil aku Den Ayu. Panggil aja Ralin."Ketiganya saling tatap karena merasa sangat tidak sopan jika memanggil Ralin dengan nama saja. Sedangkan sudah jelas jika dialah Nyonya di rumah ini. "Apa ada yang bisa aku bantu?"Salah satu asisten yang sedang menata lauk kemudian menatap Ralin. "Den Ayu, kami masih memiliki sopan santun untuk tidak memanggil anda dengan begitu tidak sopan.""Panggil saja Bu Ralin. Ka
Cinta itu buta kalau berada pada hati yang salah. Lalu membuat seseorang menjadi terluka. Bukan untuk dihujat atas kesalahannya. Melainkan karena dengan luka itu kemudian seseorang akan berubah menjadi versi terbaik dirinya. "Lin, bisa bicara bentar?" ucap David.Kebetulan Ralin berada di rumah dan beberapa hari ini menyibukkan diri seperti mood yang diinginkan. Lalu David mengajaknya berbicara empat mata di taman rumah megah Lewis. "Masih sibuk baca-baca buku tentang hairdressing?" Tanya David dengan duduk di sebelahnya. "Iya. Kenapa?"David tahu apa saja kesibukan Ralin karena hampir setiap waktu ia tidak pernah melepas komunikasi dengan istri main-main tuannya itu."Nggak apa-apa. Oh ya, Den Levi pulang dari rumah sakit hari ini."Kemudian Ralin menoleh dan menatap David."Oh ... syukurlah dia udah sembuh. Pulang jam berapa?""Siang ini.""Kalau siang ini kenapa kamu nggak barengan sama mereka aja? Kok malah kesini sendirian?"David membalas tatapan Ralin dan berucap ... "Karen