Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.
Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.
Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.
Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.
“Tisyu.”
Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.
“Terima kasih, Pak.”
“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”
Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.
Bayangan Emran telah banyak menghabiskan waktu dengan selingkuhannya, lalu Ralin diusir dengan begitu hina, membuatnya begitu sedih dan menyesal telah memilih Emran.
“Tapi kalau udah takdir harus bercerai, siapapun nggak bisa melawannya, Bu Ralin,” ucap Lewis lagi.
Kemudian Ralin kembali menatap lalu lalang kendaraan dengan tatapan menerawang.
“Kalau tetap bersama tapi cuma bikin terluka, buat apa tetap dipertahankan. Yang ada malah sakit sendiri. Lebih baik berpisah lalu memperbaiki diri dan keadaan. Siapa tahu, esok atau lusa akan ada kebaikan yang siap menanti.”
Setidaknya, Ralin tersemangati setelah mendengar penuturan Lewis. Hal ini sama seperti meminum madu dari gelas pecah, yang artinya sudah tahu itu bisa melukai tapi tetap saja saja dijalani.
“Saya … benar-benar mencintai suami saya, Pak Lewis.”
“Bu Ralin hanya butuh waktu untuk terbiasa tanpa Emran.”
“Maaf, Pak Lewis, saya merasa berat untuk belajar terbiasa tanpa Emran.”
“Cinta boleh, bodoh jangan. Kalau nanti Bu Ralin ketemu seseorang yang tepat, pasti mudah untuk melupakan Emran.”
Lima menit kemudian, mereka tiba di lobby hotel berbintang. Sopir dan asisten Lewis segera mengeluarkan tas dan koper Ralin dari bagasi. Kemudian memanggil petugas hotel untuk membawanya ke kamar Ralin.
“Terima kasih banyak untuk bantuannya, Pak Lewis. Saya berhutang banyak ke anda.”
Kepala Lewis menggeleng pelan.
“Bu Ralin tidak berhutang apapun. Saya yang berhutang banyak karena Bu Ralin sudah menyelamatkan Levi. Harta terbesar dalam hidup saya.”
“Tidak, Pak. Bagaimanapun saya tetap berhutang budi ke Bapak.”
“Saya permisi.”
Ralin tidak mengerti kebaikan apa yang sudah dia lakukan hingga bertemu dengan pria baik hati seperti Lewis. Tanpa bantuan darinya, mungkin malam ini Ralin masih kebingungan akan bermalam dimana.
Setelah Lewis berlalu dari hadapannya, Ralin segera menuju kamar hotel yang akan ia tempati. Petugas hotel telah meletakkan tas dan kopernya di depan pintu kamar 315.
Kamar dengan single bed queen size itu jauh lebih bagus ketimbang kamarnya di rumah yang ditempati dengan Emran. Kemudian ia segera memasukkan semua pakaiannya ke dalam lemari dengan hati pilu.
Apalagi ketika menata pakaiannya yang kotor terkena tanah karena dilemparkan sembarangan oleh Fayza.
Lalu sebuah notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya.
[Dari Emran : Udah sampai hotel sama selingkuhanmu itu, heh?! Dibayar berapa kamu?!]
Luka di hatinya masih basah, namun Emran kembali menancapkan anak panah.
[Dari Emran : Siap-siap aja kamu, Lin! Kamu main licik, aku juga bisa! Jangan harap kamu dapat hartaku sepeserpun!]
Setelah membaca pesan itu, Ralin makin sedih meratapi nasib hidupnya. Emran benar-benar tidak mengasihaninya sedikit pun.
Apa yang harus Ralin lakukan sekarang?
Dia tidak memiliki banyak uang di dalam dompet karena semua tabungan dibawa Emran. Dan pengusirannya sangat lah mendadak. Ralin tidak memiliki persiapan apapun.
Bagaimana dia menyewa seorang pengacara jika tidak memiliki uang?
Pada siapa dia akan meminta bantuan?
Apakah lebih baik dia mengikhlaskan dirinya diceraikan tanpa mendapatkan apapun?
--------------
Setelah melahap sarapan yang disiapkan pihak hotel, Ralin segera berganti seragam mengajar.
Matanya terlihat sembab karena semalam terlalu banyak menangis.
Dadanya juga terasa sesak karena tidak ada satu pun keluarga yang bisa dia ajak untuk bertukar pikiran. Memikirkan permasalahan rumah tangganya dengan Emran yang menemui jalan buntu justru membuat stress.
Setelah membayar ongkos ojek online, Ralin melangkah menuju sekolah khusus ternama tempatnya mengajar anak-anak spesial. Tidak lupa ia mengenakan kacamata untuk menyembunyikan sembab di mata.
“Tumben kemarin izin mendadak, Lin? Habis dari mana?” Tanya Dira, teman dan rekan sesama guru di sekolah.
Ralin hanya tersenyum tipis, “Kemarin agak nggak enak badan aja.”
“Tapi kata kepala sekolah, kamu minta nomer wali muridnya Levi ya? Emang dia kenapa kok bisa sama kamu?”
Otak Ralin berpikir sejenak untuk menyiapkan jawaban yang tepat.
“Eh … kemarin aku nggak sengaja ketemu Levi lagi jalan sendirian aja. Bukan kenapa-kenapa.”
“Hah? Jalan sendirian? Terus baby sitternya kemana?”
“Aku juga nggak ngerti, Dir.”
Dira kemudian melipat kedua tangan di depan dada.
“Levi emang terlalu aktif dan nggak bisa banget dikontrol, Lin. Baby sitternya capek kali lalu Levi lepas pengawasan.”
Batin Ralin, ucapan Dira terlalu berlebihan. Karena Levi tidak mungkin aktif setiap jam tanpa kenal lelah.
“Padahal dia tuh dijaga dua baby sitter loh. Sopir siap antar jemput. Anaknya orang tajir melintir. Apa orang tuanya nggak terlalu ngurus Levi ya? Kan harusnya dibawa ke dokter spesialis biar dapat penanganan. Biar lebih tenang si Levi itu.”
Ini masih pagi, namun Dira sudah mengajak Ralin membicarakan keburukan keluarga Levi.
“Aku kalau kebagian jagain kelompok belajar yang ada Levi tuh aduuuh … udah pusing duluan, Lin.”
Tanpa mempedulikan ocehan Dira di pagi hari, Ralin segera berlalu dari sana. Karena sekarang adalah jadwalnya berdiri di gerbang sekolah bersama satu guru lainnya untuk menyambut kedatangan anak-anak hebat itu.
Menurutnya, Lewis tidaklah seperti yang Dira katakan. Ralin tahu jika pria itu begitu menyayangi Levi di tengah kesibukannya.
Hanya saja, Ralin memang tidak melihat kehadiran ibu Levi sama sekali.
Dan juga, Ralin tidak mau membahas keburukan Lewis setelah kebaikan yang pria itu berikan. Sudah seharusnya Ralin tidak menggunjing keburukan Lewis karena tidak ada manusia sempurna di muka bumi ini.
Satu demi satu murid spesial itu berdatangan dan Ralin menyambutnya dengan suka cita. Menepikan masalahnya sendiri yang sebenarnya sangat menyita konsentrasi dan hatinya.
Tapi dia tidak mungkin menunjukkan kesedihan itu di hadapan anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Dan Ralin harus professional karena setelah diusir Emran, dia hanya memiliki pekerjaan sebagai guru untuk bertahan hidup.
Tepat ketika mobil mewah Levi tiba, bocah kecil itu langsung melepaskan diri dari baby sitter yang memegangi tangannya.
“Den Levi! Jangan lari!”
Levi berlari secepat yang dia bisa menuju halaman kelas lalu Ralin berjongkok untuk menahannya. Dengan senyum mengembang, dia mengangkat kedua tangannya sejajar dengan Levi.
“Tos dulu, Levi.”
Bocah itu menuruti perintahnya lalu Ralin mengangguk sopan pada baby sitter Levi jika semuanya sudah terkontrol dan menggandengnya masuk sekolah.
“Jangan lari ya, Levi. Biar nggak jatuh.”
Levi tidak menjawab dan hanya menurut ketika Ralin membawanya menuju kelas.
Lima jam lamanya Ralin menunaikan tugasnya sebagai seorang guru dari anak-anak berkebutuhan khusus ini.
Selama proses belajar mengajar, Ralin sengaja lebih memperhatikan Levi karena kebaikan Lewis padanya. Mulai dari Levi masuk kelas, mengajarinya melahap bekal dengan benar, hingga pelajaran usai. Hanya ini cara yang bisa Ralin lakukan untuk membalas budi baik Lewis.
Setelah bel pulang sekolah berbunyi dan memastikan semua anak-anak telah dijemput keluarganya, kepala sekolah mendadak meminta Ralin datang ke ruangannya.
Tanpa memiliki firasat buruk apapun, Ralin menuju ke ruangan kepala sekolah. Rencananya, setelah ini dia akan mencari kos yang murah karena Lewis hanya menyewakan kamar hotel untuk Ralin selama satu minggu saja.
“Ada apa Bu Karina memanggil saya?” Tanya Ralin.
Kepala sekolah itu kemudian menunjukkan beberapa lembar foto pada Ralin.
“Apa benar orang yang ada di foto itu Bu Ralin?”
Kedua mata Ralin memindai beberapa foto itu dengan seksama dengan alis bertaut.
“Siapa yang mengirim foto tidak benar ini, Bu Karina?”
“Saya nggak tahu karena nggak ada nama pengirimnya. Cuma, tadi ada selembar pesan dari pengirimnya, kalau Bu Ralin nggak keluar dari sekolah ini, dia akan menyebarkan foto-foto Bu Ralin ke media sosial untuk menghancurkan reputasi sekolah ini.”
selamat datang di novel terbaru author. Enjoy reading :-)
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
"Maaf, Bu Ralin, ini saya, baby sitternya Den Levi."Mendengar nama Levi, kesedihan Ralin berubah menjadi penasaran."Ya? Kenapa?""Maaf, Bu, Den Levi tidak mau makan dan mengacaukan isi rumah. Dari tadi Den Levi terus bilang bu guru bu guru terus. Saya tidak tahu harus minta tolong siapa kalau bukan Bu Ralin."Kemudian Ralin teringat akan janjinya tadi siang sebelum Levi pulang sekolah. Ralin berjanji akan datang ke rumahnya dan tidak menyangka jika bocah laki-laki itu menanti kedatangannya.Karena Ralin tidak kunjung datang lalu Levi melampiaskannya dengan mengacaukan rumah. Bayangan Lewis yang lelah sepulang bekerja lalu melihat rumah berantakan dan memarahi Levi membuatnya tidak tega. "Saya mohon, Bu Ralin. Tolong bantu saya menenangkan Den Levi."Lalu terdengar seperti sebuah benda dari kaca terjatuh.Pyar!"Astaga, Den Levi!" Teriak baby sitternya.Lalu baby siter Levi pergi dan membiarkan telfon tersambung. Entah apa yang terjadi karena samar-samar Ralin bisa mendengar kekacau
“Program hamil habis puluhan juta tapi tetap nggak bisa hamil! Buang-buang uang! Lebih baik kamu pergi dari rumahku, Ralin. Aku nggak butuh istri mandul!” Ralin menggeleng dengan berurai air mata agar Emran iba sambil memegang tangan suaminya itu.“Em, aku nggak mandul. Kata dokter aku baik-baik –”Emran kemudian menyentak tangan Ralin kasar.“Halah! Kalau kamu nggak kunjung hamil, lalu apa namanya kalau bukan mandul, heh?!” Emran kembali membentak. Kemudian Ralin memohon dengan mengatupkan kedua tangan. “Em, tolong jangan begini,” pintanya dengan nada yang halus. “Aku bisa hamil. Tapi butuh waktu. Dokter juga bilang gitu. Tolong sabar dan tinggalin perempuan itu.”Emran kemudian maju dua langkah dengan kedua matanya menatap tajam dan tangannya langsung mencengkeram rahang Ralin. “Dia punya nama! Namanya Fayza! Dan dia jauh lebih baik dibanding kamu, Ralin! Camkan itu!”Ralin berusaha melepaskan cengkeraman Emran, tapi gagal.Rahangnya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit k
“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.“Tunggu!” Ralin berseru.Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.“Aku gurunya. Ini muridku.”Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- ““Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian,
Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.“Baiklah.”“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.“Biar koper Bu Ralin
Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin."Maaf? Diusir?"Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. "Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. "Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.""Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak
Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin. Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan. "Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis."Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda.""Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri. Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi. Jam hampir
"Maaf, Bu Ralin, ini saya, baby sitternya Den Levi."Mendengar nama Levi, kesedihan Ralin berubah menjadi penasaran."Ya? Kenapa?""Maaf, Bu, Den Levi tidak mau makan dan mengacaukan isi rumah. Dari tadi Den Levi terus bilang bu guru bu guru terus. Saya tidak tahu harus minta tolong siapa kalau bukan Bu Ralin."Kemudian Ralin teringat akan janjinya tadi siang sebelum Levi pulang sekolah. Ralin berjanji akan datang ke rumahnya dan tidak menyangka jika bocah laki-laki itu menanti kedatangannya.Karena Ralin tidak kunjung datang lalu Levi melampiaskannya dengan mengacaukan rumah. Bayangan Lewis yang lelah sepulang bekerja lalu melihat rumah berantakan dan memarahi Levi membuatnya tidak tega. "Saya mohon, Bu Ralin. Tolong bantu saya menenangkan Den Levi."Lalu terdengar seperti sebuah benda dari kaca terjatuh.Pyar!"Astaga, Den Levi!" Teriak baby sitternya.Lalu baby siter Levi pergi dan membiarkan telfon tersambung. Entah apa yang terjadi karena samar-samar Ralin bisa mendengar kekacau
Bukan maksud hati Ralin untuk memanfaatkan situasi. Bukan karena Ralin bisa mengatasi kondisi Levi lalu menggunakannya untuk memperalat Lewis.Bukan!Melankan Ralin bisa menebak dengan pasti bahwa Lewis bukanlah orang sembarangan dan ia memiliki kekuasaan berlimpah. Ralin membutuhkan kekuasaan yang dimiliki pria itu untuk membantunya. Hanya untuk kali ini saja!"Pak Lewis?""Ya?""Tanpa mengurangi rasa hormat saya pada anda, bolehkah saya menolak hadiah yang Bapak berikan?"Lewis mengerutkan kedua alisnya menatap Ralin yang masih setia memangku Levi dan mengusap sayang rambut serta punggung putranya itu."Apa hadiah ini kurang bagus?"Kepala Ralin menggeleng dengan ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. Dia benar-benar bingung dan sedang tidak dalam suasana hati yang baik."Tanpa bermaksud buruk atau memanfaatkan keadaan, saya benar-benar membutuhkan bantuan Pak Lewis untuk membantu saya keluar dari masalah baru yang mengancam karir saya.""Mengancam karir? Apa maksudnya, Bu Ralin?"
"Tapi saya bisa jamin kalau itu bukan saya, Bu Karin. Foto ini editan." Ralin membela diri."Saya nggak tahu harus percaya siapa, Bu Ralin. Tapi kalau ini sudah menyangkut nama baik sekolah, saya juga tidak bisa tinggal diam. Reputasi sekolah yang akan jadi taruhan.""Ya Tuhan, siapa yang tega melakukan ini?"Ralin tidak ingin dikeluarkan dari sekolah karena hanya ini satu-satunya tempatnya mencari nafkah. Jika dia harus kehilangan pekerjaan, bagaimana bisa melanjutkan hidup?"Bu Karin, tolong beri saya waktu untuk mencari tahu siapa yang tega melakukan ini. Tolong jangan pecat saya. Hanya ini pekerjaan yang saya miliki." Ralin memohon. Dengan berat hati akhirnya kepala sekolah memberi Ralin kompensasi waktu untuk mencari tahu kebenaran foto itu. "Saya kasih kelonggaran waktu tiga hari saja, Bu Ralin. Karena saya khawatir nanti si pengirim foto akan melakukan aksi nekat mengunggah foto-foto ini di media sosial lalu membuat reputasi sekolah hancur."Tiga hari bukanlah waktu yang lama.
Ralin menatap keluar jendela mobil dengan hati hancur berkeping-keping. Bahwa Emran sama sekali tidak menyesal sama sekali telah mengkhianatinya.Empat tahun Ralin berpacaran dengan Emran semasa masih kuliah lalu mereka nekat membina rumah tangga. Susah senang banyak mereka lalui tapi pada titik ini, Emran memilih melepaskan Ralin demi wanita lain yang digadang-gadang bisa memberinya kebahagiaan dan keturunan.Ralin tidak habis pikir, mengapa Emran tidak mau bersabar dulu padahal usia Ralin masih muda. Masih memiliki banyak peluang untuk bisa hamil ketimbang Fayza yang sudah berusia empat puluh lima tahun.Air mata Ralin membasahi pipi dengan mulut terkatup rapat. Dia tidak ingin isak tangisnya didengar oleh Lewis.“Tisyu.”Lewis mengulurkan tisyu lalu Ralin menerimanya.“Terima kasih, Pak.”“Semua yang menikah dengan landasan cinta, pasti nggak mau bercerai gara-gara ada pihak ketiga, Bu Ralin.”Ralin melirik Lewis sembari mengusap air matanya yang terus meleleh.Bayangan Emran telah
Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin. Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan. "Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis."Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda.""Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri. Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi. Jam hampir
Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin."Maaf? Diusir?"Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. "Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. "Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.""Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak
Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.“Baiklah.”“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.“Biar koper Bu Ralin
“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.“Tunggu!” Ralin berseru.Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.“Aku gurunya. Ini muridku.”Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- ““Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian,
“Program hamil habis puluhan juta tapi tetap nggak bisa hamil! Buang-buang uang! Lebih baik kamu pergi dari rumahku, Ralin. Aku nggak butuh istri mandul!” Ralin menggeleng dengan berurai air mata agar Emran iba sambil memegang tangan suaminya itu.“Em, aku nggak mandul. Kata dokter aku baik-baik –”Emran kemudian menyentak tangan Ralin kasar.“Halah! Kalau kamu nggak kunjung hamil, lalu apa namanya kalau bukan mandul, heh?!” Emran kembali membentak. Kemudian Ralin memohon dengan mengatupkan kedua tangan. “Em, tolong jangan begini,” pintanya dengan nada yang halus. “Aku bisa hamil. Tapi butuh waktu. Dokter juga bilang gitu. Tolong sabar dan tinggalin perempuan itu.”Emran kemudian maju dua langkah dengan kedua matanya menatap tajam dan tangannya langsung mencengkeram rahang Ralin. “Dia punya nama! Namanya Fayza! Dan dia jauh lebih baik dibanding kamu, Ralin! Camkan itu!”Ralin berusaha melepaskan cengkeraman Emran, tapi gagal.Rahangnya terasa sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit k