:-0
"Ah ... Em ... lebih cepat.""Iya, sayang ... ah ... kamu benar-benar nikmat."Seketika Ralin langsung membeku mendengar suara dua insan yang sedang memadu kasih di atas ranjang. Ralin yakin sekali jika itu suara Emran dan Fayza.Mereka sudah sah menjadi suami istri. Tapi mengapa Emran justru menghubungi Ralin saat mereka sedang menghabiskan waktu terintim?Apakah Emran ingin memamerkan kebahagiaannya bersama Fayza?Ingin membuat Ralin makin terpuruk dalam kesedihan?Tangan Ralin sedikit bergetar begitu mendengar lenguhan dan desahan mereka berdua selanjutnya. Suara-suara kenikmatan duniawi yang pernah Ralin rasakan saat masih harmonis dengan Emran.Lalu pandangannya tetiba seperti tidak bisa fokus dengan kepala terasa pening. Beruntung Levi kemudian datang dan menarik tangan Ralin lalu menunjukkan karyanya menata daun-daun secara melingkar lalu ditengahnya diberi sekuntum bunga. Melihat karya sederhana Levi yang patut di apresiasi, Ralin langsung mematikan sambungan telfon dan mema
Mana mungkin Ralin menuju ke sekolah selanjutnya untuk melamar pekerjaan? Sedangkan surat lamarannya telah kotor terkena cipratan genangan air. Belum lagi pakaiannya yang terkena noda. Mobil yang Ralin ikuti benar-benar mobil Emran lalu berbelok ke sebuah rumah makan untuk makan siang. Baru saja Emran dan Fayza keluar dari mobil, Ralin langsung datang dan memberinya pelajaran. Plak!Fayza terkejut sampai menutup mulut yang membola dengan telapak tangan. Sedang Emran langsung melirik tajam mantan istrinya itu. "Nggak usah berlagak seolah-olah kamu nggak ngerti apa salahmu padahal kamu tahu apa salahmu!!" ucap Ralin tegas. Emran akan membalas namun Ralin mundur beberapa langkah. "Aku udah banyak bersabar, Em! Aku relain kamu demi wanita murahan itu." Telunjuk Ralin mengarah ke arah Fayza, "Aku rela jadi janda. Bahkan aku rela kehilangan pekerjaan gara-gara ancamanmu ke pihak sekolah! Tapi nggak sama kali ini!"Emran mendengus geli karena Ralin sudah mengetahui ulahnya. "Kamu emang
Andai saja Ralin tidak memangku Levi, dia pasti akan mencakar muka kedua baby sitter Levi yang berani menuduhnya sembarangan.Bagaimana mungkin dia berubah menjadi wanita genit dengan menghalalkan segala cara? "Bisa kalian jaga ucapan? Levi bisa mendengarnya.""Kalau pun Den Levi dengar, dia nggak akan bisa apa-apa kecuali jalan kesana kemari.""Kalian memang bukan baby sitter yang baik.""Nggak usah mengalihkan pembicaraan, Bu Ralin. Sekarang mending Bu Ralin ngaku aja. Sebenarnya Bu Ralin ngasih Den Levi pelet, kan?! Lalu baik-baikin Den Levi di depan Pak Lewis, biar Bu Ralin bisa menggeser posisi kami lalu mulai mendekati Pak Lewis, kan?!"Tadi siang, Ralin baru saja menampar dan berseteru dengan Emran, tapi sekarang dia sudah dihadapkan pada masalah baru. Hidupnya benar-benar tidak tenang!"Asal Bu Ralin tahu, ya?! Pak Lewis itu nggak level sama wanita modelan kayak Bu Ralin! Idamannya tuh high level! Bukan yang receh kayak Bu Ralin!"Lalu baby sitter satunya ikut mengkonfrontasi
“Mbak Ralin!”Tok! Tok! Tok!Ralin terbangun dari tidur lelapnya ketika mendengar pintu kamarnya diketuk berulang kali dengan tidak sabaran.Dengan kepala berat karena kurang tidur dan mata bengkak akibat terlalu banyak menangis, ia berdiri sedikit sempoyongan membuka pintu.Oh … ternyata ibu kos.“Ya, Bu Rahma. Ada apa?”“Begini, Mbak Ralin. Keponakan saya yang dari kampung mendadak nelfon, ternyata mau tinggal disini. Nah, kamar ini tuh kamar yang mau dia tempati.”Kantuk yang tadi masih menggelayut di kedua mata Ralin pun langsung pergi seketika.Bukankah ucapan ibu kos itu secara tidak langsung menyuruhnya untuk pergi?“Maaf, Bu. Kan saya udah bayar sewanya.”Lalu ibu kos itu mengeluarkan amplop warna putih dari saku.“Ini uangnya saya balikin full. Maaf ya, Mbak Ralin. Soalnya keponakan saya mendadak mau tinggal disini. Anak jaman sekarang emang suka bikin orang tua bingung sama kemauannya.”Karena Ralin tidak kunjung menerima amplop itu, ibu kos segera meraih tangannya.“Kalau bi
"Jawab!"Karena pengendara motor makin banyak yang berhenti, akhirnya lelaki msiterius itu merasa terpojok. "Kamu suruhannya Pak Lewis, kan?!""Bukan. Anda salah orang."Ralin menggeleng tidak percaya sambil menatap lelaki itu. Lalu seorang paruh baya bertanya."Memangnya Mbak dikuntit sama laki-laki ini?""Iya, Pak. Saya yakin kalau dia nguntit saya.""Wah, bahaya itu."Lalu mereka menatap lelaki misterius itu dengan sorot waspada. "Mbak mending pergi aja. Biar kita yang urus! Laki-laki ini emang perlu dilaporin ke polisi. Meresahkan dan bikin khawatir perempuan!" Lelaki itu berusaha mengelak ketika akan diarak menuju kantor polisi. Kemudian dia berkata ..."Saya akan bilang ada apa. Tapi tolong jangan biarkan mereka membawa saya ke kantor polisi, Bu Ralin."Mendengar ia menyebut nama Ralin dengan panggilan formal, padahal keduanya belum sempat berkenalan, Ralin makin yakin jika lelaki ini mengenalnya. Kemudian Ralin meminta pada orang-orang untuk melepaskannya. Mereka berpesan ag
"Mbak Ralin, kalau ada masalah, jangan sampai mengurung diri kayak gini," ucap salah satu tetangga kamar kos Ralin. Curiga karena kamar Ralin tertutup sepanjang hari, akhirnya mereka nekat membuka paksa pintu kamarnya. Dan mereka menemukan Ralin dalam keadaan lemah sambil meringkuk di atas lantai. Beruntung Ralin masih dalam kondisi sadar. Lalu mereka memberi Ralin makan dan minum. "Nggak baik menghukum diri sendiri kayak gini, Mbak.""Semua masalah bisa diatasi, Mbak. Jangan patah semangat."Dan banyak lagi nasehat yang Ralin terima. Hanya saja, dia tetap tidak membuka suara perihal masalah yang dihadapi. Percuma jika ia mengatakan apa yang menjadi masalahnya. Karena mereka yang hadir disekitarnya tidak ada yang bisa membantu Ralin melawan Lewis yang memiliki kuasa dan harta. Keesokan harinya, Ralin hanya berdiam diri di kamar tanpa mempersiapkan diri untuk mengisi jadwal terapi. Pikirnya, mata-mata Lewis pasti sudah menghabisi karirnya di klinik tumbuh kembang tersebut. Ia hany
Ralin langsung berdiri dari duduk dengan sedikit tergesa-gesa lalu membungkuk hormat. Wajahnya kentara sekali jika menyiratkan rasa takut dan gugup. Sedang kedua matanya tidak berani sedikit pun menatap sang pewaris.Raden Mas Satria Lewis Hartadi. Pria itu berdiri dengan begitu gagah. Masih mengenakan setelan kerja dan sepatu hitam yang mengkilap. Dan David yang selalu berada di belakangnya. "Selamat sore, Pak Lewis," ucap Ralin pelan dengan kepala menunduk. "Silahkan duduk kembali, Bu Ralin."Ralin baru kembali duduk ketika Lewis telah mendudukkan dirinya lebih dulu. Sedang David tetap berdiri di belakang Lewis. Kedua mata Ralin justru lebih nyaman menatap lantai restaurant ketimbang memandang Lewis. "Apa sudah lama menunggu, Bu Ralin?" Tanya Lewis dengan suara tenang. Sama sekali tidak ada intonasi emosi atau amarah yang terpendam. Namun tetap saja Ralin merasa takut. Hal apa lagi yang akan Lewis lakukan pada hidupnya?Kepala Ralin mengangguk sekilas, "Tidak, Pak."Ralin benar
[Pesan dari Emran : Hei, jalang! Apa kamu bisa datang ke rumah? Aku butuh pelampiasan nafsu! Berapa untuk satu jamnya?! Kebetulan istriku sedang nggak bisa dipakai!]Ini masih pagi tapi Emran sudah menggoreskan luka di hati Ralin. Kesalahpahaman mantan suami Ralin hanya karena Lewis membantunya kala itu, ternyata masih berlanjut hingga sekarang. Emran menuduh Ralin adalah wanita simpanan lelaki berharta semasa menjadi istrinya. Padahal itu semua tidak benar!Ralin memilih menghapus pesan itu dan tidak menghiraukannya. Meladeni Emran itu sama seperti menggarami air laut. Toh dia sudah merelakan mantan suaminya itu bersatu dengan selingkuhannya.Hari ini, usai memberi sesi terapi, Ralin kemudian merancang rencana akan pergi ke salah satu kota yang nyaman. Dia akan menggunakan kemampuannya mendidik anak-anak spesial untuk mencari nafkah.Tapi itu masih nanti. Setelah Ralin menerima gaji pertamanya. Keluarga di kampung merasa sangat kecewa dengan keputusan Ralin menikah dengan Emran beb
Seperti biasanya, Lewis berangkat sangat pagi sekali.Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Kalaupun ada meeting, dia hanya akan berangkat sangat pagi sesekali saja. Bukan berurutan terus menerus seperti ini. Lalu ia mengirim pesan untuk membawakan Levi baju ganti dan akan menjemputnya usai sekolah. Perilaku Levi tetap sama seperti hari kemarin.Berlarian kesana kemari dengan membawa sesuatu di tangannya tanpa kenal lelah. Menggumam tanpa arti bahkan sulit tidur jika tidak diberi obat. Jika Ralin berusaha memperbaiki keadaan Levi tapi tidak dengan Lewis yang membebaskan segalanya, ia bisa apa?Lewis juga sulit sekali ketika Ralin hendak mengajaknya berbicara tentang Levi. Hingga tiba pada satu malam, Levi pulang bersama Lewis. Bocah itu terlihat tidak bersemangat dan tidak aktif. Ketika Ralin akan mengajarinya kembali melahap menu sehat, bocah itu tertidur di lantai dengan mata sayu. Saat tangannnya meraih Levi, ada sesuatu yang tidak beres."Lev, kamu demam?"Tanganny
"Nyonya, tolong. Lebih baik anda pulang dulu. Nanti setelah Pak Lewis sudah di rumah, anda bisa membicarakan hal ini dengan beliau.""Den Mas selalu pulang malam, Vid. Aku mau bicara dia udah ngantuk.""Saya akan memberitahu beliau tentang hal ini, Nyonya. Agar nanti malam beliau bisa meluangkan waktunya untuk berbicara dengan Nyonya."David tetap pada posisinya dengan menghalangi jalan Ralin. Kemudian Ralin menatap kembali kaca mobil Lewis yang benar-benar gelap. Hingga ia tidak bisa melihat secuil pun keberadaannya di dalam mobil. "Kalau aku nggak kamu bolehin nemui Den Mas, tolong suruh Den Mas keluar dari mobilnya biar kami bisa bicara." Ralin berusaha bernegosiasi karena tidak tenang melihat perilaku Levi yang terlalu aktif. "Baik, akan saya sampaikan. Tolong Nyonya tetap disini.""Oke."Tetap disini?Sebegitu privasinya hingga Ralin tidak diizinkan menemui Lewis.David berbalik menuju pintu mobil yang berada di sisi kanan. Ketika jendela pintu itu dibuka, Ralin yang berada d
"Den Mas nggak bilang apa-apa, Bu Tatik.""Den Mas berangkat pagi sekali karena ada urusan kantor. Mungkin belum bilang Den Ayu karena masih tidur."Kepala Ralin mengangguk. "Den Ayu?""Ya?""Maaf kalau saya lancang.""Kenapa, Bu Tatik?""Kenapa Den Mas kembali tidur di kamarnya sendiri? Bukannya kemarin anda berdua sudah berbaikan?"Ralin tidak menyangka jika Bu Tatik selalu memperhatikan apa yang terjadi diantara dia dan Lewis. Kemudian Ralin tersenyum dan berkata ... "Kalau tengah malam aku pergi ke kamarnya Den Mas, Bu Tatik. Pagi-pagi udah balik ke kamarku sendiri. Bu Tatik nggak usah khawatir sama hubungan kami." Bohongnya.Bu Tatik mengangguk paham. "Syukurlah kalau Den mas dan Den Ayu tidak ada masalah. Saya cuma berharap pernikahan kedua Den Mas kali ini menjadi yang terakhir. Karena tidak semua wanita yang ada di samping Den Mas bisa menjaga dan merawat Den Levi. Kasihan kalau Den Levi jatuh di tangan yang salah, Den Ayu.""Jadi Bu Tatik nganggapnya aku ini ibu yang baik
"Vid?" Ralin kembali memanggil.Karena David hanya diam. "Siapa perempuan yang bersama kalian tempo hari?"David kemudian menatap Ralin dan berkata ... "Sepupu Pak Lewis, Nyonya.""Sepupu?" Tanya Ralin memastikan."Iya. Sepupu beliau."Kemudian Ralin berpikir sejenak. "Kalau cuma sepupu kenapa sikap Den Mas manis banget?" Tanyanya dengan begitu polos.Alhasil, David menatap Ralin sekian detik kemudian melontarkan pertanyaan. "Maaf, apa Nyonya cemburu?"Detik itu juga Ralin menyadari kesalahannya karena bertanya terlalu detail. Hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan Ralin. Namun, cemburu telah menggiring logikanya ke arah yang salah. Dan David bisa membaca perasaan Ralin.Jika David bisa membaca isi hati Ralin, ini tidak boleh diteruskan!Di dalam hatinya, Ralin harus segera menutupi kesalahannya atau dia sendiri yang akan malu. Ralin bisa ditertawakan oleh nyamuk sekaligus karena terlalu berani mencintai pewaris seperti Lewis. Sedang dirinya hanyalah wanita biasa yang memiliki
Saat lampu telah berubah hijau, mau tidak mau sopir menekan pedal gas. Meninggalkan pemandangan yang membuatku bertanya-tanya. 'Den Mas, kamu sama siapa?' Batin Ralin. Mata Ralin tidak lagi bisa menjangkau apa yang terjadi selanjutnya. Perasaan bahagia yang tadi baru bermunculan, kini mendadak dipenuhi kesedihan. Apalagi jika bukan karena ia merasa cemburu?!Mana mungkin seorang lelaki mengulurkan tangannya pada wanita dengan penampilan all out seperti tadi jika bukan karena ada perasaan tertentu?!Kepala Ralin lantas menggeleng dan kembali mengeyahkan perasaan yang jelas-jelas salah ini. Bahwa ia tidak boleh terus menerus membiarkan rasa cinta ini tumbuh lalu tidak bisa melepaskannya. Setibanya di rumah, Ralin melahap bubur kacang hijau itu bersama Levi. Kemudian menunggu Levi selesai mandi sendiri. Buah dari kejadian saat ia belum bisa berjalan. Ralin terus menyibukkan diri bersama Levi untuk mengenyahkan bayangan tadi siang. Pertanyaan tentang siapa wanita yang bersamanya tad
"Apa Den Mas marah gara-gara kamu punya inisiatif beliin aku ponsel?"Kepala David menggeleng."Saya rasa tidak, Nyonya.""Dia nggak bilang apapun?""Tidak.""Dia masih ngajak kamu bicara kayak biasanya?""Iya. Ada apa, Nyonya?"Ralin menghela nafas sambil menatap beberapa orang yang lalu lalang di dalam rumah sakit ini. "Aku takut Den Mas punya pikiran kita lagi mengkhianati dia, Vid." Kemudian Ralin menatap David kembali, "Lagian, kenapa kamu jujur banget kalau punya ide beliin aku ponsel?""Saya lebih suka terbuka dan apa adanya pada Pak Lewis, Nyonya."Ralin berdecak kesal. "Kalau Den Mas mikir yang nggak-nggak, gimana?""Beliau pasti akan menegur bila saya melakukan kesalahan."Jika David saja bisa bersikap santai dan biasa saja, mengapa Ralin harus terlihat takut setengah mati?Kentara sekali jika Ralin sedang berusaha menjaga perasaan Lewis. Sedangkan dia tidak membutuhkan hal itu karena memang tidak mencintai Ralin. ****Siang ini Ralin akan menjalani terapi terakhir. Ia s
Kepala Ralin reflek menggeleng. "Bukan gitu, Den Mas.""Kalau memang begitu, biar aku panggilin David."Ralin kembali menggeleng. "Aku cuma nggak mau kelihatan kayak perempuan nggak tahu diri aja, Den Mas. Kamu itu pewaris. Mana etis gendong perempuan kayak aku.""Stop! Intinya pagi ini, kamu mau sarapan sama aku apa nggak?"Tentu saja Ralin ingin. Hanya saja dia tidak sampai hati mengatakannya. Belum sempat Ralin menjawab, Lewis kemudian memindahkan alat bantu jalan itu dan langsung menggendongnya begitu saja. Ralin reflek langsung melingkarkan tangannya di belakang leher Lewis. Untuk beberapa detik, Ralin dan Lewis saling tatap. Dan itu membuat seluruh darah Ralin terasa sangat dingin. Dengan jarak sedekat ini, Ralin berharap detak jantungnya yang menggila, tidak terdengar oleh Lewis. "Levi, ayo makan di ruang makan." Lewis berucap pada putranya. Levi mengangguk lalu berjalan bersama Lewis menuju ruang makan dengan menggendong Ralin. Dan pemandangan itu terlihat oleh Bu Tati
Dengan berbaring miring sambil memeluk Levi, Lewis menatap Ralin dan melanjutkan ucapannya. "Waktu kamu bilang mau mundur dari pernikahan ini, mau menyudahi pernikahan ini, aku kayak ditampar kenyataan, Lin. Kalau kamu sesakit ini juga karena perbuatan Emran.""Meski kamu sakit pun, kamu masih merhatiin Levi. Masih ngurusin Levi sama keterbatasanmu.""Padahal dalam perjanjian pra nikah, nggak ada pasal yang ngatur ketika kamu sakit harus terus merawat dan menjaga Levi. Tapi apa yang kamu lakukan, melebihi perjanjian pra nikah yang aku buat."Lalu Lewis mengusap rambut Levi yang sudah terlelap dan mencium kening putra semata wayangnya itu. Itu semua tak lepas dari pandangan Ralin."Kamu ngasih dia cinta dan sayang jauh lebih besar ketimbang aku sebagai Ayahnya. Bahkan sekedar tidur pun, dia nggak mau kalau nggak sama kamu. Aku kalah telak dari kamu, Lin.""Dan ucapanmu tadi pagi bikin aku sadar diri, Lin. Kalau kamu juga menderita karena Emran dan Levi bakal jauh lebih kehilangan kala
Ralin kemudian menunduk dan David segera berdiri lalu sedikit membungkuk hormat. "Selamat pagi, Pak."Lewis ternyata sudah berdiri di depan pintu entah sejak kapan. Apakah dia sempat melihat David mengajari Ralin berjalan menggunakan alat bantu jalan itu atau tidak?Kemudian Lewis masuk ke dalam kamar Ralin dengan penampilan tidak jauh berbeda dari David. Sudah sangat tampan dan rapi karena hendak menuju pabrik.Ia memperhatikan Ralin dan alat bantu jalan yang digunakan. "Kamu yang membelikannya, Vid?""Iya, Pak." Jawab David tanpa keraguan.Jiwa lelaki sejatinya tidak perlu diragukan. "Karena Nyonya membutuhkan alat itu."Lewis tidak bertanya lagi kemudian menghampiri Levi. "Ayo kita sarapan, Lev?"Levi kemudian menggeleng. "Makan. Ibu."Ralin paham jika yang Levi maksud adalah ingin sarapan bersama Ralin. "Kamu bisa jalan ke meja makan, Lin?""Akan aku coba, Den Mas."Jangankan ke meja makan, menuju kamar mandi saja Ralin membutuhkan bantuan. Namun, bagaimana dia menolak permi