:-0 1484 kata, banyak ya?
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
“Baik burukmu, kurang lebihmu, aku bisa terima. Aku selalu dukung kamu bahkan waktu kamu belum punya apa-apa sampai kamu semapan sekarang, Em.”Hari masih pagi namun drama rumah tangga Ralin sudah memanas.“Dan sekarang? Kamu --- “Tin!Kepala Ralin menoleh ke arah jendela yang tidak tertutup tirai.Senyumnya berubah kecut begitu melihat Fayza, selingkuhan suaminya, datang ke rumah.Kemudian Emran melangkah menuju pintu dan membukanya lebar-lebar.“Sayang, buruan berangkat. Kamu masih apa sih?”Fayza muncul dengan tidak tahu malunya.Perempuan berusia empat puluh tahun itu mengenakan setelan kerja yang modis dan seksi. Rambut panjangnya digulung rapi dan wajahnya penuh perawatan hingga membuatnya tampak seperti wanita berusia tiga puluh tahunan.“Udah kok, sayang.” Emran tersenyum manis pada Fayza, “Tinggal nunggu Ralin ngemasi barang-barangnya aja.”Ralin menatap Emran dengan ekspresi terkejut lalu menarik tangan suaminya.“Apa maksudmu, Em?”Kemudian Fayza menarik Emran hingga tangan
“Buruan taruh anak ini di pinggir jalan aja! Ada pembeli mau bayar tuh!”Kedua petugas minimarket kemudian menarik paksa anak laki-laki itu menuju pinggir jalan tanpa mempedulikan tangis dan teriakannya.“Tunggu!” Ralin berseru.Bergegas ia menghampiri ketiganya dan membiarkan kopernya di teras minimarket.“Levi? Kamu disini sama siapa?” Tanya Ralin pada bocah laki-laki bernama Levi itu.“Kamu orang tuanya?!” Tanya petugas minimarket.“Aku gurunya. Ini muridku.”Petugas minimarket langsung melepas Levi dan Ralin segera mendekapnya.“Kalau bawa murid keluar dari sekolah tuh dijaga bener-bener, Mbak! Jangan dilepasin gitu aja! Tuh, dia makan snack macem-macem tapi nggak bayar!” ucap salah satu petugas dengan kesal sambil menunjuk ke dalam minimarket.“Tapi jangan kasar sama anak-anak, Mas. Dia ini --- ““Ah, nggak usah banyak omong! Lebih baik Mbak bayar semua snack-snack yang udah dia makan! Kita berdua nggak mau ganti rugi!”Dari pada urusan semakin panjang dan menjadi pusat perhatian,
Ralin tidak bisa berkata tidak jika sudah seperti ini.“Baiklah.”“Dimana rumah makan yang menyajikan menu seperti itu?” Lewis bertanya.Ini hanya menu sederhana tanpa bumbu yang rumit. Tapi karena Levi terlahir dari keluarga yang sangat terpandang, Ralin malu jika harus mengajak mereka ke rumah makan sederhana.Akhirnya dia mendapatkan satu restauran yang dirasa cocok untuk keluarga Levi.Kemudian seorang laki-laki seperti bodyguard itu pergi mengambil mobil. Sedang Ralin dan lainnya menunggu di tepi jalan.Karena Levi tidak bisa diam, akhirnya Ralin mengalihkan perhatian bocah tampan kecil itu dengan berjalan di sepanjang trotoar lalu kembali ke titik semula. Ia juga mengajari Levi menghitung langkah kaki dengan sabar.Itu semua tidak lepas dari pengamatan Lewis. Karena kesibukannya, membuat sebagian besar waktu bersama Levi akhirnya menguap.Ketika mobil mewah seperti milik para artis itu tiba, Ralin menggandeng tangan Levi dengan satu tangannya menggeret koper.“Biar koper Bu Ralin
Lewis sedikit melebarkan matanya mendengar pengakuan Ralin."Maaf? Diusir?"Kepala Ralin mengangguk lalu mengintip wajah Levi yang sudah tidak setakut tadi. Bocah tampan itu tampaknya sudah lebih tenang. Lalu Ralin kembali membujuknya. "Levi, Bu Ralin pamit dulu ya? Ini sudah malam. Besok ketemu di sekolah lagi? Oke?"Levi justru makin memeluk Ralin dan mencengkeram erat bajunya. Dia juga mengintip takut pada Lewis. Melihat Levi seperti ini dan bagaimana Lewis mudah tersulut amarahnya, Ralin kembali memberi nasehat padanya. "Pak, maaf, bukan maksud menggurui anda sebagai Ayahnya Levi. Tapi anak seperti Levi memang memiliki keterbatasan mengutarakan apa yang dia rasakan. Bahkan dia sendiri kadang tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.""Tapi bukan berarti jika dia melakukan salah lalu memberitahunya dengan cara dibentak. Itu hanya akan membuat Levi trauma dan tidak nyaman bersama anda."Lewis merasa tertampar dengan penjelasan Ralin dan menyadari kesalahannya. Dia harus lebih banyak
Setelah menunggu kurang dari sepuluh menit, akhirnya seorang lelaki yang masih memakai kemeja kerja formal tiba di rumah Lewis. Dia kemudian menunduk dengan hormat pada sang tuan lalu memandang Ralin. Lalu mengeluarkan sebuah cardlock dari saku dan mengulurkan dengan begitu sopan menggunakan kedua tangan. "Permisi, ini cardlock kamar anda. Nanti anda cukup menunjukkan kartu identitas dan cardlock ini pada resepsionis."Ralin menerimanya dengan dua tangan pula lalu menatap Lewis."Terima kasih banyak, Pak Lewis. Semoga kebaikan anda dibalas berkali-kali lipat. Saya tidak tahu bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu anda.""Sama-sama, Bu Ralin. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib Levi kalau tidak ditemukan Bu Ralin."Karena hari semakin malam dan harus segera mengambil barang-barangnya yang telah Emran letakkan di halam rumah, Ralin segera undur diri. Dia menghampiri sopir Lewis yang masih berada di teras rumah lalu meminta bantuannya untuk menurunkan koper dari bagasi. Jam hampir
Lewis berjalan lebih dulu kemudian diikuti Ralin. Sedang David berjalan di sisinya dan berbisik. "Semuanya akan baik-baik aja. Ingat, aku selalu ada di belakangmu, Lin."Ralin tersenyum dan mengangguk. "Thanks, Vid."Kemudian David kembali berbisik, "I love you."Blush!Ralin tersenyum dan salah tingkah dengan perbuatan David yang selalu manis dan di luar ekspektasinya. Lelaki itu nampak tegas, menakutkan, dan kurang bersahabat ketika mendampingi Lewis.Namun berubah tiga ratus enam puluh derajat jika bersama Ralin. David membukakan pintu untuk Ralin kemudian keduanya masuk ke dalam rumah. "Aku males ngadepin drama ini, Vid.""Aku nggak akan pulang sampai nganter kamu ke tempat yang baru."Kemudian Ralin menoleh, "Kamu yang cariin tempat itu?"Kepala David mengangguk, "Memangnya siapa lagi?""Kenapa kamu nggak bilang ke aku sebelumnya?""Karena aku tahu gimana kesalnya kamu kalau disuruh kembali kemari.""Lalu gimana caranya Den Mas tahu kalau aku pulang ke rumah orang tua?""Beliau
"Lewis bilang kalau dia kelepasan bicara karena emosi. Makanya dia nyusul kamu kemari karena mau minta maaf. Ya sudah, kalian bicara dulu aja. Masalah rumah tangga harus diselesaikan. Jangan berlarut-larut."Setelah Ayahnya pergi, di ruang tamu hanya menyisakan Ralin, Lewis, dan David. David duduk di sebelah Lewis dan terus memandang Ralin dengan sorot datar. Mulutnya diam tak berbicara sepatah kata pun. Namun tatapan matanya penuh makna menatap Ralin.Dia tahu jika saat ini Lewis lah yang paling berkuasa pada Ralin. "Vid, tolong tinggalkan kami." Perintah Lewis.Dengan patuh, David pun mengangguk. Meski hati dan kakinya seperti enggan meninggalkan keduanya. Ia hanya bisa menunggu di teras tanpa tahu apa yang akan Lewis katakan.Lalu Ralin menatap Lewis tanpa rasa takut karena tidak merasa bersalah. "Aku pikir kedatanganmu kemari ingin menyelesaikan kesepakatan pernikahan kita, Den Mas."Lewis hanya menatap Ralin lekat tanpa berbicara sepatah kata pun."Apa kita akan diam terus kaya
Lewis tidak berani menatap Ralin karena rahasia pernikahannya dengan Zaylin telah terbongkar. Padahal ia ingin menyembunyikan rahasia pernikahan itu sampai semuanya tepat untuk diutarakan. Namun Zaylin menyalahi kesepakatan. "Sekarang kamu udah tahu kan siapa aku?! Aku adalah Nyonya Lewis! Nyonya di rumah ini!" ucap Zaylin dengan bersedekap sombong. "Jadi, kamu jangan mbantah atau ngelawan ucapanku! Posisimu di rumah ini cuma baby sitter! Pengasuhnya Levi! Inget itu baik-baik!"Ralin kemudian mengangguk dengan hati terpatah-patah."Yang! Kita udah sepakat mau jaga rahasia ini, kan!?" Lewis mengingatkan. Padahal Lewis tidak mau Ralin terus dikonfrontasi tentang status pernikahan Lewis dan Zaylin."Kamu ngerasa nggak sih, Mas? Ralin tuh baby sitter yang nggak patuh sama majikannya. Sama kamu aja dia berani ngelawan kayak tadi. Gimana sama aku?""Kalau dia nggak dikasih tahu kita udah nikah, dia pasti jauh lebih berani! Udah bener aku kan kalau dia mending dipecat aja? Kamu malah ngga
Begitu bel pintu apartemen berbunyi, Ralin langsung melepas celemek dan membukanya. "Hai, Vid.""Hai." David balas menyapa dengan wajah bingung.Setelah David masuk, Ralin segera menutup pintu lalu menuju dapur kembali. Waktunya menuangkan air panas ke dalam cappucino yang sedang ia buat. David memperhatikan meja makan mini yang sudah tersaji tiga jenis menu makanan yang menggugah selera beserta minumannya. Juga memperhatikan mimik wajah Ralin yang tidak terlihat sendu. Melainkan ada seulas senyum yang tersungging di bibirnya."Selesai. Kamu mau makan sekarang, Vid?"David justru menarik kursi dan menatap Ralin. Ia masih mengenakan kemeja kerja."Tumben kamu belum pulang, Lin? Ini hampir jam tujuh malam.""Kamu nggak suka aku di apartemenmu lebih lama?""Kalau bisa kamu di apartemenku aja setiap hari. Nggak usah pulang ke rumah Pak Lewis."Ralin tertawa lirih mendengar pengakuan David yang mirip sebuah rayuan gombal. "Oke, aku akan pulang sekarang."Ketika Ralin akan menuju sofa, D
"Masuk, Lin."Ralin datang dengan membawa beberapa camilan dan minuman ringan. Meletakkan kantong plastik itu di meja depan televisi. "Soft drink. Mau?"Kepala David mengangguk dengan terus menatap Ralin. Kemudian tangannya menangkap kaleng soft drink itu. "Tumben nggak berangkat kursus mendekati jam masuk, Lin?" Tanya David lalu meneguk minuman itu. "Di rumah sepi, Vid. Aku nggak punya teman ngobrol. Den Mas pergi liburan sama Zaylin dan Levi."Kepala David mengangguk membenarkan. "Sekarang, aku merasa kesepian gara-gara Levi nggak boleh sering-sering ketemu aku. Mending aku main ke apartemenmu aja."Ralin kemudian meneguk soft drink miliknya. "Apa kamu juga pengen liburan?"Kemudian Ralin menatap David. "Liburan kemana?""Dieng barangkali. Disana bagus."Belum pernah Ralin pergi ke tempat itu kemudian David menunjukkan pemandangan bagus Dieng melalui ponselnya. Seketika membuat Ralin berbinar namun senyumnya kembali pupus. "Aku kan ada jadwal kursus, Vid. Mana bisa?"Kemudian
"Masuk!"Kemudian Ralin menutup pintu ruang kerja dan berjalan mendekat. Lewis, pria itu sedang bersandar di meja kerja dan menatap Ralin tanpa keraguan. Begitu juga dengan Ralin, dia balas menatap Lewis seakan-akan tidak takut. "Kenapa kamu keluar dari kesepakatan?""Kesepakatan yang mana?"Lewis mendengus geli lalu berdiri di depan Ralin dengan wajah serius. Dan Ralin pun membalas tatapan mata tajam Lewis tanpa mundur satu langkah pun. "Jangan jadi kacang yang lupa sama kulitnya, Lin. Aku nyelametin hidupmu setelah diusir dan diperlakukan Emran dengan cara yang nggak baik. Aku kasih kamu tumpangan di rumah ini dan gaji yang lebih dari cukup setiap bulannya karena merawat dan mendidik Levi.""Terima kasih, Den Mas.""Tapi kenapa kamu lalai sama tugasmu? Kenapa kamu biarin Levi berubah nggak terkontrol?! Kenapa kamu biarin Zaylin kelimpungan sendiri ngurus Levi, heh?!"Jadi, Zaylin masih membiarkan Lewis tenggelam dalam kesalahpahamannya. Atau justru dia makin membuat Lewis salah pa
Levi menangis dan memporak-porandakan makanannya di atas meja makan. Dan Zaylin berada di sampingnya berusaha menenangkan namun Levi menolak sentuhan dari ibu kandungnya itu. Ketika Ralin tiba di ruang makan, sorot mata Lewis begitu tajam menatapnya. Pria itu tetap duduk di kursi makan yang biasa ia tempati tanpa berusaha membantu Zaylin menenangkan Levi. "Apa kamu mau tetap diam disitu dan jadi penonton setia?!"Mendengar sindiran Lewis, kemudian Ralin melangkah lebar menghampiri Levi.Bocah itu menangis dengan air mata meleleh di pipi dengan kedua tangan terulur. Ia ingin dipeluk dan didekap Ralin. Tanpa mengucapkan permisi pada Zaylin, tangan Ralin langsung menggapai Levi. Mengangkatnya untuk digendong lalu mengusap rambutnya. "Cup, sayang."Ceceran nasi dan lauk yang ada di atas piring Levi ada di atas meja dan lantai. Bahkan sebagian lagi ada yang mengotori seragam sekolah Levi yang berwarna putih.Entah apa yang terjadi sampai membuat Levi menangis. Lalu mata Ralin menatap me
Ralin beruntung menempati kamar baby sitter yang berada di belakang. Setidaknya, dia tidak bisa mendengar tangis Levi atau melihat gaya mendidik Zaylin yang menurutnya kurang sesuai. "Hah ... dia itu ibunya. Dia paling tahu apa yang terbaik buat Levi. Kenapa aku berani-beraninya menjudge Zaylin nggak becus?!"Untuk mengusir pikiran buruknya pada Zaylin, kemudian Ralin menuju dapur. Tiga asisten rumah tangga yang sedang menyiapkan sarapan kemudian mengangguk hormat. "Selamat pagi, Den Ayu Ralin."Ralin langsung meletakkan telunjuk di depan mulut lalu mendekati mereka. "Jangan panggil aku Den Ayu. Panggil aja Ralin."Ketiganya saling tatap karena merasa sangat tidak sopan jika memanggil Ralin dengan nama saja. Sedangkan sudah jelas jika dialah Nyonya di rumah ini. "Apa ada yang bisa aku bantu?"Salah satu asisten yang sedang menata lauk kemudian menatap Ralin. "Den Ayu, kami masih memiliki sopan santun untuk tidak memanggil anda dengan begitu tidak sopan.""Panggil saja Bu Ralin. Ka
Cinta itu buta kalau berada pada hati yang salah. Lalu membuat seseorang menjadi terluka. Bukan untuk dihujat atas kesalahannya. Melainkan karena dengan luka itu kemudian seseorang akan berubah menjadi versi terbaik dirinya. "Lin, bisa bicara bentar?" ucap David.Kebetulan Ralin berada di rumah dan beberapa hari ini menyibukkan diri seperti mood yang diinginkan. Lalu David mengajaknya berbicara empat mata di taman rumah megah Lewis. "Masih sibuk baca-baca buku tentang hairdressing?" Tanya David dengan duduk di sebelahnya. "Iya. Kenapa?"David tahu apa saja kesibukan Ralin karena hampir setiap waktu ia tidak pernah melepas komunikasi dengan istri main-main tuannya itu."Nggak apa-apa. Oh ya, Den Levi pulang dari rumah sakit hari ini."Kemudian Ralin menoleh dan menatap David."Oh ... syukurlah dia udah sembuh. Pulang jam berapa?""Siang ini.""Kalau siang ini kenapa kamu nggak barengan sama mereka aja? Kok malah kesini sendirian?"David membalas tatapan Ralin dan berucap ... "Karen