Jihan berlari meninggalkan kios bengkel Amin dengan hati dongkol. Gara-gara seorang ibu-ibu cacat, dia gagal memperdaya Amin. Padahal sedikit lagi caranya berhasil. Dengan menaiki ojek pangkalan, Jihan melesat pergi entah kemana, meninggalkan Amin yang masih terbengong. Antara percaya atau tidak dengan yang Ririn katakan.
"Bang Amin, siapa cewek itu? Apa dia cewek yang Bang Amin taksir?" cecar Ririn sambil menatap Amin dengan serius."I-iya, Bu," jawab Amin sambil menunduk."Trus, kalau saya tidak datang ke sini, apa Bang Amin benar-benar akan mengganti ponsel sampah dengan harga sepuluh juta?"Amin tak menjawab, ia hanya bisa menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, Bang Amin. Gadis itu sudah membodohi Bang Amin. Itu namanya pemerasan. Di mana rumah bocah itu? Ayo kita datangi orang tuanya. Mereka harus tahu kelakuan anak perawan mereka seperti apa." Ririn menarik tangan Amin untuk keluar dari bengkel. Namun, Amin menahan tubuhnyHai, semua baca juga cerbung baru saya yang berjudul "Enam Tahun Tanpa Malam Pertama" berdasarkan kisah nyata loh. Jangan lupa langganan ya.
Amin menumpang motor Imron kembali ke kontrakannya. Hari masih lagi siang, Imron sempat mengajak Amin untuk ikut berkumpul bersama teman-teman yang lain, tetapi Amin menolak. Entah kenapa, ia merasa begitu kecewa dengan kenyataan bahwa Ririn sudah pindah rumah. Padahal dia belum mengucapkan terimakasih, serta belum memberikan hadiah yang ia sudah beli semalam. Paling tidak, seharusnya ada perkataan dari Ririn, bahwa ia akan secepat ini pindah. Jika seperti ini, tentulah ia kebingungan sendiri."Min, udah sampe. Masih bengong aja! Mau turun kagak?" tegur Imron saat mendapati Amin masih saja melamun di atas motornya."Eh, iya. Makasih, Im," ujar Amin dengan senyuman kecut. Lekas ia turun dari motor Imron, lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya, bahkan tanpa menoleh lagi pada Imron."Tuh anak kenape ye? Di depan pagar rumah orang tadi girang banget mukanya, giliran yang punya rumah pindah, mukanya kayak orang kesambet. Apa jangan-jangan ...." gumam Imron
Bugh"Aw ... sakit, Bu!" pekik Amin mundur terhuyung karena Ririn baru saja menginjak kakinya dengan kuat."Siapa suruh peluk?! Jangan macam-macam ya, Bang Amin. Saya gak suka!" Ririn benar-benar marah dan sudah kembali naik ke atas motornya, bermaksud meninggalkan Amin."Maaf, Bu. Ibu mau ke mana? Saya nyariin Ibu beberapa hari ini." Amin menahan motor Ririn dengan tubuhnya. Amin menghadang jalan, agar Ririn tak berani maju."Ya Allah, Bu. Itu tadi, m-maaf saya cuma terlalu senang bisa ketemu Ibu lagi," ujar Amin sambil menunduk malu."Saya janji, gak akan mengulanginya, Bu, kalau sudah halal boleh ya, Bu?""Hah? Halal? Siapa?""Eh, bukan siapa-siapa. Maafin yang tadi ya, Bu. Ibu sekarang tinggal di mana? Kenapa gak bilang saya kalau mau pindahan? Nomor HP Ibu kenapa gak aktif? Saya cariin Ibu, sampai gak enak tidur, gak enak makan, mandi juga sampe lupa pake sabun mandi, malah sabun colek.
Selamat membaca."Silakan diminum, Bang," ujar Ririn mempersilakan Amin."Terima kasih, Bu. Maaf, saya jadi merepotkan.""Gak repot, Bang, kan cuma segelas. Kalau segalon baru nyusahin." Ririn terbahak, begitu pun Amin.Ririn kembali duduk di samping Amin dengan sedikit canggung. Mau bertanya apa juga bingung. Sedangkan Amin masih asik bercanda dengan Dira. Ririn mengulas senyum, saat Dira mampu berinteraksi dengan Amin cukup baik, karena biasanya, Dira termasuk anak takut pada orang lain. Namun dengan Amin, puteri bungsunya itu mau dekat."Bu, saya punya hadiah buat Ibu." Amin mengeluarkanpaper bagdari dalam tas ransel yang ia bawa."Hadiah apa ini? Untuk apa? Saya gak ulang tahun." Ririn kebingungan, tetapi tangannya menerimapaper bagpemberian Amin."Bukanya nanti saja ya, Bu.""Oh, iya. Terima kasih, Bang Amin. Semoga rezekinya lancar ya
"Terimakasih baju dasternya, Bang. Bagus, motifnya saya suka. Kerudungnya juga saya suka."Pesan yang Ririn kirimkan pada Amin, keesokan sorenya. Pesan yang disertai foto Ririn duduk bersantai di teras sambil memangku Dira, sambil memakai daster dan juga kerudung pemberian Amin.Amin yang masih fokus dengan pekerjaannya tak menyadari adanya pesan masuk dari Ririn. Apalagi kustomernya adalah dua janda yang selalu saja memberikan rezeki padanya setiap hari. Tepatnya, kerusakan motor Nengsih dan Elis, lebih karena mereka yang membuat rusak sendiri.Amin yang biasanya banyak berbasa-basi, sore ini memilih sedikit lebih kalem. Ia harus belajar menjaga hatinya dari wanita lain, karena sudah ada Ririn yang menempati hatinya saat ini. Walaupun masih tanpa status dan ia juga belum menegaskan perasaannya secara benar-benar pada Ririn.Nengsih dan Elin saling pandang, lalu keduanya mengangkat bahu tak paham."Ehhm ...." Nengsih memutuskan
Amin baru saja menggelar tikar dialas sehelai kain sarung di ruang depan kontrakannya. Ibu dan Tia tidur di ranjang Amin dengan berdempetan, karena kasur singlenya memang hanya cukup untuk ukuran satu orang dewasa. Untunglah Tia berbadan kecil sehingga kasur singlenya masih bisa dipakai oleh ibu dan jiga Tia.Amin mengambil ponsel yang ia simpan di atas nakas ruang depan. Lalu menggeser layarnya untuk melihat, apakah ada yang mengirim pesan padanya. Yah, walau jujur dirinya memang tak terlalu gila HP. Jika sudah rebahan di kasur, biasanya ia malas untuk membuka HP-nya.Bu RirinMatanya melotot lebar, saat melihat nama pengirim pesan sore tadi. Dengan gemetar ia membukanya disertai rasa berdebar gembira."Terimakasih baju dasternya, Bang. Bagus, motifnya saya suka. Kerudungnya juga saya suka."Amin menoleh ke arah jam dinding. Ya Tuhan pesan dari Ririn baru sempat ia buka jam sembilan malam."Ya
Setelah selesai acara lamaran, Amin meminta pada ibunya untuk langsung pulang ke rumah saja. Makanan yang dihidangkan keluarga Tia, hanya sedikit sekali yang mampu masuk ke dalam mulutnya. Sebenarnya ia tak berselera sama sekali, hanya saja demi menghargai ibunya dan juga keluarga Pak Herman, mau tidak mau, ia masukkan juga nasi dan satu potong rendang ke dalam mulutnya. Bu Sukma sudah memberikan kode agar Amin bersabar sejenak, karena ia belum selesai berbicara pada ibu dari Tia perihal acara pernikahan yang akan digelar minggu depan. Entahlah, semua ini harus terlaksana atau tidak."Bang Amin gak mau puding?" suara Tia merusak lamunannya. Amin menoleh, sembari mengulas senyum teramat tipis, lebih tipis dari kartu BPJS."Gak Dek Tia. Saya sudah makan buah salak tadi," jawabnya kembali memandang ke depan rumah Tia yang banyak sekali angsa."Sepertinya Bang Amin sedang banyak pikiran. Mmm ... Apa Bang Amin sebenarnya keberatan dengan acara perjodohan
"Kenapa Mama pindah lagi?" Doni bertanya pada mamanya saat sepulang sekolah, ia berkunjung ke rumah baru mamanya yang lebih sederhana dari kemarin. Ririn memberikan senyumnya pada Doni, lalu mengambilkan sepiring salad buah yang baru semalam ia buat, untuk anak lelakinya."Gak papa. Lingkungannya kurang nyaman saja. Bagaiamana kabar Anes? Hari sabtu ini kamu dan Anes menginap di rumah Mamakan?""Iya, Ma." Doni menyantap sepiring salad buah dengan sangat nikmat. Sesekali ia menyuapkan potongan buah melon kecil ke dalam mulut DiraRirin kembali ke dapur, kali ini ia tengah merapikan belanjaanya di dapur. Ya, mulai besok, ia akan berjualan sarapan di pekarangan rumahnya. Ia harus bekerja dan tak bisa mengandalkan uang makan dari Dira yang diberikan Arya-mantan suaminya. Ia harus berusaha sendiri, untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Selain itu, ia harus mengalihkan perasaan kecewanya pada seorang lelaki yang ... ah, sudahlah!"Ada yang Mama pik
"Amiin!" Bu Sukma berteriak kencang, saat Amin berlari keluar dari rumah Tia. Ia bahkan melemparkan peci dan jasnya di lantai, lalu berlari dengan sekencangnya. Tujuannya saat ini adalah kembali ke Jakarta, mencari keberadaan Ririn. Sudah tak dipedulikannya lagi tatapan semua orang yang ada di sana. Saat ini, di hatinya dan kepalanya hanya ada satu tujuan, yaitu bertemu dengan Ririn."Kenapa Pak Herman membohongi saya dan keluarga saya? Ngakunya aja perawan, tapi bekas orang juga! Saya minta uang penjualan sawah saya kembali!" tukas Bu Sukma dengan emosi memenuhi kepala.Malu, kecewa, merasa dirugikan dan entah apalagi namanya saat ini. Bu Sukma, Minah, dan anggota keluarga lainnya, pergi dari rumah Pak Herman dengan wajah kesal. Di dalam sana, Tia dan Muji, lelaki yang ternyata adalah pacar dari Tia, sudah duduk di depan penghulu, siap untuk dinikahkan.****Amin sudah berada di terminal, masih dengan baju koko putih dan celana bahan hita
Elok terus saja memandang suaminya yang kini sedang duduk di kursi teras rumah mereka. Lelaki itu akan berangkat bekerja di sebuah mal sebagai petugas parkir. Sepuluh sudah suaminya bekerja di sana dan terlihat lelaki itu sangat menikmatinya. Wajahnya lebih bersih dan bersinar, saat ada istri yang benar-benar mengurusnya. Elok terus saja mengulum senyum. Menikmati debaran di dadanya saat bisa memandang suaminya dengan intens seperti ini. “Udah, jangan lihatin melulu! Nanti saya gak jadi berangkat nih,” celetuk Imron saat dia menyadadri pandangan sang istri tak putus darinya. Elok tergelak dengan wajah memerah. Sisa semalam saja masih membuatnya susah berjalan, masa mau diulang lagi? “Jangan dong, Mas. Mau jalan aja susah nih,” sahut Elok dengan wajah bersemu merah. Imron yang duduk di seberang kursi sang istri;berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Lelaki itu mengmabil kedua tangan Elok, lalu mengecupnya
"Lok, ada hal yang ingin saya katakan," ujar Imron dengan suara pelan. Elok tengah menyusui Aya. Balita itu sungguh merindukan asi ibunya yang dua hari tidak ia dapat secara langsung. Selama Elok dan Imron bulan madu di hotel, Aya diberikan ASI yang disiapkan Elok di dalam botol khusus penyimpanan ASI."Apa itu, Mas? Bukan minta jatah lagi'kan?" goda Elok sambil tergelak. Imron pun ikut menyeringai sambil mengusap pipi sang istri."Besok, kita bawa Aya ke rumah sakit. Kita tes DNA bersama Pak Rudi.""Mas, tapi ...." Elok mendadak pucat dan memelas. Imron sangat tahu keresahan yang melanda istrinya. Justru langkah ini harus ia ambil, agar Pak Rudi tidak terus-terusan mengganggu dirinya dan juga Elok. Lelaki itu takkan berhenti sampai keinginannya tercapai."Ada saya. Kamu jangan khawatir. Saya yakin, Aya adalah anak dari Indra, bukan lelaki itu. Kita harus melakukanny
Imron terbangun dari tidur nyenyaknya. Pelan ia membuka mata dan berusaha menggerakkan tangan, tetapi tidak bisa. Ada Elok yang kini tidur sambil memeluk dirinya. Tubuh keduanya polos, hanya tertutup selimut tebal. Beberapa jam lalu, untuk kelima kalinya mereka mengulangi aktifitas yang sama.Sudah dua malam mereka menginap di hotel yang difasilitasi oleh Desta. Seharusnya, lelaki itulah yang bersama dengan Elok malam ini. Sungguh rejeki, maut, jodoh, takkan pernah ada yang mengetahui. Pelan Imron mengusap kening sang istri. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang berserakan menutupi kening wanitanya.Senyumnya kembali mengembang, lalu bibir itu kembali mendaratkan ciuman di keningnya. Sungguh luar biasa efek permen yang diberikan oleh Amin. Temannya itu rela menyusul ke hotel hanya untuk memberikan dua buah permen yang katanya sangat berguna untuk stamina. Untung permen, bukan tisu!Imron tergelak dalam hati saat menging
"Bangunlah, Elok. Aku'kan udah bilang, aku memaafkanmu. Ayo, bangun!" Imron meraih pundak sang istri, lalu membawanya duduk kembali ke atas ranjang. Wanita itu masih terus terisak, membuat Imron kebingungan sendiri."Udah, jangan nangis ya. Nanti kalau kita kebanjiran gimana? Sekarang, kamu mandi, ganti baju. Di dalam lemari ada baju yang sudah disiapkan hotel katanya. Setelah mandi, nanti kita bicara lagi," pinta Imron dengan lembut. Lelaki itu kembali mengancingkan baju piyamanya dengan wajah merona malu. Ia yang tadi saling berhadapan dengan istrinya, kini sudah menggeser tubuhnya ke samping. Sangat malu melakukan aktifitas seperti ini sambil diperhatikan wanita."Kenapa dikancing lagi bajunya?" tanya Elok sambil menyembunyikan wajahnya yang juga merona."Gak papa, nanti juga kamu buka lagi'kan?" jawab Imron sambil terbahak. Tawa yang tak pernah dilihat Elok sebelumnya. Wajah suaminya malam ini sungguh tampan tiga ratus
"Saya di sini, Bu Ririn. Saya baik-baik saja," ucap suara Imron yang tiba-tiba saja berdiri dari balik kerumunan orang yang tengah duduk di kursi. Elok dan Desta terkejut dengan suara lelaki itu, begitu juga dengan Ririn yang memandang iba wajah teman suaminya yang sudah ia anggap teman sendiri. Ditambah lagi, ia tahu betul perjuangan Imron bersabar terhadap sikap Elok."Mas Imron," gumam Elok dari tempat ia berdiri saat ini. Kakinya gemetar dan tak kuat melangkah untuk menghampiri mantan suaminya itu. Tangannya berpegangan pada meja yang sudah dihias sedemikian cantiknya untuk acara pernikahan sederhananya hari ini. Agar tidak limbung, karena yang ia rasakan saat ini adalah seluruh persendiannya melemah.Air matanya membasahi pipi. Lidahnya kelu tak mampu berucap kata maaf pada Imron. Padahal sudah dari lama ia ingin meminta maaf pada lelaki itu atas semua kesalahannya. Namun, di depan sana, seorang Imron tengah tersenyum
Istri Wasiat 31Hari minggu pagi yang sangat sejuk. Pukul setengah enam pagi, Desta memutuskan untuk berolah raga dengan berlari di sekitaran komplek tempat ia tinggal. Elok masih sibuk di dapur, membereskan barang-barang sekaligus memasak sarapan untuk mereka.“Lok, sepatu lari saya yang warna merah kamu simpan di mana?” tanya Desta saat menghampiri Elok di dapur. Wanita itu menoleh, lalu tersenyum tipis. Tanpa menjawab pertanyaan Desta, Elok berjalan ke arah lemari yang masih berada di area dapur. Pintu lemari itu ia buka, lalu mengmabilkan sepasang sepatu yang ditanyakan oleh Desta.“yang ini bukan?” tanya Elok memastikan. Tangannya terulur untuk memberikan sepatu sneaker itu pada Desta.“Wah, baru kamu cuci ya? Duh, ini mah calon istri terbaik,” puji Desta tulus. Elok menegang. Sekelebat bayangan Imron muncul di kepalanya. Tidak! Dia bukan
Kalian mungkin bertanya-tanya ada di mana Imron saat ini? Lelaki itu tengah berada di sebuah kos-kosan kecil di tengah kota. Keadaannya serba pas-pasan dengan kondisi hati yang masih diliputi rasa sedih sekaligus rindu. Ya, dia merindukan Aya dan juga Elok. Bagaimanapun ia kesal terhadap wanita itu, tetap saja Imron tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia sendiri tidak tahu, sejak kapan rasa cinta ini begitu dalam ia rasakan pada istrinya. Mungkinkah sudah dari awal sejak ijab qabul itu ia ucapkan, atau mungkin karena sikap keras istrinya yang membuatnya mencintai wanita itu?Waktu berputar terasa sangat lambat. Setiap hari sepulang bekerja saat langit berubah gelap, hanya kamar, bantal, dan guling yang menemaninya meratapi nasib. Jika cinta harus sesakit ini, lebih baik ia tidak menikahi Elok saja. Lebih baik ia cukup mengurus kakak iparnya serta keponakannya, tanpa harus mengambil tanggung jawab yang sah di mata Tuhan.
Elok menangis semalaman. Berkali-kali ia menelepon suaminya, tetapi nomor itu tidak aktif. Elok juga menelepon Amin, teman suaminya itu. Barangkali tahu di mana keberadaan suaminya. Namun sungguh sayang, Amin tidak tahu di mana Imron kini.Lelaki itu hilang bak ditelan bumi. Kontrakan lama juga sudah dikunjungi Elok pagi ini. Ia tidak mengatakan langsung bahwa mencari keberadaan suaminya, tetapi ia berbasa-basi menanyakan apakah suaminya ada mampir ke sana. Jawaban yang sangat ia sesalkan adalah, mereka tidak tahu di mana keberadaan Imron. Ditambah celetukan Bu Husna yang membuatnya semakin tak enak hati."Kenapa tanya-tanya Imron? Emang kabur lagi?" pertanyaan yang membuat Elok segera pamit pergi dari kontrakan. Ia takkan sanggup mendengar celetukan lain dari para tetangga. Sempat ia tangkap di telinganya, bahwa kedatangan Desta saat Imron tak ada di rumah, menjadi bahan gunjingan para tetangga. Padahal lelaki itu duduk di teras dan para
Imron sampai di rumah pukul sebelas malam. Ia sengaja pulang larut karena tak siap untuk bertemu Elok. Lebih tepatnya ia bingung harus bersikap bagaimana pada istrinya itu. Tawaran yang diajukan Desta bukanlah hal yang buruk untuknya dan juga Elok. Mungkin nanti saat semua sudah dlam kehidupan masing-masing, keduanya bisa sadar arti hubungan saat ini. Imron hanya menginginkan yang terbaik untuk Elok dan juga Aya. Ia rasa, ia tak bisa menjaga dan bertanggung jawab dengan wanita itu lebih lama. Elok dan Aya harus segera diselamatkan dari Rudi, karena cepat atau lambat, lelaki itu pasti akan menemukan mereka.Imron mengunci pintu dengan pelan. Lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Rumah sudah dalam keadaan bersih dan rapi. Hanya ada dua buah mainan Aya yang tergeletak di dekat meja dapur. Sepertinya bayi itu semakin lincah untuk merangkak hingga ke dapur. Imron tersenyum getir, lalu masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Suara pintu kamar Elok te