Amin tergelak saat melihat tiga kustomer jandanya, satu per satu pergi meinggalkan bengkelnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu. Ririn pun ikut terheran. "Bang, kok pada pergi? Emang itu bertiga mau ngapain di depan bengkel Abang? Abang punya security bengkel? Kok banyak banget sampe tiga orang? Mana gak pada pake seragam lagi? Aneh juga security di cantelan motornya ada bawang dan cabe seperapat," cecar Ririn tiada henti, membuat Amin bingung mau menjawab yang mana lebih dahulu. Bahkan Amin tertawa mendengar ocehan Ririn.
"Ck, malah ketawa lagi! Udah ah, saya mau ke warung dulu. Mau nyari pisang, mau bikin kripik. Abang mau?" tanya Ririn dengan senyuman lebar. Amin hanya bisa membalas dengan senyuman sumbang. "Ya Allah, kenapa harus pisang lagi?" gumamnya dalam hati."Bye Paklek!" Ririn mengajarkan pada Dira untuk melambaikan tangan pada Amin. Gadis kecil itu pun menurut, ia melambaiJihan berlari meninggalkan kios bengkel Amin dengan hati dongkol. Gara-gara seorang ibu-ibu cacat, dia gagal memperdaya Amin. Padahal sedikit lagi caranya berhasil. Dengan menaiki ojek pangkalan, Jihan melesat pergi entah kemana, meninggalkan Amin yang masih terbengong. Antara percaya atau tidak dengan yang Ririn katakan."Bang Amin, siapa cewek itu? Apa dia cewek yang Bang Amin taksir?" cecar Ririn sambil menatap Amin dengan serius."I-iya, Bu," jawab Amin sambil menunduk."Trus, kalau saya tidak datang ke sini, apa Bang Amin benar-benar akan mengganti ponsel sampah dengan harga sepuluh juta?"Amin tak menjawab, ia hanya bisa menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, Bang Amin. Gadis itu sudah membodohi Bang Amin. Itu namanya pemerasan. Di mana rumah bocah itu? Ayo kita datangi orang tuanya. Mereka harus tahu kelakuan anak perawan mereka seperti apa." Ririn menarik tangan Amin untuk keluar dari bengkel. Namun, Amin menahan tubuhny
Amin menumpang motor Imron kembali ke kontrakannya. Hari masih lagi siang, Imron sempat mengajak Amin untuk ikut berkumpul bersama teman-teman yang lain, tetapi Amin menolak. Entah kenapa, ia merasa begitu kecewa dengan kenyataan bahwa Ririn sudah pindah rumah. Padahal dia belum mengucapkan terimakasih, serta belum memberikan hadiah yang ia sudah beli semalam. Paling tidak, seharusnya ada perkataan dari Ririn, bahwa ia akan secepat ini pindah. Jika seperti ini, tentulah ia kebingungan sendiri."Min, udah sampe. Masih bengong aja! Mau turun kagak?" tegur Imron saat mendapati Amin masih saja melamun di atas motornya."Eh, iya. Makasih, Im," ujar Amin dengan senyuman kecut. Lekas ia turun dari motor Imron, lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya, bahkan tanpa menoleh lagi pada Imron."Tuh anak kenape ye? Di depan pagar rumah orang tadi girang banget mukanya, giliran yang punya rumah pindah, mukanya kayak orang kesambet. Apa jangan-jangan ...." gumam Imron
Bugh"Aw ... sakit, Bu!" pekik Amin mundur terhuyung karena Ririn baru saja menginjak kakinya dengan kuat."Siapa suruh peluk?! Jangan macam-macam ya, Bang Amin. Saya gak suka!" Ririn benar-benar marah dan sudah kembali naik ke atas motornya, bermaksud meninggalkan Amin."Maaf, Bu. Ibu mau ke mana? Saya nyariin Ibu beberapa hari ini." Amin menahan motor Ririn dengan tubuhnya. Amin menghadang jalan, agar Ririn tak berani maju."Ya Allah, Bu. Itu tadi, m-maaf saya cuma terlalu senang bisa ketemu Ibu lagi," ujar Amin sambil menunduk malu."Saya janji, gak akan mengulanginya, Bu, kalau sudah halal boleh ya, Bu?""Hah? Halal? Siapa?""Eh, bukan siapa-siapa. Maafin yang tadi ya, Bu. Ibu sekarang tinggal di mana? Kenapa gak bilang saya kalau mau pindahan? Nomor HP Ibu kenapa gak aktif? Saya cariin Ibu, sampai gak enak tidur, gak enak makan, mandi juga sampe lupa pake sabun mandi, malah sabun colek.
Selamat membaca."Silakan diminum, Bang," ujar Ririn mempersilakan Amin."Terima kasih, Bu. Maaf, saya jadi merepotkan.""Gak repot, Bang, kan cuma segelas. Kalau segalon baru nyusahin." Ririn terbahak, begitu pun Amin.Ririn kembali duduk di samping Amin dengan sedikit canggung. Mau bertanya apa juga bingung. Sedangkan Amin masih asik bercanda dengan Dira. Ririn mengulas senyum, saat Dira mampu berinteraksi dengan Amin cukup baik, karena biasanya, Dira termasuk anak takut pada orang lain. Namun dengan Amin, puteri bungsunya itu mau dekat."Bu, saya punya hadiah buat Ibu." Amin mengeluarkanpaper bagdari dalam tas ransel yang ia bawa."Hadiah apa ini? Untuk apa? Saya gak ulang tahun." Ririn kebingungan, tetapi tangannya menerimapaper bagpemberian Amin."Bukanya nanti saja ya, Bu.""Oh, iya. Terima kasih, Bang Amin. Semoga rezekinya lancar ya
"Terimakasih baju dasternya, Bang. Bagus, motifnya saya suka. Kerudungnya juga saya suka."Pesan yang Ririn kirimkan pada Amin, keesokan sorenya. Pesan yang disertai foto Ririn duduk bersantai di teras sambil memangku Dira, sambil memakai daster dan juga kerudung pemberian Amin.Amin yang masih fokus dengan pekerjaannya tak menyadari adanya pesan masuk dari Ririn. Apalagi kustomernya adalah dua janda yang selalu saja memberikan rezeki padanya setiap hari. Tepatnya, kerusakan motor Nengsih dan Elis, lebih karena mereka yang membuat rusak sendiri.Amin yang biasanya banyak berbasa-basi, sore ini memilih sedikit lebih kalem. Ia harus belajar menjaga hatinya dari wanita lain, karena sudah ada Ririn yang menempati hatinya saat ini. Walaupun masih tanpa status dan ia juga belum menegaskan perasaannya secara benar-benar pada Ririn.Nengsih dan Elin saling pandang, lalu keduanya mengangkat bahu tak paham."Ehhm ...." Nengsih memutuskan
Amin baru saja menggelar tikar dialas sehelai kain sarung di ruang depan kontrakannya. Ibu dan Tia tidur di ranjang Amin dengan berdempetan, karena kasur singlenya memang hanya cukup untuk ukuran satu orang dewasa. Untunglah Tia berbadan kecil sehingga kasur singlenya masih bisa dipakai oleh ibu dan jiga Tia.Amin mengambil ponsel yang ia simpan di atas nakas ruang depan. Lalu menggeser layarnya untuk melihat, apakah ada yang mengirim pesan padanya. Yah, walau jujur dirinya memang tak terlalu gila HP. Jika sudah rebahan di kasur, biasanya ia malas untuk membuka HP-nya.Bu RirinMatanya melotot lebar, saat melihat nama pengirim pesan sore tadi. Dengan gemetar ia membukanya disertai rasa berdebar gembira."Terimakasih baju dasternya, Bang. Bagus, motifnya saya suka. Kerudungnya juga saya suka."Amin menoleh ke arah jam dinding. Ya Tuhan pesan dari Ririn baru sempat ia buka jam sembilan malam."Ya
Setelah selesai acara lamaran, Amin meminta pada ibunya untuk langsung pulang ke rumah saja. Makanan yang dihidangkan keluarga Tia, hanya sedikit sekali yang mampu masuk ke dalam mulutnya. Sebenarnya ia tak berselera sama sekali, hanya saja demi menghargai ibunya dan juga keluarga Pak Herman, mau tidak mau, ia masukkan juga nasi dan satu potong rendang ke dalam mulutnya. Bu Sukma sudah memberikan kode agar Amin bersabar sejenak, karena ia belum selesai berbicara pada ibu dari Tia perihal acara pernikahan yang akan digelar minggu depan. Entahlah, semua ini harus terlaksana atau tidak."Bang Amin gak mau puding?" suara Tia merusak lamunannya. Amin menoleh, sembari mengulas senyum teramat tipis, lebih tipis dari kartu BPJS."Gak Dek Tia. Saya sudah makan buah salak tadi," jawabnya kembali memandang ke depan rumah Tia yang banyak sekali angsa."Sepertinya Bang Amin sedang banyak pikiran. Mmm ... Apa Bang Amin sebenarnya keberatan dengan acara perjodohan
"Kenapa Mama pindah lagi?" Doni bertanya pada mamanya saat sepulang sekolah, ia berkunjung ke rumah baru mamanya yang lebih sederhana dari kemarin. Ririn memberikan senyumnya pada Doni, lalu mengambilkan sepiring salad buah yang baru semalam ia buat, untuk anak lelakinya."Gak papa. Lingkungannya kurang nyaman saja. Bagaiamana kabar Anes? Hari sabtu ini kamu dan Anes menginap di rumah Mamakan?""Iya, Ma." Doni menyantap sepiring salad buah dengan sangat nikmat. Sesekali ia menyuapkan potongan buah melon kecil ke dalam mulut DiraRirin kembali ke dapur, kali ini ia tengah merapikan belanjaanya di dapur. Ya, mulai besok, ia akan berjualan sarapan di pekarangan rumahnya. Ia harus bekerja dan tak bisa mengandalkan uang makan dari Dira yang diberikan Arya-mantan suaminya. Ia harus berusaha sendiri, untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Selain itu, ia harus mengalihkan perasaan kecewanya pada seorang lelaki yang ... ah, sudahlah!"Ada yang Mama pik