Amin menumpang motor Imron kembali ke kontrakannya. Hari masih lagi siang, Imron sempat mengajak Amin untuk ikut berkumpul bersama teman-teman yang lain, tetapi Amin menolak. Entah kenapa, ia merasa begitu kecewa dengan kenyataan bahwa Ririn sudah pindah rumah. Padahal dia belum mengucapkan terimakasih, serta belum memberikan hadiah yang ia sudah beli semalam. Paling tidak, seharusnya ada perkataan dari Ririn, bahwa ia akan secepat ini pindah. Jika seperti ini, tentulah ia kebingungan sendiri.
"Min, udah sampe. Masih bengong aja! Mau turun kagak?" tegur Imron saat mendapati Amin masih saja melamun di atas motornya."Eh, iya. Makasih, Im," ujar Amin dengan senyuman kecut. Lekas ia turun dari motor Imron, lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya, bahkan tanpa menoleh lagi pada Imron."Tuh anak kenape ye? Di depan pagar rumah orang tadi girang banget mukanya, giliran yang punya rumah pindah, mukanya kayak orang kesambet. Apa jangan-jangan ...." gumam ImronBugh"Aw ... sakit, Bu!" pekik Amin mundur terhuyung karena Ririn baru saja menginjak kakinya dengan kuat."Siapa suruh peluk?! Jangan macam-macam ya, Bang Amin. Saya gak suka!" Ririn benar-benar marah dan sudah kembali naik ke atas motornya, bermaksud meninggalkan Amin."Maaf, Bu. Ibu mau ke mana? Saya nyariin Ibu beberapa hari ini." Amin menahan motor Ririn dengan tubuhnya. Amin menghadang jalan, agar Ririn tak berani maju."Ya Allah, Bu. Itu tadi, m-maaf saya cuma terlalu senang bisa ketemu Ibu lagi," ujar Amin sambil menunduk malu."Saya janji, gak akan mengulanginya, Bu, kalau sudah halal boleh ya, Bu?""Hah? Halal? Siapa?""Eh, bukan siapa-siapa. Maafin yang tadi ya, Bu. Ibu sekarang tinggal di mana? Kenapa gak bilang saya kalau mau pindahan? Nomor HP Ibu kenapa gak aktif? Saya cariin Ibu, sampai gak enak tidur, gak enak makan, mandi juga sampe lupa pake sabun mandi, malah sabun colek.
Selamat membaca."Silakan diminum, Bang," ujar Ririn mempersilakan Amin."Terima kasih, Bu. Maaf, saya jadi merepotkan.""Gak repot, Bang, kan cuma segelas. Kalau segalon baru nyusahin." Ririn terbahak, begitu pun Amin.Ririn kembali duduk di samping Amin dengan sedikit canggung. Mau bertanya apa juga bingung. Sedangkan Amin masih asik bercanda dengan Dira. Ririn mengulas senyum, saat Dira mampu berinteraksi dengan Amin cukup baik, karena biasanya, Dira termasuk anak takut pada orang lain. Namun dengan Amin, puteri bungsunya itu mau dekat."Bu, saya punya hadiah buat Ibu." Amin mengeluarkanpaper bagdari dalam tas ransel yang ia bawa."Hadiah apa ini? Untuk apa? Saya gak ulang tahun." Ririn kebingungan, tetapi tangannya menerimapaper bagpemberian Amin."Bukanya nanti saja ya, Bu.""Oh, iya. Terima kasih, Bang Amin. Semoga rezekinya lancar ya
"Terimakasih baju dasternya, Bang. Bagus, motifnya saya suka. Kerudungnya juga saya suka."Pesan yang Ririn kirimkan pada Amin, keesokan sorenya. Pesan yang disertai foto Ririn duduk bersantai di teras sambil memangku Dira, sambil memakai daster dan juga kerudung pemberian Amin.Amin yang masih fokus dengan pekerjaannya tak menyadari adanya pesan masuk dari Ririn. Apalagi kustomernya adalah dua janda yang selalu saja memberikan rezeki padanya setiap hari. Tepatnya, kerusakan motor Nengsih dan Elis, lebih karena mereka yang membuat rusak sendiri.Amin yang biasanya banyak berbasa-basi, sore ini memilih sedikit lebih kalem. Ia harus belajar menjaga hatinya dari wanita lain, karena sudah ada Ririn yang menempati hatinya saat ini. Walaupun masih tanpa status dan ia juga belum menegaskan perasaannya secara benar-benar pada Ririn.Nengsih dan Elin saling pandang, lalu keduanya mengangkat bahu tak paham."Ehhm ...." Nengsih memutuskan
Amin baru saja menggelar tikar dialas sehelai kain sarung di ruang depan kontrakannya. Ibu dan Tia tidur di ranjang Amin dengan berdempetan, karena kasur singlenya memang hanya cukup untuk ukuran satu orang dewasa. Untunglah Tia berbadan kecil sehingga kasur singlenya masih bisa dipakai oleh ibu dan jiga Tia.Amin mengambil ponsel yang ia simpan di atas nakas ruang depan. Lalu menggeser layarnya untuk melihat, apakah ada yang mengirim pesan padanya. Yah, walau jujur dirinya memang tak terlalu gila HP. Jika sudah rebahan di kasur, biasanya ia malas untuk membuka HP-nya.Bu RirinMatanya melotot lebar, saat melihat nama pengirim pesan sore tadi. Dengan gemetar ia membukanya disertai rasa berdebar gembira."Terimakasih baju dasternya, Bang. Bagus, motifnya saya suka. Kerudungnya juga saya suka."Amin menoleh ke arah jam dinding. Ya Tuhan pesan dari Ririn baru sempat ia buka jam sembilan malam."Ya
Setelah selesai acara lamaran, Amin meminta pada ibunya untuk langsung pulang ke rumah saja. Makanan yang dihidangkan keluarga Tia, hanya sedikit sekali yang mampu masuk ke dalam mulutnya. Sebenarnya ia tak berselera sama sekali, hanya saja demi menghargai ibunya dan juga keluarga Pak Herman, mau tidak mau, ia masukkan juga nasi dan satu potong rendang ke dalam mulutnya. Bu Sukma sudah memberikan kode agar Amin bersabar sejenak, karena ia belum selesai berbicara pada ibu dari Tia perihal acara pernikahan yang akan digelar minggu depan. Entahlah, semua ini harus terlaksana atau tidak."Bang Amin gak mau puding?" suara Tia merusak lamunannya. Amin menoleh, sembari mengulas senyum teramat tipis, lebih tipis dari kartu BPJS."Gak Dek Tia. Saya sudah makan buah salak tadi," jawabnya kembali memandang ke depan rumah Tia yang banyak sekali angsa."Sepertinya Bang Amin sedang banyak pikiran. Mmm ... Apa Bang Amin sebenarnya keberatan dengan acara perjodohan
"Kenapa Mama pindah lagi?" Doni bertanya pada mamanya saat sepulang sekolah, ia berkunjung ke rumah baru mamanya yang lebih sederhana dari kemarin. Ririn memberikan senyumnya pada Doni, lalu mengambilkan sepiring salad buah yang baru semalam ia buat, untuk anak lelakinya."Gak papa. Lingkungannya kurang nyaman saja. Bagaiamana kabar Anes? Hari sabtu ini kamu dan Anes menginap di rumah Mamakan?""Iya, Ma." Doni menyantap sepiring salad buah dengan sangat nikmat. Sesekali ia menyuapkan potongan buah melon kecil ke dalam mulut DiraRirin kembali ke dapur, kali ini ia tengah merapikan belanjaanya di dapur. Ya, mulai besok, ia akan berjualan sarapan di pekarangan rumahnya. Ia harus bekerja dan tak bisa mengandalkan uang makan dari Dira yang diberikan Arya-mantan suaminya. Ia harus berusaha sendiri, untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Selain itu, ia harus mengalihkan perasaan kecewanya pada seorang lelaki yang ... ah, sudahlah!"Ada yang Mama pik
"Amiin!" Bu Sukma berteriak kencang, saat Amin berlari keluar dari rumah Tia. Ia bahkan melemparkan peci dan jasnya di lantai, lalu berlari dengan sekencangnya. Tujuannya saat ini adalah kembali ke Jakarta, mencari keberadaan Ririn. Sudah tak dipedulikannya lagi tatapan semua orang yang ada di sana. Saat ini, di hatinya dan kepalanya hanya ada satu tujuan, yaitu bertemu dengan Ririn."Kenapa Pak Herman membohongi saya dan keluarga saya? Ngakunya aja perawan, tapi bekas orang juga! Saya minta uang penjualan sawah saya kembali!" tukas Bu Sukma dengan emosi memenuhi kepala.Malu, kecewa, merasa dirugikan dan entah apalagi namanya saat ini. Bu Sukma, Minah, dan anggota keluarga lainnya, pergi dari rumah Pak Herman dengan wajah kesal. Di dalam sana, Tia dan Muji, lelaki yang ternyata adalah pacar dari Tia, sudah duduk di depan penghulu, siap untuk dinikahkan.****Amin sudah berada di terminal, masih dengan baju koko putih dan celana bahan hita
"Bang Amin, mau apa ke sini?" Ririn membuang pandangannya, lalu menaruh begitu saja cincin yang diberikan Amin di atas meja etalase warungnya."Saya mau beli nasi uduk," jawab Amin gugup. Di balik pohon, Imron sudah menepuk keningnya, merasa sangat gemas dengan Amin yang selalu saja gugup."Dua belas ribu saja," jawab Ririn masih tak mau melihat Amin. Ia malah sibuk sendiri mengelap piring makan, serta mengaduk nasi uduk di dalam termos."Saya gak punya uang dua belas ribu. Adanya cincin itu. Emang gak bisa bayar pakai cincin?" Ririn menaruh centong nasi dengan kasar, lalu menatap Amin dengan horor."Pergi! Ambil saja nasinya, gak usah bayar!" Ririn memilih masuk ke dalam rumah, meninggalkan Amin yang masih terbengong di dekat etalase nasi uduk.Puuk!Imron menimpuk kepala Amin dengan batu kecil."Aw ...." Amin mengusap belakang kepalanya sambil menoleh ke belakang."Kejar, Min! Is