"Saya di sini, Bu Ririn. Saya baik-baik saja," ucap suara Imron yang tiba-tiba saja berdiri dari balik kerumunan orang yang tengah duduk di kursi. Elok dan Desta terkejut dengan suara lelaki itu, begitu juga dengan Ririn yang memandang iba wajah teman suaminya yang sudah ia anggap teman sendiri. Ditambah lagi, ia tahu betul perjuangan Imron bersabar terhadap sikap Elok."Mas Imron," gumam Elok dari tempat ia berdiri saat ini. Kakinya gemetar dan tak kuat melangkah untuk menghampiri mantan suaminya itu. Tangannya berpegangan pada meja yang sudah dihias sedemikian cantiknya untuk acara pernikahan sederhananya hari ini. Agar tidak limbung, karena yang ia rasakan saat ini adalah seluruh persendiannya melemah.Air matanya membasahi pipi. Lidahnya kelu tak mampu berucap kata maaf pada Imron. Padahal sudah dari lama ia ingin meminta maaf pada lelaki itu atas semua kesalahannya. Namun, di depan sana, seorang Imron tengah tersenyum
"Bangunlah, Elok. Aku'kan udah bilang, aku memaafkanmu. Ayo, bangun!" Imron meraih pundak sang istri, lalu membawanya duduk kembali ke atas ranjang. Wanita itu masih terus terisak, membuat Imron kebingungan sendiri."Udah, jangan nangis ya. Nanti kalau kita kebanjiran gimana? Sekarang, kamu mandi, ganti baju. Di dalam lemari ada baju yang sudah disiapkan hotel katanya. Setelah mandi, nanti kita bicara lagi," pinta Imron dengan lembut. Lelaki itu kembali mengancingkan baju piyamanya dengan wajah merona malu. Ia yang tadi saling berhadapan dengan istrinya, kini sudah menggeser tubuhnya ke samping. Sangat malu melakukan aktifitas seperti ini sambil diperhatikan wanita."Kenapa dikancing lagi bajunya?" tanya Elok sambil menyembunyikan wajahnya yang juga merona."Gak papa, nanti juga kamu buka lagi'kan?" jawab Imron sambil terbahak. Tawa yang tak pernah dilihat Elok sebelumnya. Wajah suaminya malam ini sungguh tampan tiga ratus
Imron terbangun dari tidur nyenyaknya. Pelan ia membuka mata dan berusaha menggerakkan tangan, tetapi tidak bisa. Ada Elok yang kini tidur sambil memeluk dirinya. Tubuh keduanya polos, hanya tertutup selimut tebal. Beberapa jam lalu, untuk kelima kalinya mereka mengulangi aktifitas yang sama.Sudah dua malam mereka menginap di hotel yang difasilitasi oleh Desta. Seharusnya, lelaki itulah yang bersama dengan Elok malam ini. Sungguh rejeki, maut, jodoh, takkan pernah ada yang mengetahui. Pelan Imron mengusap kening sang istri. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang berserakan menutupi kening wanitanya.Senyumnya kembali mengembang, lalu bibir itu kembali mendaratkan ciuman di keningnya. Sungguh luar biasa efek permen yang diberikan oleh Amin. Temannya itu rela menyusul ke hotel hanya untuk memberikan dua buah permen yang katanya sangat berguna untuk stamina. Untung permen, bukan tisu!Imron tergelak dalam hati saat menging
"Lok, ada hal yang ingin saya katakan," ujar Imron dengan suara pelan. Elok tengah menyusui Aya. Balita itu sungguh merindukan asi ibunya yang dua hari tidak ia dapat secara langsung. Selama Elok dan Imron bulan madu di hotel, Aya diberikan ASI yang disiapkan Elok di dalam botol khusus penyimpanan ASI."Apa itu, Mas? Bukan minta jatah lagi'kan?" goda Elok sambil tergelak. Imron pun ikut menyeringai sambil mengusap pipi sang istri."Besok, kita bawa Aya ke rumah sakit. Kita tes DNA bersama Pak Rudi.""Mas, tapi ...." Elok mendadak pucat dan memelas. Imron sangat tahu keresahan yang melanda istrinya. Justru langkah ini harus ia ambil, agar Pak Rudi tidak terus-terusan mengganggu dirinya dan juga Elok. Lelaki itu takkan berhenti sampai keinginannya tercapai."Ada saya. Kamu jangan khawatir. Saya yakin, Aya adalah anak dari Indra, bukan lelaki itu. Kita harus melakukanny
Elok terus saja memandang suaminya yang kini sedang duduk di kursi teras rumah mereka. Lelaki itu akan berangkat bekerja di sebuah mal sebagai petugas parkir. Sepuluh sudah suaminya bekerja di sana dan terlihat lelaki itu sangat menikmatinya. Wajahnya lebih bersih dan bersinar, saat ada istri yang benar-benar mengurusnya. Elok terus saja mengulum senyum. Menikmati debaran di dadanya saat bisa memandang suaminya dengan intens seperti ini. “Udah, jangan lihatin melulu! Nanti saya gak jadi berangkat nih,” celetuk Imron saat dia menyadadri pandangan sang istri tak putus darinya. Elok tergelak dengan wajah memerah. Sisa semalam saja masih membuatnya susah berjalan, masa mau diulang lagi? “Jangan dong, Mas. Mau jalan aja susah nih,” sahut Elok dengan wajah bersemu merah. Imron yang duduk di seberang kursi sang istri;berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Lelaki itu mengmabil kedua tangan Elok, lalu mengecupnya
"Mas, motor saya mogok lagi nih," keluh seorang wanita berparas cantik, saat baru saja tiba di depan bengkel Amin. Keningnya nampak berpeluh, lelah karena habis mendorong motor."Eh, Mbak Sena. Emang kenapa mogok lagi?" tanya Amin sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perasaan kemarin sore, ban motor Mbak Sena pecah, masa pagi ini udah pecah lagi? Padahal baru saja ganti ban dalam."Gak tahu saya, Mas. Masa setiap lewat sini langsung kempes bannya," terang Sena.Lelaki itu menghampiri motor wanita yang ia panggil Sena. Kemudian berjongkok, untuk memastikan keadaan motor Mbak Sena."Wah, kena paku lagi, Mbak." Amin menunjukkan paku beton yang menancap di ban motor Sena."Yah, gimana dong? Mana saya harus buru-buru kerja, Mas. Masuk pagi.""Emang kerja di mana?""Di salon Jalan Makmur. Mau merias pengantin.""Oh, Mbak pinter merias pengantin. Hebat!""Belum hebatlah, Mas. Orang saya cuma merias doang, entah kapan ja
Amin masih saja membetulkan motor Jihan, tetangganya yang mogok, saat menerjang banjir tadi sore. Padahal maksud hati, ia ingin tutup saja sebelum maghrib, tetapi saat melihat Jihan mendorong motor dari kejauhan, rasa ibanya hadir. Apalagi, Jihan si bunga gang tempat ia mengontrak, memang sudah lama ia taksir. Bahkan sejak ia tinggal di Gang Mawar."Ganti busi ini, Neng," katanya pada Jihan."Ya udah, berapa Bang?""Gratis aja deh sama Neng Jihan. He he he ....""Hah? Beneran, Bang?" gadis itu terpekik tak percaya."Iya, tapi jangan cerita ke tetangga lainnya ya.""Oke, Bang Amin. Bang Amin baik deh," puji Jihan sore itu dan mampu membuat Amin tak bisa tidur nyenyak malam harinya.Seandainya kembang Gang Mawar itu mau dengan dirinya yang tamvan ini, tentulah ia pasti akan sangat bahagia dan melakukan sukuran tujuh hari tujuh malam. Amin hanya berbolak-balik di atas kasur busa yang mulai mengempes bagian tengahnya, tanpa berhenti memikirkan J
Setelah membereskan motor ketiga wanita single parent itu, akhirnya Amin dapat menikmati sarapan bubur ayamnya dengan tenang. Mbak Katini juga sudah keliling kembali menjajakan jamu gendongnya. Masih belum ada pasien lagi, sehingga Amin sedikit santai."Bang Amiin," panggil Jihan yang tahu-tahu sudah di depan bengkelnya."Eh, Jihan, ada apa, Neng?""Boleh pinjam motornya gak? Jihan mau ke tukang fotokopy, banyak tugas sekolah. Motor lagi di pake babe ke kelurahan. Boleh ya, bang?" wajah Jihan berubah melas.Amin yang menaruh hati pada Jihan, tentu saja tak masalah motornya dipinjam. Ya, memang bukan motor baru apalagi mahal, hanya motor seken dan masih sangat layak pakai, yang selalu ia gunakan ke sana-kemari."Boleh, Neng. Pakai saja, ini kuncinya." Amin mengulurkan kunci motor pada Jihan sambil tersenyum senang."Makasih Bang Amin." Jihan pun melajukan motor Amin dengan kencang. Amin kembali duduk menyantap bubur ayam yang sedikit la