Share

2. Antrean Pagi

Amin masih saja membetulkan motor Jihan, tetangganya yang mogok, saat menerjang banjir tadi sore. Padahal maksud hati, ia ingin tutup saja sebelum maghrib, tetapi saat melihat Jihan mendorong motor dari kejauhan, rasa ibanya hadir. Apalagi, Jihan si bunga gang tempat ia mengontrak, memang sudah lama ia taksir. Bahkan sejak ia tinggal di Gang Mawar.

"Ganti busi ini, Neng," katanya pada Jihan.

"Ya udah, berapa Bang?"

"Gratis aja deh sama Neng Jihan. He he he ...."

"Hah? Beneran, Bang?" gadis itu terpekik tak percaya.

"Iya, tapi jangan cerita ke tetangga lainnya ya."

"Oke, Bang Amin. Bang Amin baik deh," puji Jihan sore itu dan mampu membuat Amin tak bisa tidur nyenyak malam harinya.

Seandainya kembang Gang Mawar itu mau dengan dirinya yang tamvan ini, tentulah ia pasti akan sangat bahagia dan melakukan sukuran tujuh hari tujuh malam. Amin hanya berbolak-balik di atas kasur busa yang mulai mengempes bagian tengahnya, tanpa berhenti memikirkan Jihan, anak perawan Pak Darwis yang merupakan RW di daerahnya.

"Ya ampun, sudah jam sebelas mata belum ngantuk juga. Padahal besok kudu bangun pagi nih," gumamnya sambil turun dari ranjang. Berjalan ke arah dapur untuk mengambil air minum. Setelah menenggak habis minumnya, ia pun berjalan ke ruang depan, mengintip dari jendela, karena mendengar suara tawa tak asing di depan rumahnya. Matanya tiba-tiba sayu, saat Jihan sedang berbicara ramah dengan Edo, anak Pak Lurah, yang selalu saja mengendarai motor gedenya, jika berkunjung ke rumah Jihan.

"Belum perang gue dah kalah," gumamnya sambil membetulkan letak kain gorden. Ia memilih tidur, melupakan keinginan mempunyai calon istri anak perawan yang bernama Jihan.

****

Seperti biasa, bengkel buka pukul enam pagi. Amin terbiasa sholat shubuh di masjid, baru kemudian ia membuka kios  bengkel, yang alhamdulillah sudah setahun ini ia rintis. Meskipun kiosnya masih mengontrak, tetapi paling tidak, sekarang ia bisa menyisihkan sebagian keuntungannya untuk mengirimkan uang pada ibunya di kampung.

"Mas Amin, si merah mogok lagi nih, gak mau di stater." Kali ini, Nengsih janda beranak satu menghampirinya dengan membawa banyak belanjaan sayur yang menggantung di motor.

"Masa sih? Kenapa ya? coba sini, sama saya."

Amin mulai mencoba tekan tombol stater motor.

Ngeek

Ngeek

"Tuhkan, Mas. Kayak orang bengek suaranya," rengek Nengsih.

"Iya ya, coba saya standar dua aja. Baru diengkol." Amin menegakkan motor Nengsih, lalu mencoba engkol.

Ngeek

Ngeek

Brrruum

Brriumm

"Alhamdulillah, akhirnya bisa," kata Nengsih dengan lega.

"Bang Amin, nih mogok juga si putih. Tolong liatin dong!" kali ini, Elin. Janda beranak dua yang menghampiri Amin pagi hari, berdiri tepat di belakang motor Nengsih.

"Sebentar ya, Mbak Elin. Saya benerin motor Mbak Nengsih dulu."

"Iya, Bang, sabar saya mah, he he he ... asal Abang yang benerin, bukan si Udin."

"Iya, sebentar ya." Amin bersorak dalam hati, baru lima belas menit buka, sudah ada dua motor yang mengantre.

"Dah, bisa nih," kata Amin pada Nengsih.

"Terima ...."

Ttiin

Tiiin

"Mas, saya bannya bocor lagi nih!" teriak Sena yang tiba-tiba sudah mengantre persis di belakang Elin. Amin bangun dari posisi jongkoknya, kemudian memperhatikan pasien bengkelnya satu per satu.

Ya Allah, bisa berurutan gini antrenya, ha ha ha ... Janda anak satu, janda anak dua, yang paling belakang, janda anak tiga.

"Jamu kuatnya Bang Amin," panggil Mbak Katini, si tukang jamu, janda tanpa anak, yang kini sudah duduk manis di bangku.

Mati-matian Amin menahan tawa. Ya Allah, kenapa janda semua?

****


Comments (3)
goodnovel comment avatar
Wur Yani
ngakak parah
goodnovel comment avatar
Nyoman Nada Gens
bang amin rejeki nya janda semua ............
goodnovel comment avatar
TISYAMAN
Astaga aku bengek bacanya, janda semua 😂
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status