Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik.
Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya.
"Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?
"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk membayar semua tagihan novel dirinya. Tidak, Bang Amin pasti tak tega dengan dirinya.
Seketika ketakutan itu pun sirna. Karena Amin dengan gerakan sangat perlahan, akhirnya mengeluarkan dompetnya yang sudah lusuh, lalu menarik uang di dompetnya yang berjumpah tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah. Dengan tangan gemetar, sekilas Amin melirik Jihan yang tersenyum senang padanya. Senyum yang mampu memperpanjang semangat hidupnya.
Amin menghela nafas panjang, lalu memberikan uang yang ia punya pada kasir toko buku. Jihan pun dengan senang menerima goodie bag yang berisi enam novel pilihannya, yang diberikan oleh kasir.
"Makasih, Bang." Jihan berjalan lebih dulu, meninggalkan Amin yang mengekorinya di belakang. Tiba-tiba saja, perut Jihan berteriak lapar. Diliriknya Amin yang kini tersenyum tipis di belakanganya.
"Bang Amin, Jihan lapar. Itu ada restoran fried chicken. Makan itu yuk, Bang Amin masih ada uangkan?" tanya Jihan dengan penuh semangat. Sedangkan wajah Amin berubah pias.
"Ada nih, sisa gopek koin!" Amin menunjukkan satu keping koin lima ratus rupiah, yang ia ambil dari saku kemeja batiknya.
"Yah ... Jihan lapar nih. Masa harus nahan lapar sih? Ntar kalau maag Jihan kambuh bagaimana, Bang Amin mau tanggung jawab? Ngajakin jalan, tapi gak bawa duit. Payah ah, Bang Amin," gerutu Jihan marah sambil menghentak-hentakkan kakinya.
"Jihan, tadikan uang saya dipakai Jihan. Niqtnya juga saya mau traktir Jihan makan pecal lele, karena saya juga sudah lapar. Namun, uang yang saya bawa udah Jihan pinjam untuk bayar buku Jihan, jadi ...."
"Alah, alesan aja. Udah! Jihan males sama Bang Amin. Jihan mau pulang aja!" Jihan sudah berjalan cepat ke arah parkir, sambil memainkan ponselnya.
"Kita pulang saja naik taksi online, nanti Abang yang bayar ongkosnya, begitu sampai di rumah," bujuk Amin pada wanita yang sangat ia cintai ini. Bahkan Amin memberanikan diri memegang lengan Jihan,agar Jihan menghentikan langkahnya ke arah pelataran toko buku.
"Lepas, Bang. Jihan udah pesan ojol saja. Tuh, dia!" Jihan menepis kuat tangan Amin, lalu berlari menghampiri ojol yang sudah menunggunya.
"Jalan, Bang!" ujar Jihan tak sabar, ia takut Amin mengejarnya dan meminta ia turun dari ojek online.
"Jihaan!" teriak Amin, tepat saat ojek online itu melesat membawa Jihan pergi dari hadapannya.
Tinggalah Amin sendiri di tengah hiruk pikuk jalan raya. Matanya menoleh ke kanan, ke kiri. Betapa masih sangat jauh kalau berjalan kaki sampai di rumah. Bisa-bisa pukul sepuluh malam ia baru sampai, ditambah belum makan dalam cuaca dingin seperti ini. Amin mengangkat kepalanya, melihat bintang di langit yang begitu banyak menghiasi malam. Bintang-bintang itu tak sendiri, selalu ada teman-teman di atas sana. Saling berbagi keluh dan kesah. Lalu ia bagaimana?
Amin berjalan dengan lemah menyusuri trotoar jalan, agar bisa sampai di Gang Mawar. Masih sangat jauh serta harus melewati dua lampu merah jalan raya besar. Tak apalah, mau bagaimana lagi? Tidak mungkin ia naik angkutan dan membayar dengan uang lima ratus rupiah. Mau pesan ojol, dia tak memiliki paket internet, baru saja habis saat akan pergi ke toko buku tadi.
Ingin protes dan marah sebenarnya pada Jihan, tetapi mana mungkin. Bisa-bisa Jihan enggan lagi bepergian dengan dirinya, dan mencoret namanya dari daftar kandidat calon suami. Dia harus belajar sabar, namanya juga anak perawan. Butuh perjuangan dan modal ekstra untul mendapatkan mereka.
Hidung Amin membaui aroma ikan lele yang tengah digoreng dari kejauhan. Ya, saat ini ia berjalan melewati jejeran pedagang makanan malam. Mulai dari martabak telur dan manis, pedagang, bubur ayam, pedangang ketoprak malam, pedagang nasi goreng, pedagang nasi kucing, pedagang wedang jahe, dan paling ujung ada pedagang pecal lele. Perut Amin semakin keroncongan, saat semakin mendekati warung makan itu.
Cacingnya seakan tengah melakukan orasi, meneriakkan kata lapar dengan begitu kencang. Amin meletakkan tangannya di atas perut, lalu berkata," sabar ya, Cing. Sampai kontrakan kita makan telur ceplok pakai kecap. Sabar ya," ujarnya berbisik pada perutnya.
"Bang Amin!" suara teriakan seorang wanita membuat Amin menoleh.
"Eh, Ibu," sahutnya sambil menunduk, lalu tersenyum.
"Mau ke mana? Kok jalan kaki? Sini!" panggil wanita itu dengan semangat.
"Saya mau pulang, Bu," jawabnya masih berdiri di depan tenda warung pecal lele. Tak berani ia masuk ke dalam, khawatir diminta untuk bayari makan wanita itu.
"Jalan kaki?"
"Iya."
"Saya antar saja ya, kan kita searah, tapi saya makan dulu. Sini, Bang, duduk!" Ririn menepuk sisi kosong kursi di sampingnya. Amin hanya tersenyum, tak berani masuk.
"Sini, Bang! Ngapain di sana? Takut disuruh bayarin ya? Ha ha ha ...." Ririn tergelak.
"Tenang, Bang. Janda kayak saya mah, bukan janda licik! Ayo, duduk di sini!" kata Ririn lagi setengah memaksa.
"Bu, teh hangat satu ya," pesan Ririn pada si ibu penjual pecal lele. Amin duduk tepat di sampingnya dengan ragu-ragu.
Krruk
KrrukRirin seketika menoleh, pada Amin yang menyeringai sambil memegang perutnya.
"Abang lapar? Belum makan?" tanya Ririn lagi. Kali ini memandang Amin dengan seksama. Lelaki itu mengangguk pelan sambil menahan senyum.
"Bu, pecel lele satu lagi ya?" suara Ririn kembali memesan.
"Mau pakai nasi uduk atau nasi biasa, Bang? Trus, ikannya garing atau biasa?" tanya Ririn pada Amin, sambil tetap menyuapi Dira daging ikan lele.
"Aduh, gak usah, Bu. Saya jadi gak enak. Gak papa, saya minum teh saja," tolaknya halus, karena perasaannya benar-benar sungkan pada Ririn.
"Gak baik nolak rezeki, Bang. Nasi uduk ya, ikannya goreng garing, bagaimana?"
Amin mengangguk kaku, "terimakasih, Bu. Maaf saya merepotkan," ujar Amin dengan malu-malu.
Inilah yang dinamakan rezeki. Siapa sangka ia bertemu Ririn, janda yang tadi pagi sebagai penglaris bengkelnya. Janda yang memiliki keistimewaan saat berjalan, karena kakinya pincang. Ternyata janda yang baik hati dan tidak tidak perhitungan. Amin dapat makan dengan lahap, tanpa diganggu oleh Ririn. Janda itu sibuk dengan balitanya yang ikut makan bersamanya.
Setelah semua selesai makan, Ririn memberikan sejumlah uang pada ibu penjual pecal lele. Lalu dengan langkah sedikit terseok berjalan ke parkiran motornya, diikuti Amin yang berjalan di belakangnya sambil memperhatikannya.
"Biar saya yang bawa motornya, Bu. Kasian Ibu pasti repot bonceng saya, sambil bawa bayi gitu," kata Amin sambil menawarkan bantuan. Ririn mengangguk, lalu tersenyum.
Amin mengendarai motor matic Ririn, membelah jalan raya sambil membonceng Ririn di belakangnya.
"Kenapa pulang malam, Bu?" tanya Amin berbasa-basi, saat mereka berhenti di lampu merah.
"Saya keliling cari kerja, Bang. Sekalian interview tadi."
"Oh, gitu. Mau kerja apa?"
"Apa saja, asal halal. Namun, sepertinya belum rezeki hari ini, Bang, karena kaki saya cacat. Tak apa, besok saya keliling lagi cari pekerjaan."
"Oh, trus anaknya dibawa-bawa?"
"Nggak, Bang. Saya titipkan di mama saya."
"Oh, begitu. Semangat ya, Bu."
"Selama masih ada nafas dan sehat, kita harus semangat Bang. Ya, walaupun cacat, saya yakin, saya masih berkesempatan memiliki suami, eh ... rezeki maksudnya."
Amin tersenyum. Dihirupnya udara malam yang sekarang tidak terlalu dingin, karena ada balita Ririn yang duduk cukup dekat di belakangnya.
"Terimakasih untuk traktirannya, Bu. Lain waktu, saya deh gantian yang traktir," kata Amin begitu turun di depan Gang Mawar.
"Jangan dipikirkan, Bang. Santai saja. Mari, saya pamit." Ririn pindah duduk di depan, lalu melesatkan motornya, meninggalkan Amin yang masih berdiam diri di depan gang. Setelah Ririn menghilang di belokan arah komplek, Amin pun berjalan masuk ke dalam Gang Mawar.
"Hi hi hi ... geli, Mas. Jangan begini, nanti dilihat Papa," ujar Jihan dengan mesranya pada seorang pria yang mengendarai motor besar. Keduanya tengah duduk merajut kasih di kursi teras rumah Jihan. Amin menoleh, tepat saat Jihan pun menyadari kehadiran Amin di depan rumahnya. Karena memang rumah kontrakan Amin, persis di depan rumahnya. Jihan membuang muka, lalu fokus kembali pada pacarnya.
Amin membuka kunci rumah, lalu masuk ke dalam dengan hati sakit.
Dengan perawan uangku habis, dengan janda malah ditraktir. Apakah harus berubah haluan?
*****
~Bersambung~Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama.Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang."Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios."Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celinga
Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.GgrreeSuara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak."Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya p
Dua hari sudah berlalu, sejak insiden Jihan yang lalai saat dititipin pulsa oleh Amin. Gadis itu juga tak nampak batang hidungnya, bahkan pesan WA-nya pun tak aktif. Ami melirik sekilas, ke pintu rumah Pak RW yang masih tertutup rapat, saat ia akan keluar bekerja hari ini. Besok adalah hari di mana, Jihan akan menjawab ajakannnya waktu itu. Apakah Jihan akan menerimanya? Ataukah Jihan akan menolaknya?Sebenarnya, ada sedikit keraguan di hati Amin, setekah beberapa kali harus korban isi dompet saat berdekatan dengan Jihan. Kekhawatiran itu ada, bahkan semakin ke sini, semakin kuat. Hanya saja, ia masih sangat berharap mendapatkan seorang pendamping hidup yang masih gadis. Ia tak ingin seperti Rahmat, Ojan, Panjul, dan Asep, teman-teman STM-nya itu menikah dengan para janda. Ia tak mau sama, ia ingin mendapatkan perawan ting-ting, bukan bekas siapa-siapa.Agar dia bisa lebih percaya diri dan pamer pada teman-temannya, saat ia pulang ke Yogya nanti. Sepertinya memang
"Alhamdulillah. Soto ayamnya enak sekali, Bang. Beli di mana?" puji Ririn setelah menenggak habis kuah soto di dalam mangkuk. Tanpa rasa sungkan, tadi Ririn malah minum langsung dari mangkuknya, hingga membuat Amin tercengang. Sungguh wanita yang sangat cuek, pikirnya."Oh, itu Bu. Di dekat kios bengkel saya," jawab Amin sambil melirik sebentar ke arah Ririn. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Ririn sangat cantik. Natural, kulitnya putih bersih, tanpa jerawat di wajahnya."Oh, iya Bang. Kapan-kapan saya mau mampir deh, beli di sana," timpal Ririn."Minum, Bang!" Ririn mengangkat cangkir teh hangat untuk Amin, lalu memberikannya ke tangan Amin. Tanpa disengaja, Amin kembali kesetrum, saat sedikit dan hanya sepersekian detik kulit tangan Ririn menyentuh jemarinya. Amin menggerakkan kepalanya, seperti ingin tersadar dari sesuatu."Kenapa, Bang?" tanya Ririn keheranan."Ada gempa gak sih, Bu?" Amin malah berbalik tanya pada Ririn. Kali ini wajahnya
Amin bangun pagi dengan begitu semangat, setelah semalam berbalas pesan pada Ririn. Walau tak lama dan tak banyak, tetap saja cukup menghibur hatinya yang kesal dengan Jihan. Tidurnya nyenyak, dan bangun tepat pukul empat, untuk segera bersiap ke masjid.Ada Mbak Katini yang sedang menyapu teras kontrakan, saat dirinya mau melewati jalan di depan rumah kontrakan Mbak Katini. Namun, langkahnya terhenti. Dalam diam, ia menanti Mbak Katini masuk ke dalam rumah. Jujur, ia sudah tak sanggup mencoba aneka olahan pisang yang dibuat oleh Mbak Katini.Begitu Mbak Katini masuk ke dalam rumah, serta menutup sedikit pintu rumahnya, Amin berlari melesat, bagai dikejar setan untuk segera sampai di rumahnya. Dengan nafas ngos-ngosan, akhirnya Amin selamat dari Ratu Pisang. Julukan yang diberikan Imron pada Mbak Katini. Karena bukan hanya dengan dirinya, Imron pun kerap menjadi sasaran olahan pisang. Entahlah, apa sebenarnya dari maksud Mbak Katini.Mata Amin melirik sedi
Jihan merasa masa bodoh dengan Amin yang sedang repot membantu ibu-ibu di depan jalan sana. Bahkan ia memesan lagi dua bungkus mie ayam untuk dibawa pulang, sebagai oleh-oleh untuk mama dan papanya. Minuman es teh manis juga ia pesan lagi, sedangkan mie ayam pesanan Amin belum juga tersentuh."Dek Jihan, tunggu ya, saya benerin ini ke bengkel depan!" ujar Amin dengan sedikit berteriak. Jihan tersenyum kecut, lalu mengangguk. Ia masih fokus pada mangkuk mie ayam dan minumannya, sambil memainkan ponsel, sedangkan Amin sudah berjalan mendorong motor Ririn menuju bengkel yang masih buka."Ibu kalau capek, tunggu di sini saja, biar saya bawa motornya ke depan," kata Amin sambil menatap wajah lelah Ririn yang kepayahan berjalan sambil menggendong Dira yang tertidur."Saya ikut saja, Bang. Gak papa. Maaf ya, Bang. Saya jadi ganggu kencan Bang Amin," kata Ririn merasa tak enak."Gak papa, Bu. Ya udah, kalau gitu, pelan-pelan saja jalannya, j
Amin masih terus saja menghubungi nomor ponsel Jihan, tetapi sepertinya sudah diblokir, karena nomornya tak kunjung tersambung. Amin duduk di dekat jendela mengintip keadaan rumah Jihan, yang lampunya sudah padam. Dengan tubuh lemas tak bertulang, ia kembali ke atas kasur busanya, kali ini mencoba mengirimkan pesan pada Jihan. Namun, sepertinya nomornya memang telah diblokir oleh Jihan."Heh, ditolak. Ya sudahlah. Mungkin belum jodoh. Masih banyak janda-janda di luaran sana, atau anak perawan yang ekonomis. Diajak makan cilok doang udah tersenyum manis. Daripada perawan bintang lima," gumam Amin sebelum menutup matanya.Di dalam rumahnya, Jihan tak kunjung bisa tidur, karena Edo tak mengaktifkan ponselnya, padahal ia ingin sekali bercerita tentang kekesalannya pada Amin. Sang papa juga baru saja memarahinya habis-habisan karena terus saja berulah dengan Amin. Semua tentu saja karena Edo. Lelaki itulah yang menyuruh dirinya mendekati dan mempermainka
Amin tergelak saat melihat tiga kustomer jandanya, satu per satu pergi meinggalkan bengkelnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu. Ririn pun ikut terheran. "Bang, kok pada pergi? Emang itu bertiga mau ngapain di depan bengkel Abang? Abang punyasecuritybengkel?Kok banyak banget sampe tiga orang? Mana gak pada pake seragam lagi? Aneh jugasecuritydi cantelan motornya ada bawang dan cabe seperapat," cecar Ririn tiada henti, membuat Amin bingung mau menjawab yang mana lebih dahulu. Bahkan Amin tertawa mendengar ocehan Ririn."Ck, malah ketawa lagi! Udah ah, saya mau ke warung dulu. Mau nyari pisang, mau bikin kripik. Abang mau?" tanya Ririn dengan senyuman lebar. Amin hanya bisa membalas dengan senyuman sumbang. "Ya Allah, kenapa harus pisang lagi?" gumamnya dalam hati."Bye Paklek!" Ririn mengajarkan pada Dira untuk melambaikan tangan pada Amin. Gadis kecil itu pun menurut, ia melambai