Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.
Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.
Ggrree
Suara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak.
"Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya pada Jihan.
"Ada apa, Dek Jihan? Maaf, Abang gak balas pesan Dek Jihan, karena memang belum isi pulsa," terang Amin jujur, agar Jihan tak merasa kecewa pada dirinya.
"Gak papa, Bang. Saya cuma lagi sedih saja." Raut wajahnya ia buat sekusut mungkin agar Amin iba.
"Sabar, Dek. Wanita yang baik, hanya untuk lelaki yang baik. Bisa saja, Mas Edo memang tidak baik, untung Tuhan menunjukkannya sekarang, bagaimana nanti kalau sudah menikah, lebih susah lagi. Sabar ya, Dek Jihan." Amin memang merasa iba, apalagi tiba-tiba Jihan meringis, seperti memaksakan sesuatu.
"Ada apa, Dek? Apa yang sakit?" tanya Amin khawatir.
"Sial! Mana sih nih air mata, gue ampe ngeden-ngeden gini, gak keluar juga." Jihan bermonolog. Wajahya menunduk, sambil berusaha memaksakan air mata untuk keluar.
"Sudah, sabar ya. Ada Abang di sini yang akan senang mengibur Jihan. Mm ... kalau Jihan mau, Abang juga bisa menjadi pengganti Edo. Bagaimana?" tanya Amin, entah dari mana berasal keberaniannya. Jihan yang tadinya menunduk, kini perlahan menganggkat wajahnya, menatap wajah Amin dengan sendu, padahal di dalam hatinya, begitu malas melihat wajah Amin seperti ini, ditambah rambut klimis Amin yang membuatnya ingin muntah saja.
"Benar Bang Amin mau jadi pacar saya?" tanya Jihan berpura-pura malu.
"I-iya, Dek. Abang janji, akan memberikan yang terbaik untuk Jihan dan gak akan selingkuh," ujar Amin mantap sambil mengulas senyum penuh rasa bahagia.
"Ya udah, Jihan pikirkan dulu ya, Bang, karena Jihan masih sedih. Malam minggu depan, Jihan kasih jawabannya," sahut Jihan kembali berpura-pura kebingungan.
"Alhamdulillah, semoga jawabannya iya," timpal Amin sungguh tak sabar.
"Abang udah mau pulang ya?"
"Iya, Dek. Mau sholat magrib di masjid."
"Nanti malam, kalau Jihan WA berarti Bang Amin gak bisa balas dong." Wanita itu kini cemberut.
"Eh, iya ya. Ya sudah, nanti Abang isi pulsa."
"Sini uangnya! Biar saya yang belikan Abang pulsa," kata Jihan sambil menengadahkan tangannya. Amin tentu saja mengangguk, lalu mengeluarkan uang lima puluh ribu untuk Jihan.
"Paketan smart****d yang sepuluh GB saja, Dek. Kembalian lima ribu buat Jihan saja nanti."
"Oke, Bang. Jihan ke tukang pulsa dulu ya." Tanpa menunggu Amin menjawab, Jihan sudah ngacir berlari meninggalkan Amin yang memekik senang dalam hati. Sungguh ia harus sujud sukur, begitu ia jadian dengan Jihan.
Semangatnya menggebu, melangkah pulang dengan hati penuh rasa gembira. Akhirnya, setelah hidup selama dua puluh tujuh tahun, ia akhirnya sebentar lagi, ia memiliki pacar perawan.
"Pulang Bang Amin," tegur Mbak Katini, saat Amin melewati depan kontrakan Mbak Katini.
"Eh, iya Mbak. Mari," sahut Amin sambil mengulas senyum manis.
"Eh, tunggu Bang!"
Langkah Amin terhenti, nampak Mbak Katini tergopoh masuk ke dalam rumahnya, lalu tak lama keluar lagi dengan membawa piring berisikan pisang goreng.
"Buat ngemil nanti malam, Bang," katanya sambil menyodorkan piring itu pada Amin.
"Ya Allah, jadi merepotkan Mbak. Makasih banyak ya," kata Amin yang tentu saja merasa senang, karena lagi-lagi hari ini ia tidak perlu membeli makanan. Hasil yang didapatnya hari ini utuh, empat ratus ribu rupiah, dikurangi tadi lima puluh ribu untuk membeli pulsa.
"Gak repot kok, Bang. Dimakan ya, Bang. Pasti enak. Saya jagonya mengolah pisang loh," ujar Mbak Katini dengan wajah bersemu merah.
"Baik, Mbak. Makasih ya, saya pamit dulu. Sudah mau magrib." Amin berjalan dengan membawa piring Mbak Katini. Masih seratus meter lagi berjalan lurus, lalu belok kiri, setelah itu sampai di rumah kontrakannya.
Begitu sampai di rumah, tempat yang pertama kali ia masuki adalah kamar mandi. Tubuhnya serasa segar setelah mandi dan keramas. Tak lupa ia pun berwudhu untuk bersiap sholat magrib.
Baju koko putih, sarung kotak-kotak coklat, serta peci hitam, menjadi pilihannya untuk ke masjid sore ini. Sekilas ia melirik ponselnya, mengecek apakah pulsa yang dititip belikan oleh Jihan sudah masuk, ternyata belum, padahal sudah setengah jam yang lalu. Amin mengulas senyum, bisa saja tidak langsung masuk memang, dia pun saat membeli pulsa seperti itu. Tidak langsung masuk.
Suara adzan pun berkumandang, Amin bergegas keluar rumah, saat akan mengunci pintu rumah, ia melirik sekilas ke rumah Pak RW, tak ada tanda-tanda Jihan sudah pulang, karena sandal yang tadi Jihan pakai, tidak ada di sana.
Amin pun berjalan ke masjid yang letaknya persis di depan jalan masuk Gang Mawar. Untunglah ia tidak tertinggal sholat. Amin dapat melaksanakan sholat dengan khusuk.
Selesai sholat, Amin pun hendak langsung pulang. Ia bersiap untuk saling berbalas pesan dengan Jihan, sambil menikmati pisang goreng buatan Mbak Katini.
Sesampainya di depan rumah, Amin kembali menoleh ke rumah Jihan, hanya ada Bu RW di sana, sedang berbincang dengan Bu Abdul.
"Permisi, Bu.Jihannya ada gak, Bu?" tanya Amin pada Bu RW.
"Gak ada, belum pulang dari sore. Katanya makan bakso sama Edo," jawab Bu RW, lalu menyambung kembali obrolannya dengan Bu Abdul.
"Oh, makasih Bu."
Perasaan Amin menjadi tak enak. Kenapa masih makan bakso dengan Edo? Amin bermonolog. Ia masuk ke dalam rumah, lalu mengganti pakaian. Berkali-kali, ia membuka ponselnya, menunggu pulsa yang akan dibelikan oleh Jihan. Namun, tak kunjung juga ada pesan tanda pulsa sudah diisi.
Amin pun memencet tombol informasi pulsa. Benar saja, pulsa internetnya 0 GB, sedangkan pulsa teleponnya 0 rupiah.
"Aduh, masa sih Jihan tega mengerjaiku lagi," gumam Amin sambil meremas rambutnya dengan kasar.
Bolak-balik ia masuk ke dalam rumah, lalu keluar rumah, duduk di teras. Sungguh malam yang tak tenang, karena Jihan belum juga menampakkan batang hidungnya. Pisang goreng di atas piring buatan Mbak Katini, kini tak lagi selera untuk disantap, karena hatinya yang benar-benar gundah.
Beep
Beep["Bang Amin, maafin Jihan. Voucher pulsa internet Bang Amin jatuh, saat saya mampir beli gorengan tadi. Gimana dong, Bang? Maaf ya, besok minta saja sama Mama Jihan."]
Bahu Amin melorot, "ya Allah, ada-ada saja. Kenapa selalu berakhir tidak beres seperti ini sih?" gumamnya lagi dengan kesal. Dihentakkannya tubuhnya kasar di atas kasur busa single miliknya, memandang langit-pangit kamar yang kini seakan mengejek kesialannya yang terus menerus.
Beep
Beep["Bang Amin, coba cek pulsa. Saya salah nomor, saat isi pulsa. Malah ke nomor Abang, tapi gak papa, itu tandanya rezeki Abang. Gak usah diganti."]
["Ririn."]
0857899XXXX.
Dengan gemetar, Amin memencet tombol pengecekan pulsa. Amin merasa begitu gembira, saat melihat saldo pulsanya ada lima puluh ribu. Lekas ia membalas pesan dari Ririn.
["Terimakasih banyak, Bu. Besok mampir ke bengkel ya, saya traktir soto."]
Amin mendekap ponselnya, sambil mengulum senyum senang.
*****
Dua hari sudah berlalu, sejak insiden Jihan yang lalai saat dititipin pulsa oleh Amin. Gadis itu juga tak nampak batang hidungnya, bahkan pesan WA-nya pun tak aktif. Ami melirik sekilas, ke pintu rumah Pak RW yang masih tertutup rapat, saat ia akan keluar bekerja hari ini. Besok adalah hari di mana, Jihan akan menjawab ajakannnya waktu itu. Apakah Jihan akan menerimanya? Ataukah Jihan akan menolaknya?Sebenarnya, ada sedikit keraguan di hati Amin, setekah beberapa kali harus korban isi dompet saat berdekatan dengan Jihan. Kekhawatiran itu ada, bahkan semakin ke sini, semakin kuat. Hanya saja, ia masih sangat berharap mendapatkan seorang pendamping hidup yang masih gadis. Ia tak ingin seperti Rahmat, Ojan, Panjul, dan Asep, teman-teman STM-nya itu menikah dengan para janda. Ia tak mau sama, ia ingin mendapatkan perawan ting-ting, bukan bekas siapa-siapa.Agar dia bisa lebih percaya diri dan pamer pada teman-temannya, saat ia pulang ke Yogya nanti. Sepertinya memang
"Alhamdulillah. Soto ayamnya enak sekali, Bang. Beli di mana?" puji Ririn setelah menenggak habis kuah soto di dalam mangkuk. Tanpa rasa sungkan, tadi Ririn malah minum langsung dari mangkuknya, hingga membuat Amin tercengang. Sungguh wanita yang sangat cuek, pikirnya."Oh, itu Bu. Di dekat kios bengkel saya," jawab Amin sambil melirik sebentar ke arah Ririn. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Ririn sangat cantik. Natural, kulitnya putih bersih, tanpa jerawat di wajahnya."Oh, iya Bang. Kapan-kapan saya mau mampir deh, beli di sana," timpal Ririn."Minum, Bang!" Ririn mengangkat cangkir teh hangat untuk Amin, lalu memberikannya ke tangan Amin. Tanpa disengaja, Amin kembali kesetrum, saat sedikit dan hanya sepersekian detik kulit tangan Ririn menyentuh jemarinya. Amin menggerakkan kepalanya, seperti ingin tersadar dari sesuatu."Kenapa, Bang?" tanya Ririn keheranan."Ada gempa gak sih, Bu?" Amin malah berbalik tanya pada Ririn. Kali ini wajahnya
Amin bangun pagi dengan begitu semangat, setelah semalam berbalas pesan pada Ririn. Walau tak lama dan tak banyak, tetap saja cukup menghibur hatinya yang kesal dengan Jihan. Tidurnya nyenyak, dan bangun tepat pukul empat, untuk segera bersiap ke masjid.Ada Mbak Katini yang sedang menyapu teras kontrakan, saat dirinya mau melewati jalan di depan rumah kontrakan Mbak Katini. Namun, langkahnya terhenti. Dalam diam, ia menanti Mbak Katini masuk ke dalam rumah. Jujur, ia sudah tak sanggup mencoba aneka olahan pisang yang dibuat oleh Mbak Katini.Begitu Mbak Katini masuk ke dalam rumah, serta menutup sedikit pintu rumahnya, Amin berlari melesat, bagai dikejar setan untuk segera sampai di rumahnya. Dengan nafas ngos-ngosan, akhirnya Amin selamat dari Ratu Pisang. Julukan yang diberikan Imron pada Mbak Katini. Karena bukan hanya dengan dirinya, Imron pun kerap menjadi sasaran olahan pisang. Entahlah, apa sebenarnya dari maksud Mbak Katini.Mata Amin melirik sedi
Jihan merasa masa bodoh dengan Amin yang sedang repot membantu ibu-ibu di depan jalan sana. Bahkan ia memesan lagi dua bungkus mie ayam untuk dibawa pulang, sebagai oleh-oleh untuk mama dan papanya. Minuman es teh manis juga ia pesan lagi, sedangkan mie ayam pesanan Amin belum juga tersentuh."Dek Jihan, tunggu ya, saya benerin ini ke bengkel depan!" ujar Amin dengan sedikit berteriak. Jihan tersenyum kecut, lalu mengangguk. Ia masih fokus pada mangkuk mie ayam dan minumannya, sambil memainkan ponsel, sedangkan Amin sudah berjalan mendorong motor Ririn menuju bengkel yang masih buka."Ibu kalau capek, tunggu di sini saja, biar saya bawa motornya ke depan," kata Amin sambil menatap wajah lelah Ririn yang kepayahan berjalan sambil menggendong Dira yang tertidur."Saya ikut saja, Bang. Gak papa. Maaf ya, Bang. Saya jadi ganggu kencan Bang Amin," kata Ririn merasa tak enak."Gak papa, Bu. Ya udah, kalau gitu, pelan-pelan saja jalannya, j
Amin masih terus saja menghubungi nomor ponsel Jihan, tetapi sepertinya sudah diblokir, karena nomornya tak kunjung tersambung. Amin duduk di dekat jendela mengintip keadaan rumah Jihan, yang lampunya sudah padam. Dengan tubuh lemas tak bertulang, ia kembali ke atas kasur busanya, kali ini mencoba mengirimkan pesan pada Jihan. Namun, sepertinya nomornya memang telah diblokir oleh Jihan."Heh, ditolak. Ya sudahlah. Mungkin belum jodoh. Masih banyak janda-janda di luaran sana, atau anak perawan yang ekonomis. Diajak makan cilok doang udah tersenyum manis. Daripada perawan bintang lima," gumam Amin sebelum menutup matanya.Di dalam rumahnya, Jihan tak kunjung bisa tidur, karena Edo tak mengaktifkan ponselnya, padahal ia ingin sekali bercerita tentang kekesalannya pada Amin. Sang papa juga baru saja memarahinya habis-habisan karena terus saja berulah dengan Amin. Semua tentu saja karena Edo. Lelaki itulah yang menyuruh dirinya mendekati dan mempermainka
Amin tergelak saat melihat tiga kustomer jandanya, satu per satu pergi meinggalkan bengkelnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu. Ririn pun ikut terheran. "Bang, kok pada pergi? Emang itu bertiga mau ngapain di depan bengkel Abang? Abang punyasecuritybengkel?Kok banyak banget sampe tiga orang? Mana gak pada pake seragam lagi? Aneh jugasecuritydi cantelan motornya ada bawang dan cabe seperapat," cecar Ririn tiada henti, membuat Amin bingung mau menjawab yang mana lebih dahulu. Bahkan Amin tertawa mendengar ocehan Ririn."Ck, malah ketawa lagi! Udah ah, saya mau ke warung dulu. Mau nyari pisang, mau bikin kripik. Abang mau?" tanya Ririn dengan senyuman lebar. Amin hanya bisa membalas dengan senyuman sumbang. "Ya Allah, kenapa harus pisang lagi?" gumamnya dalam hati."Bye Paklek!" Ririn mengajarkan pada Dira untuk melambaikan tangan pada Amin. Gadis kecil itu pun menurut, ia melambai
Jihan berlari meninggalkan kios bengkel Amin dengan hati dongkol. Gara-gara seorang ibu-ibu cacat, dia gagal memperdaya Amin. Padahal sedikit lagi caranya berhasil. Dengan menaiki ojek pangkalan, Jihan melesat pergi entah kemana, meninggalkan Amin yang masih terbengong. Antara percaya atau tidak dengan yang Ririn katakan."Bang Amin, siapa cewek itu? Apa dia cewek yang Bang Amin taksir?" cecar Ririn sambil menatap Amin dengan serius."I-iya, Bu," jawab Amin sambil menunduk."Trus, kalau saya tidak datang ke sini, apa Bang Amin benar-benar akan mengganti ponsel sampah dengan harga sepuluh juta?"Amin tak menjawab, ia hanya bisa menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, Bang Amin. Gadis itu sudah membodohi Bang Amin. Itu namanya pemerasan. Di mana rumah bocah itu? Ayo kita datangi orang tuanya. Mereka harus tahu kelakuan anak perawan mereka seperti apa." Ririn menarik tangan Amin untuk keluar dari bengkel. Namun, Amin menahan tubuhny
Amin menumpang motor Imron kembali ke kontrakannya. Hari masih lagi siang, Imron sempat mengajak Amin untuk ikut berkumpul bersama teman-teman yang lain, tetapi Amin menolak. Entah kenapa, ia merasa begitu kecewa dengan kenyataan bahwa Ririn sudah pindah rumah. Padahal dia belum mengucapkan terimakasih, serta belum memberikan hadiah yang ia sudah beli semalam. Paling tidak, seharusnya ada perkataan dari Ririn, bahwa ia akan secepat ini pindah. Jika seperti ini, tentulah ia kebingungan sendiri."Min, udah sampe. Masih bengong aja! Mau turun kagak?" tegur Imron saat mendapati Amin masih saja melamun di atas motornya."Eh, iya. Makasih, Im," ujar Amin dengan senyuman kecut. Lekas ia turun dari motor Imron, lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya, bahkan tanpa menoleh lagi pada Imron."Tuh anak kenape ye? Di depan pagar rumah orang tadi girang banget mukanya, giliran yang punya rumah pindah, mukanya kayak orang kesambet. Apa jangan-jangan ...." gumam Imron