Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama.
Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang.
"Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios.
"Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celingak-celinguk mencari kendaraan roda dua milik Mbak Elin yang selalu saja mogok.
"Gak mogok kok Bang Amin, saya bukan mau benerin motor saya, tapi mau benerin hati saya," ujar Elin sambil menundukkan wajahnya yang merona malu.
"Hati di sini?" Amin yang masih tak paham, menunjuk dadanya untuk memastikan, bagian tubuh Elin yang sakit. Elin mengangguk, lalu perlahan mengangkat wajahnya menatap wajah tak paham Amin.
"Ya Allah, sejak kapan Mbak? Kalau kata dokter, bisa diobati apa harus dioperasi?" tanya Amin dengan polosnya. Tentu saja hal itu malah membuat Elin tergelak, hingga tubuhnya bergetar.
"Bukan benerin hati ke dokter, Bang, tapi benerin hati ke ...."
"Assalamualaikum, Bang Amin. Ini ada kolak pisang dari Mama," ujar seorang anak kecil berusia tujuh tahun, sambil menyodorkan semangkuk kolak pisang hangat pada Amin. Anak kecil lelaki itu adalah anak dari Nengsih, si janda berkerudung yang memiliki satu anak.
"Eh, makasih bilang Mama ya. Nanti Abang kembalikan mangkuknya," balas Amin dengan wajah sumringah penuh suka cita, karena mendapat kiriman makanan dari Mbak Nengsih.
Wajah Elin.cemberut, ia terlalu banyak basa-basi, jadi keduluan janda lainnya. Padahal di tangannya membawa plastik yang berisi kotak bekal nasi goreng, untuk sarapan Amin.
"Ini, saya juga bawain nasi goreng buat sarapan Bang Amin. Dimakan ya, Bang. Saya permisi dulu." Elin cemberut, dengan bergegas naik ke atas motornya, lalu melesat pergi meninggalkan Amin yang terbenhong, sampai lupa mengucapkan terimakasih.
Rezeki anak sholeh, di saat keuangan morat-marit, ada saja rezeki dari para wanita single baik yang selalu saja royal pada dirinya, yang bahkan cenderung menganggap para janda yang selalu mencoba menarik perhatiannya. Amin melihat kotak bekal nasi goreng dengan telur ceplok, serta tak lupa kerupuk di bawakan juga di dalam plastik lebih kecil. Aroma nasi goreng lebih menggoda perutnya, sehingga ia memutuskan akan sarapan dengan nasi goreng saja. Sedangkan kolak pisang dari Nengsih, akan dia makan sebagai snack jam sepuluh siang nanti.
"Bismillah." Amin mulai menyuapkan satu sendok pertama.
"Hhuu ... Ha ... Pedas juga ya. Aduh, perutku nanti sakit lagi." Amin merasa ragu saat suapan kedua nasi goreng, perutnya mulai bergolak. Amin memutuskan menutup kotak bekal itu, lalu menyimpannya di atas meja kecil di dalam kiosnya.
"Biar buat Imron saja deh, nanti," gumam Amin.
Suara motor berhenti di depan kios. Amin berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. Ternyata ada Mbak Sena, si janda beranak tiga.
"Bang Amin lagi sepi nih, tumben," ujar Sena saat turun dari motornya. Senyuman manis ia berikan pada Amin yang tentu saja senang dengan kehadiran Sena, karena ia mendapat pelanggan pertama.
"Apa yang rusak, Mbak?" tanya Amin saat menghampiri motor Sena yang terparkir persis di samping kiosnya.
"Motor saya aman, Bang. Saya cuma mau nganter ini, soto ayam santan untuk Bang Amin." Sena menyerahkan paper bag yang lumayan berat pada Amin, sambil tersenyum.
"Eh, jadi ngerepotin Mbak, makasih banyak ini," ujar Amin sungkan, tetapi tangannya menerima papar bag itu dengan penuh suka cita.
"Saya pamit, Bang. Selamat makan, selamat menikmati masakan saya," ujar Sena sambil naik ke atas motornya, lalu menyalakan mesin.
Sepeninggal Sena, Amin berjalan masuk ke dalam kiosnya. Ia meletakkan bungkusan sarapan yang sudah diberikan oleh ketiga wanita janda padanya. Beruntunglah ia hari ini, bisa pengiritan makan mulai dari sarapan, sampai makan sore. Jadi, ia tidak perlu ke warteg untuk membeli makan siang dan makan sore.
Amin mengambil posisi nyamannya di balik meja. Diambilnya sendok yang tadi dipakai untuk menyuapkan nasi goreng yang pedas, lalu dipakai untuk menyantap soto ayam santan, lengkap dengan nasi hangatnya.
"Bismillah," ucapanya dengan semangat.
Brrmm
Suara motor berhenti, membuat Amin bangun dari duduknya.
"Mbak Ririn, ada apa?" tanyanya kebingungan saat Ririn berdiri di depan bengkelnya, lengkap dengan baju rapi, jaket, helem, serta sambil menggendong anaknya.
"Saya tadi beli bubur ayam. Ingat Bang Amin, kemarin masih sakit perut, jadi saya belikan juga. Ini, Bang
Udah ya, saya jalan lagi, Assalamualaikum." Dengan sedikit terseok, Ririn naik kembali ke atas motor, lalu berlalu dari hadapan Amin.Lagi-lagi Amin tercengang, belum juga sempat ia mengucapkan terimakasih kepada Ririn, wanita itu malah langsung saja pergi. Ada rasa haru, saat ada seseorang yang mengingat akan kesehatannya.
Dengan senyum lebar, Amin menyantap bubur ayam yang dibelikan Ririn, karena jujur saja. Untuk makan masakan bersantan, dia masih ragu, karena perutnya masih belum benar-benar sembuh. Sampai hari ini, ia juga masih harus minum obat dari dokter.
"Makasih banyak Mbak-mbakku semua," gumamnya dalam hati.
Beep
BeepPonsel Amin berbunyi. Bunyi pesan SMS masuk. Amin yang baru saja selesai menyantap bubur ayam enak, langsung menenggak air putih hangat di dalam tumbler miliknya. Setelah itu, Amin mencuci tangan, baru ia mengeluarkan ponsel dari dalam sakunya.
Calon istri
Dada Amin berdegub kencang, saat ada kontak nama Jihan di sana, perasaannya langsung tidak enak. Apalagi yang akan Jihan minta darinya kali ini?
Masih saja ia pandangi pesan itu, tidak berani ia membukanya. Jujur, hatinya masih kesal dengan Jihan.
Ah, tapi penasaran juga. Akhirnya Amin memencet tombol baca.
Bang Amin, Jihan putus dengan Bang Edo. Bang Edo selingkuh sama ibu-ibu
Amin menelan salivanya saat membaca pesan dari Jihan. Tiba-tiba saja, angin sejuk seakan bertiup ke arahnya. Inikah saatnya ia bisa menjadi pacar Jihan?
Sementara itu, wanita yang bernama Jihan, sedang tertawa puas bersama seorang lelaki bernama Edo.
"Abang yakin, Amin akan memberikan apapun yang kamu minta, Jihan. Manfaatkan dia, lumayan Abang jadi rada ngirit. Uang Abang bisa dipakai untuk nabung modal nikah kita, bagaimana?"
****
~Ya Allah, dua ekor singa sedang mengincar Amin~Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.GgrreeSuara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak."Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya p
Dua hari sudah berlalu, sejak insiden Jihan yang lalai saat dititipin pulsa oleh Amin. Gadis itu juga tak nampak batang hidungnya, bahkan pesan WA-nya pun tak aktif. Ami melirik sekilas, ke pintu rumah Pak RW yang masih tertutup rapat, saat ia akan keluar bekerja hari ini. Besok adalah hari di mana, Jihan akan menjawab ajakannnya waktu itu. Apakah Jihan akan menerimanya? Ataukah Jihan akan menolaknya?Sebenarnya, ada sedikit keraguan di hati Amin, setekah beberapa kali harus korban isi dompet saat berdekatan dengan Jihan. Kekhawatiran itu ada, bahkan semakin ke sini, semakin kuat. Hanya saja, ia masih sangat berharap mendapatkan seorang pendamping hidup yang masih gadis. Ia tak ingin seperti Rahmat, Ojan, Panjul, dan Asep, teman-teman STM-nya itu menikah dengan para janda. Ia tak mau sama, ia ingin mendapatkan perawan ting-ting, bukan bekas siapa-siapa.Agar dia bisa lebih percaya diri dan pamer pada teman-temannya, saat ia pulang ke Yogya nanti. Sepertinya memang
"Alhamdulillah. Soto ayamnya enak sekali, Bang. Beli di mana?" puji Ririn setelah menenggak habis kuah soto di dalam mangkuk. Tanpa rasa sungkan, tadi Ririn malah minum langsung dari mangkuknya, hingga membuat Amin tercengang. Sungguh wanita yang sangat cuek, pikirnya."Oh, itu Bu. Di dekat kios bengkel saya," jawab Amin sambil melirik sebentar ke arah Ririn. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Ririn sangat cantik. Natural, kulitnya putih bersih, tanpa jerawat di wajahnya."Oh, iya Bang. Kapan-kapan saya mau mampir deh, beli di sana," timpal Ririn."Minum, Bang!" Ririn mengangkat cangkir teh hangat untuk Amin, lalu memberikannya ke tangan Amin. Tanpa disengaja, Amin kembali kesetrum, saat sedikit dan hanya sepersekian detik kulit tangan Ririn menyentuh jemarinya. Amin menggerakkan kepalanya, seperti ingin tersadar dari sesuatu."Kenapa, Bang?" tanya Ririn keheranan."Ada gempa gak sih, Bu?" Amin malah berbalik tanya pada Ririn. Kali ini wajahnya
Amin bangun pagi dengan begitu semangat, setelah semalam berbalas pesan pada Ririn. Walau tak lama dan tak banyak, tetap saja cukup menghibur hatinya yang kesal dengan Jihan. Tidurnya nyenyak, dan bangun tepat pukul empat, untuk segera bersiap ke masjid.Ada Mbak Katini yang sedang menyapu teras kontrakan, saat dirinya mau melewati jalan di depan rumah kontrakan Mbak Katini. Namun, langkahnya terhenti. Dalam diam, ia menanti Mbak Katini masuk ke dalam rumah. Jujur, ia sudah tak sanggup mencoba aneka olahan pisang yang dibuat oleh Mbak Katini.Begitu Mbak Katini masuk ke dalam rumah, serta menutup sedikit pintu rumahnya, Amin berlari melesat, bagai dikejar setan untuk segera sampai di rumahnya. Dengan nafas ngos-ngosan, akhirnya Amin selamat dari Ratu Pisang. Julukan yang diberikan Imron pada Mbak Katini. Karena bukan hanya dengan dirinya, Imron pun kerap menjadi sasaran olahan pisang. Entahlah, apa sebenarnya dari maksud Mbak Katini.Mata Amin melirik sedi
Jihan merasa masa bodoh dengan Amin yang sedang repot membantu ibu-ibu di depan jalan sana. Bahkan ia memesan lagi dua bungkus mie ayam untuk dibawa pulang, sebagai oleh-oleh untuk mama dan papanya. Minuman es teh manis juga ia pesan lagi, sedangkan mie ayam pesanan Amin belum juga tersentuh."Dek Jihan, tunggu ya, saya benerin ini ke bengkel depan!" ujar Amin dengan sedikit berteriak. Jihan tersenyum kecut, lalu mengangguk. Ia masih fokus pada mangkuk mie ayam dan minumannya, sambil memainkan ponsel, sedangkan Amin sudah berjalan mendorong motor Ririn menuju bengkel yang masih buka."Ibu kalau capek, tunggu di sini saja, biar saya bawa motornya ke depan," kata Amin sambil menatap wajah lelah Ririn yang kepayahan berjalan sambil menggendong Dira yang tertidur."Saya ikut saja, Bang. Gak papa. Maaf ya, Bang. Saya jadi ganggu kencan Bang Amin," kata Ririn merasa tak enak."Gak papa, Bu. Ya udah, kalau gitu, pelan-pelan saja jalannya, j
Amin masih terus saja menghubungi nomor ponsel Jihan, tetapi sepertinya sudah diblokir, karena nomornya tak kunjung tersambung. Amin duduk di dekat jendela mengintip keadaan rumah Jihan, yang lampunya sudah padam. Dengan tubuh lemas tak bertulang, ia kembali ke atas kasur busanya, kali ini mencoba mengirimkan pesan pada Jihan. Namun, sepertinya nomornya memang telah diblokir oleh Jihan."Heh, ditolak. Ya sudahlah. Mungkin belum jodoh. Masih banyak janda-janda di luaran sana, atau anak perawan yang ekonomis. Diajak makan cilok doang udah tersenyum manis. Daripada perawan bintang lima," gumam Amin sebelum menutup matanya.Di dalam rumahnya, Jihan tak kunjung bisa tidur, karena Edo tak mengaktifkan ponselnya, padahal ia ingin sekali bercerita tentang kekesalannya pada Amin. Sang papa juga baru saja memarahinya habis-habisan karena terus saja berulah dengan Amin. Semua tentu saja karena Edo. Lelaki itulah yang menyuruh dirinya mendekati dan mempermainka
Amin tergelak saat melihat tiga kustomer jandanya, satu per satu pergi meinggalkan bengkelnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu. Ririn pun ikut terheran. "Bang, kok pada pergi? Emang itu bertiga mau ngapain di depan bengkel Abang? Abang punyasecuritybengkel?Kok banyak banget sampe tiga orang? Mana gak pada pake seragam lagi? Aneh jugasecuritydi cantelan motornya ada bawang dan cabe seperapat," cecar Ririn tiada henti, membuat Amin bingung mau menjawab yang mana lebih dahulu. Bahkan Amin tertawa mendengar ocehan Ririn."Ck, malah ketawa lagi! Udah ah, saya mau ke warung dulu. Mau nyari pisang, mau bikin kripik. Abang mau?" tanya Ririn dengan senyuman lebar. Amin hanya bisa membalas dengan senyuman sumbang. "Ya Allah, kenapa harus pisang lagi?" gumamnya dalam hati."Bye Paklek!" Ririn mengajarkan pada Dira untuk melambaikan tangan pada Amin. Gadis kecil itu pun menurut, ia melambai
Jihan berlari meninggalkan kios bengkel Amin dengan hati dongkol. Gara-gara seorang ibu-ibu cacat, dia gagal memperdaya Amin. Padahal sedikit lagi caranya berhasil. Dengan menaiki ojek pangkalan, Jihan melesat pergi entah kemana, meninggalkan Amin yang masih terbengong. Antara percaya atau tidak dengan yang Ririn katakan."Bang Amin, siapa cewek itu? Apa dia cewek yang Bang Amin taksir?" cecar Ririn sambil menatap Amin dengan serius."I-iya, Bu," jawab Amin sambil menunduk."Trus, kalau saya tidak datang ke sini, apa Bang Amin benar-benar akan mengganti ponsel sampah dengan harga sepuluh juta?"Amin tak menjawab, ia hanya bisa menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, Bang Amin. Gadis itu sudah membodohi Bang Amin. Itu namanya pemerasan. Di mana rumah bocah itu? Ayo kita datangi orang tuanya. Mereka harus tahu kelakuan anak perawan mereka seperti apa." Ririn menarik tangan Amin untuk keluar dari bengkel. Namun, Amin menahan tubuhny
Elok terus saja memandang suaminya yang kini sedang duduk di kursi teras rumah mereka. Lelaki itu akan berangkat bekerja di sebuah mal sebagai petugas parkir. Sepuluh sudah suaminya bekerja di sana dan terlihat lelaki itu sangat menikmatinya. Wajahnya lebih bersih dan bersinar, saat ada istri yang benar-benar mengurusnya. Elok terus saja mengulum senyum. Menikmati debaran di dadanya saat bisa memandang suaminya dengan intens seperti ini. “Udah, jangan lihatin melulu! Nanti saya gak jadi berangkat nih,” celetuk Imron saat dia menyadadri pandangan sang istri tak putus darinya. Elok tergelak dengan wajah memerah. Sisa semalam saja masih membuatnya susah berjalan, masa mau diulang lagi? “Jangan dong, Mas. Mau jalan aja susah nih,” sahut Elok dengan wajah bersemu merah. Imron yang duduk di seberang kursi sang istri;berjalan mendekat, lalu berjongkok di hadapan istrinya. Lelaki itu mengmabil kedua tangan Elok, lalu mengecupnya
"Lok, ada hal yang ingin saya katakan," ujar Imron dengan suara pelan. Elok tengah menyusui Aya. Balita itu sungguh merindukan asi ibunya yang dua hari tidak ia dapat secara langsung. Selama Elok dan Imron bulan madu di hotel, Aya diberikan ASI yang disiapkan Elok di dalam botol khusus penyimpanan ASI."Apa itu, Mas? Bukan minta jatah lagi'kan?" goda Elok sambil tergelak. Imron pun ikut menyeringai sambil mengusap pipi sang istri."Besok, kita bawa Aya ke rumah sakit. Kita tes DNA bersama Pak Rudi.""Mas, tapi ...." Elok mendadak pucat dan memelas. Imron sangat tahu keresahan yang melanda istrinya. Justru langkah ini harus ia ambil, agar Pak Rudi tidak terus-terusan mengganggu dirinya dan juga Elok. Lelaki itu takkan berhenti sampai keinginannya tercapai."Ada saya. Kamu jangan khawatir. Saya yakin, Aya adalah anak dari Indra, bukan lelaki itu. Kita harus melakukanny
Imron terbangun dari tidur nyenyaknya. Pelan ia membuka mata dan berusaha menggerakkan tangan, tetapi tidak bisa. Ada Elok yang kini tidur sambil memeluk dirinya. Tubuh keduanya polos, hanya tertutup selimut tebal. Beberapa jam lalu, untuk kelima kalinya mereka mengulangi aktifitas yang sama.Sudah dua malam mereka menginap di hotel yang difasilitasi oleh Desta. Seharusnya, lelaki itulah yang bersama dengan Elok malam ini. Sungguh rejeki, maut, jodoh, takkan pernah ada yang mengetahui. Pelan Imron mengusap kening sang istri. Menyingkirkan beberapa helai rambut yang berserakan menutupi kening wanitanya.Senyumnya kembali mengembang, lalu bibir itu kembali mendaratkan ciuman di keningnya. Sungguh luar biasa efek permen yang diberikan oleh Amin. Temannya itu rela menyusul ke hotel hanya untuk memberikan dua buah permen yang katanya sangat berguna untuk stamina. Untung permen, bukan tisu!Imron tergelak dalam hati saat menging
"Bangunlah, Elok. Aku'kan udah bilang, aku memaafkanmu. Ayo, bangun!" Imron meraih pundak sang istri, lalu membawanya duduk kembali ke atas ranjang. Wanita itu masih terus terisak, membuat Imron kebingungan sendiri."Udah, jangan nangis ya. Nanti kalau kita kebanjiran gimana? Sekarang, kamu mandi, ganti baju. Di dalam lemari ada baju yang sudah disiapkan hotel katanya. Setelah mandi, nanti kita bicara lagi," pinta Imron dengan lembut. Lelaki itu kembali mengancingkan baju piyamanya dengan wajah merona malu. Ia yang tadi saling berhadapan dengan istrinya, kini sudah menggeser tubuhnya ke samping. Sangat malu melakukan aktifitas seperti ini sambil diperhatikan wanita."Kenapa dikancing lagi bajunya?" tanya Elok sambil menyembunyikan wajahnya yang juga merona."Gak papa, nanti juga kamu buka lagi'kan?" jawab Imron sambil terbahak. Tawa yang tak pernah dilihat Elok sebelumnya. Wajah suaminya malam ini sungguh tampan tiga ratus
"Saya di sini, Bu Ririn. Saya baik-baik saja," ucap suara Imron yang tiba-tiba saja berdiri dari balik kerumunan orang yang tengah duduk di kursi. Elok dan Desta terkejut dengan suara lelaki itu, begitu juga dengan Ririn yang memandang iba wajah teman suaminya yang sudah ia anggap teman sendiri. Ditambah lagi, ia tahu betul perjuangan Imron bersabar terhadap sikap Elok."Mas Imron," gumam Elok dari tempat ia berdiri saat ini. Kakinya gemetar dan tak kuat melangkah untuk menghampiri mantan suaminya itu. Tangannya berpegangan pada meja yang sudah dihias sedemikian cantiknya untuk acara pernikahan sederhananya hari ini. Agar tidak limbung, karena yang ia rasakan saat ini adalah seluruh persendiannya melemah.Air matanya membasahi pipi. Lidahnya kelu tak mampu berucap kata maaf pada Imron. Padahal sudah dari lama ia ingin meminta maaf pada lelaki itu atas semua kesalahannya. Namun, di depan sana, seorang Imron tengah tersenyum
Istri Wasiat 31Hari minggu pagi yang sangat sejuk. Pukul setengah enam pagi, Desta memutuskan untuk berolah raga dengan berlari di sekitaran komplek tempat ia tinggal. Elok masih sibuk di dapur, membereskan barang-barang sekaligus memasak sarapan untuk mereka.“Lok, sepatu lari saya yang warna merah kamu simpan di mana?” tanya Desta saat menghampiri Elok di dapur. Wanita itu menoleh, lalu tersenyum tipis. Tanpa menjawab pertanyaan Desta, Elok berjalan ke arah lemari yang masih berada di area dapur. Pintu lemari itu ia buka, lalu mengmabilkan sepasang sepatu yang ditanyakan oleh Desta.“yang ini bukan?” tanya Elok memastikan. Tangannya terulur untuk memberikan sepatu sneaker itu pada Desta.“Wah, baru kamu cuci ya? Duh, ini mah calon istri terbaik,” puji Desta tulus. Elok menegang. Sekelebat bayangan Imron muncul di kepalanya. Tidak! Dia bukan
Kalian mungkin bertanya-tanya ada di mana Imron saat ini? Lelaki itu tengah berada di sebuah kos-kosan kecil di tengah kota. Keadaannya serba pas-pasan dengan kondisi hati yang masih diliputi rasa sedih sekaligus rindu. Ya, dia merindukan Aya dan juga Elok. Bagaimanapun ia kesal terhadap wanita itu, tetap saja Imron tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ia sendiri tidak tahu, sejak kapan rasa cinta ini begitu dalam ia rasakan pada istrinya. Mungkinkah sudah dari awal sejak ijab qabul itu ia ucapkan, atau mungkin karena sikap keras istrinya yang membuatnya mencintai wanita itu?Waktu berputar terasa sangat lambat. Setiap hari sepulang bekerja saat langit berubah gelap, hanya kamar, bantal, dan guling yang menemaninya meratapi nasib. Jika cinta harus sesakit ini, lebih baik ia tidak menikahi Elok saja. Lebih baik ia cukup mengurus kakak iparnya serta keponakannya, tanpa harus mengambil tanggung jawab yang sah di mata Tuhan.
Elok menangis semalaman. Berkali-kali ia menelepon suaminya, tetapi nomor itu tidak aktif. Elok juga menelepon Amin, teman suaminya itu. Barangkali tahu di mana keberadaan suaminya. Namun sungguh sayang, Amin tidak tahu di mana Imron kini.Lelaki itu hilang bak ditelan bumi. Kontrakan lama juga sudah dikunjungi Elok pagi ini. Ia tidak mengatakan langsung bahwa mencari keberadaan suaminya, tetapi ia berbasa-basi menanyakan apakah suaminya ada mampir ke sana. Jawaban yang sangat ia sesalkan adalah, mereka tidak tahu di mana keberadaan Imron. Ditambah celetukan Bu Husna yang membuatnya semakin tak enak hati."Kenapa tanya-tanya Imron? Emang kabur lagi?" pertanyaan yang membuat Elok segera pamit pergi dari kontrakan. Ia takkan sanggup mendengar celetukan lain dari para tetangga. Sempat ia tangkap di telinganya, bahwa kedatangan Desta saat Imron tak ada di rumah, menjadi bahan gunjingan para tetangga. Padahal lelaki itu duduk di teras dan para
Imron sampai di rumah pukul sebelas malam. Ia sengaja pulang larut karena tak siap untuk bertemu Elok. Lebih tepatnya ia bingung harus bersikap bagaimana pada istrinya itu. Tawaran yang diajukan Desta bukanlah hal yang buruk untuknya dan juga Elok. Mungkin nanti saat semua sudah dlam kehidupan masing-masing, keduanya bisa sadar arti hubungan saat ini. Imron hanya menginginkan yang terbaik untuk Elok dan juga Aya. Ia rasa, ia tak bisa menjaga dan bertanggung jawab dengan wanita itu lebih lama. Elok dan Aya harus segera diselamatkan dari Rudi, karena cepat atau lambat, lelaki itu pasti akan menemukan mereka.Imron mengunci pintu dengan pelan. Lalu bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Rumah sudah dalam keadaan bersih dan rapi. Hanya ada dua buah mainan Aya yang tergeletak di dekat meja dapur. Sepertinya bayi itu semakin lincah untuk merangkak hingga ke dapur. Imron tersenyum getir, lalu masuk ke dalam kamarnya untuk beristirahat. Suara pintu kamar Elok te