"Alhamdulillah. Soto ayamnya enak sekali, Bang. Beli di mana?" puji Ririn setelah menenggak habis kuah soto di dalam mangkuk. Tanpa rasa sungkan, tadi Ririn malah minum langsung dari mangkuknya, hingga membuat Amin tercengang. Sungguh wanita yang sangat cuek, pikirnya.
"Oh, itu Bu. Di dekat kios bengkel saya," jawab Amin sambil melirik sebentar ke arah Ririn. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Ririn sangat cantik. Natural, kulitnya putih bersih, tanpa jerawat di wajahnya.
"Oh, iya Bang. Kapan-kapan saya mau mampir deh, beli di sana," timpal Ririn.
"Minum, Bang!" Ririn mengangkat cangkir teh hangat untuk Amin, lalu memberikannya ke tangan Amin. Tanpa disengaja, Amin kembali kesetrum, saat sedikit dan hanya sepersekian detik kulit tangan Ririn menyentuh jemarinya. Amin menggerakkan kepalanya, seperti ingin tersadar dari sesuatu.
"Kenapa, Bang?" tanya Ririn keheranan.
"Ada gempa gak sih, Bu?" Amin malah berbalik tanya pada Ririn. Kali ini wajahnya
Amin bangun pagi dengan begitu semangat, setelah semalam berbalas pesan pada Ririn. Walau tak lama dan tak banyak, tetap saja cukup menghibur hatinya yang kesal dengan Jihan. Tidurnya nyenyak, dan bangun tepat pukul empat, untuk segera bersiap ke masjid.Ada Mbak Katini yang sedang menyapu teras kontrakan, saat dirinya mau melewati jalan di depan rumah kontrakan Mbak Katini. Namun, langkahnya terhenti. Dalam diam, ia menanti Mbak Katini masuk ke dalam rumah. Jujur, ia sudah tak sanggup mencoba aneka olahan pisang yang dibuat oleh Mbak Katini.Begitu Mbak Katini masuk ke dalam rumah, serta menutup sedikit pintu rumahnya, Amin berlari melesat, bagai dikejar setan untuk segera sampai di rumahnya. Dengan nafas ngos-ngosan, akhirnya Amin selamat dari Ratu Pisang. Julukan yang diberikan Imron pada Mbak Katini. Karena bukan hanya dengan dirinya, Imron pun kerap menjadi sasaran olahan pisang. Entahlah, apa sebenarnya dari maksud Mbak Katini.Mata Amin melirik sedi
Jihan merasa masa bodoh dengan Amin yang sedang repot membantu ibu-ibu di depan jalan sana. Bahkan ia memesan lagi dua bungkus mie ayam untuk dibawa pulang, sebagai oleh-oleh untuk mama dan papanya. Minuman es teh manis juga ia pesan lagi, sedangkan mie ayam pesanan Amin belum juga tersentuh."Dek Jihan, tunggu ya, saya benerin ini ke bengkel depan!" ujar Amin dengan sedikit berteriak. Jihan tersenyum kecut, lalu mengangguk. Ia masih fokus pada mangkuk mie ayam dan minumannya, sambil memainkan ponsel, sedangkan Amin sudah berjalan mendorong motor Ririn menuju bengkel yang masih buka."Ibu kalau capek, tunggu di sini saja, biar saya bawa motornya ke depan," kata Amin sambil menatap wajah lelah Ririn yang kepayahan berjalan sambil menggendong Dira yang tertidur."Saya ikut saja, Bang. Gak papa. Maaf ya, Bang. Saya jadi ganggu kencan Bang Amin," kata Ririn merasa tak enak."Gak papa, Bu. Ya udah, kalau gitu, pelan-pelan saja jalannya, j
Amin masih terus saja menghubungi nomor ponsel Jihan, tetapi sepertinya sudah diblokir, karena nomornya tak kunjung tersambung. Amin duduk di dekat jendela mengintip keadaan rumah Jihan, yang lampunya sudah padam. Dengan tubuh lemas tak bertulang, ia kembali ke atas kasur busanya, kali ini mencoba mengirimkan pesan pada Jihan. Namun, sepertinya nomornya memang telah diblokir oleh Jihan."Heh, ditolak. Ya sudahlah. Mungkin belum jodoh. Masih banyak janda-janda di luaran sana, atau anak perawan yang ekonomis. Diajak makan cilok doang udah tersenyum manis. Daripada perawan bintang lima," gumam Amin sebelum menutup matanya.Di dalam rumahnya, Jihan tak kunjung bisa tidur, karena Edo tak mengaktifkan ponselnya, padahal ia ingin sekali bercerita tentang kekesalannya pada Amin. Sang papa juga baru saja memarahinya habis-habisan karena terus saja berulah dengan Amin. Semua tentu saja karena Edo. Lelaki itulah yang menyuruh dirinya mendekati dan mempermainka
Amin tergelak saat melihat tiga kustomer jandanya, satu per satu pergi meinggalkan bengkelnya. Ia hanya bisa menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu. Ririn pun ikut terheran. "Bang, kok pada pergi? Emang itu bertiga mau ngapain di depan bengkel Abang? Abang punyasecuritybengkel?Kok banyak banget sampe tiga orang? Mana gak pada pake seragam lagi? Aneh jugasecuritydi cantelan motornya ada bawang dan cabe seperapat," cecar Ririn tiada henti, membuat Amin bingung mau menjawab yang mana lebih dahulu. Bahkan Amin tertawa mendengar ocehan Ririn."Ck, malah ketawa lagi! Udah ah, saya mau ke warung dulu. Mau nyari pisang, mau bikin kripik. Abang mau?" tanya Ririn dengan senyuman lebar. Amin hanya bisa membalas dengan senyuman sumbang. "Ya Allah, kenapa harus pisang lagi?" gumamnya dalam hati."Bye Paklek!" Ririn mengajarkan pada Dira untuk melambaikan tangan pada Amin. Gadis kecil itu pun menurut, ia melambai
Jihan berlari meninggalkan kios bengkel Amin dengan hati dongkol. Gara-gara seorang ibu-ibu cacat, dia gagal memperdaya Amin. Padahal sedikit lagi caranya berhasil. Dengan menaiki ojek pangkalan, Jihan melesat pergi entah kemana, meninggalkan Amin yang masih terbengong. Antara percaya atau tidak dengan yang Ririn katakan."Bang Amin, siapa cewek itu? Apa dia cewek yang Bang Amin taksir?" cecar Ririn sambil menatap Amin dengan serius."I-iya, Bu," jawab Amin sambil menunduk."Trus, kalau saya tidak datang ke sini, apa Bang Amin benar-benar akan mengganti ponsel sampah dengan harga sepuluh juta?"Amin tak menjawab, ia hanya bisa menunduk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Ck, Bang Amin. Gadis itu sudah membodohi Bang Amin. Itu namanya pemerasan. Di mana rumah bocah itu? Ayo kita datangi orang tuanya. Mereka harus tahu kelakuan anak perawan mereka seperti apa." Ririn menarik tangan Amin untuk keluar dari bengkel. Namun, Amin menahan tubuhny
Amin menumpang motor Imron kembali ke kontrakannya. Hari masih lagi siang, Imron sempat mengajak Amin untuk ikut berkumpul bersama teman-teman yang lain, tetapi Amin menolak. Entah kenapa, ia merasa begitu kecewa dengan kenyataan bahwa Ririn sudah pindah rumah. Padahal dia belum mengucapkan terimakasih, serta belum memberikan hadiah yang ia sudah beli semalam. Paling tidak, seharusnya ada perkataan dari Ririn, bahwa ia akan secepat ini pindah. Jika seperti ini, tentulah ia kebingungan sendiri."Min, udah sampe. Masih bengong aja! Mau turun kagak?" tegur Imron saat mendapati Amin masih saja melamun di atas motornya."Eh, iya. Makasih, Im," ujar Amin dengan senyuman kecut. Lekas ia turun dari motor Imron, lalu berjalan masuk ke dalam rumahnya, bahkan tanpa menoleh lagi pada Imron."Tuh anak kenape ye? Di depan pagar rumah orang tadi girang banget mukanya, giliran yang punya rumah pindah, mukanya kayak orang kesambet. Apa jangan-jangan ...." gumam Imron
Bugh"Aw ... sakit, Bu!" pekik Amin mundur terhuyung karena Ririn baru saja menginjak kakinya dengan kuat."Siapa suruh peluk?! Jangan macam-macam ya, Bang Amin. Saya gak suka!" Ririn benar-benar marah dan sudah kembali naik ke atas motornya, bermaksud meninggalkan Amin."Maaf, Bu. Ibu mau ke mana? Saya nyariin Ibu beberapa hari ini." Amin menahan motor Ririn dengan tubuhnya. Amin menghadang jalan, agar Ririn tak berani maju."Ya Allah, Bu. Itu tadi, m-maaf saya cuma terlalu senang bisa ketemu Ibu lagi," ujar Amin sambil menunduk malu."Saya janji, gak akan mengulanginya, Bu, kalau sudah halal boleh ya, Bu?""Hah? Halal? Siapa?""Eh, bukan siapa-siapa. Maafin yang tadi ya, Bu. Ibu sekarang tinggal di mana? Kenapa gak bilang saya kalau mau pindahan? Nomor HP Ibu kenapa gak aktif? Saya cariin Ibu, sampai gak enak tidur, gak enak makan, mandi juga sampe lupa pake sabun mandi, malah sabun colek.
Selamat membaca."Silakan diminum, Bang," ujar Ririn mempersilakan Amin."Terima kasih, Bu. Maaf, saya jadi merepotkan.""Gak repot, Bang, kan cuma segelas. Kalau segalon baru nyusahin." Ririn terbahak, begitu pun Amin.Ririn kembali duduk di samping Amin dengan sedikit canggung. Mau bertanya apa juga bingung. Sedangkan Amin masih asik bercanda dengan Dira. Ririn mengulas senyum, saat Dira mampu berinteraksi dengan Amin cukup baik, karena biasanya, Dira termasuk anak takut pada orang lain. Namun dengan Amin, puteri bungsunya itu mau dekat."Bu, saya punya hadiah buat Ibu." Amin mengeluarkanpaper bagdari dalam tas ransel yang ia bawa."Hadiah apa ini? Untuk apa? Saya gak ulang tahun." Ririn kebingungan, tetapi tangannya menerimapaper bagpemberian Amin."Bukanya nanti saja ya, Bu.""Oh, iya. Terima kasih, Bang Amin. Semoga rezekinya lancar ya