"Mas, motor saya mogok lagi nih," keluh seorang wanita berparas cantik, saat baru saja tiba di depan bengkel Amin. Keningnya nampak berpeluh, lelah karena habis mendorong motor.
"Eh, Mbak Sena. Emang kenapa mogok lagi?" tanya Amin sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Perasaan kemarin sore, ban motor Mbak Sena pecah, masa pagi ini udah pecah lagi? Padahal baru saja ganti ban dalam.
"Gak tahu saya, Mas. Masa setiap lewat sini langsung kempes bannya," terang Sena.
Lelaki itu menghampiri motor wanita yang ia panggil Sena. Kemudian berjongkok, untuk memastikan keadaan motor Mbak Sena.
"Wah, kena paku lagi, Mbak." Amin menunjukkan paku beton yang menancap di ban motor Sena.
"Yah, gimana dong? Mana saya harus buru-buru kerja, Mas. Masuk pagi."
"Emang kerja di mana?"
"Di salon Jalan Makmur. Mau merias pengantin."
"Oh, Mbak pinter merias pengantin. Hebat!"
"Belum hebatlah, Mas. Orang saya cuma merias doang, entah kapan jadi pengantinnya."
"He he he ... Jadi masih jomblo ya?" tanya Amin sambil menyeringai.
"Iya, Mas. Jomblo paket hemat. He he he ..."
"Kayak makan di restoran aja, ada paket hemat," komentar Amin.
"Iya, nikahi satu dapat empat."
"Maksudnya?"
"Saya janda anak tiga, Mas."
"Oh, sama atuh kayak Nengsih dan Elin teman saya. Dua-duanya janda, dua-duanya suka ke bengkel saya. Kalau Nengsih, janda anak satu, kalau Elin, janda anak dua. Nah, kalau Mbak Sena, janda anak tiga. Bisa begitu ya, satu, dua, tiga. Hi hi hi ...."
*****
Setuju lanjut?? 😁😂
Ramaikan komentarnya yaa dan jangan lupa tekan tanda bintang di kiri bawah ya
Amin masih saja membetulkan motor Jihan, tetangganya yang mogok, saat menerjang banjir tadi sore. Padahal maksud hati, ia ingin tutup saja sebelum maghrib, tetapi saat melihat Jihan mendorong motor dari kejauhan, rasa ibanya hadir. Apalagi, Jihan si bunga gang tempat ia mengontrak, memang sudah lama ia taksir. Bahkan sejak ia tinggal di Gang Mawar."Ganti busi ini, Neng," katanya pada Jihan."Ya udah, berapa Bang?""Gratis aja deh sama Neng Jihan. He he he ....""Hah? Beneran, Bang?" gadis itu terpekik tak percaya."Iya, tapi jangan cerita ke tetangga lainnya ya.""Oke, Bang Amin. Bang Amin baik deh," puji Jihan sore itu dan mampu membuat Amin tak bisa tidur nyenyak malam harinya.Seandainya kembang Gang Mawar itu mau dengan dirinya yang tamvan ini, tentulah ia pasti akan sangat bahagia dan melakukan sukuran tujuh hari tujuh malam. Amin hanya berbolak-balik di atas kasur busa yang mulai mengempes bagian tengahnya, tanpa berhenti memikirkan J
Setelah membereskan motor ketiga wanita single parent itu, akhirnya Amin dapat menikmati sarapan bubur ayamnya dengan tenang. Mbak Katini juga sudah keliling kembali menjajakan jamu gendongnya. Masih belum ada pasien lagi, sehingga Amin sedikit santai."Bang Amiin," panggil Jihan yang tahu-tahu sudah di depan bengkelnya."Eh, Jihan, ada apa, Neng?""Boleh pinjam motornya gak? Jihan mau ke tukang fotokopy, banyak tugas sekolah. Motor lagi di pake babe ke kelurahan. Boleh ya, bang?" wajah Jihan berubah melas.Amin yang menaruh hati pada Jihan, tentu saja tak masalah motornya dipinjam. Ya, memang bukan motor baru apalagi mahal, hanya motor seken dan masih sangat layak pakai, yang selalu ia gunakan ke sana-kemari."Boleh, Neng. Pakai saja, ini kuncinya." Amin mengulurkan kunci motor pada Jihan sambil tersenyum senang."Makasih Bang Amin." Jihan pun melajukan motor Amin dengan kencang. Amin kembali duduk menyantap bubur ayam yang sedikit la
Amin sudah duduk di ruang tamu Pak RW. Di depannya sudah ada Jihan yang tersedu karena merasa bersalah menghilangkan motor Amin. Gadis perawan itu terus saja memilin ujung bajunya tanpa berani menatap wajah sang ayah yang terlihat sangar. Amin pun tak berani menatap wajah Pak RW, menurutnya Pak RW adalah sosok yang sangat disegani karena kebijaksanaannya, selain itu lelaki paruh setengah baya di depannya ini adalah orangtua dari wanita yang ia sukai, tentulah ia harus tampak baik dan ikhlas."Awal bulan nanti, saya akan mengganti motor Bang Amin yang dihilangkan anak saya. Walaupun tidak baru, tetapi saya berharap Bang Amin mau menerimanya," ujar Pak RW sambil meletakkan gelas kopi yang isinya baru saja ia teguk."Tidak apa-apa, Pak. Saya ikhlas. Semua juga terjadi secara tidak disengaja oleh Jihan. Musibah, kalau kata orang. Tidak perlu diganti motor saya. Lagian motor saya itu, bukan motor bagus apalagi mahal. Insya Allah, nanti ada rezeki lagi saya akan beli yang baru
Amin sudah rapi dengan baju batik berlengan panjang dan celana panjang bahan berwarna coklat susu. Satu-satunya pakaian bagus yang ia punya, karena ia malas ke pasar untuk membeli pakaian. Alhasil, jika ada acara seperti ini, dia bingung sendiri akan memakai baju yang mana. Rambut ia sisir rapi dengan mengoleskan minyak rambut, agar klimis dan ketombenya tidak kelihatan.Satu dua tetangga yang lewat di depan rumah Pak RW memperhatikan Amin dengan kebingungan. Mau undangan ke rumah siapa? Sudah rapi begini.TukTuk"Assalamualaikum, Dek Jihan," panggilnya di depan pintu dengan jantung yang berdetak cepat. Tak ada tanda-tanda sahutan dari dalam rumah, bahkan Amin sedikit berjinjit untuk melihat ke belakang rumah, namun karena gelap, jadi tidak terlalu kelihatan.TukTuk"Assalamualaikum, Jihan," panggilnya lagi. Kali ini suaranya agak keras. Berharap segera dibukakan pintu, karena orang mulai ramai memperhatikannya.Klek"Wa'alaykumussal
Amin berbaring di kasur single miliknya, sambil menumpahkan satu botol minyak kayu putih di atas perutnya, hingga pusarnya kebanjiran. Sungguh keadaan perutnya sungguh melilit, hingga ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Obat diare pun sudah dia minum, tetapi belum ada perubahan. Hingga pukul satu malam ia masih saja terus-terusan ke kamar mandi."Ya Allah, sakitnya," lirih Amin sambil mencoba turun dari ranjang. Dengan tenaga seadanya, Amin keluar rumah dan berjalan terseok-seok, menuju klinik dua puluh empat jam yang letaknya persis di sebrang Gang Mawar."Kenapa lu, Min?" tegur Pak Somad, hansip gang yang berjaga malam ini."Diare, Pak. Sakit banget," jawab Amin sambil meringis menahan perih."Oh, kasian. Ya udah sono cepetan ke klinik depan! Sebelum lu ce****it lagi, he he he ...." Pak Domad tergelak."Makasih, Pak. Saya ke depan dulu." Amin hanya bisa ikut memaksakan senyum pada Pak Somad, kemudian dengan langkah tertatih ia berjalan menuju klinik.
Amin berusaha fokus menambal ban motor customernya yan sudah menunggu dari pagi. Walau di tengah rasa melilit perut yamg sungguh membuatnya tak nyaman. Berkali-kali ia mengusap peluh yang bercucuran, padahal langit pagi masih nampak mendung. Wajahnya pun lama-kelamaan pucat, karena menahan mulas yang luar biasa."Bu, saya ke kamar mandi sebentar ya?" pamit Amin pada Ririn yang tengah duduk di kursi plastik sambil menimang puteri kecilnya yang terlelap."Mau ngapain? Lama gak?" tanya Ririn dengan polosnya. Entahlah, semenjak resmi menjadi janda, otaknya lama sekali mencerna sebuah kalimat."Saya mau liburan ke kamar mandi, Bu," sahut Amin yang diikuti gelak tawa. Kepalanya ia gelengkan, kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang berada di belakang kios.Ririn hanya mengangkat bahu, lalu kembali memainkan ponselnya. Melihat akun sosial media teman-teman dan para artis yang selalu ramai berita. Menunggu lima menit, sang montir belum juga keluar dari kamar mandi. R
"Ceweknya ya, Bang?" tanya Ririn sambil menyerahkan uang lima belas ribu pada Amin. Gadis muda yang mengajak Amin ke toko buku tadi, baru saja pergi."Calon istri, Bu. Doakan ya," sahut Amin dengan mantap. Senyumnya cerah ceria, secerah rezeki pagi hari ini."Wah, selamat Bang. Masih muda, cantik pula. Emang sekarang daun muda lagi laris ya, Bang. Kalau daun kering kayak saya, pasti gak ada yang mau." Ririn tergelak. Ia pun kini sudah naik ke atas motor, siap melanjutkan perjalanan ke rumah sang mama."Daun kering mah, cocoknya sama aki-aki garing, Bu," timpal Amin ikut tergelak. Baru kali ini, masih pagi ia sudah mendapat pelanggan yang lucu, janda pula. Biasanya janda gemesin, tetapi janda yang ini ngeselin."Huh, calon istri juga masih calon, Bang. Udah resmi aja masih bisa lepas, apa lagi baru calon. Awas, jaman sekarang banyak cewek muda tukang plorotin celana," ujar Ririn mengingatkan sambil menyalakan mesin motornya. Amin menelan salivanya saat mendeng
Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik.Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya."Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk memba