Amin sudah rapi dengan baju batik berlengan panjang dan celana panjang bahan berwarna coklat susu. Satu-satunya pakaian bagus yang ia punya, karena ia malas ke pasar untuk membeli pakaian. Alhasil, jika ada acara seperti ini, dia bingung sendiri akan memakai baju yang mana. Rambut ia sisir rapi dengan mengoleskan minyak rambut, agar klimis dan ketombenya tidak kelihatan.
Satu dua tetangga yang lewat di depan rumah Pak RW memperhatikan Amin dengan kebingungan. Mau undangan ke rumah siapa? Sudah rapi begini.
Tuk
Tuk"Assalamualaikum, Dek Jihan," panggilnya di depan pintu dengan jantung yang berdetak cepat. Tak ada tanda-tanda sahutan dari dalam rumah, bahkan Amin sedikit berjinjit untuk melihat ke belakang rumah, namun karena gelap, jadi tidak terlalu kelihatan.
Tuk
Tuk"Assalamualaikum, Jihan," panggilnya lagi. Kali ini suaranya agak keras. Berharap segera dibukakan pintu, karena orang mulai ramai memperhatikannya.
Klek
"Wa'alaykumussalam. Eh, Nak Amin. Mari masuk." Bu Sofia istri Pak RW yang membukakan pintu untuk Amin, lalu mempersilakan Amin untuk duduk di ruang tamu.
"Ada perlu apa udah rapi gini?" tanya Bu Sofia yang memperhatikan Amin tanpa berkedip dari ujung kaki sampai ujung rambut. Mati-matian ia menahan tawa, saat kaus kaki yang dipakai Amin bolong bagian jempolnya. Bukan hanya di satu sisi, tetapi di jempol kanan dan kiri.
"Mmm ... Anu, Bu."
"Pak RW belum pulang, masih ada acara di rumah Pak Lurah. Nanti saja balik lagi ke sini ya," ujar Bu Sofia sambil tersenyum. Amin melongo, kenapa dengan Pak RW? Ia tak mengerti arah pembicaraan Bu RW.
"Begini, Bu. Saya bukan mau makan baso dengan Pak RW, tetapi mau makan baso dengan Dek Jihan," terang Amin sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Oh, mau makan baso, saya kirain mau undangan ke mana, udah pakai batik gini." Bu Sofia tergelak sendiri, saat menyadari kekeliruannya.
"Jihan ada, lagi teleponan di kamarnya, sebentar Ibu panggilkan ya." Bu Sofia berdiri dari duduknya, lalu masuk ke dalam. karena batas antara ruang tamu dan ruangan dalam rumah dipakaikan krei dari bahan kain, sehingga Amin tak dapat melihat dengan jelas kondisi di dalam ruang tengah Pak RW. Ia memilih sabar menunggu sambil menahan debaran di dadanya. Peluh yang bercucuran, membuatnya mengambil sapu tangan di saku celananya, lalu mengelapnya dengan cepat.
"Eh Bang Amin udah sampai. Ayo, kita langsung pergi," ajak Jihan dengan garis bibir tertarik ke atas. Dengan riang gembira Jihan lebih dulu memakai sandal lalu membuka pintu pagar. Ia tidak menunggu Amin, yang kelabakan memakai sepatu bertali miliknya. Jihan sudah berjalan sendiri sampai di depan Gang Mawar, sedangkan Amin, masih sibuk memakai sepatu yang menurutnya tak berpihak padanya malam ini.
"Jihan, tunggu!" teriak Amin saat Jihan memberhentikan angkutan umum. Amin berlari sekencang-kencangnya agar dapat menyusul Jihan. Wanita itu sudah duduk di depan, tepatnya di samping sopir angkutan umum. Di dalam sana sudah ada ibu-ibu bertubuh kurus juga duduk di samping sopir, sehingga ia mengalah untuk duduk di belakang saja.
Mata Amin tak hentinya memperhatikan Jihan di depan sana, yang sepertinya sedang memainkan ponselnya sambil tersenyum. Amin pun ikut tersenyum, mimpi apa dia bisa jalan berdua dengan Jihan, walau duduk berjauhan seperti ini. Jihan mungkin masih malu berdekatan dengannya, maka dari itu memilih duduk di depan. Tak apa, cinta ada karena terbiasa. Ia yakin, suatu saat Jihan akan mencintainya, seperti ia mencintai Jihan.
"Kiri, Bang," ucap Jihan pada sopir angkutan umum. Mobil pun menepi. Jihan turun dengan cuek, lalu berjalan masuk lebih dulu ke dalam warung baso yang terkenal enak dan mahal di sana. Meninggalkan Amin yang sibuk mengeluarkan uang dari saku celananya untuk membayar ongkos.
Kakinya melangkah lebar menyusul Jihan yang sudah siap memesan makanan. Amin memilih duduk di samping Jihan, agar keduanya bisa dekat dan Amin merasakan sensasi duduk di dekat anak perawan.
"Bang Amin duduk di depan saja, biar kita bisa saling pandang. Kalau di samping gini, miring dong lihatnya. Nanti leher Bang Amin sakit, gak bisa balik lagi gimana hayo? Miring terus begini." Jihan mempraktekkan leher miring yang kaku pada Amin, membuat Amin menelan saliva. Ia menjadi takut. Ada benarnya juga perkataan Jihan. Lekas ia berdiri, lalu pindah posisi, duduk di depan Jihan.
"Mbak, mau pesan!" panggil Jihan dengan suara sedikit ia keraskan pada pelayan yang sedang mencatat pesanan di meja depan mereka.
"Sebentar, ya," sahut pelayan yang kembali fokus pada tamu yang lebih dahulu memesan menu. Setelah selesai mencatat, ia pun pergi ke meja kasir untuk dibuatkan bill pesanan yang akan di tempel di lorong noted menu. Pelayan dapur baru akan membuatkan pesanan setelah struk kecil menu, ada dalam keranjang kecil. Setelah itu, pelayan menuju meja tempat Jihan dan Amin berada.
"Mau pesan apa, Mbak, Mas?" tanya pelayan sambil bersiap dengan pulpen dan kertas menu.
"Baso rudal mercon spesial dua yang satu level pedas enam, satu lagi level pedas dua. Minumnya jus alpukat dan satu lagi teh tawar hangat. Baso mercon urat dibungkus lima ya, jus jeruk lima, dan krupuk kulit sepuluh bungkus, dimasukkan dalam makanan yang dibungkus," pesan Jihan tanpa memperhatikan wajah Amin yang seketika memucat.
"Banyak sekali pesanannya, Dek? Emang kuat menghabiskannnya?" tanya Amin yang kebingungan. Memikirkan baso rudal mercon aja udah bikin kepala dan perutnya sakit, ditambah lagi pesanan baso dan minuman yang harus dibungkus.
"Buat teman-teman saya di rumah, Bang. Kenapa? Keberatan?" raut wajah Jihan berubah masam, ia baru saja hendak berdiri akan membatalkan pesanannya, namun ditahan oleh Amin.
"Jangan dibatalkan, Abang gak papa kok," ujar Amin dengan memberikan senyum sangat manis pada Jihan, senyuman yang mampu membuat Jihan ingin muntah saat ini juga.
"Makasih Bang Aminku, baik banget deh."
Jihan kembali duduk manis, sambil memainkan ponselnya. Tak ia hiraukan Amin yang kini setia memandang wajah Jihan yang sangat cantik.
"Duh, gak ada pulsa lagi. Papa nelpon jadi gak bisa," gerutu Jihan sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal.
"Kenapa? pulsa Jihan habis?"
"Iya, Bang. Ck, mana Papa telpon lagi." Jihan berpura-pura merengut,membuat Amin pun iba. Lekas Amin mengeluarkan dompetnya, lalu mengambil satu lembar uang lima puluh ribu kemudian ia ulurkan pada Jihan.
"Beli pulsa dulu gih, Abang tunggu di sini," ucap Amin dengan begitu dewasanya. Tanpa basa-basi lagi, Jihan menyambar duit di tangan Amin, lalu berlari keluar restoran baso untuk mencari pulsa. Amin hanya menghela nafas panjang, lalu menggelengkan kepalanya,"aku harus bekerja lebih keras lagi, agar bisa mendapatkan Jihan untuk menjadi istriku," gumamnya optimis penuh keyakinan.
Jihan kembali, tepat dengan hidangan pesanan yang sudah tertata rapi di atas meja. Jihan memperhatikan kuah merah di dalam mangkuk, ia menyodorkan pada Amin, sedangkan dirinya memilih mangkuk dengan kuah tak terlalu merah. Amin yang tak paham, tentu saja bersorak gembira, saat Jihan memberikan mangkuk baso lengkap dengan mengambilkan sendok untuknya. Perutnya yang lapar, jadi semakin meronta minta diisi, karena terlalu bersemangat.
Tanpa basa-basi, Jihan mulai menikmati basonya yang sangat enak. Begitu juga dengan Amin. Satu per satu masuk ke dalam mulutnya, hingga lidah rasa terbakar, namun ia tahan. Kuah bakso yang super pedas menurutnya. Hanya karena Jihanlah ia mencoba menahan kuat rasa pedas, hingga bercucuran air mata. Bahkan ia sudah menambah dua gelas teh hangat, agar rasa terbakar lidah dan perutnya sedikit berkurang.
Mangkuk baso Jihan sudah habis, sedangkan Amin belum juga tandas barang setengah mangkuk. Sangat pelahan Amin memasukkan kuah setan ke dalam mulutnya.
"Mbak, minta tagihannya!" pinta Jihan dengan suara keras, pada pelayan yang sedang berdiri di dekat kasir, menunggu pesanan. Lekas pelayan itu menghampiri meja Jihan dan Amin, lalu menyerahkan struk pemesanan.
"Makasih, Mbak."
Beep
Beep[Hallo, Pa. Iya ini mau pulang. Apa, papa udah di depan? I-iya, Jihan udah selesai. Bentar Jihan ke depan]
""Bang, Jihan duluan ya, sudah dijemput Papa. Makasih untuk traktirannya. Impas ya, Bang. Motor Abang dengan makan bersama saya." Jihan segera berlari keluar restoran sambil membawa aneka bungkusan di tangannya. Amin masih terbengong tak percaya, apalagi kini nominal total tagihan melebihi isi dompetnya.
"Bisa bayar gak?"
"Gak cukup duit saya, Mbak," jawab Amin dengan wajah pucat.
"Kalau pacaram sama anak perawan, kudu modal banyak Bang, Makan lima ratus ribu aja masa gak bisa bayar. Dah, sana masuk! Cuci piring!" titah pelayan warung dengan kesal, karena Amin tak mampu membayar tagihan makan lima ratus dua puluh ribu. Amin hanya mampu membayar empat ratus ribu rupiah, sesuai uang yang ada di dompetnya.
Jihan sedang tertawa-tawa bersama seorang lelaki dengan motor gedenya. Amin yang baru pulang dari restoran baso menoleh ke asal suara renyah tawa milik Jihan.
"Susahnya mau dapetin anak perawan. Belum juga jadi istri, kita udah sakit perut, jadi tukang cuci piring, dan isi dompet terkuras," ujar Amin memelas, sambil meremas perutnya yang perih karena makan terlalu pedas.
****
~Bersambung~
Amin berbaring di kasur single miliknya, sambil menumpahkan satu botol minyak kayu putih di atas perutnya, hingga pusarnya kebanjiran. Sungguh keadaan perutnya sungguh melilit, hingga ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Obat diare pun sudah dia minum, tetapi belum ada perubahan. Hingga pukul satu malam ia masih saja terus-terusan ke kamar mandi."Ya Allah, sakitnya," lirih Amin sambil mencoba turun dari ranjang. Dengan tenaga seadanya, Amin keluar rumah dan berjalan terseok-seok, menuju klinik dua puluh empat jam yang letaknya persis di sebrang Gang Mawar."Kenapa lu, Min?" tegur Pak Somad, hansip gang yang berjaga malam ini."Diare, Pak. Sakit banget," jawab Amin sambil meringis menahan perih."Oh, kasian. Ya udah sono cepetan ke klinik depan! Sebelum lu ce****it lagi, he he he ...." Pak Domad tergelak."Makasih, Pak. Saya ke depan dulu." Amin hanya bisa ikut memaksakan senyum pada Pak Somad, kemudian dengan langkah tertatih ia berjalan menuju klinik.
Amin berusaha fokus menambal ban motor customernya yan sudah menunggu dari pagi. Walau di tengah rasa melilit perut yamg sungguh membuatnya tak nyaman. Berkali-kali ia mengusap peluh yang bercucuran, padahal langit pagi masih nampak mendung. Wajahnya pun lama-kelamaan pucat, karena menahan mulas yang luar biasa."Bu, saya ke kamar mandi sebentar ya?" pamit Amin pada Ririn yang tengah duduk di kursi plastik sambil menimang puteri kecilnya yang terlelap."Mau ngapain? Lama gak?" tanya Ririn dengan polosnya. Entahlah, semenjak resmi menjadi janda, otaknya lama sekali mencerna sebuah kalimat."Saya mau liburan ke kamar mandi, Bu," sahut Amin yang diikuti gelak tawa. Kepalanya ia gelengkan, kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang berada di belakang kios.Ririn hanya mengangkat bahu, lalu kembali memainkan ponselnya. Melihat akun sosial media teman-teman dan para artis yang selalu ramai berita. Menunggu lima menit, sang montir belum juga keluar dari kamar mandi. R
"Ceweknya ya, Bang?" tanya Ririn sambil menyerahkan uang lima belas ribu pada Amin. Gadis muda yang mengajak Amin ke toko buku tadi, baru saja pergi."Calon istri, Bu. Doakan ya," sahut Amin dengan mantap. Senyumnya cerah ceria, secerah rezeki pagi hari ini."Wah, selamat Bang. Masih muda, cantik pula. Emang sekarang daun muda lagi laris ya, Bang. Kalau daun kering kayak saya, pasti gak ada yang mau." Ririn tergelak. Ia pun kini sudah naik ke atas motor, siap melanjutkan perjalanan ke rumah sang mama."Daun kering mah, cocoknya sama aki-aki garing, Bu," timpal Amin ikut tergelak. Baru kali ini, masih pagi ia sudah mendapat pelanggan yang lucu, janda pula. Biasanya janda gemesin, tetapi janda yang ini ngeselin."Huh, calon istri juga masih calon, Bang. Udah resmi aja masih bisa lepas, apa lagi baru calon. Awas, jaman sekarang banyak cewek muda tukang plorotin celana," ujar Ririn mengingatkan sambil menyalakan mesin motornya. Amin menelan salivanya saat mendeng
Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik.Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya."Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk memba
Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama.Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang."Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios."Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celinga
Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.GgrreeSuara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak."Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya p
Dua hari sudah berlalu, sejak insiden Jihan yang lalai saat dititipin pulsa oleh Amin. Gadis itu juga tak nampak batang hidungnya, bahkan pesan WA-nya pun tak aktif. Ami melirik sekilas, ke pintu rumah Pak RW yang masih tertutup rapat, saat ia akan keluar bekerja hari ini. Besok adalah hari di mana, Jihan akan menjawab ajakannnya waktu itu. Apakah Jihan akan menerimanya? Ataukah Jihan akan menolaknya?Sebenarnya, ada sedikit keraguan di hati Amin, setekah beberapa kali harus korban isi dompet saat berdekatan dengan Jihan. Kekhawatiran itu ada, bahkan semakin ke sini, semakin kuat. Hanya saja, ia masih sangat berharap mendapatkan seorang pendamping hidup yang masih gadis. Ia tak ingin seperti Rahmat, Ojan, Panjul, dan Asep, teman-teman STM-nya itu menikah dengan para janda. Ia tak mau sama, ia ingin mendapatkan perawan ting-ting, bukan bekas siapa-siapa.Agar dia bisa lebih percaya diri dan pamer pada teman-temannya, saat ia pulang ke Yogya nanti. Sepertinya memang
"Alhamdulillah. Soto ayamnya enak sekali, Bang. Beli di mana?" puji Ririn setelah menenggak habis kuah soto di dalam mangkuk. Tanpa rasa sungkan, tadi Ririn malah minum langsung dari mangkuknya, hingga membuat Amin tercengang. Sungguh wanita yang sangat cuek, pikirnya."Oh, itu Bu. Di dekat kios bengkel saya," jawab Amin sambil melirik sebentar ke arah Ririn. Jika dilihat dari dekat seperti ini, wajah Ririn sangat cantik. Natural, kulitnya putih bersih, tanpa jerawat di wajahnya."Oh, iya Bang. Kapan-kapan saya mau mampir deh, beli di sana," timpal Ririn."Minum, Bang!" Ririn mengangkat cangkir teh hangat untuk Amin, lalu memberikannya ke tangan Amin. Tanpa disengaja, Amin kembali kesetrum, saat sedikit dan hanya sepersekian detik kulit tangan Ririn menyentuh jemarinya. Amin menggerakkan kepalanya, seperti ingin tersadar dari sesuatu."Kenapa, Bang?" tanya Ririn keheranan."Ada gempa gak sih, Bu?" Amin malah berbalik tanya pada Ririn. Kali ini wajahnya