Setelah membereskan motor ketiga wanita single parent itu, akhirnya Amin dapat menikmati sarapan bubur ayamnya dengan tenang. Mbak Katini juga sudah keliling kembali menjajakan jamu gendongnya. Masih belum ada pasien lagi, sehingga Amin sedikit santai.
"Bang Amiin," panggil Jihan yang tahu-tahu sudah di depan bengkelnya.
"Eh, Jihan, ada apa, Neng?"
"Boleh pinjam motornya gak? Jihan mau ke tukang fotokopy, banyak tugas sekolah. Motor lagi di pake babe ke kelurahan. Boleh ya, bang?" wajah Jihan berubah melas.
Amin yang menaruh hati pada Jihan, tentu saja tak masalah motornya dipinjam. Ya, memang bukan motor baru apalagi mahal, hanya motor seken dan masih sangat layak pakai, yang selalu ia gunakan ke sana-kemari.
"Boleh, Neng. Pakai saja, ini kuncinya." Amin mengulurkan kunci motor pada Jihan sambil tersenyum senang.
"Makasih Bang Amin." Jihan pun melajukan motor Amin dengan kencang. Amin kembali duduk menyantap bubur ayam yang sedikit lagi habis. Dilihatnya jam di dinding kios, masih pukul setengah sembilan pagi, tapi ia sudah memperoleh uang enam puluh lima ribu dari para wanita single tadi.
"Alhamdulillah," ucapnya sambil mengulum senyum.
"Mas, tolong motor saya gak bisa di stater," ucap seorang wanita muda yang membawa empat orang anak.
"Eh, iya Bu. Sebentar." Amin menaruh mangkuk bubur ayam, lalu menghabiskan secara kilat, air putih di dalam gelas. Lekas ia membantu ibu muda tadi untuk menstatee motornya, berulang kali ia coba namun tetap tidak bisa.
"Heek ... Hek ...." si bayi dalam gendongan sudah mulai merengek kepanasan.
"Mbak, duduk di sana saja, kasian di sini panas," kata Amin kemudian. Ia merasa kasihan dengan empat anak yang dengan wajah berpeluh kuhausan.
"Bunda, haus," rengek si kecil yang memakai rannsel sekolah.
"Iya, minum saja air minum yang Bagus bawa." Anak kecil itu pun mengeluarkan botol minum dari dalam tasnya.
"Sabar ya, Kak," ucapnya pada seorang anak lelaki yang mungkin berusia sepuluh tahun.
"Bunda sih, motor bukannya diservice," omelnya.
"Mbak, maaf. Ini motornya gak bisa distater bukan karena ada yang rusak, tapi kehabisan bensin," terang Amin sambil menyeringai.
"Ya Allah, saya kira kenapa. Aduh, maaf ya, Bang," ucapnya merasa sungkan.
"Mbak tunggu di sini ya, biar saya jalan ke depan cari bensin. Gak jauh, kok."
"Ya Allah, terimakasih banyak Bang," ucapnya penuh haru. Amin hanya menunggingkan senyum, dengan setengah berlari, ia menghampiri kios bensin eceran yang letaknya tak jauh dari kios bengkelnya.
"Dua, Din," pintanya pada Udin, ABG penjual bensin eceran.
"Tumben, bukannya tadi shubuh udah beli dua botol?"
"Buat pasien noh, kasian emak-emak bawa anak banyak, kalau gue suruh jalan ke sini ya gak mungkin," terang Amin pada Udin, sambil menyerahkan dua lembar uang sepuluh ribuan. Amin pun berjalan kembali ke kios bengkelnya, dua anak sudah menangis sedih, sedangkan yang dua lagi nampak kesal dan lelah.
Amin membuka tutup tangki bensin, lalu menuangkan bensin yang ia bawa ke dalam tangki bensin motor ibu muda itu.
Brrrmm
Brrrmmm"Alhamdulillah, makasih Bang," ucap wanita itu sambil tersenyum.
"Sama-sama, Bu. Dua puluh ribu."
"Oh iya, ini. Terimakasih," ucapnya lagi sebelum benar-benar meninggalkan lapak bengkel Amin. "Maaf ya, Bu. Diskon hanya untuk pelanggan yang masih gadis, kalau janda harga normal." Amin bermonolog.
Ia sempat berpikir, saat ini dirinya bisa dikatakan sukses dalam usaha, wajahnya juga tidak jelek, masih muda pula. Wajar jika ia menanti wanita single untuk menjadi pasangan hidupnya kelak. Bukan seorang janda yang hidupnya rumit, ditambah ada anak pula. Maka dari itu, Amin selalu memberikan diskon harga bagi para wanita single yang berkunjung ke bengkelnya . Karena siapa tahu, salah satu diantara mereka ada yang kecantol padanya.
****
Waktu bergulir hingga matahari naik tepat di atas kepala, namun Jihan juga belum kembali bersama motornya. Amin mulai resah, berkali-kali ia menoleh ke arah jalan raya besar, berharap Jihan segera kembali, namun sayang, wanita muda yang ia tunggu-tunggu tak kunjung kembali.
Amin baru saja menyelesaikan menambal ban motor Bu Elis, wanita paruh baya yang baru saja ditinggal suaminya tiga bulan yang lalu. Bu Elis adalah tetangga samping rumah Jihan.
"Ngapa lu, Min? Tangak-tengok bae. Nungguin siapa?" tanyanya dengan logat Jakarta.
"Mbak Jihan pinjam motor saya dari jam sembilan belum balik juga, Bu."
"Lha, ini aja udah lewat dzuhur," timpal Bu Elis lagi.
"Makanya, Bu."
"Makanya, Min. Jangan selalu dituruti maunya Jihan, anak itu tahu dia cantik, kembang Gang Mawar yang banyak digilai tetangga, termasuk kamu. Makanya dia jadi suka manfaatin cowok lugu kayak Bang Amin. Harusnya, Bang Amin cari yang lebih dewasa, modelan kayak saya gini, he he he ... jangan mainan sama bocah. Habis duit diporotin."
"Eh, gitu ya, Bu. He he he ...."
"Benar, pegang omongan saya."
"Lah, itu Jihan. Kok jalan kaki?" tunjuk Bu Elis membuat Amin menoleh. Perasaannya langsung tak enak melihat Jihan menangis sambil berjalan ke kios bengkelnya. Cepat Amin menghampiri Jihan, "loh, motor saya mana, Han?"
"Maaf, Bang, motor Abang dirampas tadi."
"Sama siapa?" wajah Amin memucat.
"Gak tahu, laki-laki dua orang."
"Ya Allah."
****
Amin sudah duduk di ruang tamu Pak RW. Di depannya sudah ada Jihan yang tersedu karena merasa bersalah menghilangkan motor Amin. Gadis perawan itu terus saja memilin ujung bajunya tanpa berani menatap wajah sang ayah yang terlihat sangar. Amin pun tak berani menatap wajah Pak RW, menurutnya Pak RW adalah sosok yang sangat disegani karena kebijaksanaannya, selain itu lelaki paruh setengah baya di depannya ini adalah orangtua dari wanita yang ia sukai, tentulah ia harus tampak baik dan ikhlas."Awal bulan nanti, saya akan mengganti motor Bang Amin yang dihilangkan anak saya. Walaupun tidak baru, tetapi saya berharap Bang Amin mau menerimanya," ujar Pak RW sambil meletakkan gelas kopi yang isinya baru saja ia teguk."Tidak apa-apa, Pak. Saya ikhlas. Semua juga terjadi secara tidak disengaja oleh Jihan. Musibah, kalau kata orang. Tidak perlu diganti motor saya. Lagian motor saya itu, bukan motor bagus apalagi mahal. Insya Allah, nanti ada rezeki lagi saya akan beli yang baru
Amin sudah rapi dengan baju batik berlengan panjang dan celana panjang bahan berwarna coklat susu. Satu-satunya pakaian bagus yang ia punya, karena ia malas ke pasar untuk membeli pakaian. Alhasil, jika ada acara seperti ini, dia bingung sendiri akan memakai baju yang mana. Rambut ia sisir rapi dengan mengoleskan minyak rambut, agar klimis dan ketombenya tidak kelihatan.Satu dua tetangga yang lewat di depan rumah Pak RW memperhatikan Amin dengan kebingungan. Mau undangan ke rumah siapa? Sudah rapi begini.TukTuk"Assalamualaikum, Dek Jihan," panggilnya di depan pintu dengan jantung yang berdetak cepat. Tak ada tanda-tanda sahutan dari dalam rumah, bahkan Amin sedikit berjinjit untuk melihat ke belakang rumah, namun karena gelap, jadi tidak terlalu kelihatan.TukTuk"Assalamualaikum, Jihan," panggilnya lagi. Kali ini suaranya agak keras. Berharap segera dibukakan pintu, karena orang mulai ramai memperhatikannya.Klek"Wa'alaykumussal
Amin berbaring di kasur single miliknya, sambil menumpahkan satu botol minyak kayu putih di atas perutnya, hingga pusarnya kebanjiran. Sungguh keadaan perutnya sungguh melilit, hingga ia harus bolak-balik ke kamar mandi. Obat diare pun sudah dia minum, tetapi belum ada perubahan. Hingga pukul satu malam ia masih saja terus-terusan ke kamar mandi."Ya Allah, sakitnya," lirih Amin sambil mencoba turun dari ranjang. Dengan tenaga seadanya, Amin keluar rumah dan berjalan terseok-seok, menuju klinik dua puluh empat jam yang letaknya persis di sebrang Gang Mawar."Kenapa lu, Min?" tegur Pak Somad, hansip gang yang berjaga malam ini."Diare, Pak. Sakit banget," jawab Amin sambil meringis menahan perih."Oh, kasian. Ya udah sono cepetan ke klinik depan! Sebelum lu ce****it lagi, he he he ...." Pak Domad tergelak."Makasih, Pak. Saya ke depan dulu." Amin hanya bisa ikut memaksakan senyum pada Pak Somad, kemudian dengan langkah tertatih ia berjalan menuju klinik.
Amin berusaha fokus menambal ban motor customernya yan sudah menunggu dari pagi. Walau di tengah rasa melilit perut yamg sungguh membuatnya tak nyaman. Berkali-kali ia mengusap peluh yang bercucuran, padahal langit pagi masih nampak mendung. Wajahnya pun lama-kelamaan pucat, karena menahan mulas yang luar biasa."Bu, saya ke kamar mandi sebentar ya?" pamit Amin pada Ririn yang tengah duduk di kursi plastik sambil menimang puteri kecilnya yang terlelap."Mau ngapain? Lama gak?" tanya Ririn dengan polosnya. Entahlah, semenjak resmi menjadi janda, otaknya lama sekali mencerna sebuah kalimat."Saya mau liburan ke kamar mandi, Bu," sahut Amin yang diikuti gelak tawa. Kepalanya ia gelengkan, kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang berada di belakang kios.Ririn hanya mengangkat bahu, lalu kembali memainkan ponselnya. Melihat akun sosial media teman-teman dan para artis yang selalu ramai berita. Menunggu lima menit, sang montir belum juga keluar dari kamar mandi. R
"Ceweknya ya, Bang?" tanya Ririn sambil menyerahkan uang lima belas ribu pada Amin. Gadis muda yang mengajak Amin ke toko buku tadi, baru saja pergi."Calon istri, Bu. Doakan ya," sahut Amin dengan mantap. Senyumnya cerah ceria, secerah rezeki pagi hari ini."Wah, selamat Bang. Masih muda, cantik pula. Emang sekarang daun muda lagi laris ya, Bang. Kalau daun kering kayak saya, pasti gak ada yang mau." Ririn tergelak. Ia pun kini sudah naik ke atas motor, siap melanjutkan perjalanan ke rumah sang mama."Daun kering mah, cocoknya sama aki-aki garing, Bu," timpal Amin ikut tergelak. Baru kali ini, masih pagi ia sudah mendapat pelanggan yang lucu, janda pula. Biasanya janda gemesin, tetapi janda yang ini ngeselin."Huh, calon istri juga masih calon, Bang. Udah resmi aja masih bisa lepas, apa lagi baru calon. Awas, jaman sekarang banyak cewek muda tukang plorotin celana," ujar Ririn mengingatkan sambil menyalakan mesin motornya. Amin menelan salivanya saat mendeng
Dengan berat hati, Amin akhirnya berjalan ke kasir untuk menebus enam novel milik Jihan. Bahkan ia sudah menerka, akan berapa tersisa isi dompetnya nanti. Hanya ada KTP, SIM, kartu BPJS yang sudah tiga bulan tidak ia bayarkan iurannya, serta satu keping uang koin lima ratus rupiah. Jihan senyam-senyum dengan mata berbinar, saat Amin datang menghampiri dengan memakai batik.Orang-orang di sekitar Jihan yang ikut mengantre, terpana melihat gaya Amin yang begitu jadul. Gaya yang membuat Amin terlihat lebih tua dari usianya."Eh, Mamang udah datang. Ini, Mang, harus bayar tiga ratus enam puluh tiga ribu rupiah!" Jihan menunjuk angka pada monitor kasir. Amin tersenyum tipis, ia dipanggil Mamang oleh Jihan, mungkinkah Jihan sebenarnya malu dengan dirinya, orang tak punya ini?"Mamang! Ye ... kok bengong? Ini cepetan bayarin, udah pada antre tuh," rengek Jihan dengan suara kesal. Gadis itu mendadak khawatir, kalau saja tiba-tiba Amin mengurungkan niatnya untuk memba
Seperti biasa, pukul setengah enam pagi, Amin sudah berada di kios bengkelnya. Berharap ada kustomer pagi yang biasanya didominasi oleh ibu-ibu yang akan atau baru pulang dari pasar. Amin meneguk tehnya perlahan, sambil menikmati udara pagi yang sejuk. Masih belum terlalu banyak kendaraan yang lewat, karena memang bengkelnya bukan terletak di jalan utama.Pikirannya melayang pada kejadian semalam, di mana Jihan benar-benar mengerjainya. Kenapa ia berpikir begitu? Karena memang setelah mendapatkan yang wanita itu mau, Jihan dapat tertawa lepas bersama lelaki lain. Meninggalkannya di jalanan, tanpa uang sepeser pun. Bahjan hanya meliriknya sekilas saat semalam mereka bertemu pandang."Bang Amin, udah sarapan belum?" tanya Elin yang tiba-tiba sudah berada di depan kiosnya. Janda beranak dua itu sedang membawa sesuatu di tangannya, sambil tersenyum malu-malu, Elin masuk ke dalam kios."Ada apa, Mbak Elin? Motornya yang mogok mana?" tanya Amin sambil celinga
Amin menutup kios bengkelnya, setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah enam sore. Ia mau bersiap-siap mandi, lalu melaksanakan sholat magrib berjama'ah di masjid. Untung saja, saat akan tutup memang belum ada kustomer lagi. Paling akhir tadi diisi oleh Mbak Nengsih yang minta dibenarkan rem motornya yang macet.Sebelum menurunkan rolling door, Amin kembali menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan tidak ada kustomer yang mampir lagi. Benar saja, jalanan ramai lalu lalang kendaraan, tetapi sepertinya memang tak ada pelanggan lagi.GgrreeSuara rolling door diturunkan, tak lupa Amin mengunci pintu kiosnya. Halaman depan kios memang tak terlalu banyak sampah, sehingga Amin tak perlu menyapu halaman, cukup memunguti sampah daun dan bungkus makanan yang berserakan tidak terlalu banyak."Bang Amin," suara merdu seorang wanita yang ia cintai, tiba-tiba saja terdengar begitu dekat di telinganya. Amin menoleh, lalu memberikan senyum terbaiknya p