Amin baru saja menggelar tikar dialas sehelai kain sarung di ruang depan kontrakannya. Ibu dan Tia tidur di ranjang Amin dengan berdempetan, karena kasur singlenya memang hanya cukup untuk ukuran satu orang dewasa. Untunglah Tia berbadan kecil sehingga kasur singlenya masih bisa dipakai oleh ibu dan jiga Tia.
Amin mengambil ponsel yang ia simpan di atas nakas ruang depan. Lalu menggeser layarnya untuk melihat, apakah ada yang mengirim pesan padanya. Yah, walau jujur dirinya memang tak terlalu gila HP. Jika sudah rebahan di kasur, biasanya ia malas untuk membuka HP-nya.Bu RirinMatanya melotot lebar, saat melihat nama pengirim pesan sore tadi. Dengan gemetar ia membukanya disertai rasa berdebar gembira."Terimakasih baju dasternya, Bang. Bagus, motifnya saya suka. Kerudungnya juga saya suka."Amin menoleh ke arah jam dinding. Ya Tuhan pesan dari Ririn baru sempat ia buka jam sembilan malam."YaSetelah selesai acara lamaran, Amin meminta pada ibunya untuk langsung pulang ke rumah saja. Makanan yang dihidangkan keluarga Tia, hanya sedikit sekali yang mampu masuk ke dalam mulutnya. Sebenarnya ia tak berselera sama sekali, hanya saja demi menghargai ibunya dan juga keluarga Pak Herman, mau tidak mau, ia masukkan juga nasi dan satu potong rendang ke dalam mulutnya. Bu Sukma sudah memberikan kode agar Amin bersabar sejenak, karena ia belum selesai berbicara pada ibu dari Tia perihal acara pernikahan yang akan digelar minggu depan. Entahlah, semua ini harus terlaksana atau tidak."Bang Amin gak mau puding?" suara Tia merusak lamunannya. Amin menoleh, sembari mengulas senyum teramat tipis, lebih tipis dari kartu BPJS."Gak Dek Tia. Saya sudah makan buah salak tadi," jawabnya kembali memandang ke depan rumah Tia yang banyak sekali angsa."Sepertinya Bang Amin sedang banyak pikiran. Mmm ... Apa Bang Amin sebenarnya keberatan dengan acara perjodohan
"Kenapa Mama pindah lagi?" Doni bertanya pada mamanya saat sepulang sekolah, ia berkunjung ke rumah baru mamanya yang lebih sederhana dari kemarin. Ririn memberikan senyumnya pada Doni, lalu mengambilkan sepiring salad buah yang baru semalam ia buat, untuk anak lelakinya."Gak papa. Lingkungannya kurang nyaman saja. Bagaiamana kabar Anes? Hari sabtu ini kamu dan Anes menginap di rumah Mamakan?""Iya, Ma." Doni menyantap sepiring salad buah dengan sangat nikmat. Sesekali ia menyuapkan potongan buah melon kecil ke dalam mulut DiraRirin kembali ke dapur, kali ini ia tengah merapikan belanjaanya di dapur. Ya, mulai besok, ia akan berjualan sarapan di pekarangan rumahnya. Ia harus bekerja dan tak bisa mengandalkan uang makan dari Dira yang diberikan Arya-mantan suaminya. Ia harus berusaha sendiri, untuk menutupi kebutuhan hidupnya. Selain itu, ia harus mengalihkan perasaan kecewanya pada seorang lelaki yang ... ah, sudahlah!"Ada yang Mama pik
"Amiin!" Bu Sukma berteriak kencang, saat Amin berlari keluar dari rumah Tia. Ia bahkan melemparkan peci dan jasnya di lantai, lalu berlari dengan sekencangnya. Tujuannya saat ini adalah kembali ke Jakarta, mencari keberadaan Ririn. Sudah tak dipedulikannya lagi tatapan semua orang yang ada di sana. Saat ini, di hatinya dan kepalanya hanya ada satu tujuan, yaitu bertemu dengan Ririn."Kenapa Pak Herman membohongi saya dan keluarga saya? Ngakunya aja perawan, tapi bekas orang juga! Saya minta uang penjualan sawah saya kembali!" tukas Bu Sukma dengan emosi memenuhi kepala.Malu, kecewa, merasa dirugikan dan entah apalagi namanya saat ini. Bu Sukma, Minah, dan anggota keluarga lainnya, pergi dari rumah Pak Herman dengan wajah kesal. Di dalam sana, Tia dan Muji, lelaki yang ternyata adalah pacar dari Tia, sudah duduk di depan penghulu, siap untuk dinikahkan.****Amin sudah berada di terminal, masih dengan baju koko putih dan celana bahan hita
"Bang Amin, mau apa ke sini?" Ririn membuang pandangannya, lalu menaruh begitu saja cincin yang diberikan Amin di atas meja etalase warungnya."Saya mau beli nasi uduk," jawab Amin gugup. Di balik pohon, Imron sudah menepuk keningnya, merasa sangat gemas dengan Amin yang selalu saja gugup."Dua belas ribu saja," jawab Ririn masih tak mau melihat Amin. Ia malah sibuk sendiri mengelap piring makan, serta mengaduk nasi uduk di dalam termos."Saya gak punya uang dua belas ribu. Adanya cincin itu. Emang gak bisa bayar pakai cincin?" Ririn menaruh centong nasi dengan kasar, lalu menatap Amin dengan horor."Pergi! Ambil saja nasinya, gak usah bayar!" Ririn memilih masuk ke dalam rumah, meninggalkan Amin yang masih terbengong di dekat etalase nasi uduk.Puuk!Imron menimpuk kepala Amin dengan batu kecil."Aw ...." Amin mengusap belakang kepalanya sambil menoleh ke belakang."Kejar, Min! Is
Amin duduk di depan Ririn sambil meremas jarinya. Rasa gugup dan takut bercampur jadi satu, saat Ririn menatapnya dengan intens dan raut yang tak bersahabat. Ririn hanya menatapnya saja, tanpa sepatah kata pun, sehingga ia pun bingung mau bicara apa."Lagi pada jadi patung yang di dalam ya, Dira?" sindir Imron yang tengah menemani Dira bermain boneka di teras rumah. Ririn menahan tawa, begitu juga Amin."Bu.""Bang."Keduanya sama-sama ingin memulai percakapan."Cewek dulu yang ngomong kali, Min," celetuk Imron lagi dari luar."Im, lu pergi aja deh yang jauh! Mengganggu konsentrasi gue aja. Apa yang mau gue omongin, jadi lupa deh tuh!" omel Amin dengan gemas. Imron cuek saja, ia malah tergelak mendengar ocehan Amin."Gak boleh berduaan, Min. Nanti yang ketiganya pasti ada setan," sahut Imron lagi tak mau kalah."Ya lu setannya, Im. Makanya pergi deh yang jauh!" Ririn akhirnya tergelak, begi
"Bu, bagaimana? Mau kan menjadi istri saya?" Amin bersungguh-sungguh dengan ucapannya, bahkan kini ia sudah bersimpuh di kaki Ririn, sambil menunjukkan kotal beludru merah yang berisi cincin emas yang sangat cantik. Ririn masih tergugu duduk di sofa. Air mata Ririn masih saja mengalir, ia tak mampu menjawab pertanyaan Amin, karena dadanya terlalu sesak."Mau! Mau! Mau!" beberapa pengunjung restoran ikut bersorak, menyemangati Ririn yang tak kunjung menjawab. Ada yang terharu, bahkan mengabadikan momen romantis yang dilakukan Amin saat ini."Bu, maukan?" Amin bertanya sekali lagi, sambil sedikit menggoyang kain rok yang dipakai oleh Ririn."Mau! Mau! Mau!" seru para pengunjung lagi, dengan begitu semangatnya. Ririn memberanikan diri mengangkat wajahnya, lalu menatap nanar wajah Amin. Ririn mengangguk pelan, sangat pelan."Horre ... diterima!" pekik pengunjung yang ikut bergembira. Jika tadi Ririn yang menangis, maka kali ini Amin yang
Minah baru saja keluar dari dapur, sambil membawa satu cangkir air teh untuk tamunya. Pelan dan hati-hati, ia meletakkan cangkir itu di depan tamu Amin. Amin menoleh pada tetehnya dengan mengernyitkan kening."Kenapa cuma satu cangkir, Teh?" tanya Amin. Minah tak menjawab, ia berjalan cuek kembali ke dapur."Ibu yang suruh, bikin minum hanya untuk tamu saja. Kalau kamu bisa ambil sendiri di dalam. Kasian tamunya harus minum dulu sebelum kembali ke Jakarta." Ririn menguatkan hatinya. Ia tahu, ini adalah pengusiran secara tidak langsung ibu dari Amin kepadanya."Maksud Ibu apa? Bu Ririn akan menginap di sini. Kenapa harus pulang? Kami ke sini dengan maksud ....""Ibu tidak akan setuju. Sampai mati Ibu tidak akan setuju anak lelaki Ibu satu-satunya, masih muda pula, tampan, tetapi harus menikahi janda cacat.""Ibu!" Amin berdiri dari duduknya. Ia benar-benar kecewa atas ucapan ibunya yang begitu menyakitkan hati."
Seorang janda berwajah manis, tengah berdiri di depan kios bengkel Amin, tepat pukul enam pagi. Biasanya jam segini, Bang Amin sudah buka bengkel, bahkan tak jarang sudah ada yang mengantre. Namun, sudah satu pekan bengkel tutup, Bang Amin dihubungi juga tidak bisa. Wanita itu memijat pelipisnya, ini berarti ia harus berjalan ke depan lagi sambil mendorong motornya yang pecah ban belakang, untuk sampai di bengkel berikutnya."Mbak Sena, lagi apa?" wanita yang dipanggil Sena menoleh."Eh, Bang Imron. Ban motor saya pecah nih. Mana Bang Amin belum buka juga. Emang Bang Amin ke mana sih, Bang?" cecar Sena dengan wajah masam. Sungguh ia pasti akan sangat lelah mendorong motor kurang lebih lima tiga ratus meter lagi, dari lokasi bengkel Amin."Iya, nih. Saya aja temannya gak tahu Amin ke mana? Udah satu pekan, Mbak. Apa sakit di kampungnya?" gumam Imron tulus, sembari membayangkan wajah Amin yang pasti saat ini tengah bahagia, karena sebentar lagi akan me