Seorang janda berwajah manis, tengah berdiri di depan kios bengkel Amin, tepat pukul enam pagi. Biasanya jam segini, Bang Amin sudah buka bengkel, bahkan tak jarang sudah ada yang mengantre. Namun, sudah satu pekan bengkel tutup, Bang Amin dihubungi juga tidak bisa. Wanita itu memijat pelipisnya, ini berarti ia harus berjalan ke depan lagi sambil mendorong motornya yang pecah ban belakang, untuk sampai di bengkel berikutnya.
"Mbak Sena, lagi apa?" wanita yang dipanggil Sena menoleh."Eh, Bang Imron. Ban motor saya pecah nih. Mana Bang Amin belum buka juga. Emang Bang Amin ke mana sih, Bang?" cecar Sena dengan wajah masam. Sungguh ia pasti akan sangat lelah mendorong motor kurang lebih lima tiga ratus meter lagi, dari lokasi bengkel Amin."Iya, nih. Saya aja temannya gak tahu Amin ke mana? Udah satu pekan, Mbak. Apa sakit di kampungnya?" gumam Imron tulus, sembari membayangkan wajah Amin yang pasti saat ini tengah bahagia, karena sebentar lagi akan me"Mak, Mak! Bang Amin dibawa ambulan, Mak!" teriak seorang anak kecil di depan kebun tebu. Bu Sukma yang merasa seperti mengenal nama anaknya, tentu saja menoleh dengan kaget.Nafas anak lelaki kecil itu terengah, saat mendekat pada Bu Sukma. Ia bahkan meringis, mencoba mengatur nafas yang memburu. Bu Sukma memandangi wajah Ujang, nama anak lelaki itu. Bajunya juga basah karena hujam gerimis masih deras. Dia tak mengenakan payung menyusul Bu Sukma."Ngapa lu, Jang? Bang Amin dibawa ambulan? Jangan ngaco!" Bu Sukma mengibaskan tangannya, dan bermaksud melanjutkan perjalanan kembali ke rumah Kek Romi."Mak, beneran. Bang Amin mau mati! Cepat, Mak!" Ujang berusaha menarik tangan Bu Sukma, agar kembali ke rumah. Namun sayang, wanita tua itu sudah buta akan kesesatan, sehingga ia hanya bisa menepis tangan Ujang, lalu pergi melanjutkan perjalanannya."Ah, si Emak gak percayaan! Semoga Bang Amin selamat ya Allah," gumam Ujang, berjalan de
Selamat membaca."Mas, bisa kirim ambulan ke rumah sakit X di Tasik, untuk dibawa ke Hasan Sadikin-Bandung?""Loh, kok jauh sekali? Siapa yang sakit? Kamu?"Sekilas, Ririn melirik Bu Sukma."Calon suami saya, Mas. Tolong ya.""Oke, tapi kenapa gak dibawa ke Jakarta saja?""Saya khawatir ... kondisinya semakin memburuk.""Oke. Pasien atas nama?""Amin Haikal.""Oke.""Terima kasih, Mas. Nanti saya menyusul ke Bandung. Cepat ya, Mas.""Dira bagaiamana?""Saya bawa.""Oke."Ririn menutup teleponnya, sambil mengusap air mata. Bu Sukma tak bisa berkata apapun melihat Ririn betapa gesit menelepon siapa saja agar bisa membawa Amin untuk segera mendapat perawatan terbaik."Ayo, Bu. Kita bersiap ke Bandung.""Naik apa, Nak?""Mmm ... mobil saya."Raut wajah Bu Sukma berubah pucat dan Ririn m
"Bang, makan ya," bujuk Ririn untuk yang kesekian kali. Namun, Amin tak peduli, pandangannya kosong, dan suaranya juga tak terdengar."Ini Ririn, Bang. Bu Ririn. Coba sini, lihat saya!" Ririn memegang kedua pipi Amin, lalu menariknya miring, agar bisa saling bertatapan dengannya. Kosong, tak ada nyawa dalam bola mata Amin."Jangan dipaksakan, Teh. Kalau Teteh lelah, istirahat saja. Sudah dua malam Teteh menjaga Bang Amin di sini. Malam ini, biar saya dan ibu yang menjaga.""Gak papa Teh Minah. Saya akan tetap di sini. Dira juga sudah saya titipkan pada adik mama saya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari sini. Jadi, insya Allah Aman, Teh." Ririn tersenyum, tetapi ada air mata yang menetes di sana. Air mata kesedihan, karena kondisi Amin memang sangat memprihatinkan.Ririn tak putus asa, dia menyendokkan seujung sendok bubur ayam buatan rumah sakit, lalu meletakkan di depan mulut Amin, tetapi lelaki itu malah membuang wajah."Ban
"Ya Allah, Amiin. Ibu minta maaf. Lu udah sadar?" Bu Sukma tiba-tiba sudah berada di belakang tubuh Ririn yang menunduk sambil meneteskan air mata. Dengan pelukan hangat, Bu Sukma memeluk Amin yang menyunggingkan senyum tipis pada ibunya, yang meminta maaf dengan derai air mata."Bu, udah ya. Amin sudah maafkan. Ibu sudah minta maaf sama Bu Ririn belum?""Udah, waktu Ibu susulin Ririn ke Jakarta." Bu Sukma mengusap pundak Ririn yang masih bergetar."Ibu gak keberatan kalian langsung menikah," kata Bu Sukma lagi dengan senyum tulus."Jangan, Bu!" sontak Ririn dan Bu Sukma menoleh kaget pada Amin. Bahkan Bu Sukma sudah melotot hebat pada anaknya."Apa sih, Min? Kok jangan!" Bu Sukma ingin sekali menjewer Amin saat ini juga. Ririn dengan hati berdebar, masih menunggu jawaban dari Amin."Jangan sekarang, Bu. Nanti Amin gak kuat naikin ....""Amiiin!" kali ini, Ririn pun ikut melotot hebat pada Amin
Amin dan Ririn sudah duduk berdampingan di depan penghulu. Semua tamu juga sudah duduk rapi dan bersiap menyaksikan prosesi ijab kabul antara Amin dan Ririn. MC juga sudah memegang mic dengan begitu mantap. Suasana hening dan mendebarkan sebentar lagi terlaksana. Amin berulang kali mengusap peluhnya yang menetes di kening, lalu tangannya turun mengusap sedikit atas perutnya.Ririn menoleh, saat menyadari kegelisahan yang sedang dialami oleh Amin."Bang, kenapa?" tanya Ririn dengan sedikit berbisik."Mules, Bu.""Ya ampun, dari semalam sampai sekarang masih mulas?""Iya.""Kuat gak, nunggu sampai selesai akad?""Kayaknya nggak, Yank. Ini ... u-ud ...." Amin melepas tudung di kepalanya, lalu terburu-buru berlari ke arah toilet masjid.Semua tamu ikut terheran, sekaligus mengulas senyum. Ririn pun melakukan yang sama, Bang Amin memang sedari dulu seperti itu. Waktu itu, Bu Sukma pernah b
Dua Satu Plus40 plusSelamat membaca.Amin makan malam disuapi oleh Ririn. Ririn pun disuapi oleh Amin. Tadinya Ririn menolak, tetapi Amin memaksa sehingga ia tak mungkin menolak kemauan suaminya. Nasi bercampur sayur sop dan sambal goreng kentang dan hati sapi, begitu nikmat disantap keduanya. Nasi dalam piring pun begitu cepat sekali habis.Ririn kembali berjalan ke dapur, untuk menambah nasi, serta lauk dan pauk di atas piring. Tak lupa krupuk udang dari catering pernikahan tadi, yang sudah ia pisahkan satu toples besar untuk dikontrakan suaminya."Nikmat banget kalau makan disuapi istri ya," ujarnya sembari memandang Ririn begitu dalam."Dah ah, makan yang benar. Jangan becanda terus!" Ririn membuang pandangan dari Amin, sekaligus menyembunyikan rona kemerahan di pipinya."Rasanya sepiring berdua tak cukup. Perut terasa lapar sangat," kata Amin lagi dengan tangan sedikit naik hendak men
Malam pertama mereka lalui dengan tidur saja, tanpa aktifitas apa pun. Karena Ririn terlelap lebih dulu, saat Amin sibuk dengan tisu air galonnya. Suara gerimis di luar, menambah sahdu malam yang seharusnya panjang, tetapi menjadi malam hening.Pukul empat pagi, jam weker Amin berdering sangat keras. Ririn tersentak dan lansung mematikan dering alarm itu. Matanya menoleh ke samping dan mendapati sang suami tidur begitu pulas tanpa mengenakan kaus dalam, hanya tersisa sarungnya saja. Kemudian, ia mengucek kedua mata sembari menguap, karena masih terasa ngantuk.Ririn berjongkong memungut tisu galon dua bungkus yang tergeletak mengenaskan di lantai kontrakan Amin. Lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Ririn tidak mandi, hanya cuci muka, sikat gigi, dan sekalian berwudhu. Ia memutuskan untuk sholat dua rokaat terlebih dahulu, sebelum masuk waktu subuh yang setengah jam lagi akan tiba.Setelah salam dan berdoa sejenak, Ririn bangun dari duduknya, lalu
Ririn menaikkan tali spagetti bajunya dengan kasar, lalu memakai kembali baju gamis kaus dan juga jilbab panjangnya. Dengan masam, ia mendekat pada suaminya yang masih memakai kaus dalam serta sarung saja, tengah membukakan pintu untuk tiga orang wanita tamu tak diundang."Abang masuk! Jangan pake kaus dalam begitu saja terima tamu," titah Ririn sewot, sambil memberi kode pada suaminya dengan gerakan kepala. Ketiga tamunya hanya bisa menyeringai melihat Amin yang berlaku sangat menurut pada istrinya."Ada apa Mbak-mbak ke rumah saya? Eh, sampai lupa. Ayo, masuk," ajak Ririn berbasa-basi. Padahal, jauh di dalam hatinya, ingin sekali tamunya ini menolak, sehingga ia tak perlu beramah tamah dengan tamu suaminya. Namun sayang, ketiga wanita itu masuk ke dalam rumah kontrakan Amin dengan tangan membawa masing-masing kado yang bungkus kertas motif yang sama, yaitu motif hati."Ada apa nih? Tumben?" tanya Amin duduk di tangan kursi di samping istrinya