Dua Satu Plus
40 plus
Selamat membaca.Amin makan malam disuapi oleh Ririn. Ririn pun disuapi oleh Amin. Tadinya Ririn menolak, tetapi Amin memaksa sehingga ia tak mungkin menolak kemauan suaminya. Nasi bercampur sayur sop dan sambal goreng kentang dan hati sapi, begitu nikmat disantap keduanya. Nasi dalam piring pun begitu cepat sekali habis. Ririn kembali berjalan ke dapur, untuk menambah nasi, serta lauk dan pauk di atas piring. Tak lupa krupuk udang dari catering pernikahan tadi, yang sudah ia pisahkan satu toples besar untuk dikontrakan suaminya."Nikmat banget kalau makan disuapi istri ya," ujarnya sembari memandang Ririn begitu dalam."Dah ah, makan yang benar. Jangan becanda terus!" Ririn membuang pandangan dari Amin, sekaligus menyembunyikan rona kemerahan di pipinya."Rasanya sepiring berdua tak cukup. Perut terasa lapar sangat," kata Amin lagi dengan tangan sedikit naik hendak menMalam pertama mereka lalui dengan tidur saja, tanpa aktifitas apa pun. Karena Ririn terlelap lebih dulu, saat Amin sibuk dengan tisu air galonnya. Suara gerimis di luar, menambah sahdu malam yang seharusnya panjang, tetapi menjadi malam hening.Pukul empat pagi, jam weker Amin berdering sangat keras. Ririn tersentak dan lansung mematikan dering alarm itu. Matanya menoleh ke samping dan mendapati sang suami tidur begitu pulas tanpa mengenakan kaus dalam, hanya tersisa sarungnya saja. Kemudian, ia mengucek kedua mata sembari menguap, karena masih terasa ngantuk.Ririn berjongkong memungut tisu galon dua bungkus yang tergeletak mengenaskan di lantai kontrakan Amin. Lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Ririn tidak mandi, hanya cuci muka, sikat gigi, dan sekalian berwudhu. Ia memutuskan untuk sholat dua rokaat terlebih dahulu, sebelum masuk waktu subuh yang setengah jam lagi akan tiba.Setelah salam dan berdoa sejenak, Ririn bangun dari duduknya, lalu
Ririn menaikkan tali spagetti bajunya dengan kasar, lalu memakai kembali baju gamis kaus dan juga jilbab panjangnya. Dengan masam, ia mendekat pada suaminya yang masih memakai kaus dalam serta sarung saja, tengah membukakan pintu untuk tiga orang wanita tamu tak diundang."Abang masuk! Jangan pake kaus dalam begitu saja terima tamu," titah Ririn sewot, sambil memberi kode pada suaminya dengan gerakan kepala. Ketiga tamunya hanya bisa menyeringai melihat Amin yang berlaku sangat menurut pada istrinya."Ada apa Mbak-mbak ke rumah saya? Eh, sampai lupa. Ayo, masuk," ajak Ririn berbasa-basi. Padahal, jauh di dalam hatinya, ingin sekali tamunya ini menolak, sehingga ia tak perlu beramah tamah dengan tamu suaminya. Namun sayang, ketiga wanita itu masuk ke dalam rumah kontrakan Amin dengan tangan membawa masing-masing kado yang bungkus kertas motif yang sama, yaitu motif hati."Ada apa nih? Tumben?" tanya Amin duduk di tangan kursi di samping istrinya
Pagi ini, Ririn menyiapkan sarapan untuk suaminya. Sepiring omelet dan segelas teh tawar hangat. Asap mengepul di atas piring saji yang baru saja ditumpahkan gulungan omelet di atasnya. Dengan begitu cekatan, Ririn menyiapkan sendiri sarapan suaminya. Ia juga mengerjakan semua pekerjaan rumah, kecuali menyetrika. Ia masih tak sanggup duduk terlalu lama karena kakinya memang sakit dan Amin memaklumi itu. Aminlah yang menyetrika pakaian di rumah.Pada awalnya Ririn menolak. Ia ingin semua pakaian yang telah dicuci, dibawa ke laundri saja untuk disetrika. Namun, Amin tidak setuju dan ia yang mengambil alih tugas itu. Tentunya dengan satu sarat, yaitu Amin minta dilayani dengan begitu spesial. Pernah, Amin mengerjai istrinya. Ia menyetrika tiga kali dalam sehari dan Ririn dengan begitu terpaksa patuh pada aturan suami. Hingga keesokan harinya, mereka berdua tak mampu menggerakkan kaki."Melamun apa?" tegur Amin memeluk pinggang Ririn dari belakang. Dagunya se
Delapan bulan kemudian.Perut Ririn yang semakin besar, membuatnya cukup susah untuk bergerak ke sana-kemari. Ditambah lagi Dira yang semakin lincah. Maka dari itu, Ririn membayar seorang pembantu rumah tangga yang dipekerjakan mulai pukul enam pagi, sampai dengan pukul lima sore.Sempat suaminya menyarankan agar membayar pembantu untuk menginap saja, agar Ririn bisa lebih banyak istirahat. Namun, Ririn menolak. Seumur hidupnya, tidak akan pernah membiarkan wanita lain berada satu atap dengannya. Kenangan lampau itu tak mudah hilang dari kepalanya, walau kini ia sudah memiliki kebahagiaan sendiri.Suaminya baru saja keluar dari kamar mandi. Ririn yang masih berbaring santai di balik selimut, memilih menikmati pemandangan atletis di depannya, sambil mengusap perutnya tanpa pelan. Suaminya semakin hari semakin tampan, bersih, dan juga terlihat lebih berisi. Setiap hari juga Amin selalu membuat hatinya bahagia.Se
Jantungnya berdetak begitu cepat. Peluh membanjiri kening dan juga sekujur tubuhnya, saat melihat Ririn berjuang melahirkan buah cinta mereka yang ternyata terlilit tali pusar. Susah payah Ririn berusaha mengedan dibantu oleh dokter dan juga ada bidan di sampingnya.Kaki Amin begitu lemas, air mata tak kunjung berhenti saat melihat kesakitan istrinya yang belum usai."Maafkan saya, Bun. Gara-gara saya jadi begini. Tolong kuat demi saya dan anak-anak. Allahu Akbar, Allahu Akbar." Sambil menggenggam kuat tangan Ririn, Amin trus saja membisikkan kalimat menguatkan untuk istrinya. Ririn menoleh pada suaminya, lalu mencium tangan itu dengan kuat."Maafkan semua kesalahan Bunda ya, Bang."Amin melotot, ia melenggelengkan kuat kepalanya. Berusaha menghalau pikiran buruk yang tiba-tiba saja bersliweran di kepala."Bunda pasti bisa. Jangan bicara aneh!" Amin mengusap kasar air mata yang daritadi terus saja membasahi pipinya.
"Abang yang bener dong. Jangan begini sama gue. Abangkan kemari buat ngelamar Minah untuk jadi istri gue, Bang. Kenapa lu tiba-tiba begini, Bang?" isak Imron meratapi sang abang yang sudah terkulai lemah di atas kasur busa miliknya. Di belakangnya terdengar mengalun merdu ayat-ayat suci yang dilantunkan oleh kakak iparnya;Elok. Dengan derai air mata dan sambil menggendong bayinya, wanita itu membacakan ayat-ayat indah agar tertangkap oleh telinga suaminya yang sedang berada di titik akhir hidupnya."Maafin gue ya, Im. Gue gak bisa bantu lu. Dada gue sakit, Im. G-gue m-minta tolong, jaga Gayatri dan ibunya. Mereka tak punya siapa-siapa lagi nanti. Im, maaf. Menikahlah dengan Elok. J-jaga keduanya dengan baik.""Bang, Abang gak akan ke mana-mana. Abang akan sehat kembali. Jangan tinggalkan Elok dan Gayatri, Bang. Jangan begini!" raung wanita yang menjadi istri dari Indra.Semua orang sudah berkumpul di rumah kontrakan Imron. Lelaki itu meregang nyawa dengan
Dengan langkah malas, Imron masuk ke dalam rumah kontrakannya yang juga ditinggali oleh Elok dan juga keponakannnya. Hanya saja, saat malam Imron terpaksa tidur di musholla dengan beralaskan karpet dan juga selimut tebal yang dipinjamkan Amin padanya. Siang hari juga ia tidak ada di rumah, memilih mencari penumpang hingga malam. Hanya untuk mandi dan berganti pakaian di dalam kamar mandilah ia berada di rumah kontrakannya itu. Sambil sesekali bermain dengan Aya;panggilan untuk keponakannya yang cantik.Kenapa Imron tidak mengontrak lagi saja? Darimana ia mendapatkan uang untuk membayarnya? Apalagi hanya bekerja sebagai ojek pangkalan dan panggilan. Hanya cukup untuk makannya sehari-hari dan juga sebungkus rokok untuk dua hari."Assalamualaykum," ucapnya saat memasuki rumah. Aya sedang tertidur pulas di kursi sofa bekas yang ia beli dari tetangga."Wa'alaykumussalam," jawab Elok yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pakaiannya masih lengkap dan sangat tertutup.
Hal yang paling dinantikan sepasang pengantin yang baru saja melaksanakan pernikahan adalah malam pertama. Malam keduanya memadu kasih mesra, penuh canda dan tawa renyah yang terselip sedikit rayuan mesum. Apalagi suasana di luar tiba-tiba saja turun hujan sangat deras. Tentulah menambah sahdu malam panjang dengan lantunan lirih nikmat sepasang insan dalam hubungan yang halal.Itulah yang biasanya terjadi pada pernikahan pada umumnya, tetapi tidak dengan pernikahan seorang Imron dan Elok. Sehabis salat Isya, memutuskan untuk berkumpul bersama Pak RT, tempat ia biasa berkumpul setelah lelah seharian mengojek. Namun malam ini, begitu keluar dari musolah, hujan turun dengan deras. Imron terpaks berlari sampai di rumah dengan keadaan sedikit basah, terutama sarung yang sudah ia angkat tinggi sampai pinggang.Kalian jangan berpikir yang tidak-tidak. Di balik sarung itu, tentulah ia memakai celana boxer seperti biasa.KrekDibukanya pintu rumah. Sudah ada Elok