Pagi ini, Ririn menyiapkan sarapan untuk suaminya. Sepiring omelet dan segelas teh tawar hangat. Asap mengepul di atas piring saji yang baru saja ditumpahkan gulungan omelet di atasnya. Dengan begitu cekatan, Ririn menyiapkan sendiri sarapan suaminya. Ia juga mengerjakan semua pekerjaan rumah, kecuali menyetrika. Ia masih tak sanggup duduk terlalu lama karena kakinya memang sakit dan Amin memaklumi itu. Aminlah yang menyetrika pakaian di rumah.
Pada awalnya Ririn menolak. Ia ingin semua pakaian yang telah dicuci, dibawa ke laundri saja untuk disetrika. Namun, Amin tidak setuju dan ia yang mengambil alih tugas itu. Tentunya dengan satu sarat, yaitu Amin minta dilayani dengan begitu spesial. Pernah, Amin mengerjai istrinya. Ia menyetrika tiga kali dalam sehari dan Ririn dengan begitu terpaksa patuh pada aturan suami. Hingga keesokan harinya, mereka berdua tak mampu menggerakkan kaki."Melamun apa?" tegur Amin memeluk pinggang Ririn dari belakang. Dagunya seDelapan bulan kemudian.Perut Ririn yang semakin besar, membuatnya cukup susah untuk bergerak ke sana-kemari. Ditambah lagi Dira yang semakin lincah. Maka dari itu, Ririn membayar seorang pembantu rumah tangga yang dipekerjakan mulai pukul enam pagi, sampai dengan pukul lima sore.Sempat suaminya menyarankan agar membayar pembantu untuk menginap saja, agar Ririn bisa lebih banyak istirahat. Namun, Ririn menolak. Seumur hidupnya, tidak akan pernah membiarkan wanita lain berada satu atap dengannya. Kenangan lampau itu tak mudah hilang dari kepalanya, walau kini ia sudah memiliki kebahagiaan sendiri.Suaminya baru saja keluar dari kamar mandi. Ririn yang masih berbaring santai di balik selimut, memilih menikmati pemandangan atletis di depannya, sambil mengusap perutnya tanpa pelan. Suaminya semakin hari semakin tampan, bersih, dan juga terlihat lebih berisi. Setiap hari juga Amin selalu membuat hatinya bahagia.Se
Jantungnya berdetak begitu cepat. Peluh membanjiri kening dan juga sekujur tubuhnya, saat melihat Ririn berjuang melahirkan buah cinta mereka yang ternyata terlilit tali pusar. Susah payah Ririn berusaha mengedan dibantu oleh dokter dan juga ada bidan di sampingnya.Kaki Amin begitu lemas, air mata tak kunjung berhenti saat melihat kesakitan istrinya yang belum usai."Maafkan saya, Bun. Gara-gara saya jadi begini. Tolong kuat demi saya dan anak-anak. Allahu Akbar, Allahu Akbar." Sambil menggenggam kuat tangan Ririn, Amin trus saja membisikkan kalimat menguatkan untuk istrinya. Ririn menoleh pada suaminya, lalu mencium tangan itu dengan kuat."Maafkan semua kesalahan Bunda ya, Bang."Amin melotot, ia melenggelengkan kuat kepalanya. Berusaha menghalau pikiran buruk yang tiba-tiba saja bersliweran di kepala."Bunda pasti bisa. Jangan bicara aneh!" Amin mengusap kasar air mata yang daritadi terus saja membasahi pipinya.
"Abang yang bener dong. Jangan begini sama gue. Abangkan kemari buat ngelamar Minah untuk jadi istri gue, Bang. Kenapa lu tiba-tiba begini, Bang?" isak Imron meratapi sang abang yang sudah terkulai lemah di atas kasur busa miliknya. Di belakangnya terdengar mengalun merdu ayat-ayat suci yang dilantunkan oleh kakak iparnya;Elok. Dengan derai air mata dan sambil menggendong bayinya, wanita itu membacakan ayat-ayat indah agar tertangkap oleh telinga suaminya yang sedang berada di titik akhir hidupnya."Maafin gue ya, Im. Gue gak bisa bantu lu. Dada gue sakit, Im. G-gue m-minta tolong, jaga Gayatri dan ibunya. Mereka tak punya siapa-siapa lagi nanti. Im, maaf. Menikahlah dengan Elok. J-jaga keduanya dengan baik.""Bang, Abang gak akan ke mana-mana. Abang akan sehat kembali. Jangan tinggalkan Elok dan Gayatri, Bang. Jangan begini!" raung wanita yang menjadi istri dari Indra.Semua orang sudah berkumpul di rumah kontrakan Imron. Lelaki itu meregang nyawa dengan
Dengan langkah malas, Imron masuk ke dalam rumah kontrakannya yang juga ditinggali oleh Elok dan juga keponakannnya. Hanya saja, saat malam Imron terpaksa tidur di musholla dengan beralaskan karpet dan juga selimut tebal yang dipinjamkan Amin padanya. Siang hari juga ia tidak ada di rumah, memilih mencari penumpang hingga malam. Hanya untuk mandi dan berganti pakaian di dalam kamar mandilah ia berada di rumah kontrakannya itu. Sambil sesekali bermain dengan Aya;panggilan untuk keponakannya yang cantik.Kenapa Imron tidak mengontrak lagi saja? Darimana ia mendapatkan uang untuk membayarnya? Apalagi hanya bekerja sebagai ojek pangkalan dan panggilan. Hanya cukup untuk makannya sehari-hari dan juga sebungkus rokok untuk dua hari."Assalamualaykum," ucapnya saat memasuki rumah. Aya sedang tertidur pulas di kursi sofa bekas yang ia beli dari tetangga."Wa'alaykumussalam," jawab Elok yang baru saja keluar dari kamar mandi. Pakaiannya masih lengkap dan sangat tertutup.
Hal yang paling dinantikan sepasang pengantin yang baru saja melaksanakan pernikahan adalah malam pertama. Malam keduanya memadu kasih mesra, penuh canda dan tawa renyah yang terselip sedikit rayuan mesum. Apalagi suasana di luar tiba-tiba saja turun hujan sangat deras. Tentulah menambah sahdu malam panjang dengan lantunan lirih nikmat sepasang insan dalam hubungan yang halal.Itulah yang biasanya terjadi pada pernikahan pada umumnya, tetapi tidak dengan pernikahan seorang Imron dan Elok. Sehabis salat Isya, memutuskan untuk berkumpul bersama Pak RT, tempat ia biasa berkumpul setelah lelah seharian mengojek. Namun malam ini, begitu keluar dari musolah, hujan turun dengan deras. Imron terpaks berlari sampai di rumah dengan keadaan sedikit basah, terutama sarung yang sudah ia angkat tinggi sampai pinggang.Kalian jangan berpikir yang tidak-tidak. Di balik sarung itu, tentulah ia memakai celana boxer seperti biasa.KrekDibukanya pintu rumah. Sudah ada Elok
Suara azan mengalum merdu dari musalla terdekat. Imron yang memutuskan tidur di ruang tengah beralaskan tikar dan selembar sarung, ikut tersentak bangun. Dipandanginya langit ruang depan yang masih gelap, karena lampu belum ia nyalakan, dan juga subuh baru saja tiba.Ekor matanya melirik ke ruang tengah. Tak ada suara apapun di sana, pertanda bahwa Elok dan Gayatri belum bangun. Waktu yang tepat baginya untuk mandi dan langsung salat Subuh. Imron merapikan tikar, sekaligus kain sarung yang ia gunakan sebagai alas. Ia berjalan membuka kain pembatas antara ruang tengah dan ruang depan.Elok masih terlelap sambil memeluk Gayatri. Tubuh wanita itu masih tertutup rapat gamis dan juga kerudung lebarnya. Imron tersenyum miris, lalu kembali berjalan menuju kamar mandi."Apa dia terlihat seperti penjahat, sehingga wanita itu seperti ketakutan padanya?" gumam Imron saat berdiri di depan cermin yang ada di kamar mandi. Dimiringkannya
"Bukan Imron gimana? Ini muka saya." Imron memajukan tubuhnya sehingga lebih dekat pada Elok. Wanita itu tentu saja kaget dan melakukan dua langkah mundur untuk menghindari Imron yang sangat berubah tampilannya siang ini.Tanpa berkata lagi, lelaki itu masuk ke dalam rumah dan langsung menuju kamar mandi. Suara guyuran air terdengar nyaring hingga sampai ke depan teras. Tempat di mana Elok tengah duduk memangku Gayatri.Hanya sebentar saja, suara guyuran air berhenti. Elok menoleh ke belakang sebentar, lalu kembali fokus pada Gayatri."Tadi pagi saya tinggalkan uang dua puluh lima ribu, Lok. Kamu bikin masak apa?" tanya Imron sambil membuka tudung saji kecil di atas meja. Kosong, tak ada makanan apapun di sana. Imron berjalan ke arah ricecooker. Lelaki itu membukanya dan tak menemukan panci nasi di dalamnya. Kuat Imron memijat pelipisnya dengan sambil mengembuskan napas kasar. Benar saja, tumpukan cucian piring kotor sudah
Imron berlari segera mengambil kunci motor, lalu memberikan Aya pada Elok. Wajah wanita itu pucat pasi karena Aya tak juga bergerak. Para tetangga berkumpul di depan rumah Imron, sembari menatap Aya dengan wajah iba."Gendong yang bener! Awas aja kalau sampai jatuh lagi!" ketus Imron pada Elok. Wanita itu diam. Hanya kepalanya saja yang mengangguk patuh. Digendongnya Elok dengan kuat menggunakan kain gendongan, lalu ia duduk dibonceng Imron."Pegangan, Lok. Nanti jatuh!" seru seorang ibu pada Elok, saat melihat wanita itu terlalu jauh menjaga jarak dari Imron.Motor melaju dengan kencang. Elok tak mempedulikan ucapan tetangga yang mengingatkannya agar tak terlalu jauh duduknya dari suaminya. Imron pun sama, tak penting baginya Elok mau memegangnya atau tidak, yang jelas ia harus segera sampai di klinik terdekat.Suara isakan dari tubuhnya, Imron hanya bisa menghela napas kasar, tanpa tahu harus berkata apa. Jika ia menegur istrinya saat in