"Bang, makan ya," bujuk Ririn untuk yang kesekian kali. Namun, Amin tak peduli, pandangannya kosong, dan suaranya juga tak terdengar.
"Ini Ririn, Bang. Bu Ririn. Coba sini, lihat saya!" Ririn memegang kedua pipi Amin, lalu menariknya miring, agar bisa saling bertatapan dengannya. Kosong, tak ada nyawa dalam bola mata Amin."Jangan dipaksakan, Teh. Kalau Teteh lelah, istirahat saja. Sudah dua malam Teteh menjaga Bang Amin di sini. Malam ini, biar saya dan ibu yang menjaga.""Gak papa Teh Minah. Saya akan tetap di sini. Dira juga sudah saya titipkan pada adik mama saya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari sini. Jadi, insya Allah Aman, Teh." Ririn tersenyum, tetapi ada air mata yang menetes di sana. Air mata kesedihan, karena kondisi Amin memang sangat memprihatinkan.Ririn tak putus asa, dia menyendokkan seujung sendok bubur ayam buatan rumah sakit, lalu meletakkan di depan mulut Amin, tetapi lelaki itu malah membuang wajah."Ban"Ya Allah, Amiin. Ibu minta maaf. Lu udah sadar?" Bu Sukma tiba-tiba sudah berada di belakang tubuh Ririn yang menunduk sambil meneteskan air mata. Dengan pelukan hangat, Bu Sukma memeluk Amin yang menyunggingkan senyum tipis pada ibunya, yang meminta maaf dengan derai air mata."Bu, udah ya. Amin sudah maafkan. Ibu sudah minta maaf sama Bu Ririn belum?""Udah, waktu Ibu susulin Ririn ke Jakarta." Bu Sukma mengusap pundak Ririn yang masih bergetar."Ibu gak keberatan kalian langsung menikah," kata Bu Sukma lagi dengan senyum tulus."Jangan, Bu!" sontak Ririn dan Bu Sukma menoleh kaget pada Amin. Bahkan Bu Sukma sudah melotot hebat pada anaknya."Apa sih, Min? Kok jangan!" Bu Sukma ingin sekali menjewer Amin saat ini juga. Ririn dengan hati berdebar, masih menunggu jawaban dari Amin."Jangan sekarang, Bu. Nanti Amin gak kuat naikin ....""Amiiin!" kali ini, Ririn pun ikut melotot hebat pada Amin
Amin dan Ririn sudah duduk berdampingan di depan penghulu. Semua tamu juga sudah duduk rapi dan bersiap menyaksikan prosesi ijab kabul antara Amin dan Ririn. MC juga sudah memegang mic dengan begitu mantap. Suasana hening dan mendebarkan sebentar lagi terlaksana. Amin berulang kali mengusap peluhnya yang menetes di kening, lalu tangannya turun mengusap sedikit atas perutnya.Ririn menoleh, saat menyadari kegelisahan yang sedang dialami oleh Amin."Bang, kenapa?" tanya Ririn dengan sedikit berbisik."Mules, Bu.""Ya ampun, dari semalam sampai sekarang masih mulas?""Iya.""Kuat gak, nunggu sampai selesai akad?""Kayaknya nggak, Yank. Ini ... u-ud ...." Amin melepas tudung di kepalanya, lalu terburu-buru berlari ke arah toilet masjid.Semua tamu ikut terheran, sekaligus mengulas senyum. Ririn pun melakukan yang sama, Bang Amin memang sedari dulu seperti itu. Waktu itu, Bu Sukma pernah b
Dua Satu Plus40 plusSelamat membaca.Amin makan malam disuapi oleh Ririn. Ririn pun disuapi oleh Amin. Tadinya Ririn menolak, tetapi Amin memaksa sehingga ia tak mungkin menolak kemauan suaminya. Nasi bercampur sayur sop dan sambal goreng kentang dan hati sapi, begitu nikmat disantap keduanya. Nasi dalam piring pun begitu cepat sekali habis.Ririn kembali berjalan ke dapur, untuk menambah nasi, serta lauk dan pauk di atas piring. Tak lupa krupuk udang dari catering pernikahan tadi, yang sudah ia pisahkan satu toples besar untuk dikontrakan suaminya."Nikmat banget kalau makan disuapi istri ya," ujarnya sembari memandang Ririn begitu dalam."Dah ah, makan yang benar. Jangan becanda terus!" Ririn membuang pandangan dari Amin, sekaligus menyembunyikan rona kemerahan di pipinya."Rasanya sepiring berdua tak cukup. Perut terasa lapar sangat," kata Amin lagi dengan tangan sedikit naik hendak men
Malam pertama mereka lalui dengan tidur saja, tanpa aktifitas apa pun. Karena Ririn terlelap lebih dulu, saat Amin sibuk dengan tisu air galonnya. Suara gerimis di luar, menambah sahdu malam yang seharusnya panjang, tetapi menjadi malam hening.Pukul empat pagi, jam weker Amin berdering sangat keras. Ririn tersentak dan lansung mematikan dering alarm itu. Matanya menoleh ke samping dan mendapati sang suami tidur begitu pulas tanpa mengenakan kaus dalam, hanya tersisa sarungnya saja. Kemudian, ia mengucek kedua mata sembari menguap, karena masih terasa ngantuk.Ririn berjongkong memungut tisu galon dua bungkus yang tergeletak mengenaskan di lantai kontrakan Amin. Lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Ririn tidak mandi, hanya cuci muka, sikat gigi, dan sekalian berwudhu. Ia memutuskan untuk sholat dua rokaat terlebih dahulu, sebelum masuk waktu subuh yang setengah jam lagi akan tiba.Setelah salam dan berdoa sejenak, Ririn bangun dari duduknya, lalu
Ririn menaikkan tali spagetti bajunya dengan kasar, lalu memakai kembali baju gamis kaus dan juga jilbab panjangnya. Dengan masam, ia mendekat pada suaminya yang masih memakai kaus dalam serta sarung saja, tengah membukakan pintu untuk tiga orang wanita tamu tak diundang."Abang masuk! Jangan pake kaus dalam begitu saja terima tamu," titah Ririn sewot, sambil memberi kode pada suaminya dengan gerakan kepala. Ketiga tamunya hanya bisa menyeringai melihat Amin yang berlaku sangat menurut pada istrinya."Ada apa Mbak-mbak ke rumah saya? Eh, sampai lupa. Ayo, masuk," ajak Ririn berbasa-basi. Padahal, jauh di dalam hatinya, ingin sekali tamunya ini menolak, sehingga ia tak perlu beramah tamah dengan tamu suaminya. Namun sayang, ketiga wanita itu masuk ke dalam rumah kontrakan Amin dengan tangan membawa masing-masing kado yang bungkus kertas motif yang sama, yaitu motif hati."Ada apa nih? Tumben?" tanya Amin duduk di tangan kursi di samping istrinya
Pagi ini, Ririn menyiapkan sarapan untuk suaminya. Sepiring omelet dan segelas teh tawar hangat. Asap mengepul di atas piring saji yang baru saja ditumpahkan gulungan omelet di atasnya. Dengan begitu cekatan, Ririn menyiapkan sendiri sarapan suaminya. Ia juga mengerjakan semua pekerjaan rumah, kecuali menyetrika. Ia masih tak sanggup duduk terlalu lama karena kakinya memang sakit dan Amin memaklumi itu. Aminlah yang menyetrika pakaian di rumah.Pada awalnya Ririn menolak. Ia ingin semua pakaian yang telah dicuci, dibawa ke laundri saja untuk disetrika. Namun, Amin tidak setuju dan ia yang mengambil alih tugas itu. Tentunya dengan satu sarat, yaitu Amin minta dilayani dengan begitu spesial. Pernah, Amin mengerjai istrinya. Ia menyetrika tiga kali dalam sehari dan Ririn dengan begitu terpaksa patuh pada aturan suami. Hingga keesokan harinya, mereka berdua tak mampu menggerakkan kaki."Melamun apa?" tegur Amin memeluk pinggang Ririn dari belakang. Dagunya se
Delapan bulan kemudian.Perut Ririn yang semakin besar, membuatnya cukup susah untuk bergerak ke sana-kemari. Ditambah lagi Dira yang semakin lincah. Maka dari itu, Ririn membayar seorang pembantu rumah tangga yang dipekerjakan mulai pukul enam pagi, sampai dengan pukul lima sore.Sempat suaminya menyarankan agar membayar pembantu untuk menginap saja, agar Ririn bisa lebih banyak istirahat. Namun, Ririn menolak. Seumur hidupnya, tidak akan pernah membiarkan wanita lain berada satu atap dengannya. Kenangan lampau itu tak mudah hilang dari kepalanya, walau kini ia sudah memiliki kebahagiaan sendiri.Suaminya baru saja keluar dari kamar mandi. Ririn yang masih berbaring santai di balik selimut, memilih menikmati pemandangan atletis di depannya, sambil mengusap perutnya tanpa pelan. Suaminya semakin hari semakin tampan, bersih, dan juga terlihat lebih berisi. Setiap hari juga Amin selalu membuat hatinya bahagia.Se
Jantungnya berdetak begitu cepat. Peluh membanjiri kening dan juga sekujur tubuhnya, saat melihat Ririn berjuang melahirkan buah cinta mereka yang ternyata terlilit tali pusar. Susah payah Ririn berusaha mengedan dibantu oleh dokter dan juga ada bidan di sampingnya.Kaki Amin begitu lemas, air mata tak kunjung berhenti saat melihat kesakitan istrinya yang belum usai."Maafkan saya, Bun. Gara-gara saya jadi begini. Tolong kuat demi saya dan anak-anak. Allahu Akbar, Allahu Akbar." Sambil menggenggam kuat tangan Ririn, Amin trus saja membisikkan kalimat menguatkan untuk istrinya. Ririn menoleh pada suaminya, lalu mencium tangan itu dengan kuat."Maafkan semua kesalahan Bunda ya, Bang."Amin melotot, ia melenggelengkan kuat kepalanya. Berusaha menghalau pikiran buruk yang tiba-tiba saja bersliweran di kepala."Bunda pasti bisa. Jangan bicara aneh!" Amin mengusap kasar air mata yang daritadi terus saja membasahi pipinya.