Amin duduk di depan Ririn sambil meremas jarinya. Rasa gugup dan takut bercampur jadi satu, saat Ririn menatapnya dengan intens dan raut yang tak bersahabat. Ririn hanya menatapnya saja, tanpa sepatah kata pun, sehingga ia pun bingung mau bicara apa.
"Lagi pada jadi patung yang di dalam ya, Dira?" sindir Imron yang tengah menemani Dira bermain boneka di teras rumah. Ririn menahan tawa, begitu juga Amin."Bu.""Bang."Keduanya sama-sama ingin memulai percakapan."Cewek dulu yang ngomong kali, Min," celetuk Imron lagi dari luar."Im, lu pergi aja deh yang jauh! Mengganggu konsentrasi gue aja. Apa yang mau gue omongin, jadi lupa deh tuh!" omel Amin dengan gemas. Imron cuek saja, ia malah tergelak mendengar ocehan Amin."Gak boleh berduaan, Min. Nanti yang ketiganya pasti ada setan," sahut Imron lagi tak mau kalah."Ya lu setannya, Im. Makanya pergi deh yang jauh!" Ririn akhirnya tergelak, begi"Bu, bagaimana? Mau kan menjadi istri saya?" Amin bersungguh-sungguh dengan ucapannya, bahkan kini ia sudah bersimpuh di kaki Ririn, sambil menunjukkan kotal beludru merah yang berisi cincin emas yang sangat cantik. Ririn masih tergugu duduk di sofa. Air mata Ririn masih saja mengalir, ia tak mampu menjawab pertanyaan Amin, karena dadanya terlalu sesak."Mau! Mau! Mau!" beberapa pengunjung restoran ikut bersorak, menyemangati Ririn yang tak kunjung menjawab. Ada yang terharu, bahkan mengabadikan momen romantis yang dilakukan Amin saat ini."Bu, maukan?" Amin bertanya sekali lagi, sambil sedikit menggoyang kain rok yang dipakai oleh Ririn."Mau! Mau! Mau!" seru para pengunjung lagi, dengan begitu semangatnya. Ririn memberanikan diri mengangkat wajahnya, lalu menatap nanar wajah Amin. Ririn mengangguk pelan, sangat pelan."Horre ... diterima!" pekik pengunjung yang ikut bergembira. Jika tadi Ririn yang menangis, maka kali ini Amin yang
Minah baru saja keluar dari dapur, sambil membawa satu cangkir air teh untuk tamunya. Pelan dan hati-hati, ia meletakkan cangkir itu di depan tamu Amin. Amin menoleh pada tetehnya dengan mengernyitkan kening."Kenapa cuma satu cangkir, Teh?" tanya Amin. Minah tak menjawab, ia berjalan cuek kembali ke dapur."Ibu yang suruh, bikin minum hanya untuk tamu saja. Kalau kamu bisa ambil sendiri di dalam. Kasian tamunya harus minum dulu sebelum kembali ke Jakarta." Ririn menguatkan hatinya. Ia tahu, ini adalah pengusiran secara tidak langsung ibu dari Amin kepadanya."Maksud Ibu apa? Bu Ririn akan menginap di sini. Kenapa harus pulang? Kami ke sini dengan maksud ....""Ibu tidak akan setuju. Sampai mati Ibu tidak akan setuju anak lelaki Ibu satu-satunya, masih muda pula, tampan, tetapi harus menikahi janda cacat.""Ibu!" Amin berdiri dari duduknya. Ia benar-benar kecewa atas ucapan ibunya yang begitu menyakitkan hati."
Seorang janda berwajah manis, tengah berdiri di depan kios bengkel Amin, tepat pukul enam pagi. Biasanya jam segini, Bang Amin sudah buka bengkel, bahkan tak jarang sudah ada yang mengantre. Namun, sudah satu pekan bengkel tutup, Bang Amin dihubungi juga tidak bisa. Wanita itu memijat pelipisnya, ini berarti ia harus berjalan ke depan lagi sambil mendorong motornya yang pecah ban belakang, untuk sampai di bengkel berikutnya."Mbak Sena, lagi apa?" wanita yang dipanggil Sena menoleh."Eh, Bang Imron. Ban motor saya pecah nih. Mana Bang Amin belum buka juga. Emang Bang Amin ke mana sih, Bang?" cecar Sena dengan wajah masam. Sungguh ia pasti akan sangat lelah mendorong motor kurang lebih lima tiga ratus meter lagi, dari lokasi bengkel Amin."Iya, nih. Saya aja temannya gak tahu Amin ke mana? Udah satu pekan, Mbak. Apa sakit di kampungnya?" gumam Imron tulus, sembari membayangkan wajah Amin yang pasti saat ini tengah bahagia, karena sebentar lagi akan me
"Mak, Mak! Bang Amin dibawa ambulan, Mak!" teriak seorang anak kecil di depan kebun tebu. Bu Sukma yang merasa seperti mengenal nama anaknya, tentu saja menoleh dengan kaget.Nafas anak lelaki kecil itu terengah, saat mendekat pada Bu Sukma. Ia bahkan meringis, mencoba mengatur nafas yang memburu. Bu Sukma memandangi wajah Ujang, nama anak lelaki itu. Bajunya juga basah karena hujam gerimis masih deras. Dia tak mengenakan payung menyusul Bu Sukma."Ngapa lu, Jang? Bang Amin dibawa ambulan? Jangan ngaco!" Bu Sukma mengibaskan tangannya, dan bermaksud melanjutkan perjalanan kembali ke rumah Kek Romi."Mak, beneran. Bang Amin mau mati! Cepat, Mak!" Ujang berusaha menarik tangan Bu Sukma, agar kembali ke rumah. Namun sayang, wanita tua itu sudah buta akan kesesatan, sehingga ia hanya bisa menepis tangan Ujang, lalu pergi melanjutkan perjalanannya."Ah, si Emak gak percayaan! Semoga Bang Amin selamat ya Allah," gumam Ujang, berjalan de
Selamat membaca."Mas, bisa kirim ambulan ke rumah sakit X di Tasik, untuk dibawa ke Hasan Sadikin-Bandung?""Loh, kok jauh sekali? Siapa yang sakit? Kamu?"Sekilas, Ririn melirik Bu Sukma."Calon suami saya, Mas. Tolong ya.""Oke, tapi kenapa gak dibawa ke Jakarta saja?""Saya khawatir ... kondisinya semakin memburuk.""Oke. Pasien atas nama?""Amin Haikal.""Oke.""Terima kasih, Mas. Nanti saya menyusul ke Bandung. Cepat ya, Mas.""Dira bagaiamana?""Saya bawa.""Oke."Ririn menutup teleponnya, sambil mengusap air mata. Bu Sukma tak bisa berkata apapun melihat Ririn betapa gesit menelepon siapa saja agar bisa membawa Amin untuk segera mendapat perawatan terbaik."Ayo, Bu. Kita bersiap ke Bandung.""Naik apa, Nak?""Mmm ... mobil saya."Raut wajah Bu Sukma berubah pucat dan Ririn m
"Bang, makan ya," bujuk Ririn untuk yang kesekian kali. Namun, Amin tak peduli, pandangannya kosong, dan suaranya juga tak terdengar."Ini Ririn, Bang. Bu Ririn. Coba sini, lihat saya!" Ririn memegang kedua pipi Amin, lalu menariknya miring, agar bisa saling bertatapan dengannya. Kosong, tak ada nyawa dalam bola mata Amin."Jangan dipaksakan, Teh. Kalau Teteh lelah, istirahat saja. Sudah dua malam Teteh menjaga Bang Amin di sini. Malam ini, biar saya dan ibu yang menjaga.""Gak papa Teh Minah. Saya akan tetap di sini. Dira juga sudah saya titipkan pada adik mama saya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari sini. Jadi, insya Allah Aman, Teh." Ririn tersenyum, tetapi ada air mata yang menetes di sana. Air mata kesedihan, karena kondisi Amin memang sangat memprihatinkan.Ririn tak putus asa, dia menyendokkan seujung sendok bubur ayam buatan rumah sakit, lalu meletakkan di depan mulut Amin, tetapi lelaki itu malah membuang wajah."Ban
"Ya Allah, Amiin. Ibu minta maaf. Lu udah sadar?" Bu Sukma tiba-tiba sudah berada di belakang tubuh Ririn yang menunduk sambil meneteskan air mata. Dengan pelukan hangat, Bu Sukma memeluk Amin yang menyunggingkan senyum tipis pada ibunya, yang meminta maaf dengan derai air mata."Bu, udah ya. Amin sudah maafkan. Ibu sudah minta maaf sama Bu Ririn belum?""Udah, waktu Ibu susulin Ririn ke Jakarta." Bu Sukma mengusap pundak Ririn yang masih bergetar."Ibu gak keberatan kalian langsung menikah," kata Bu Sukma lagi dengan senyum tulus."Jangan, Bu!" sontak Ririn dan Bu Sukma menoleh kaget pada Amin. Bahkan Bu Sukma sudah melotot hebat pada anaknya."Apa sih, Min? Kok jangan!" Bu Sukma ingin sekali menjewer Amin saat ini juga. Ririn dengan hati berdebar, masih menunggu jawaban dari Amin."Jangan sekarang, Bu. Nanti Amin gak kuat naikin ....""Amiiin!" kali ini, Ririn pun ikut melotot hebat pada Amin
Amin dan Ririn sudah duduk berdampingan di depan penghulu. Semua tamu juga sudah duduk rapi dan bersiap menyaksikan prosesi ijab kabul antara Amin dan Ririn. MC juga sudah memegang mic dengan begitu mantap. Suasana hening dan mendebarkan sebentar lagi terlaksana. Amin berulang kali mengusap peluhnya yang menetes di kening, lalu tangannya turun mengusap sedikit atas perutnya.Ririn menoleh, saat menyadari kegelisahan yang sedang dialami oleh Amin."Bang, kenapa?" tanya Ririn dengan sedikit berbisik."Mules, Bu.""Ya ampun, dari semalam sampai sekarang masih mulas?""Iya.""Kuat gak, nunggu sampai selesai akad?""Kayaknya nggak, Yank. Ini ... u-ud ...." Amin melepas tudung di kepalanya, lalu terburu-buru berlari ke arah toilet masjid.Semua tamu ikut terheran, sekaligus mengulas senyum. Ririn pun melakukan yang sama, Bang Amin memang sedari dulu seperti itu. Waktu itu, Bu Sukma pernah b