Melihat reaksi dokter yang hanya tersenyum selama memeriksa kandungannya, Chiara makin dirayapi kepanikan saja. Genggamanannya di tangan besar Yanuar pun mengerat, walaupun sensasi nyeri di bagian perut bawahnya sudah tak sebanyak tadi.“Gimana, Dok?” tanya Yanuar seketika, tampak tak sabaran sekali.Si dokter mengarahkan Chiara dan Yanuar untuk duduk di bangku yang tersedia. Baru setelahnya, dokter siap menjelaskan. “Sejauh ini nggak ada yang bermasalah dengan kandungan Ibu Chiara. Bayinya juga sehat. Nyeri itu karena kram perut dan biasa terjadi setelah berhubungan badan ketika hamil.”Chiara dan Yanuar menyimak dengan baik tanpa menyela. Sampai dokter memberikan saran kalau-kalau rasa itu datang lagi.“Berarti aman ya, Dok?” tanya Chiara memastikan. “Takutnya ada sesuatu yang salah.” Ia menunduk, menatap perutnya yang buncit. “Soalnya saya nggak enak sama suami kalau harus absen berkegiatan.”“Nggak masalah.” Dokter mengulum senyum. “Untuk mengurangi reaksi nyeri, Pak Yanuar bisa
Chiara mengulurkan tangan guna memberikan tas sekaligus kotak bekal yang berisi masakannya pada sang suami. Setibanya di rumah siang ini, Yanuar sudah dihubungi lagi oleh Yabes agar secepatnya ke kantor karena ada hal yang urgen.“Begitu semuanya selesai, Mas segera pulang.” Yanuar menerima pemberian Chiara, lalu mengecup kening sang istri. “Apa pun itu, kabari Mas, ya. Makannya yang teratur, vitamin, dan susu juga jangan lupa juga. Nanti aku tanya ke Mbak di sini buat memastikan semuanya.”Chiara mengerjap dua kali dan mencebik pelan. “Iya, ih, bawel.”Yanuar tak langsung pergi rupanya, melainkan iseng mencubit ujung hidung Chiara. “Bawel gini juga kamu demen,” balasnya tak kalah menggoda. “Aku berangkat, ya.”Chiara mengangguk. “Hati-hati, Mas.”Chiara masih berdiri di dekat tiang besar rumah sampai mobil yang ditumpangi Yanuar menghilang begitu gerbang ditutup. Ia menunduk, menatap perutnya yang mulai membuncit. Kemudian menarik napas dan membuangnya secara perlahan.Semenjak menge
Seingatnya semalam, ia pergi ke kamar lebih dulu dan berusaha memejamkan mata, meski masih ada kesal dan amarah di dada. Namun tahu-tahu, pagi ini tepat di hadapannya sudah ada penampakan dada Yanuar yang menjadi sandaran keningnya.Sepasang alis Chiara naik spontan setelah menyadari sikapnya yang kurang waras. Semalaman ia memeluk suaminya sendiri seusai lontaran keluhan yang memenuhi benak. Bukankah ini gila?Buru-buru Chiara menjauh. Ia lekas bangkit duduk, sebelum akhirnya memasuki kamar mandi untuk membersihkan diri. Hari itu ada kelas siang, tapi ia perlu ke kampus untuk menyerahkan berkas bersama Yaya dan teman-temannya yang lain.“Jam berapa ini, Babe?”Tubuh Chiara menegang seketika. Langkahnya terhenti tiba-tiba sebelum mencapai kamar mandi. Ia menolehkan kepalanya sedikit dan menjawab, “Jam 6.”Lekas Chiara melanjutkan langkah, tak peduli tanggapan Yanuar setelahnya. Ia tak ingin berlama-lama bersinggungan dengan suaminya sementara. Perasaannya masih jengkel bukan main.15
“Itu ... nggak diangkat?”Chiara memberengut ketika ditanya Yaya soal ponselnya yang terus berdering karena panggilan telepon. Namun ia abaikan kesekian kali begitu tahu siapa peneleponnya. Ya, memang siapa lagi kalau bukan Yanuar?Chiara sudah memprediksi hal ini akan terjadi. Yanuar pasti kelimpungan setelah sadar istrinya berangkat ke kampus lebih awal tanpa sarapan di rumah dan ditambah tidak diantar sopir—seperti biasanya. Kendati demikian, Chiara tak peduli. Ia masih gondok dan sulit mengontrol kekesalannya kali ini, walau si suami mulai terlihat berusaha maksimal.“Bukannya itu dari Pak Yanu? Suami lo sendiri lho, Chia.” Yaya mengimbuhkan dengan raut bingung juga penasaran.“Gue lagi nggak mau ngobrol sama dia.” Chiara memasukkan ponsel ke tas setelah mengubah mode pesawat. “Nggak mood.”“Yakin?” Yaya memiringkan kepala, berusaha menemukan satu titik keraguan dari gelagat Chiara. “Apa bawaan hamil bisa buat suasana hati berubah sedrastis itu ya?”Chiara mendesah panjang. “Kayak
“Pak Yanuar nggak berhenti teleponin gue, Chia.” Yaya mengangsurkan ponselnya yang saat itu berdering, menunjukkan nama Yanuar terlihat di layar menyala. Ucapan Yaya benar adanya dan Chiara menelan ludah karenanya. "Chia? Mau sampai kapan?"Chiara menghela napas panjang. Kepalanya bergerak ke sisi kanan, mengalihkan pandangan dari Yaya sekaligus mengabaikan pertanyaan yang diajukan padanya kesekian kali.Mereka tak lagi berada di area foodcourt atau di depan restoran mewah yang dimasuki Yanuar tadi. Alih-alih menemui sang suami ke dalam, Chiara justru memenuhi keinginan gerak kaki yang membawanya pergi menjauh hingga keluar dari gedung mall. Sepanjang perjalanan tadi, Yaya terus mengomel dan menanyakan hal sama, tapi Chiara tetap mendiamkannya.“Lo udah kasih jarak sejauh ini, Chia,” Yaya berujar pelan, tapi terdengar cemas. “Soal perempuan yang masuk bareng Pak Yanuar tadi jangan dipikirin banget. Siapa tahu dia klien. Lagian ada Pak Yabes juga yang ikut, jadi suami lo nggak berduaan
Kata maaf yang dilontarkan Chiara sebelum memejamkan matanya urung ditanggapi Yanuar hingga tiba di rumah. Bahkan ketika Chiara merasakan kepalanya bersandar di bantal empuk, seprei dengan aroma floral segar, juga kelembutan selimut yang berada di atas tubuhnya, balasan Yanuar belum jua terdengar.Mata Chiara terbuka perlahan, lalu mengerjap sambil satu tangan mengucek lembut. Kemampuan melihatnya cukup baik saat itu hingga dapat menyaksikan sang suami berdiri memunggunginya tengah melepaskan tiap kancing kemeja. Chiara bangkit duduk, belum mengalihkan pandangan dari punggung terbuka dengan otot-otot kencang di sana.Chiara menelan ludah kepayahan. Wajahnya panas karena pikirannya terbawa pada momen-momen bergairah yang sempat terjadi belum lama ini di rumah orang tuanya. Sampai kemudian, si pemilik tubuh kekar itu berbalik dan menatapnya lurus.“Kok bangun?” tanya Yanuar seraya mendekatinya ke ranjang. “Tidur lagi aja.”Alih-alih menjawab, Chiara menyingkap selimut dan hendak turun d
“Ada masalah?”Chiara hampir terjatuh karena suara Yanuar yang mengejutkannya. Pria itu baru keluar dari kamar mandi saat ia berusaha mengenakan branya. Rasanya tak nyaman bangkit dari tidur dengan kondisi tubuh tanpa busana begini. “Oh, ini ….” Chiara gugup saat menjawab pertanyaan Yanuar. Sekalipun mereka sudah menikah dan akan memiliki anak, Chiara masih belum begitu terbuka mengungkapkan apa yang dirasakannya. Terutama yang berkaitan dengan tubuhnya sendiri. Yanuar sudah beringsut mendekat. Setengah tubuhnya yang hanya dibalut handuk itu berdiri di hadapan Chiara. “Kenapa? Kamu perlu sesuatu?” Dua tangan Yanuar hinggap di pundak Chiara.Chiara mengulas senyum tipis, tangannya masih dalam posisi mengaitkan bra, tapi kesulitan. Akhirnya, ia menyerah begitu melihat tatapan Yanuar yang penuh tanda tanya. “I-ini, Mas,” katanya lirih.Tatapan Yanuar bergerak mengikuti arahan Chiara dan kepalanya mengangguk tak lama kemudian. “Mau aku bantu?” tawarnya diselipi dehaman. “Sini.”Yanuar
“Suka?”Chiara sontak mendongak dan menatap Yanuar sambil tersenyum lebar. Di hadapannya sudah ada beberapa kantung belanjaan yang berisi bra. Benar, hanya bra dan Yanuar yang membelinya tanpa mengeluh dari A hingga Z.“Tapi … apa harus sebanyak ini?” Chiara tertegun mendapati banyak sekali belanjaan itu. Seumur-umur, ia hanya membeli satu atau dua buah ketika memiliki uang lebih. “Ini ukurannya juga beda ya?”Yanuar mengangguk ringan. “Sengaja beli dua. Kata salesnya begitu. Biar nanti kalau ukuranmu berubah lagi, udah ada yang bisa dipakai,” ungkapnya dengan sedikit berdehem.“Oh.” Chiara mengambil satu kantung dan merogoh ke dalam. Ia meraih sebuah bra berwarna merah marun yang kontras dengan warna kulit cerahnya. “Ini bagus. Pasti malah ya, Mas?”Di sisinya Yanuar berdecak pelan. Lalu menyentuh pundaknya. “Kamu tuh jangan mikirin harga, semua kebutuhan kamu dan anak kita udah aku tanggung.”“Iya, tapi kalau ada yang lebih murah, beli yang murah aja nggak pa-pa—”“Chia.” Yanuar mem