Share

Bab 3

Penulis: Hana Pangestu
Usai bicara, aku melemparkan kontrak itu tepat ke wajahnya, lalu berdiri dan mengusir mereka, "Aku mau istirahat, kalian minggat sekarang! Oh iya, jangan lupa bawa semua sampahmu pergi juga!"

Aku masih tidak percaya, pria yang sudah kusukai sejak umur enam belas tahun, delapan tahun menyukainya, enam tahun berpacaran dan baru hari ini aku benar-benar melihat siapa dia sebenarnya!

Aku harus berterima kasih pada Dewita. Jika bukan karena dia, aku pasti akan menikah dengan pria menjijikkan dan munafik ini. Hidupku pasti akan sangat menyedihkan!

Sarah langsung marah karena ucapanku. Dia berdiri dan berkata, "Nora, ini semua salahmu! Kamu yang terlalu emosian! Lihatlah Dewita, dia begitu lembut, patuh, berpendidikan dan beretika. Setiap kali melihatku, dia selalu bersikap sopan, nggak seperti dirimu ... "

Aku menahan rasa jijik yang hampir meluap dan kebetulan melihat anjing peliharaanku lewat di ruang tamu. Aku pun berbalik dan memanggilnya, "Bagel, gigit mereka!"

"Guk! Guk guk!" Bagel sangat patuh, langsung menerjang mereka dan menggonggong ganas.

"Kamu ... benar-benar ... !" Sarah begitu marah sampai wajahnya pucat. Steve buru-buru menopangnya agar tidak jatuh.

Steve menatapku dengan ekspresi yang asing, lalu berkata dengan geram, "Nora, keterlaluan sekali kamu! Aku benar-benar salah menilaimu!"

Aku menyeringai dingin. Dalam hati, aku juga berpikir demikian.

Sepasang ibu dan anak itu pergi dengan malang, bahkan lupa membawa sampah mereka.

Aku mengernyit dan berpikir, besok saja aku menyuruh orang membuangnya ke tempat sampah.

Keesokan paginya, aku menerima transfer empat miliar di rekening bankku.

Meskipun marah dan muak, aku tidak akan menolak rezeki. Lagipula, aku juga mau melihat dengan mata kepala sendiri seperti apa wajah Dewita yang sekarat itu.

Jadi, aku mengemas perhiasan yang sebelumnya disiapkan untuk pernikahanku dan membawanya sendiri ke rumah sakit.

Di tengah jalan, Gaius Tira yang juga ayahku meneleponku.

"Dewita sedang sakit, sebagai kakak, kamu bahkan nggak datang menjenguknya! Kamu ini sama nggak berperasaannya seperti ibumu!"

Begitu mengangkat telepon, dia langsung memarahiku. Aku yang sudah terbiasa menjawab dengan santai, "Perlukah aku beli petasan dan menyalakannya?"

"Nora! Omongan macam apa itu?!" ujarnya mengamuk.

Aku tetap tenang dan berkata, "Menyalakan petasan untuk mengusir nasib buruk, menghalau roh jahat dan berdoa agak penyakitnya segera pergi, apa yang ayah pikirkan?"

Dia langsung terdiam.

Aku tersenyum kecil, lalu menambahkan, "Sekalian merayakannya juga."

"Kamu ... Nora, kamu benar-benar sama seperti ibumu ... "

Aku tidak memberinya kesempatan untuk menghina ibuku. Dengan cekatan, aku langsung menutup teleponnya.

Membayangkan dia begitu marah hingga hampir meledak, tapi tak sempat memarahiku, aku tak bisa menahan tawa kecil.

Semalam, aku sempat berpikir, apakah Dewita yang masih muda terkena penyakit mematikan ini karena karma dari perbuatan buruk orang tuanya?

Apakah ini karma untuknya? Jika iya, maka takdir memang adil.

Saat tiba di depan kamar rumah sakit, aku hendak mengetuk pintu, tetapi tiba-tiba mendengar suara dari dalam, mereka sedang membicarakan diriku.

"Nora pasti senang bukan main. Dari kecil dia memang membenci Dewita, selalu menindas adik-adiknya dengan dalih sebagai kakak. Sekarang Dewita terkena penyakit mematikan, dia pasti sangat senang."

Ujar Sari dengan suara gemetar dan tak tahan untuk menangis. Setelah itu, dia mulai meratap, "Kenapa hidupku begitu menyedihkan ... ? Kenapa Tuhan begitu nggak adil, kenapa nggak membiarkan gadis jalang itu mati saja? Kenapa malah anakku yang harus menderita ... ? Huhu ... "

Aku langsung mendorong pintu dengan kuat dan melihat ayahku sedang memeluk Sari, menenangkannya dengan lembut. Benar-benar pasangan yang begitu harmonis.

Suara benturan pintu menarik perhatian semua orang di dalam. Mereka serentak menoleh ke arahku dengan berbagai ekspresi.

Seketika, suasana di ruangan menjadi tegang. Kemudian, Steve yang pertama kali membuka suara, "Eh Nora."

Dia menyambutku dengan ekspresi hangat, seolah tidak ada yang terjadi. Aku mengabaikannya dan dengan tenang mengeluarkan korek api, lalu menarik segulung petasan kecil dari dalam tas.

Wajah Steve langsung berubah drastis, "Nora, apa yang mau kamu lakukan?!"

Aku menjawab santai, "Mengusir nasib buruk."

Gaius langsung mengerti, menunjukku dan berteriak, "Nora, kalau kamu berani ... "

"Pang! Pang! Pang!"

Belum selesai dia bicara, aku sudah menyalakan petasan itu dan melemparkannya tepat ke kaki Steve.

Dia ketakutan setengah mati dan langsung lari terbirit-birit, sementara yang lain ikut panik menghindar.

Pemandangan ini benar-benar luar biasa dan menyenangkan.

Semua orang tahu bahwa tradisi pemakaman di Kota Belian, petasan dinyalakan setiap beberapa meter untuk mengusir roh jahat, membangunkan arwah dan menunjukkan rasa hormat kepada leluhur.

Tentu saja, petasan tidak diperbolehkan di pusat kota, jadi tradisi ini hanya dilakukan di daerah pinggiran.

Namun aku yakin, semua orang di ruangan ini paham dengan makna petasan ini.

Petasan kecil itu hanya menyala beberapa detik. Aku melemparkan tiga gulungan berturut-turut, membuat suasana rumah sakit jadi sangat meriah.

Jika bukan karena mempertimbangkan pasien lain di lantai yang sama, aku benar-benar ingin membawa petasan besar yang biasa dipakai saat tahun baru dan langsung mengirim Dewita ke akhirat.

Dalam hitungan detik, aroma asap memenuhi ruangan.

Seperti yang kuduga, alarm kebakaran langsung berbunyi.

Tak lama kemudian, alat penyiram otomatis di langit-langit menyemprotkan air.

Seketika, kamar rumah sakit mewah ini berubah menjadi gua air terjun.

Aku mendengar jeritan Sari dan teriakan panik Dewita di atas ranjang, "Ibu, ibu ... "

Sementara aku? Aku hanya berdiri di depan pintu, mundur sedikit agar tidak terkena air.

Namun, mereka tidak seberuntung itu. Mereka semua basah kuyup seperti seekor ayam malang.

Dokter, perawat dan petugas keamanan pun segera datang.

Banyak orang berkumpul untuk menonton di luar kamar. Para ayam malang di dalam ruangan pun keluar dari ruangan satu per satu.

Setelah mengetahui kebenarannya, dokter langsung mengomel marah, "Konyol! Kalau mengusir penyakit semudah menyalakan petasan, lalu buat apa ada dokter? Buat apa ada rumah sakit? Aku bisa mengerti perasaan kalian sebagai orang tua, pastinya khawatir, tapi jangan sampai terjebak dalam takhayul! Bukannya menyembuhkan, malah bisa memperburuk keadaan!"

Sari basah kuyup dan berlari keluar, menunjuk ke arahku sambil memaki, "Bukan ide kami! Ini ulah wanita ini! Dia sengaja melakukannya! Dokter, kalian bisa laporkan ke polisi dan tangkap dia! Dia mengganggu ketertiban umum!"

Namun, dokter sama sekali tidak tertarik mendengar perdebatan itu.

Di mata dokter, mencari tahu siapa yang salah tidaklah penting. Yang terpenting adalah segera memastikan pasien mendapatkan tempat yang aman.

Jadi, tanpa mempedulikan Sari, dokter langsung memerintahkan perawat, "Cepat siapkan kamar lain untuk pasien!"

Dewita yang juga basah kuyup dengan baju pasiennya, berdiri di samping Steve yang memeluknya erat.

Tak lama, perawat menyiapkan kamar baru dan Steve langsung membawa Dewita masuk ke dalam.

Sari tak bisa menerima semua ini. Dia menatapku dengan penuh kebencian, masih ingin memakiku, tetapi karena khawatir dengan Dewita, dia memilih masuk ke kamar lebih dulu.

Gaius mengusap wajahnya yang basah, lalu menunjuk ke arahku dengan penuh kebencian, sambil berkata, "Nora, tunggu saja pembalasan dariku!"

Aku tetap tanpa ekspresi, tidak takut sama sekali.

Sebenarnya, tujuan kedatanganku sudah tercapai dan aku sudah seharusnya pergi. Tapi saat berbalik, aku teringat bahwa diriku belum memberikan perhiasan itu kepada pasangan murahan ini.

Jadi, aku pun masuk kembali ke dalam kamar pasien.

Dewita sudah mengganti baju pasiennya dengan yang kering. Saat melihatku masuk lagi, sorot matanya sedikit berubah, lebih tajam dari sebelumnya. Tapi entah karena ada Steve di sana atau alasan lain, dia terlihat menahan diri.

"Nora, apa lagi yang mau kamu lakukan?!" bentak Sari yang keluar dari kamar mandi padaku.

Aku mengabaikannya, melangkah mendekati pasangan pengkhianat itu, lalu mengeluarkan perhiasannya dan berkata, "Dewita, selamat atas pernikahanmu. Akhirnya, kamu bisa menikahi pria yang kamu idamkan. Harapanmu terkabul dan kamu pun bisa mati dengan tenang."

"Nora Tira!" Sari kembali mengamuk.

Tapi aku hanya mengatakan fakta.

Saat berusia delapan belas tahun, Dewita berkata bahwa impiannya adalah menikah dengan Steve. Jika tidak bisa, dia lebih baik mati.

Dan lihatlah sekarang, ucapannya menjadi kenyataan.

Namun, meskipun kata-kataku begitu tajam, Dewita sama sekali tidak marah.

Dia malah menatapku dengan mata berkaca-kaca dan berkata dengan suara lembut, "Terima kasih, kak. Terima kasih sudah merelakan Kak Steve untukku. Aku tahu kamu pasti sangat marah, sampai melakukan hal seperti tadi. Aku yang salah, aku nggak menyalahkanmu ... "

Belum selesai bicara, air matanya sudah mengalir, seakan-akan orang yang penuh penderitaan.

Aku tersenyum tipis dan menjawab, "Dewita, sikap jahatmu begitu terang-terangan dulu, kenapa sekarang malah jadi berpura-pura baik? Apa kamu takut Kakak Stevemu nggak suka melihat sifat aslimu yang licik?"

Dia tetap menunjukkan ekspresi penuh kepiluan, menjawab, "Aku masih kecil dulu, nggak mengerti apa-apa. Sementara kamu selalu begitu sempurna, aku hanya bisa melakukan segala cara untuk mendapatkan sedikit perhatian ... Kamu nggak akan pernah mengerti rasanya hidup menumpang di rumah orang."

Cih!

Aku menggeleng-gelengkan kepala, dalam hati justru mulai mengaguminya!

Aktris berbakat seperti ini patut diberikan penghargaan!

Sejak dia masuk ke Keluarga Tira, dia selalu diperlakukan seperti putri kecil, sementara diriku putri kandung Keluarga Tira, hanya dianggap sebagai pembantu sekaligus samsak.

Dan sekarang, dia berani bilang kalau dia hanya menumpang hidup di rumah orang lain?

Aku malas berdebat, jadi hanya menanggapinya dengan santai, "Kalau begitu, pukulan yang kudapat selama ini rasanya sia-sia. Kamu mungkin nggak tahu rasanya hidup menumpang, tapi kamu pasti tahu bagaimana rasanya segera mati."

"Nora, jangan keterlaluan!" tegur Steve dengan nada tajam.

Gaius juga ikut memarahiku, "Nora, adikmu sudah sekarat, tapi kamu malah mengejeknya! Hati-hati, karma itu nyata!"

Aku menoleh ke arah ayah bejatku dan dengan tenang berkata, "Jangan sembarang mengutukku, kalau kutukan kalian benar-benar terjadi, putri kesayanganmu juga nggak akan tenang di akhirat. Tanpa perlindungan kalian, dia bukanlah lawanku."

"Dasar kamu ... "

Melihat mereka kehabisan kata-kata dengan wajah memerah karena marah, aku hanya mendengus dalam hati. Kemudian, aku membungkuk, meletakkan kotak perhiasan di samping Dewita, "Ambil saja ini, kekasihmu sudah membayarnya."

Dewita menoleh ke arah Steve yang wajahnya langsung tampak kaku.

"Kapan pernikahannya?" tanyaku pura-pura peduli. Aku mengira mereka akan menunggu kondisi Dewita membaik dulu sebelum menikah.

Namun, Dewita menjawab dengan suara lembut, "Tetap pernikahanmu dengan Kak Steve, hanya saja, pengantinnya digantikan oleh diriku ... "

Apa?!

Aku mengernyit dan akhirnya mengerti semuanya.

Ternyata, mereka bukan hanya merebut tunanganku, tapi juga gaun pengantin, perhiasan, bahkan seluruh pernikahanku?!

Melihat reaksiku, Sari tersenyum puas, seakan penuh kemenangan dan menjawab, "Pernikahanmu dengan Steve sudah dipersiapkan dengan baik, undangannya juga sudah dikirim, sayang sekali kalau dibatalkan, 'kan? Jadi, lebih baik tetap dilaksanakan, hanya saja dengan pengantin baru. Lebih praktis dan hemat tenaga."

Aku tidak menjawab, hanya menoleh ke arah Steve, ingin melihat bagaimana reaksinya.

Aku sudah menghabiskan waktu setengah tahun untuk merencanakan pernikahan ini.

Dari perencanaan acara, pemilihan suvenir, bahkan menjahit gaun pengantin sendiri, sampai pergi ke luar negeri demi memilih perhiasan pernikahan ...

Ternyata, semua kerja keras itu hanya untuk diberikan secara cuma-cuma kepada seorang wanita pengkhianat?

Steve menatap tatapan marahku, terlihat jelas bahwa dia merasa bersalah.

Dia maju selangkah, mencoba menggenggam tanganku, tapi aku langsung menepisnya.

"Maafkan aku ... Nora. Aku tahu kamu sudah mengorbankan banyak hal untuk pernikahan ini, tapi justru karena itulah, acara ini nggak boleh disia-siakan. Lagipula, Dewita itu adikmu, kalian satu keluarga, jadi berikan pernikahan ini padanya juga termasuk ... "

Mungkin karena melihat wajahku yang semakin muram, suaranya pun melemah, dia bahkan tak menyelesaikan kalimatnya.

Aku mengepalkan tangan, menahan diri agar tidak menamparnya. Aku hanya berkata sinis, "Jadi maksudmu ... lebih baik keuntungan ini diberikan kepada orang sendiri?"

Bab terkait

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 4

    Steve membeku, tidak bersuara.Sari langsung meninggikan suara, "Akhirnya kata-katamu bisa lebih manusiawi. Kita ini satu keluarga, bukankah sudah seharusnya kakak mengalah untuk adiknya? Anggap saja ini hadiah pernikahan darimu untuk adikmu."Aku tertawa dingin, menatap ibu tiri ini, lalu tiba-tiba berkata lembut, "Kalau begitu, aku harus memberikan satu hadiah lagi.""Hadiah apa?" tanya Sari.Aku menjawab, "Sebuah peti mati untuk diletakkan di tempat pernikahan.""Nora Tira!" Sari langsung naik pitam, wajahnya memuram karena marah, menatapku dengan penuh kebencian.Aku tersenyum dan menjelaskan dengan lembut, "Di zaman dulu, saat seorang wanita menikah, biasanya keluarga memasukkan peti mati dalam mas kawin. Pada hari pernikahan, peti itu dibawa bersama pengantin ke rumah suaminya. Sebagai kakak, hadiah pernikahan yang kuberikan ini sangat sesuai dengan tradisi, 'kan?"Kata-kataku masuk akal, mereka bahkan tak bisa membantah, hanya bisa menahan amarah dan menelannya.Sama seperti saa

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 5

    Aku tertawa sinis, mengalihkan pandangan ke jalan yang ramai. Setelah menenangkan diri beberapa saat, aku menoleh kembali dan menyindirnya, "Steve, aku bukan tempat daur ulang sampah. Nggak peduli seberapa besar aku mencintaimu dulu atau seberapa banyak aku berkorban untukmu, sejak hari kamu memilih untuk mengkhianatiku, kamu sudah nggak pantas menerima cintaku lagi."Aku berbalik hendak pergi, tetapi tak bisa menahan diri untuk menoleh lagi dan menambahkan, "Sekalipun semua pria di dunia ini lenyap, aku tetap nggak akan sudi melihatmu lagi, sungguh menjijikkan."Mungkin sikapku yang begitu tegas sedikit melukai hati Steve. Tiba-tiba, dia melangkah maju, meraih tanganku dan mulai memohon, "Nora, aku mencintaimu. Aku sangat menghargai enam tahun kebersamaan kita. Tapi, Dewita sudah mau meninggal, dia begitu menyedihkan dan malang. Permintaan terakhirnya sebelum meninggal hanyalah ... " "Lepaskan aku!""Nora, aku bersumpah, setelah Dewita ... "Aku tak membiarkannya menyelesaikan omong

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 6

    "Nora, kalau sampai terjadi sesuatu pada Dewita, kamu harus tanggung jawab!" Steve memperingatkanku dengan wajah muramnya sebelum bergegas pergi, menggendong Dewita dalam pelukannya.Aku terpaku di tempat untuk waktu yang lama, pikiranku dipenuhi dengan ekspresi kejam dan kemarahan Steve padaku.Janji-janji setia di masa lalu kini terasa sangat menusuk. Sejak kapan dia berubah? Kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali?Aku larut dalam kesedihan, sampai akhirnya Angel masuk dan bertanya dengan cemas apakah aku baik-baik saja. Barulah aku tersadar dari lamunan.Meratapi pria brengsek seperti itu tidak ada gunanya. Aku menguatkan diri dan kembali fokus pada pekerjaan.Menjelang siang, ponselku berdering.Melihat nama Sari di layar, aku langsung menolak panggilan itu.Tak lama kemudian, ponselku berdering lagi.Kali ini dari ayahku.Aku mulai curiga, apa mungkin Dewita sudah meninggal?Setelah ragu sejenak, akhirnya aku pun mengangkat telepon itu.Namun, begitu aku mendekatkan ponsel ke t

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 7

    Aku menutupi mata yang perih dengan sapu tangan, menarik napas dalam-dalam, tak ingin tahu siapa yang duduk di sebelahku.Namun tiba-tiba, ayahku muncul dengan nada sangat hormat dan rendah hati, "Pak Billy, maaf atas ketidaknyamanannya, kursi VIP ada di sana, duduk di sana akan lebih nyaman.""Nggak perlu, aku duduk di sini saja," jawab pria yang dipanggil Billy itu dengan tenang, tapi tetap penuh wibawa.Ayahku masih ingin mengatakan sesuatu, tapi MC sudah memanggil masing-masing orang tua pengantin naik ke panggung. Sari segera datang dan menariknya pergi.Aku mendongak, menenangkan diri dan belum sempat mengembalikan sapu tangan itu, langsung terdengar suara menggema di seluruh aula, "Ayo, kita persilakan saksi pernikahan hari ini, Bu Nora Tira untuk naik ke atas panggung!"Seketika, lampu sorot menyala ke arahku. Aku terkejut dan tidak siap.Keributan yang tadinya memenuhi ruangan langsung mereda, membuat suasana sunyi senyap. Aku tahu, semua tamu terkejut dan heran. Ada yang mera

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 8

    Dewita menatapku dengan mata berkaca-kaca, bahkan terisak saat mulai berbicara.Mendengar setengahnya saja, aku sudah paham. Dia sedang menjual kesedihan di depan semua orang, memainkan trik manipulasi!"Terima kasih kepada kakakku karena telah merestui cinta antara aku dan Kak Steve. Terima kasih karena dia telah membuat diriku bisa pergi dari dunia ini tanpa penyesalan. Aku berharap kalian nggak mengejek kakakku, dia adalah kakak terbaik di dunia."Dewita menangis saat mengucapkan kata-kata itu. Aula yang tadinya penuh dengan ejekan dan suara riuh mendadak sunyi. Semua tamu kini benar-benar serius menatap ke arah panggung. Tidak ada lagi yang tertawa dan mencemooh.Aku juga melirik ke arah para tamu. Entah hanya khayalanku atau tidak, tapi aku menangkap sosok seorang pria tampan dengan mata setajam bintang di malam hari. Bibir tipisnya melengkung.Dia seperti tersenyum, tapi tidak sepenuhnya. Seakan sama sekali tidak tersentuh oleh aksi dramatis Dewita.Dewita berbalik menatapku deng

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 9

    Situasi di tempat resepsi mendadak menjadi kacau balau. Para tamu mengangkat ponsel mereka, sibuk merekam dan mengambil foto.Aku sendirian dan jelas berada dalam posisi yang lemah. Untungnya, orang tua Steve masih tahu malu, mereka buru-buru naik ke atas panggung untuk melerai."Pak Gaius! Bu Sari! Ini pernikahan anak-anak kita, banyak tamu yang melihat! Hentikan!""Jangan halangi aku! Aku harus menghajar anak durhaka ini hari ini! Dasar pembawa sial! Kelahiranmu hanya mendatangkan sial untukku!"Gaius benar-benar kehilangan kendali, wajahnya tampak ganas. Bahkan orang tua Steve tak sanggup menariknya pergi.Tiba-tiba, Sari berteriak, "Hentikan! Dewita pingsan! Cepat, tolong dia!"Gaius langsung terhenti. Dia menoleh dan tanpa pikir panjang mendorongku ke samping, lalu berlari ke arah putri kesayangannya. Dengan panik, dia berkata, "Apa yang terjadi? Cepat panggil ambulans!"Orang-orang yang tadi mengelilingiku langsung bubar. Semua berlari menuju pengantin yang kini tergeletak tak sa

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 10

    Kenapa dia bisa datang ke pernikahan aku dan Steve?Aku benar-benar tak habis pikir, apa mungkin ada kesalahan?Tapi, mengingat orang itu jarang muncul di hadapan publik dan sekali muncul justru menyaksikan drama besar seperti ini, sepertinya perjalanannya kali ini tidak sia-sia.Tiba-tiba ponselku berdering, menarikku kembali dari pikiran yang berantakan.Dari ujung telepon, terdengar suara Wenny yang penuh kemarahan dan emosi, "Steve dan Dewita benar-benar menjijikkan! Aku hampir saja melempar ponselku saking kesalnya! Untung saja kamu nggak takut dan balas menyerang mereka! Mantap! Biar mereka kapok!"Aku menghela napas, bersandar di kursi dengan satu tangan menutupi dahi, "Jangan bilang ini sudah tersebar di seluruh media sosial?""Menurutmu? Drama langka seperti ini sulit ditemukan, bahkan sinetron paling dramatis pun nggak akan bisa mengalahkannya. Netizen sekarang terpecah jadi dua kubu, saling hujat dengan sengit."Aku memejamkan mata, kepalaku semakin sakit.Aku memang ingin m

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 11

    Ada yang hampir mati?Efek obat tidur membuat kepalaku masih berat dan linglung. Aku membuka pintu dan melihat Steve berdiri di sana. Dengan nada penuh kepuasan, aku bertanya, "Dewita sudah mati?"Ucapan itu langsung membuatnya murka."Nora! Kejam sekali kamu!" ujarnya marah dengan wajah yang tampak muram, ekspresi ini belum pernah kulihat sebelumnya.Aku mengernyit, malas berdebat dengannya. Aku langsung mendorongnya keluar dan bersiap menutup pintu.Namun, gerakannya lebih cepat. Dengan kasar, dia menendang pintu hingga terbuka, lalu mencengkeram lenganku."Steve, apa yang kamu lakukan?! Kamu menerobos masuk ke rumahku?! Aku bakal lapor polisi!" teriakku marah, berusaha keras melepaskan diri. Dalam kemarahan, aku menamparnya lagi.Namun, dia mengabaikannya dan malah menyeretku keluar, memaksaku masuk ke dalam mobilnya."Steve, kamu sudah gila?! Berhenti! Turunkan aku!""Kondisi Dewita sangat kritis. Kamu harus ikut ke rumah sakit!" teriak Steve langsung menginjak gas dan mobil melesa

Bab terbaru

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 50

    Benar-benar keterlaluan! Beraninya datang ke kantorku dan membuat keributan, mana mungkin aku membiarkannya pergi begitu saja?Aku langusng meraih ponsel dan menelepon polisi.Sepertinya ayah bajinganku masih ditahan di tahanan. Bagus juga kalau mereka bisa jadi pasangan suami istri yang menemani satu sama lain di sana!Begitu mendengar aku berkata, "Halo, pak polisi ... " Sari langsung panik dan semakin menggila. Dia melewati meja kerjaku, berlari ke arahku dan mulai menghujaniku dengan pukulan menggunakan berkas-berkas yang ada."Beraninya lapor polisi?! Dasar pembawa sial! Gara-gara kamu, ayahmu masih ditahan sekarang!""Polisi bilang dia ditahan karena kasus prostitusi dan harus ditahan puluhan hari! Kamu benar-benar kejam! Lebih kejam dari ibumu seratus kali lipat! Keluarga yang tadinya baik-baik saja, kamu hancurkan sampai sebegitu berantakan! Nggak ada satu pun yang bisa hidup tenang!""Kenapa bukan kamu saja yang kena penyakit mematikan ini? Kenapa nggak mati saja dan menyusul

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 49

    Bagaimana mungkin ada orang sebaik itu di dunia ini?Aku sama sekali tidak berpikiran macam-macam, hanya murni merasa dia adalah orang yang luar biasa.Meskipun berasal dari keluarga terpandang dan sibuk dengan urusan besar, dia sama sekali tidak menunjukkan sikap merendahkan saat aku mengundangnya makan. Dia bahkan dengan sopan dan elegan langsung menyetujuinya.Setelah puas menikmati perasaan bahagia ini, aku mulai bingung, di mana tempat yang pantas untuk makan malam ini?Dengan status seperti Billy, sudah pasti dia terbiasa dengan standar hidup yang sangat tinggi.Restoran mewah biasa saja mungkin tidak cukup untuknya.Untungnya, Wenny berasal dari keluarga yang menjalankan bisnis kuliner kelas atas.Aku langsung mengirimnya pesan.[Wenny, aku mau undang orang yang sangat penting makan malam sebagai bentuk terima kasih, tolong rekomendasikan restoran yang suasananya mewah.]Dia langsung membalas, [Kapan?][Besok malam.][Datang saja ke Arch Alley, aku minta manajer untuk siapkan ru

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 48

    Namun kenyataannya, baginya ini hanyalah perkara sepele.Aku menggenggam ponsel, ragu-ragu untuk beberapa saat. Haruskah aku menghubunginya lebih dulu untuk mengucapkan terima kasih?Setelah berpikir panjang, berdasarkan prinsip hidupku selama ini, aku memutuskan tetap harus berterima kasih.Menerima bantuan orang lain tanpa menunjukkan rasa terima kasih, bukanlah prinsipku.Apakah dia menerima atau tidak, itu urusan dia. Tapi aku sendiri harus menunjukkan sikap yang pantas.Jadi, aku mengambil kartu nama yang diberikan Mudi padaku saat meninggalkan pabrik militer hari itu, lalu meneleponnya dengan penuh hormat."Halo Bu Nora," jawab Mudi di balik telepon.Aku langsung paham, mungkin ini nomor kerja Billy.Dengan statusnya, dia tidak mungkin sembarangan membagikan nomor pribadi."Halo Pak Mudi, aku mau berterima kasih secara langsung atas bantuan Pak Billy kemarin. Bisakah aku bertemu dengannya?" tanyaku langsung mengutarakan maksudku."Tunggu sebentar, aku akan menanyakannya dulu.""B

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 47

    Steve menatapku dengan penuh kebencian sebelum berlari keluar sambil menggendong Dewita tanpa sepatah katapun.Aku berdiri di tempat dan bingung.Apa maksud dari tatapan itu?Seolah-olah dia sangat membenciku.Apa dia marah karena aku tidak membiarkannya menghabiskan empat triliun itu?Aku tidak tahu bagaimana keadaan Dewita setelahnya.Yang jelas, setelah mendapatkan gelang giok peninggalan ibuku, aku kembali ke Kota Belian dengan hati yang puas. Hari itu juga, aku pergi ke makam ibu untuk memberitahunya kabar baik ini.Saat malam semakin larut, pikiranku mulai tenang. Aku menatap gelang giok itu dan kembali dilanda kebingungan.Enam triliun ... bagaimana aku bisa membalas budi sebesar ini kepada Billy?Aku harus mencari waktu besok untuk membicarakannya dengannya. Bagaimanapun juga, uang itu harus kulunasi, kalau tidak, aku tak akan bisa tenang seumur hidup.Namun, sebelum sempat menemui Billy, masalah lain justru datang lebih dulu.Pagi-pagi saat aku baru tiba di kantor, aku melihat

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 46

    Aku tak berani membayangkan bagaimana kejadian ini akan berkembang dan menjadi bahan perbincangan banyak orang.Aku juga tak tahu apakah ini berkah atau malah bencana bagiku.Namun, yang jelas saat ini, aku telah mendapatkan kembali semua harga diriku dan sekaligus memberikan tamparan keras pada Steve dan Dewita.Saat ini, bahkan jika aku harus mati untuk Billy, aku rela."Nora, sejak kapan kamu mengenal Pak Billy?" tanya Steve yang tak lagi bersikap angkuh dan menatapku dengan mata melotot.Aku memeluk erat kotak beludru di tanganku, lalu menatap mereka dengan senyuman santai, menjawab, "Bukan urusanmu.""Kamu ... "Aku yang sudah mendapatkan apa yang kuinginkan, jadi tak ada alasan untuk berlama-lama di sini. Aku bersiap untuk meninggalkan acara lebih awal.Dewita yang kesal karena merasa dipermalukan melampiaskan emosinya pada Steve, "Ayo pergi! Untuk apa tetap di sini? Semua yang kumau sudah hilang!"Steve hanya berdiri terpaku. Dia terlihat seperti orang yang baru saja mendapat pu

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 45

    Billy duduk di tempat tertinggi, matanya juga bertemu denganku, lalu mengangguk kecil padaku.Detik sebelumnya, aku merasa seperti jatuh ke jurang, tetapi detik berikutnya aku seperti hidup kembali.Hatiku dipenuhi kebahagiaan yang luar biasa dan aku tersenyum padanya dari kejauhan.Aku merasa sangat berterima kasih. Meskipun gelang giok itu tidak kembali ke tanganku, setidaknya jatuh ke tangan Billy. Itu adalah akhir terbaik yang bisa kubayangkan."Enam miliar! Ada yang mau menawar lebih tinggi?""Enam miliar sekali, enam miliar dua kali, enam miliar tiga kali! Terjual! Pemilik baru gelang giok putih ini adalah Pak Billy Solene!" ujar juru lelang begitu semangat hingga suaranya hampir pecah.Seluruh ruangan meledak dalam sorak-sorai dan tepuk tangan. Semua orang menoleh ke belakang, menatap lantai dua dengan penuh antusias.Namun, Billy tetap duduk tenang, seolah ini adalah hal yang sepele baginya. Dia tampak seperti seorang raja yang menerima penghormatan dari banyak orang.Di sampin

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 44

    Aku menahan diri sekuat tenaga agar air mataku tidak jatuh.Rasa sakit terdalam datang dari orang yang dulu paling kucintai.Keputusasaan dan kebencian memenuhi dadaku, bahkan jemariku pun bergetar.Setelah beberapa saat, tiba-tiba aku merasa lega. Aku menoleh ke arahnya dan bertanya, "Kalau aku terus menaikkan harga, kamu akan tetap mengikutinya?"Tatapan Steve bergetar, seolah dia juga merasakan sakit, lalu dia berbisik, "Nora, jangan keterlaluan!"Aku mengabaikannya, tersenyum tipis, lalu mengangkat papan, "Dua triliun seratus miliar!"Paling buruk, aku akan menjadi bahan tertawaan dunia, menjual perusahaanku untuk membayar denda dan memulai semuanya dari nol.Namun, kalau aku menang, bukankah itu berarti dia akan mengalami kerugian besar dan merasakan sakit yang sama?"Nora!" Seperti yang kuduga, begitu aku menyebut angka itu, Steve langsung kehilangan ketenangannya.Namun, Dewita yang naik tidak mengerti situasinya.Melihat Steve tidak segera menawar lagi, bahkan saat juru lelang

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 43

    Setelah mendengar penjelasan dari juru lelang, aku semakin yakin ini memang gelang giok milik ibuku. Gelang ini awalnya beredar di kalangan kolektor barang antik di Kota Belian. Awalnya nilainya diremehkan, tetapi setelah bertemu dengan seorang ahli, barulah gelang ini diakui sebagai barang berharga dan akhirnya muncul di lelang ini."Harga awal untuk gelang giok susu ini, empat puluh miliar."Begitu juru lelang menyebutkan harga, seseorang langsung mengangkat papannya, "Lima puluh miliar.""Enam puluh miliar."""Enam puluh empat miliar."Aku tetap tenang dan tidak terburu-buru menawar. Aku ingin melihat dulu bagaimana situasinya berkembang.Namun, tiba-tiba Dewita mengangkat papan lelangnya, "Seratus miliar!"Ruangan mendadak riuh, semua orang menoleh ke arah mereka.Aku terkejut, wanita munafik ini benar-benar mulai menyerang."Seratus miliar sekali, seratus miliar dua kali, seratus miliar ... "Sebelum juru lelang menyelesaikan hitungannya, aku akhirnya mengangkat papan, "Seratus se

  • Ditinggal Tunangan, Bos Besar Mulai Mengejarku   Bab 42

    Tapi, aku tiba-tiba teringat, beberapa hari lalu, Steve pernah bilang kalau dia tidak punya cukup uang tunai sebanyak dua triliun saat ini.Aku pun kembali optimis, kalau mereka tidak punya cukup uang, berarti peluangku untuk menang masih besar.Acara lelang segera dimulai.Rumah lelang ini termasuk salah satu yang terbaik di dunia dan setiap tahunnya, acara lelang amal mereka selalu menarik banyak orang kaya dari dalam maupun luar negeri.Di antara para tamu, aku melihat beberapa wajah yang familiar, mereka adalah orang-orang kaya dari Kota Belian.Barang yang dilelang di awal berupa lukisan terkenal dan guci antik dengan harga terendah pun mencapai puluhan miliar.Para miliarder itu begitu semangat menawar, seperti hanya sedang membeli sayur di pasar.Aku diam-diam merasa kagum sekaligus cemas, bagaimana kalau aku tidak bisa memenangkan lelang untuk gelang itu?Sementara itu, Steve dan Dewita duduk berdampingan, sesekali berbisik satu sama lain. Mereka terlihat mesra, seolah lupa bah

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status