Bab 6

"Nora, kalau sampai terjadi sesuatu pada Dewita, kamu harus tanggung jawab!" Steve memperingatkanku dengan wajah muramnya sebelum bergegas pergi, menggendong Dewita dalam pelukannya.

Aku terpaku di tempat untuk waktu yang lama, pikiranku dipenuhi dengan ekspresi kejam dan kemarahan Steve padaku.

Janji-janji setia di masa lalu kini terasa sangat menusuk. Sejak kapan dia berubah? Kenapa aku tidak menyadarinya sama sekali?

Aku larut dalam kesedihan, sampai akhirnya Angel masuk dan bertanya dengan cemas apakah aku baik-baik saja. Barulah aku tersadar dari lamunan.

Meratapi pria brengsek seperti itu tidak ada gunanya. Aku menguatkan diri dan kembali fokus pada pekerjaan.

Menjelang siang, ponselku berdering.

Melihat nama Sari di layar, aku langsung menolak panggilan itu.

Tak lama kemudian, ponselku berdering lagi.

Kali ini dari ayahku.

Aku mulai curiga, apa mungkin Dewita sudah meninggal?

Setelah ragu sejenak, akhirnya aku pun mengangkat telepon itu.

Namun, begitu aku mendekatkan ponsel ke telinga, teriakan marah ayahku langsung mengguncnag gendang telingaku seperti singa yang meraung.

"Nora! Kamu benar-benar nggak punya hati! Dewita sudah begitu lemah, tapi kamu masih tega memukulnya dan menjatuhkannya ke lantai!"

Aku menjauhkan ponsel, menunggu dia selesai berteriak, lalu dengan tenang menjawab, "Ada CCTV di kantorku, aku bisa tunjukkan rekamannya biar kalian bisa melihat kebenarannya."

Namun aku tahu, meskipun melihat rekamannya, mereka tetap akan menyalahkanku.

Dan benar, ayahku menjawab dengan penuh keyakinan, "Apa pentingnya kebenaran? Yang penting adalah adikmu sakit parah, tapi kamu sama sekali nggak menunjukkan belas kasihan padanya!"

Aku malas berdebat. Percuma hanya buang-buang tenaga.

Melihatku diam, ayahku juga kehabisan kata-kata untuk memarahiku. Dengan suara melunak, dia berkata, "Sudahlah, Dewita mau kamu menjadi saksi pernikahannya. Kebetulan hari itu kamu juga nggak ada urusan, jadi bantulah dia."

"Kalian nggak takut aku akan menghancurkan pernikahannya? Kalau begitu, aku akan datang."

Ayahku terdiam beberapa saat, kemudian berkata, "Bukankah kamu mau saham perusahaan? Kalau kamu mau menjadi saksi pernikahan ini dengan baik, aku akan memberikan semua saham yang seharusnya menjadi milik ibumu padamu."

Aku terkejut.

Saham yang seharusnya menjadi hak ibuku sudah bertahun-tahun coba kudapatkan, tapi tidak pernah berhasil.

Dan sekarang, dia mau menyerahkan semuanya?

"Pindahkan setengahnya dulu atas namaku. Setelah acara pernikahan selesai, baru pindahkan setengahnya lagi." Aku tidak ingin terjebak dalam tipu muslihatnya, jadi mengajukan syarat.

" ... boleh, sesuai kemauanmu," jawabnya setelah ragu sejenak. Namun, kemudian dia menambahkan dengan geram, "Kamu sama tamaknya seperti ibumu!"

Aku balas dengan dingin, "Lebih baik tamak daripada nggak tahu terima kasih sepertimu."

...

Jatuhnya Dewita membuat kondisinya semakin memburuk.

Dia baru bisa bangun dari ranjang pada hari pernikahannya.

Gaun pengantin yang dia kenakan adalah hasil jahitanku sendiri, dibuat sesuai ukuranku.

Namun karena Dewita sakit dan semakin kurus, bagian dada dan pinggang gaun itu terlihat longgar.

"Ternyata kemampuan menjahit Nora nggak sehebat yang dibanggakan. Katanya sudah memenangkan berbagai penghargaan internasional, tapi bahkan ukuran bajunya saja nggak pas," cemooh Sari saat melihat putrinya mengenakan gaun itu.

Aku membalasnya dengan sinis, "Gaun ini memang dibuat sesuai ukuran tubuhku. Kamu bahkan sudah merebut barang orang lain, sebaiknya jangan banyak mengeluh."

"Dasar kamu ... "

"Ibu ... " Dewita segera menarik ibunya dan dengan lembut berkata, "Jangan salahkan kakak, nggak apa-apa kalau agak longgar, justru lebih mudah dipakai dan dilepas nanti."

Usai bicara, dia menoleh melihat ke arahku dengan senyuman manis, "Kak, terima kasih sudah merelakan semua ini dan mewujudkan impianku."

Aku merasa mual dan ingin pergi mencari udara segar.

Namun, saat baru sampai di depan pintu, aku malah bertemu dengan Steve.

Dia mengenakan setelan jas buatan tangan yang sempurna, tampak gagah dan menawan. Setiap gerakannya memancarkan keanggunan, membuat banyak tamu yang lewat terpana dan menoleh.

Setelan jas yang dipakai adalah hasil desainku sendiri. Melihatnya mengenakan itu sekarang terasa seperti tamparan keras bagiku.

"Nora ... " panggil Steve dengan pelan.

Aku berpura-pura tidak melihatnya, memutar mata dan bersiap menghindar. Namun, malah terdengar suara ayahku dari belakang, "Kamu mau ke mana? Acaranya sudah mau dimulai. Dewita terlalu lemas, kamu harus memapahnya berjalan keluar."

Aku menoleh, menatap orang-orang di ruangan itu, lalu bertanya dengan tak percaya, "Memapahnya?"

Sari menambahkan, "Kamu saksi pernikahan sekaligus kakaknya, apa salahnya memapah adikmu sendiri?"

Aku begitu marah hingga kehabisan kata-kata. Belum sempat aku menjawab, Steve juga ikut menambahkan, "Nora, karena kamu menjatuhkan Dewita kemarin, kondisi kesehatannya semakin memburuk. Gaun pengantinnya juga terlalu panjang dan berat, dia ... "

Aku tidak tahan mendengarnya lagi. Belum selesai dia bicara, aku sudah berbalik dengan wajah dingin dan melangkah cepat ke dalam ruangan.

Dewita mengangkat lengannya, seolah sedang menungguku. Gayanya benar-benar seperti seorang permaisuri, sedangkan diriku hanyalah seorang pelayan.

"Terima kasih kak ... " katanya sambil tersenyum saat aku akhirnya meraih lengannya. Aku tahu dia sedang pamer kemenangannya padaku.

Silakan pamer sesuka hatimu!

Bagaimanapun, malaikat maut sudah berdiri di sampingnya. Aku akan menganggap ini sebagai amal baik untuk kehidupanku nanti. Aku akan menelan semuanya sekarang!

Acara pernikahan pun dimulai.

Alunan musik pengantin memenuhi aula megah yang dihiasi warna emas. Pintu besar terbuka perlahan dan cahaya berkumpul ke arah kami.

Aku menggertakkan gigi, dadaku terasa seperti dihimpit gunung yang tinggi.

Di bawah sorotan mata semua tamu, aku memapah lengan Dewita dan berjalan di atas karpet merah.

Saat kami muncul, aku bisa merasakan kehebohan di ruangan itu. Para tamu saling berbisik, terlihat ekspresi keterkejutan di wajah mereka.

"Apa yang terjadi? Bukannya pengantinnya itu Nora Tira? Kenapa malah jadi adiknya?"

"Iya! Apa mereka salah orang?"

"Pengantinnya malah jadi pengiring? Apa-apaan ini?"

Mendengar semua bisikan itu, aku menahan rasa malu dan amarah, memaksa diri untuk mengantarkan Dewita ke ujung karpet merah.

Steve sudah berdiri menunggu di sana, tampak elegan dan penuh emosional. Matanya bahkan terlihat berkaca-kaca?

Dia tidak menatapku, sorot matanya hanya tertuju pada Dewita dengan penuh antusias.

Rasa sakit di hatiku kembali meledak, seperti racun yang menyebar ke seluruh tubuhku.

Aku tidak percaya, ini pria yang telah kucintai selama delapan tahun!

Dia bilang pernikahan ini hanya untuk memenuhi keinginan terakhir Dewita. Tapi kenapa aku merasa ... wanita yang sebenarnya ingin dia nikahi adalah Dewita?

Air mataku menggenang. Dengan naluri, aku menyerahkan tangan Dewita kepadanya.

Steve menerimanya dengan lembut, lalu merangkul Dewita dengan penuh kasih. Mereka saling menatap mesra sebelum berjalan ke panggung.

Aku berbalik, duduk di barisan depan.

Kupikir hatiku sudah mati rasa dan bisa menyaksikan semua ini seperti orang asing. Tapi ternyata, aku masih begitu lemah, masih bisa merasa sakit yang luar biasa.

Tiba-tiba, sebuah tangan terulur ke arahku, menawarkan sapu tangan putih bersih.

Orang itu tidak berbicara, aku juga tidak berniat melihat siapa dia. Aku hanya menerimanya dan berkata dengan suara serak, "Terima kasih ... "

"Sama-sama," jawabnya dengan suara yang rendah dan jernih. Dia melanjutkan lagi, "Nggak bisa menikahimu, itu artinya dia yang nggak pantas mendapatkan dirimu."