Ada yang hampir mati?Efek obat tidur membuat kepalaku masih berat dan linglung. Aku membuka pintu dan melihat Steve berdiri di sana. Dengan nada penuh kepuasan, aku bertanya, "Dewita sudah mati?"Ucapan itu langsung membuatnya murka."Nora! Kejam sekali kamu!" ujarnya marah dengan wajah yang tampak muram, ekspresi ini belum pernah kulihat sebelumnya.Aku mengernyit, malas berdebat dengannya. Aku langsung mendorongnya keluar dan bersiap menutup pintu.Namun, gerakannya lebih cepat. Dengan kasar, dia menendang pintu hingga terbuka, lalu mencengkeram lenganku."Steve, apa yang kamu lakukan?! Kamu menerobos masuk ke rumahku?! Aku bakal lapor polisi!" teriakku marah, berusaha keras melepaskan diri. Dalam kemarahan, aku menamparnya lagi.Namun, dia mengabaikannya dan malah menyeretku keluar, memaksaku masuk ke dalam mobilnya."Steve, kamu sudah gila?! Berhenti! Turunkan aku!""Kondisi Dewita sangat kritis. Kamu harus ikut ke rumah sakit!" teriak Steve langsung menginjak gas dan mobil melesa
Aku menatap Steve dan merasa tak perlu lagi menyembunyikan apapun. Dengan nada mengejek, aku berkata, "Kamu baru tahu sekarang? Dewita dan Ken itu adik kandungku, satu ayah!"Mata Steve membelalak lebih besar, "Ayah yang sama? Tapi mereka hanya lebih muda dua tahun darimu ... ""Ya benar, ayah bajinganku itu selingkuh saat aku baru berusia satu tahun atau mungkin lebih awal. Dia melakukan segala cara untuk menceraikan ibuku, hanya agar bisa membawa wanita licik ini dan anaknya masuk ke rumah."Steve tampak semakin syok, pandangannya berpindah antara Gaius dan Sari."Kenapa kamu nggak pernah cerita soal ini?" gumamnya pelan, ekspresinya sulit ditebak, seolah baru menyadari sesuatu yang salah."Aku nggak suka menyebarkan aib keluarga. Lagipula, untuk apa aku repot-repot cerita? bukannya kamu selalu menganggap dirimu pintar? Kenapa nggak bisa menyadari ini?"Aku dan Dewita bisa punya golongan darah langka yang sama, orang normal sekalipun seharusnya bisa curiga.Melihat Steve terdiam, aku
Perawat mengernyit dan bertanya, "Kamu minum obat tidur?""Iya, aku minum dua butir sebelum tidur. Baru ... " Aku melirik jam digital di depan ruang gawat darurat, melanjutkan, "Sekitar empat jam yang lalu."Perawat langsung menggeleng dan menjawab, "Kalau begitu nggak bisa, tes darahmu pasti nggak lolos."Aku mengangkat tangan dengan santai dan menatap mereka yang kini menatapku dengan mata terbelalak. Dengan tenang, aku berkata, "Maaf, bukan aku yang menolak menyelamatkannya, tapi aku benar-benar nggak bisa."Emosi Gaius langsung meledak, "Nora, kamu sengaja mempermainkan kami?! Kamu tahu nggak bisa donor darah, kenapa nggak bilang dari tadi?!""Aduh, jangan menuduhku sembarangan! Steve yang menyeretku ke sini secara paksa, aku bahkan nggak tahu apa-apa," jawabku sambil berkedip polos, lalu melirik mereka satu per satu."Nora, kamu ... " Steve menatapku dengan geram, wajahnya penuh amarah, tetapi dia juga tak bisa berbuat apa-apa.Melihat mereka semua terpojok seperti ini, suasana ha
"Maaf, aku nggak bawa ponsel, jadi nggak bisa pesan lewat aplikasi."Gadis kecil itu dengan santai menjawab, "Nggak masalah, aku juga belum aktifkan sistem pemesanannya. Nanti kalau sudah sampai rumah, bayar seikhlasnya saja."" ... " Aku semakin terkejut dan langsung terdiam.Aku menyebutkan alamat rumah dan gadis itu mengetikkan di navigasi mobil sebelum dengan lincah menggerakkan setirnya, membawa mobil keluar dari tempat parkir.Baru melaju sebentar, ponselnya berdering.Dia memakai earphone bluetooth dan langsung mengangkatnya, "Halo, kak ... aku ada urusan, jadi sudah pergi duluan. Kamu minta sopir yang jemput saja, ya ... aduh, ini juga dadakan, jadi nggak sempat kasih tahu kamu. Nanti aku jelasin saja ... pokoknya kamu pasti bakal memujiku! Sudah dulu ya, aku lagi menyetir."Mendengar percakapan itu, aku reflek melihat ke kaca spion.Di depan rumah sakit, berdiri seseorang dengan tubuh tinggi dan ramping. Cahaya pagi jatuh tepat di tubuhnya, menciptakan perpaduan yang harmonis
Kekacuan pernikahan berhasil membuatku viral.Begitu bangun tidur dan membuka ponsel, aku langsung diserang oleh deretan panggilan tak dikenal yang hampir membuat ponselku bergetar tanpa henti.Perasaanku langsung tidak enak. Aku tahu, masalah sebenarnya baru saja dimulai.Tak butuh waktu lama, seluruh informasi pribadiku serta data perusahaan tersebar luar di media sosial. Keadaan pun semakin memburuk.Pagi-pagi, aku berangkat ke kantor, tetapi begitu turun dari mobil, aku langsung dikepung oleh wartawan gosip yang sudah menunggu.Untungnya, Angel sudah mengantisipasi hal ini dan membawa tim keamanan untuk menyelamatkanku.Yang melakukan kesalahan jelas adalah Dewita, tapi hanya karena dia mengidap penyakit serius, netizen malah membelanya habis-habisan dan menyerangku tanpa ampun. Mereka tidak hanya menghujatku secara pribadi, tetapi bahkan menyerang toko resmi perusahaanku, membuat nyaris tak bisa beroperasional.Departemen humas sudah mengambl langkah darurat, tapi hasilnya tidak s
Aku tak ingin berkata apa-apa lagi. Aku hanya berbalik, berjalan ke sisi lain meja kerja dan pergi.Steve mengejarku, sambil berkata "Nora, aku tahu kamu belum bisa memaafkanku dalam waktu singkat. Tapi kita sudah bersama selama enam tahun, nggak mungkin kita bisa melupakan satu sama lain begitu saja. Aku mencintaimu dan perasaan itu nggak akan pernah berubah. Dewita itu adik yang sudah aku lihat sejak kecil. Dia memang lemah lembut sejak dulu dan sekarang divonis penyakit kritis, dia semakin sensitif dan merasa rendah diri. Aku selalu menganggapnya adik, jadi aku benar-benar nggak bisa meninggalkannya begitu saja."Dia menghalangi jalanku, membuat kesabaranku habis."Steve, kamu sakit jiwa? Aku sama sekali nggak melarangmu bersikap baik padanya! Lalu apa maksudmu datang ke sini dan mengatakan hal-hal nggak masuk akal ini padaku? Apa menurutmu penderitaanku karena kalian berdua masih kurang?"Steve meraih lenganku, suaranya menjadi lebih lembut, "Nora, aku tahu kamu sedang stres. Aku d
Wenny merubah sedikit ekspresinya, kemudian berbicara lagi, "Dewita mungkin memang menyukaimu, tapi nggak seperti yang kamu bayangkan. Dia bersikeras menikah denganmu bukan karena cinta, tapi hanya karena ingin merebutmu dari Nora. Intinya, dia hanya mau Nora sedih."Steve tersenyum samar, seolah tidak peduli. Dia membantah, "Kamu pasti dengar semua ini dari Dewita, 'kan? Dewita bukan orang seperti itu. Dia begitu polos dan lucu, meskipun terkadang sedikit manja, dia sama sekali nggak selicik yang kamu katakan."Wenny menatapnya dengan ekspresi yang sulit dijelaskan, "Dari luar kamu kelihatan cukup pintar, tapi kalau sudah berhadapan dengan wanita licik, otakmu langsung nggak berfungsi."Aku tak bisa menahan tawa dan langsung tertawa kecil.Steve menatap kami dengan wajah muram, jelas sekali dia mulai merasa tak nyaman.Dia berbalik hendak pergi, tetapi Wenny tak berniat melepaskannya begitu saja. Dia terus melanjutkan, "Sejak kecil Dewita selalu iri pada Nora. Dia tak suka melihat Nor
Wenny mendengus dingin, "Menurutku, awalnya dia hanya ingin merebut pacarku, tapi lama-lama terlalu mendalami peran dan larut dalam perannya."Aku melongo, tak tahu harus berkata apa."Meski bilang nggak percaya, tapi aku yakin Steve sudah mulai curiga. Kita lihat saja, sebentar lagi mereka pasti bertengkar. Tanteku bilang, pengobatan kanker itu sangat menyakitkan. Dewita hampir mengamuk setiap hari di rumah sakit, sampai dokter dan perawat di sana kewalahan. Sekuat apapun cinta seorang pria pada wanita, pasti ada batasnya. Apalagi kalau itu bukan cinta sejati."Aku mengangguk, "Kalau dipikir-pikir, aku jadi paham kenapa Steve tiba-tiba bersikap baik padaku hari ini."Pasti karena dia sudah lelah menghadapi Dewita yang semakin sulit dihadapi. Mungkin dia mulai mengingat betapa baiknya aku dulu, lalu berharap bisa mencari kenyamanan dariku.Wenny langsung memasang wajah serius, "Kamu jangan sampai luluh dan kembali lagi dengan dia. Kalau sampai itu terjadi, aku putus pertemanan denganmu
Benar-benar keterlaluan! Beraninya datang ke kantorku dan membuat keributan, mana mungkin aku membiarkannya pergi begitu saja?Aku langusng meraih ponsel dan menelepon polisi.Sepertinya ayah bajinganku masih ditahan di tahanan. Bagus juga kalau mereka bisa jadi pasangan suami istri yang menemani satu sama lain di sana!Begitu mendengar aku berkata, "Halo, pak polisi ... " Sari langsung panik dan semakin menggila. Dia melewati meja kerjaku, berlari ke arahku dan mulai menghujaniku dengan pukulan menggunakan berkas-berkas yang ada."Beraninya lapor polisi?! Dasar pembawa sial! Gara-gara kamu, ayahmu masih ditahan sekarang!""Polisi bilang dia ditahan karena kasus prostitusi dan harus ditahan puluhan hari! Kamu benar-benar kejam! Lebih kejam dari ibumu seratus kali lipat! Keluarga yang tadinya baik-baik saja, kamu hancurkan sampai sebegitu berantakan! Nggak ada satu pun yang bisa hidup tenang!""Kenapa bukan kamu saja yang kena penyakit mematikan ini? Kenapa nggak mati saja dan menyusul
Bagaimana mungkin ada orang sebaik itu di dunia ini?Aku sama sekali tidak berpikiran macam-macam, hanya murni merasa dia adalah orang yang luar biasa.Meskipun berasal dari keluarga terpandang dan sibuk dengan urusan besar, dia sama sekali tidak menunjukkan sikap merendahkan saat aku mengundangnya makan. Dia bahkan dengan sopan dan elegan langsung menyetujuinya.Setelah puas menikmati perasaan bahagia ini, aku mulai bingung, di mana tempat yang pantas untuk makan malam ini?Dengan status seperti Billy, sudah pasti dia terbiasa dengan standar hidup yang sangat tinggi.Restoran mewah biasa saja mungkin tidak cukup untuknya.Untungnya, Wenny berasal dari keluarga yang menjalankan bisnis kuliner kelas atas.Aku langsung mengirimnya pesan.[Wenny, aku mau undang orang yang sangat penting makan malam sebagai bentuk terima kasih, tolong rekomendasikan restoran yang suasananya mewah.]Dia langsung membalas, [Kapan?][Besok malam.][Datang saja ke Arch Alley, aku minta manajer untuk siapkan ru
Namun kenyataannya, baginya ini hanyalah perkara sepele.Aku menggenggam ponsel, ragu-ragu untuk beberapa saat. Haruskah aku menghubunginya lebih dulu untuk mengucapkan terima kasih?Setelah berpikir panjang, berdasarkan prinsip hidupku selama ini, aku memutuskan tetap harus berterima kasih.Menerima bantuan orang lain tanpa menunjukkan rasa terima kasih, bukanlah prinsipku.Apakah dia menerima atau tidak, itu urusan dia. Tapi aku sendiri harus menunjukkan sikap yang pantas.Jadi, aku mengambil kartu nama yang diberikan Mudi padaku saat meninggalkan pabrik militer hari itu, lalu meneleponnya dengan penuh hormat."Halo Bu Nora," jawab Mudi di balik telepon.Aku langsung paham, mungkin ini nomor kerja Billy.Dengan statusnya, dia tidak mungkin sembarangan membagikan nomor pribadi."Halo Pak Mudi, aku mau berterima kasih secara langsung atas bantuan Pak Billy kemarin. Bisakah aku bertemu dengannya?" tanyaku langsung mengutarakan maksudku."Tunggu sebentar, aku akan menanyakannya dulu.""B
Steve menatapku dengan penuh kebencian sebelum berlari keluar sambil menggendong Dewita tanpa sepatah katapun.Aku berdiri di tempat dan bingung.Apa maksud dari tatapan itu?Seolah-olah dia sangat membenciku.Apa dia marah karena aku tidak membiarkannya menghabiskan empat triliun itu?Aku tidak tahu bagaimana keadaan Dewita setelahnya.Yang jelas, setelah mendapatkan gelang giok peninggalan ibuku, aku kembali ke Kota Belian dengan hati yang puas. Hari itu juga, aku pergi ke makam ibu untuk memberitahunya kabar baik ini.Saat malam semakin larut, pikiranku mulai tenang. Aku menatap gelang giok itu dan kembali dilanda kebingungan.Enam triliun ... bagaimana aku bisa membalas budi sebesar ini kepada Billy?Aku harus mencari waktu besok untuk membicarakannya dengannya. Bagaimanapun juga, uang itu harus kulunasi, kalau tidak, aku tak akan bisa tenang seumur hidup.Namun, sebelum sempat menemui Billy, masalah lain justru datang lebih dulu.Pagi-pagi saat aku baru tiba di kantor, aku melihat
Aku tak berani membayangkan bagaimana kejadian ini akan berkembang dan menjadi bahan perbincangan banyak orang.Aku juga tak tahu apakah ini berkah atau malah bencana bagiku.Namun, yang jelas saat ini, aku telah mendapatkan kembali semua harga diriku dan sekaligus memberikan tamparan keras pada Steve dan Dewita.Saat ini, bahkan jika aku harus mati untuk Billy, aku rela."Nora, sejak kapan kamu mengenal Pak Billy?" tanya Steve yang tak lagi bersikap angkuh dan menatapku dengan mata melotot.Aku memeluk erat kotak beludru di tanganku, lalu menatap mereka dengan senyuman santai, menjawab, "Bukan urusanmu.""Kamu ... "Aku yang sudah mendapatkan apa yang kuinginkan, jadi tak ada alasan untuk berlama-lama di sini. Aku bersiap untuk meninggalkan acara lebih awal.Dewita yang kesal karena merasa dipermalukan melampiaskan emosinya pada Steve, "Ayo pergi! Untuk apa tetap di sini? Semua yang kumau sudah hilang!"Steve hanya berdiri terpaku. Dia terlihat seperti orang yang baru saja mendapat pu
Billy duduk di tempat tertinggi, matanya juga bertemu denganku, lalu mengangguk kecil padaku.Detik sebelumnya, aku merasa seperti jatuh ke jurang, tetapi detik berikutnya aku seperti hidup kembali.Hatiku dipenuhi kebahagiaan yang luar biasa dan aku tersenyum padanya dari kejauhan.Aku merasa sangat berterima kasih. Meskipun gelang giok itu tidak kembali ke tanganku, setidaknya jatuh ke tangan Billy. Itu adalah akhir terbaik yang bisa kubayangkan."Enam miliar! Ada yang mau menawar lebih tinggi?""Enam miliar sekali, enam miliar dua kali, enam miliar tiga kali! Terjual! Pemilik baru gelang giok putih ini adalah Pak Billy Solene!" ujar juru lelang begitu semangat hingga suaranya hampir pecah.Seluruh ruangan meledak dalam sorak-sorai dan tepuk tangan. Semua orang menoleh ke belakang, menatap lantai dua dengan penuh antusias.Namun, Billy tetap duduk tenang, seolah ini adalah hal yang sepele baginya. Dia tampak seperti seorang raja yang menerima penghormatan dari banyak orang.Di sampin
Aku menahan diri sekuat tenaga agar air mataku tidak jatuh.Rasa sakit terdalam datang dari orang yang dulu paling kucintai.Keputusasaan dan kebencian memenuhi dadaku, bahkan jemariku pun bergetar.Setelah beberapa saat, tiba-tiba aku merasa lega. Aku menoleh ke arahnya dan bertanya, "Kalau aku terus menaikkan harga, kamu akan tetap mengikutinya?"Tatapan Steve bergetar, seolah dia juga merasakan sakit, lalu dia berbisik, "Nora, jangan keterlaluan!"Aku mengabaikannya, tersenyum tipis, lalu mengangkat papan, "Dua triliun seratus miliar!"Paling buruk, aku akan menjadi bahan tertawaan dunia, menjual perusahaanku untuk membayar denda dan memulai semuanya dari nol.Namun, kalau aku menang, bukankah itu berarti dia akan mengalami kerugian besar dan merasakan sakit yang sama?"Nora!" Seperti yang kuduga, begitu aku menyebut angka itu, Steve langsung kehilangan ketenangannya.Namun, Dewita yang naik tidak mengerti situasinya.Melihat Steve tidak segera menawar lagi, bahkan saat juru lelang
Setelah mendengar penjelasan dari juru lelang, aku semakin yakin ini memang gelang giok milik ibuku. Gelang ini awalnya beredar di kalangan kolektor barang antik di Kota Belian. Awalnya nilainya diremehkan, tetapi setelah bertemu dengan seorang ahli, barulah gelang ini diakui sebagai barang berharga dan akhirnya muncul di lelang ini."Harga awal untuk gelang giok susu ini, empat puluh miliar."Begitu juru lelang menyebutkan harga, seseorang langsung mengangkat papannya, "Lima puluh miliar.""Enam puluh miliar."""Enam puluh empat miliar."Aku tetap tenang dan tidak terburu-buru menawar. Aku ingin melihat dulu bagaimana situasinya berkembang.Namun, tiba-tiba Dewita mengangkat papan lelangnya, "Seratus miliar!"Ruangan mendadak riuh, semua orang menoleh ke arah mereka.Aku terkejut, wanita munafik ini benar-benar mulai menyerang."Seratus miliar sekali, seratus miliar dua kali, seratus miliar ... "Sebelum juru lelang menyelesaikan hitungannya, aku akhirnya mengangkat papan, "Seratus se
Tapi, aku tiba-tiba teringat, beberapa hari lalu, Steve pernah bilang kalau dia tidak punya cukup uang tunai sebanyak dua triliun saat ini.Aku pun kembali optimis, kalau mereka tidak punya cukup uang, berarti peluangku untuk menang masih besar.Acara lelang segera dimulai.Rumah lelang ini termasuk salah satu yang terbaik di dunia dan setiap tahunnya, acara lelang amal mereka selalu menarik banyak orang kaya dari dalam maupun luar negeri.Di antara para tamu, aku melihat beberapa wajah yang familiar, mereka adalah orang-orang kaya dari Kota Belian.Barang yang dilelang di awal berupa lukisan terkenal dan guci antik dengan harga terendah pun mencapai puluhan miliar.Para miliarder itu begitu semangat menawar, seperti hanya sedang membeli sayur di pasar.Aku diam-diam merasa kagum sekaligus cemas, bagaimana kalau aku tidak bisa memenangkan lelang untuk gelang itu?Sementara itu, Steve dan Dewita duduk berdampingan, sesekali berbisik satu sama lain. Mereka terlihat mesra, seolah lupa bah