Bab 7

Aku menutupi mata yang perih dengan sapu tangan, menarik napas dalam-dalam, tak ingin tahu siapa yang duduk di sebelahku.

Namun tiba-tiba, ayahku muncul dengan nada sangat hormat dan rendah hati, "Pak Billy, maaf atas ketidaknyamanannya, kursi VIP ada di sana, duduk di sana akan lebih nyaman."

"Nggak perlu, aku duduk di sini saja," jawab pria yang dipanggil Billy itu dengan tenang, tapi tetap penuh wibawa.

Ayahku masih ingin mengatakan sesuatu, tapi MC sudah memanggil masing-masing orang tua pengantin naik ke panggung. Sari segera datang dan menariknya pergi.

Aku mendongak, menenangkan diri dan belum sempat mengembalikan sapu tangan itu, langsung terdengar suara menggema di seluruh aula, "Ayo, kita persilakan saksi pernikahan hari ini, Bu Nora Tira untuk naik ke atas panggung!"

Seketika, lampu sorot menyala ke arahku. Aku terkejut dan tidak siap.

Keributan yang tadinya memenuhi ruangan langsung mereda, membuat suasana sunyi senyap. Aku tahu, semua tamu terkejut dan heran. Ada yang merasa simpati, ada juga yang menertawakanku.

Aku segera menegakkan punggung, memasang ekspresi dingin dan tak acuh, lalu melangkah naik ke panggung.

Bisikan-bisikan di bawah mulai terdengar lagi, bahkan lebih riuh dari sebelumnya.

"Aku sudah dari dulu dengar kalau Gaius lebih sayang putri bungsunya dan sangat kejam pada putri sulungnya. Ternyata hari ini terbukti semua!"

"Iya, putri sulungnya begitu pintar dan cantk, jelas saja kalau ibu tirinya cemburu. Setiap hari tinggal bisikan hal buruk di telinga suaminya, ya jelas ayahnya ikut berbalik melawan anaknya sendiri."

"Bukan ayah kandung lagi namanya, ini bahkan lebih buruk dari ayah tiri!"

"Benar! Orang tua pilih kasih sudah biasa, tapi sampai tega membantu anak bungsu merebut tunangan anak sulung seperti ini, benar-benar keterlaluan!"

"Hahaha, buat Pak Gaius nggak ada bedanya. Mau putrinya yang manapun yang dinikahi dengan Steve, tetap saja jadi menantunya."

Tamu undangan berbicara dengan semangat, mengejek tanpa henti.

Aku mendengar semuanya, tapi tak lagi merasa malu.

Bagaimanapun, masih ada dua pasang manusia tak tahu malu di depanku. Mereka yang seharusnya merasa terhina duluan.

Di atas panggung, MC berbicara dengan penuh emosi sebelum akhirnya masuk ke inti acara. "Pernikahan resmi dimulai! Pertama-tama, mari kita dengarkan kata-kata ucapan dari saksi pernikahan, Bu Nora Tira!"

Aku menatap mikrofon yang disodorkan kepadaku, diriku sempat ragu sejenak dan akhirnya mengambilnya.

Steve dan Dewita melirikku sekilas, lalu kembali saling bertatapan dengan penuh cinta.

Saat itu juga, rasa sakit di hatiku tiba-tiba lenyap, digantikan oleh keinginan besar untuk balas dendam.

Aku menggenggam mikrofon, melangkah maju dan berbicara dengan nada tegas, "Hari ini adalah hari yang indah. Bisa menjadi saksi pernikahan adik kesayangan dan mantan tunanganku adalah sebuah kehormatan besar. Semoga hubungan mereka selalu harmonis, langgeng dan segera dikaruniai anak. Sebagai saksi dari pasangan pengantin ini, aku juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua tamu undangan. Semoga selalu diberkati kebahagiaan dan kelancaran dalam segala hal."

Haha! Mau dengar ucapan dariku? Semoga kalian segera dikaruniai anak, mungkinkah itu terkabulkan?

Begitu aku selesai bicara, aula kembali gaduh.

Tak lama, seseorang mulai bertepuk tangan dan berseru, "Bagus! Luar biasa! Pemenang terbesar hari ini adalah Pak Gaius Tira! Selamat!"

"Selamat! Selamat!"

Jelas sekali, mereka sedang mengejek ayahku.

Wajah ayah tampak tegang dan memerah karena malu. Dia mengangkat tangannya, memberi isyarat agar tamu undangan sedikit menahan diri.

Sementara itu, Sari yang tak bisa menahan emosi langsung memarahiku, "Nora! dasar nggak tahu malu!"

"Bukan aku yang merebut tunangan orang lain, untuk apa aku harus malu?" jawabku dengan pecaya diri, berniat mengembalikan mikrofon dan turun dari panggung.

Namun tiba-tiba, Dewita mengambil mikrofon, membuat suasana acara pernikahan ini semakin kacau dan konyol.

"Kak, tunggu sebentar," katanya lembut.

Aku berbalik dan menatapnya.

Dewita melepaskan tangan Steve, berjalan ke arahku dan menggenggam tanganku untuk membawaku kembali ke tengah panggung.

"Sebenarnya, orang yang paling ingin aku ucapkan terima kasih hari ini adalah kakakku, Nora Tira. Aku mengidap penyakit kritis dan mungkin nggak akan hidup lama lagi. Sebelum meninggal, impian terbesarku hanyalah bisa menikahi pria yang paling kucintai, yaitu Kak Steve."