[Aku akan amat sibuk dalam satu minggu ini. Semua karyawanku lembur di lapangan jadi aku nggak pegang hp, sayang] Lingga mendapatkan solusi untuk kerugian yang sudah terjadi. Tapi sedih karna di saat LDR seperti sekarang ini, hanya hp yang bisa membuatnya tak kesepian dan tetap merasa dekat dengan suaminya.Cckk, ternyata rasa cinta itu sudah hadir di dalam hati Nada, tanpa Nada sadari kapan hadirnya.Lelaki tampan, fisiknya teramat sempurna dan memiliki karir yang bagus. Mau bertanggung jawab, bahkan menyayangi keluarganya juga. Wanita mana yang nggak jatuh cinta?Nada meletakkan hp di atas meja. Beranjak dari duduknya dan mendekati bu Salma yang sedang bermain sama Yoona. “Bu, aku ke warung bentar ya. Mau beli sabun mandi. Punya Yoona habis.”“Nitip beli merica ya. Nanti ibuk mau buat bakwan sayur.”Nada menganggukkan kepala. Melangkah keluar rumah setelah mencoel pipi Yoona. Jalan kaki ke warung yang masih ada satu RT. Mungkin sekitar 30 meter dari rumah Nada.“Eh, Nada,” sapa bu S
Lingga melepaskan ikat pinggangnya. Mendudukkan diri di tepi ranjang kecil yang selama satu minggu ini telah menjadi tempatnya berpulang. Demi tak membuat kliennya kecewa dan berdampak buruk pada kemajuan perusahaannya, Lingga mati-matian ikut terjun ke lapangan dan membantu karyawannya menyelesaikan pesanan yang deadline.Malam ini, jam 12 lebih beberapa menit ia baru bisa beristirahat. Lingga tersenyum menatap layar ponsel yang menampilkan beberapa chat masuk. Chat dari Nada yang berisi beberapa vidio pendek Yoona dan juga bentuk perhatian istri yang mengingatkan untuk makan dan istirahat.[Aku baru masuk kamar, sayang. Aku mandi dulu ya, nanti aku vidio call] send Nada.Buru-buru Lingga melangkah masuk ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kamar pribadinya ini. Enggak lama, karna pada umumnya cowok itu kalo mandi selalu kilat. Dia keluar bertelanjang dada. Hanya pakai celana kolor dan tangannya sibuk mengusap-usap rambutnya yang basah pakai handuk. Merasa jika sudah sedikit keri
Buru-buru Bu Marlin keluar dari kamar setelah telpon suaminya itu berakhir. Ia melangkah lebar ke ruang tamu untuk menemui teman-teman sosialitanya yang sedang makan-makan.“Udahan telponanya, jeng?” tanya salah satu temannya yang pakai blouse warna hitam.Bu Marlin tersenyum canggung. “Suamiku sudah di jalan untuk pulang. Aku minta maaf ya. Kalian sepertinya harus pulang dulu. Kita senang-senangnya lanjut besok saja, oke?”Lima orang yang ada di ruang tamu ini tersenyum santai. Mereka paham dengan Marlina yang janda dan baru saja bersuami. Pasti serasa pengantin baru juga.“Cckk, santai saja, Lin. Kita bisa mengerti.”“Iya. Besok agendakan lagi. Nggak apa-apa untuk hari ini cancel party kita.”Bu Marlin tersenyum lega karna teman-temannya bisa mengerti. “Aaa… makasih. kalian memang teman terbaik. Enggak salah aku berkumpul dan selalu barengan sama kalian.”“Yasudah kalau begitu. Kita-kita pulang ya,” pamit si ibu yang sudah menenteng tas brand ternama berwarna kuning mustard itu. Dia
“Buk, Dilla pergi ke mana? Dari pagi aku kok nggak lihat,” tanya Nada, memerhatikan ibunya yang selonjoran di karpet depan tv.“Tadi pagi pergi sama Yoga.” Santai bu Salma menjawab, mengulurkan mainan buah pisang yang terbuat dari kain, mirip boneka. “Ini yang terong. Eh, suka warna ungu kaya’nya,” katanya ketika Yoona langsung ngambil yang terong, bukan yang pisang.Nada ikut duduk di sebelah Yoona dengan amngkuk kecil berisi nasi bercampur sayuran yang sudah ia lembutkan. “Ijin sama ibuk?”Bu Salma menganggukkan kepala. “Iya. Ijin sama ibuk perginya. Ibuk bilang kalo pulangnya nggak boleh lewat dari jam empat.”“Sekarang udah jam empat, Buk,” ucap Nada, melirik ke jam dinding yang tercantel di atas tv.Bu Salma sedikit terkesiap kala melihat jarum jam yang panjang di sana hampir menunjuk di angka 12. Yang artinya, sebentar lagi sudah jam lima sore. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Dilla mengenal lelaki. seharusnya memang tidak mengijinkan, hanya saja mereka takut kalau terla
Putus cinta, rasanya benar-benar patah. Terlebih bagi Dilla yang baru pertama kali mengenal ‘cinta’. Tangannya mengepal, ia menggigit bibir menahan derai air mata yang menyeruak di pelupuk mata. Detik kemudian menunduk, mengusap embun yang sudah penuh. Dilla balik badan, melangkah cepat untuk kembali ke rumah.“Dek!” panggil Faiz, ia sampai menajamkan mata demi memastikan kalau yang berlari itu adalah adik perempuan satu-satunya. Faiz menghentikan motor matiknya. Lekat ia menatap wajah adiknya yang tertekuk sedih. “Kamu… kamu diapain? Kenapa nangis?” tanyanya dengan pikiran yang sudah terarah ke hal-hal yang negative.Dilla menggeleng dengan tangan yang mengusap hidung dan mata. Ia mendekat ke kakaknya dan langsung berpegangan di kedua bahu Faiz. “Ayok pulang,” ajaknya.Faiz menoleh, memerhatikan Dilla yang masih sibuk mengusap linangan air mata. Tak ingin kalau ada orang yang melihat adiknya menangis, Faiz segera melajukan motor, menuju rumah.Nggak sampai lima menit, motor matik itu
Ddrtt… ddrtt….Hp yang sejak tadi tergeletak di atas ranjang itu menyala dengan dering lirih dan getarnya membuat si pemilik terusik dari alam mimpi. Adisti merah hp-nya, menatap layar yang menampilkan nama ‘Roland’ sebagai penelpon. Mata yang sulit terbuka itu, bisa dengan muda melebar dan jari jempolnya menggeser tombol, menerima panggilan.“Hallo,” sapanya setelah hp menempel di telinga.“Adis,” panggil seorang lelaki di seberang sana.Lelaki yang tentunya adalah Roland. Suara khasnya masih bisa Adis ingat, belum berubah. Adis meneguk ludah, mencengkeram selimut yang masih menutupi separuh tubuhnya.“Sorry, aku baru selesai kerja. Jadi baru sempat pegang hp.” Kembali, suara Roland masuk ke pendengaran. “Pasti kamu sudah tidur ya. Hufft, aku sampai nggak kepikiran itu. Besok lagi saja, aku telpon. Aku—”“Nggak apa-apa, Land.” Dengan ce
Pagi yang terasa berbeda. Pagi ini ada yang kembali menghangatkan ranjang, seperti bulan-bulan yang lalu. Lingga kembali mengeratkan pelukannya di tubuh Nada. Enggan untuk bangun walau ia tau nanti jam delapan sudah harus ada di gudang untuk ikut mengecek beberapa barang yang akan dikirim ke toko kliennya.Nada menyipitkan mata. Lalu membuka mata dengan menyipit. tersenyum saat merasakan ada tangan yang melingkar di perut. Ia membenarkan selimut untuk tetap menutupi tubuh kecil Yoona. “Mas,” panggilnya lirih. Pelan-pelan Nada berbalik, tidur miring menghadap Lingga. “Masuk kerja jam berapa?”“Kapan aja bisa,” jawab Lingga dengan suara srak, khas bangun tidur.Nada ngusel ke dada suami, memejam menghirup wangi tubuh suami yang terasa begitu lama tak ia cium. Mengingat sesuatu, Nada menarik diri, mendongak menatap wajah suami yang tepat ada di atasnya. “Mas, mbak Adis telpon kamu lagi, nggak?”Lingga balas menatap Nada. “Kenapa?”Nada mengerjab, menarik diri lalu menggeleng. “Enggak apa
“Keluhan yang sekarang, apa?” tanya dokter yang sejak awal menangani sakitnya Adis.“Di bagian inti saya masih terasa nyeri, tapi saya sudah tidak mual sejak dua hari lalu. Uumm, kalau pipis udah nggak begitu nyeri. Masih nyeri, tapi sudah mendingan sih. Dan… mata saya masih perih kalau untuk melihat.”Dokter Sarah mendekat, mulai menyalakan senternya. “Maaf ya, mbak,” ucapnya sebelum menyentuh kelopak mata Adis, lalu menajamkan penglihatan untuk pemeriksaan mata. Nggak sampai satu menit, dokter Sarah mematikan senter dan menarik diri. “Alhamdulilah, mbak. Mata udah nggak merah lagi. Pelan-pelan asal obatnya diminum rutin, pasti sembuh.”Penuturan dokter membuat Adis menghela nafas lega. Di umurnya yang belum ada 30 tahun, tentu merasa hancur ketika ia harus menderita penyakit kelamin yang sampai menyebar ke arah mata. Bukan Cuma hancur, tapi sangat malu jika sampai penyakitnya ini diketahui oleh mereka-mereka. Terutama teman-teman sebayanya, teman-teman kuliahnya dan teman-teman hang
“Aargh! Aargh!” pak Fandi merintih tak henti ketika luka di kakinya terasa nyeri sampai ulu hati sana.Satu tahun ini ia terkena diabetes, gulanya tinggi. Kakinya yang patah dulu itu, membengkak. bagian jempolnya tepat di kuku, mengeluarkan bau tak enak. Terkadang perawat lelaki yang Adis bayar untuk mengurusi pak Fandi sampai muntah-muntah karna tak tahan dengan bau nanah, bau busuk yang keluar dari jempol kakinya.“Setiap hari sore pasti begitu, Bu,” tutur perawat lelaki ini.Adis menatap prihatin akan keadaan papa tirinya yang sampai detik ini masih menghuni rumahnya. Ya, walau mamanya sudah enggak ada, tapi pak Fandi tetap di sini. Dan sepertinya akan menghabiskan sisa hidupnya di rumah almarhum sahabatnya dulu.“Dis,” panggil pak Fandi, tak begitu jelas.Adis sedikit merinding mendengar panggilan itu. Sejak kejadian malam dua tahun lalu itu, Adis tak pernah lagi muncul di hadapan pak Fandi. Dia takut dan tidak mau terjadi hal yang lebih mengerikan pada diri sendiri.“Bu, dipanggi
Adis menatap iba pada adiknya yang tertidur di dalam box baby. Kata dokter adiknya bisa dioperasi untuk satu matanya itu. Hanya saja kemungkinan satu mata itu bisa berfungsi, sangat lah tipis. Tetapi jika adik kecilnya ini tidak oeprasi, Adis nggak tega melihatnya. Pasti ketika besar nanti akan menjadi bullyan teman-temannya perkara kecacatannya.Kedua bahu Adis melemah dengan kenyataan hidupnya yang sekarang terasa amat berat di kedua pundaknya. Mengurusi adik beda ayah ini, mengurusi pak Fandi yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Lalu mengurusi mamanya yang sampai hitungan bulan ini belum sembuh. Entah, luka jahitan di perut mamanya belum sembuh, belum kering. Justru mengeluarkan bau tak enak dan mamanya sering menjerit kesakitan setiap hari.Tangan Adis meremas kain dressnya sendiri. Dengan cukup kesusahan ia meneguk ludah lalu melangkah pergi, keluar dari kamar Aina.“Bu,” sapa suster Bella, suster yang Adis sewa untuk merawat Aina.Adis menunjuk ke arah sofa yang ada di
Entah apa yang telah terjadi. Kuasa Tuhan itu nyata adanya. Selama hamil bu Marlin tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Tutur katanya juga biasa, tak pernah menyumpahi siapa pun. Makan juga makan sayuran biasa yang disediakan oleh suster yang telah disewa oleh Adis.Adis menatap layar hp yang menampilkan foto adiknya yang telah tertidur di box baby. Baby cantik yang wajahnya sedikit mirip dengan wajahnya. Tapi sayang, baby cantik ini satu matanya datar, seperti tak ada apa-apa. Hanya ada alis berbulu tipis saja. selain itu, yang lain normal. Tangannya ada dua, kaki juga dua. Begitu yang yang lain.Adis menatap mamanya yang sempat menolak anaknya ini. Mama Marlin nggak mau nyusui anaknya karna anaknya… cacat. Bahkan bu Marlin sampai menangis meraung dan menuduh pihak rumah sakit telah menukar anaknya.Bagaimana mungkin anak ini ditukar? Semalam yang masuk dan menjadi pasien melahirkan hanya bu Marlin saja. Dan hanya ada satu baby ini saja.“Eegh….”Lengkuhan lirih dari ranjang membu
Malam hari, pak Fandi bangun karna susah tidur. Hampir seharian tidur, jadi kalau harus semalam tidur, rasanya bosan dan sudah susah untuk tidur. Ia melangkah keluar dengan bantuan tongkat karna kakinya masih sakit untuk berjalan tanpa bantuan. Dengan hati-hati mendudukkan diri di sofa ruang tv, mengambil remote tv dan menatap layar lebar di hadapannya yang menyala. Menekan remote, mengubah canel yang dimau.Di dalam kamar yang berbeda, bu Marlin merasa tergangu dengan suara berisik dari luar kamar. dengan hati-hati ia beranjak bangun, awas menatap jam yang melingkar di dinding kamar yang ia pakai. Di sana jarum jamnya ada di angka dua. Jadi ini dini hari, tentu di luar masih petang.“Pasti itu mas Fandi,” gumamnya dalam kesendirian. “Udah dibilangin kalau malam jangan nonton tv kencang-kencang masih aja nggak didengarkan! Sudah nggak bisa jalan! Ngerepoton anakku! Tapi tetap nggak tau diri!” bu Marlin mengomel, menatap ke arah pintu kamarnya yang tertutup dengan tatapan kesal.“Mas!
“Mamamama….”Pagi menyapa dan cerewetnya Yoona yang pertama masuk ke pendengaran Nada. Pelan-pelan ia membuka mata, menyipit dan tersenyum saat ternyata anaknya sudah bangun. Yoona duduk anteng di depannya sambil memainkan sesuatu.Sesuatu berupa bh yang dua cupnya berbentuk bunga mawar berwarna merah itu ditarik-tarik Yoona. Kaya’ yang gemes pengen lepasin bunga mawar itu dan membuangnya.Nada menepuk kening dan mencoba meminta barang dinasnya itu. “Na, mama minta.” Ia menengadahkan tangan.Yoona melirik, bibirnya mengerucut. bukannya memberikan, tapi bocah kecil yang tubuhnya berisi itu mengingsut duduk. Membelakangi mamanya dan kembali melakukan aktifitas, menarik-narik kelopak mawar merah itu.“Cckk, salahku sih. Kenapa juga nggak lempar itu di lantai aja. Sampai ditemuin sama Yoona.” Nada menggerutu sendiri. Ia bangun, kedua mata melebar saat bagian dadanya terekspos karna telanjang setelah semalam kembali dihabisi oleh suaminya.“Nen, mama nen.” Yoona menuding ke arah dada maman
“Suster Wati nggak telpon. Padahal ini udah hampir siang,” gumam Nada setelah melihat layar hp-nya yang sepi.Lingga menggeser kelapa muda yang milik Nada. “Berarti Yoona nggak rewel, sayang.”“Kurang percaya aku, Mas. Aku mau vidio call.” Nada memutuskan menekan tanda panggilan vidio di pojok layar.Tak lama layar hp Nada berubah menjadi wajahnya suster Wati. Seorang suster yang telah Lingga sewa untuk menjaga Yoona selama satu minggu di Bali ini.“Bu,” sapa suster Wati.“Yoona nggak rewel, mbak?” tanya Nada.Kamera beralih menjadi kamera belakang, memperlihatkan Yoona yang sibuk mainan pasir ajaib di sebuah ruangan yang khusus untuk bermain balita. Dan ada beberapa balita juga, nggak Cuma Yoona saja.“Dari tadi anteng, Bu. Sambil saya kasih roti sama minum susu.”Nada tersenyum dengan helaan penuh lega. “Jangan lupa nanti tidur siang ya, mbak.”“Iya, Bu. Ini udah jam sebelas lebih. bentar lagi, kalau Yoona udah makan siang. Saya nina bobo.” Jawab suster sopan.Nada menganggukkan kep
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan