[Enggak apa-apa, Mas. Kamu juga nggak pernah perhitungan sama keluargaku. Besok kalau punya uang lebih, ibu akan beli sawah lagi.]Nada menghela nafas membaca chat ke suami yang sudah centang dua biru, tapi belum dibalas lagi. Ia mengangkat wajah, menatap ibunya yang baru keluar dari ruang dalam. Bu Salma sudah pakai pakaian rapi, ada sertifikat tanah di tangan kanannya.“Ibu pergi ya,” pamitnya.Nada beranjak, melirik Yoona yang tiduran di karpet sambil pegang mainan. “Buk, bentar. Tunggu mas Lingga balas chatku.”Bu Salma tersenyum kecil. “Kenapa harus menunggu chat dibalas? Niat membantu itu nggak perlu begitu. Ibu ikhlas kok. Udah, ibu pergi ya. Keburu pak Lurah nanti nggak di rumah.”Nada menggigit bibir, iya sih bahagia karna ibunya amat peduli dengan suami. Tapi….“Bu,” panggil Nada sembari mencekal pergelangan tangan ibunya. “Ibu Cuma punya tanah itu. Masih ada Faiz dan Dilla.” Nada menggelengkan kepala. “Aku nggak mau semua dijual buat suamiku, buat aku. Anak ibu harus dapat
[Aku akan amat sibuk dalam satu minggu ini. Semua karyawanku lembur di lapangan jadi aku nggak pegang hp, sayang] Lingga mendapatkan solusi untuk kerugian yang sudah terjadi. Tapi sedih karna di saat LDR seperti sekarang ini, hanya hp yang bisa membuatnya tak kesepian dan tetap merasa dekat dengan suaminya.Cckk, ternyata rasa cinta itu sudah hadir di dalam hati Nada, tanpa Nada sadari kapan hadirnya.Lelaki tampan, fisiknya teramat sempurna dan memiliki karir yang bagus. Mau bertanggung jawab, bahkan menyayangi keluarganya juga. Wanita mana yang nggak jatuh cinta?Nada meletakkan hp di atas meja. Beranjak dari duduknya dan mendekati bu Salma yang sedang bermain sama Yoona. “Bu, aku ke warung bentar ya. Mau beli sabun mandi. Punya Yoona habis.”“Nitip beli merica ya. Nanti ibuk mau buat bakwan sayur.”Nada menganggukkan kepala. Melangkah keluar rumah setelah mencoel pipi Yoona. Jalan kaki ke warung yang masih ada satu RT. Mungkin sekitar 30 meter dari rumah Nada.“Eh, Nada,” sapa bu S
Lingga melepaskan ikat pinggangnya. Mendudukkan diri di tepi ranjang kecil yang selama satu minggu ini telah menjadi tempatnya berpulang. Demi tak membuat kliennya kecewa dan berdampak buruk pada kemajuan perusahaannya, Lingga mati-matian ikut terjun ke lapangan dan membantu karyawannya menyelesaikan pesanan yang deadline.Malam ini, jam 12 lebih beberapa menit ia baru bisa beristirahat. Lingga tersenyum menatap layar ponsel yang menampilkan beberapa chat masuk. Chat dari Nada yang berisi beberapa vidio pendek Yoona dan juga bentuk perhatian istri yang mengingatkan untuk makan dan istirahat.[Aku baru masuk kamar, sayang. Aku mandi dulu ya, nanti aku vidio call] send Nada.Buru-buru Lingga melangkah masuk ke kamar mandi yang ada di dalam ruangan kamar pribadinya ini. Enggak lama, karna pada umumnya cowok itu kalo mandi selalu kilat. Dia keluar bertelanjang dada. Hanya pakai celana kolor dan tangannya sibuk mengusap-usap rambutnya yang basah pakai handuk. Merasa jika sudah sedikit keri
Buru-buru Bu Marlin keluar dari kamar setelah telpon suaminya itu berakhir. Ia melangkah lebar ke ruang tamu untuk menemui teman-teman sosialitanya yang sedang makan-makan.“Udahan telponanya, jeng?” tanya salah satu temannya yang pakai blouse warna hitam.Bu Marlin tersenyum canggung. “Suamiku sudah di jalan untuk pulang. Aku minta maaf ya. Kalian sepertinya harus pulang dulu. Kita senang-senangnya lanjut besok saja, oke?”Lima orang yang ada di ruang tamu ini tersenyum santai. Mereka paham dengan Marlina yang janda dan baru saja bersuami. Pasti serasa pengantin baru juga.“Cckk, santai saja, Lin. Kita bisa mengerti.”“Iya. Besok agendakan lagi. Nggak apa-apa untuk hari ini cancel party kita.”Bu Marlin tersenyum lega karna teman-temannya bisa mengerti. “Aaa… makasih. kalian memang teman terbaik. Enggak salah aku berkumpul dan selalu barengan sama kalian.”“Yasudah kalau begitu. Kita-kita pulang ya,” pamit si ibu yang sudah menenteng tas brand ternama berwarna kuning mustard itu. Dia
“Buk, Dilla pergi ke mana? Dari pagi aku kok nggak lihat,” tanya Nada, memerhatikan ibunya yang selonjoran di karpet depan tv.“Tadi pagi pergi sama Yoga.” Santai bu Salma menjawab, mengulurkan mainan buah pisang yang terbuat dari kain, mirip boneka. “Ini yang terong. Eh, suka warna ungu kaya’nya,” katanya ketika Yoona langsung ngambil yang terong, bukan yang pisang.Nada ikut duduk di sebelah Yoona dengan amngkuk kecil berisi nasi bercampur sayuran yang sudah ia lembutkan. “Ijin sama ibuk?”Bu Salma menganggukkan kepala. “Iya. Ijin sama ibuk perginya. Ibuk bilang kalo pulangnya nggak boleh lewat dari jam empat.”“Sekarang udah jam empat, Buk,” ucap Nada, melirik ke jam dinding yang tercantel di atas tv.Bu Salma sedikit terkesiap kala melihat jarum jam yang panjang di sana hampir menunjuk di angka 12. Yang artinya, sebentar lagi sudah jam lima sore. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Dilla mengenal lelaki. seharusnya memang tidak mengijinkan, hanya saja mereka takut kalau terla
Putus cinta, rasanya benar-benar patah. Terlebih bagi Dilla yang baru pertama kali mengenal ‘cinta’. Tangannya mengepal, ia menggigit bibir menahan derai air mata yang menyeruak di pelupuk mata. Detik kemudian menunduk, mengusap embun yang sudah penuh. Dilla balik badan, melangkah cepat untuk kembali ke rumah.“Dek!” panggil Faiz, ia sampai menajamkan mata demi memastikan kalau yang berlari itu adalah adik perempuan satu-satunya. Faiz menghentikan motor matiknya. Lekat ia menatap wajah adiknya yang tertekuk sedih. “Kamu… kamu diapain? Kenapa nangis?” tanyanya dengan pikiran yang sudah terarah ke hal-hal yang negative.Dilla menggeleng dengan tangan yang mengusap hidung dan mata. Ia mendekat ke kakaknya dan langsung berpegangan di kedua bahu Faiz. “Ayok pulang,” ajaknya.Faiz menoleh, memerhatikan Dilla yang masih sibuk mengusap linangan air mata. Tak ingin kalau ada orang yang melihat adiknya menangis, Faiz segera melajukan motor, menuju rumah.Nggak sampai lima menit, motor matik itu
Ddrtt… ddrtt….Hp yang sejak tadi tergeletak di atas ranjang itu menyala dengan dering lirih dan getarnya membuat si pemilik terusik dari alam mimpi. Adisti merah hp-nya, menatap layar yang menampilkan nama ‘Roland’ sebagai penelpon. Mata yang sulit terbuka itu, bisa dengan muda melebar dan jari jempolnya menggeser tombol, menerima panggilan.“Hallo,” sapanya setelah hp menempel di telinga.“Adis,” panggil seorang lelaki di seberang sana.Lelaki yang tentunya adalah Roland. Suara khasnya masih bisa Adis ingat, belum berubah. Adis meneguk ludah, mencengkeram selimut yang masih menutupi separuh tubuhnya.“Sorry, aku baru selesai kerja. Jadi baru sempat pegang hp.” Kembali, suara Roland masuk ke pendengaran. “Pasti kamu sudah tidur ya. Hufft, aku sampai nggak kepikiran itu. Besok lagi saja, aku telpon. Aku—”“Nggak apa-apa, Land.” Dengan ce
Pagi yang terasa berbeda. Pagi ini ada yang kembali menghangatkan ranjang, seperti bulan-bulan yang lalu. Lingga kembali mengeratkan pelukannya di tubuh Nada. Enggan untuk bangun walau ia tau nanti jam delapan sudah harus ada di gudang untuk ikut mengecek beberapa barang yang akan dikirim ke toko kliennya.Nada menyipitkan mata. Lalu membuka mata dengan menyipit. tersenyum saat merasakan ada tangan yang melingkar di perut. Ia membenarkan selimut untuk tetap menutupi tubuh kecil Yoona. “Mas,” panggilnya lirih. Pelan-pelan Nada berbalik, tidur miring menghadap Lingga. “Masuk kerja jam berapa?”“Kapan aja bisa,” jawab Lingga dengan suara srak, khas bangun tidur.Nada ngusel ke dada suami, memejam menghirup wangi tubuh suami yang terasa begitu lama tak ia cium. Mengingat sesuatu, Nada menarik diri, mendongak menatap wajah suami yang tepat ada di atasnya. “Mas, mbak Adis telpon kamu lagi, nggak?”Lingga balas menatap Nada. “Kenapa?”Nada mengerjab, menarik diri lalu menggeleng. “Enggak apa