“Buk, Dilla pergi ke mana? Dari pagi aku kok nggak lihat,” tanya Nada, memerhatikan ibunya yang selonjoran di karpet depan tv.“Tadi pagi pergi sama Yoga.” Santai bu Salma menjawab, mengulurkan mainan buah pisang yang terbuat dari kain, mirip boneka. “Ini yang terong. Eh, suka warna ungu kaya’nya,” katanya ketika Yoona langsung ngambil yang terong, bukan yang pisang.Nada ikut duduk di sebelah Yoona dengan amngkuk kecil berisi nasi bercampur sayuran yang sudah ia lembutkan. “Ijin sama ibuk?”Bu Salma menganggukkan kepala. “Iya. Ijin sama ibuk perginya. Ibuk bilang kalo pulangnya nggak boleh lewat dari jam empat.”“Sekarang udah jam empat, Buk,” ucap Nada, melirik ke jam dinding yang tercantel di atas tv.Bu Salma sedikit terkesiap kala melihat jarum jam yang panjang di sana hampir menunjuk di angka 12. Yang artinya, sebentar lagi sudah jam lima sore. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Dilla mengenal lelaki. seharusnya memang tidak mengijinkan, hanya saja mereka takut kalau terla
Putus cinta, rasanya benar-benar patah. Terlebih bagi Dilla yang baru pertama kali mengenal ‘cinta’. Tangannya mengepal, ia menggigit bibir menahan derai air mata yang menyeruak di pelupuk mata. Detik kemudian menunduk, mengusap embun yang sudah penuh. Dilla balik badan, melangkah cepat untuk kembali ke rumah.“Dek!” panggil Faiz, ia sampai menajamkan mata demi memastikan kalau yang berlari itu adalah adik perempuan satu-satunya. Faiz menghentikan motor matiknya. Lekat ia menatap wajah adiknya yang tertekuk sedih. “Kamu… kamu diapain? Kenapa nangis?” tanyanya dengan pikiran yang sudah terarah ke hal-hal yang negative.Dilla menggeleng dengan tangan yang mengusap hidung dan mata. Ia mendekat ke kakaknya dan langsung berpegangan di kedua bahu Faiz. “Ayok pulang,” ajaknya.Faiz menoleh, memerhatikan Dilla yang masih sibuk mengusap linangan air mata. Tak ingin kalau ada orang yang melihat adiknya menangis, Faiz segera melajukan motor, menuju rumah.Nggak sampai lima menit, motor matik itu
Ddrtt… ddrtt….Hp yang sejak tadi tergeletak di atas ranjang itu menyala dengan dering lirih dan getarnya membuat si pemilik terusik dari alam mimpi. Adisti merah hp-nya, menatap layar yang menampilkan nama ‘Roland’ sebagai penelpon. Mata yang sulit terbuka itu, bisa dengan muda melebar dan jari jempolnya menggeser tombol, menerima panggilan.“Hallo,” sapanya setelah hp menempel di telinga.“Adis,” panggil seorang lelaki di seberang sana.Lelaki yang tentunya adalah Roland. Suara khasnya masih bisa Adis ingat, belum berubah. Adis meneguk ludah, mencengkeram selimut yang masih menutupi separuh tubuhnya.“Sorry, aku baru selesai kerja. Jadi baru sempat pegang hp.” Kembali, suara Roland masuk ke pendengaran. “Pasti kamu sudah tidur ya. Hufft, aku sampai nggak kepikiran itu. Besok lagi saja, aku telpon. Aku—”“Nggak apa-apa, Land.” Dengan ce
Pagi yang terasa berbeda. Pagi ini ada yang kembali menghangatkan ranjang, seperti bulan-bulan yang lalu. Lingga kembali mengeratkan pelukannya di tubuh Nada. Enggan untuk bangun walau ia tau nanti jam delapan sudah harus ada di gudang untuk ikut mengecek beberapa barang yang akan dikirim ke toko kliennya.Nada menyipitkan mata. Lalu membuka mata dengan menyipit. tersenyum saat merasakan ada tangan yang melingkar di perut. Ia membenarkan selimut untuk tetap menutupi tubuh kecil Yoona. “Mas,” panggilnya lirih. Pelan-pelan Nada berbalik, tidur miring menghadap Lingga. “Masuk kerja jam berapa?”“Kapan aja bisa,” jawab Lingga dengan suara srak, khas bangun tidur.Nada ngusel ke dada suami, memejam menghirup wangi tubuh suami yang terasa begitu lama tak ia cium. Mengingat sesuatu, Nada menarik diri, mendongak menatap wajah suami yang tepat ada di atasnya. “Mas, mbak Adis telpon kamu lagi, nggak?”Lingga balas menatap Nada. “Kenapa?”Nada mengerjab, menarik diri lalu menggeleng. “Enggak apa
“Keluhan yang sekarang, apa?” tanya dokter yang sejak awal menangani sakitnya Adis.“Di bagian inti saya masih terasa nyeri, tapi saya sudah tidak mual sejak dua hari lalu. Uumm, kalau pipis udah nggak begitu nyeri. Masih nyeri, tapi sudah mendingan sih. Dan… mata saya masih perih kalau untuk melihat.”Dokter Sarah mendekat, mulai menyalakan senternya. “Maaf ya, mbak,” ucapnya sebelum menyentuh kelopak mata Adis, lalu menajamkan penglihatan untuk pemeriksaan mata. Nggak sampai satu menit, dokter Sarah mematikan senter dan menarik diri. “Alhamdulilah, mbak. Mata udah nggak merah lagi. Pelan-pelan asal obatnya diminum rutin, pasti sembuh.”Penuturan dokter membuat Adis menghela nafas lega. Di umurnya yang belum ada 30 tahun, tentu merasa hancur ketika ia harus menderita penyakit kelamin yang sampai menyebar ke arah mata. Bukan Cuma hancur, tapi sangat malu jika sampai penyakitnya ini diketahui oleh mereka-mereka. Terutama teman-teman sebayanya, teman-teman kuliahnya dan teman-teman hang
Caffe shop, caffe kecil yang ada di depan gedung perusahaan milik Lingga pribadi. Di sini Adis duduk menatap ke arah gedung perusahaan yang tentunya tidak sebesar perusahaan miliknya. Lebih tepatnya milik papa Fandi dan almarhum papanya.Adis menegakkan tubuh, merapikan penampilannya saat melihat mobil hitam yang memasuki halaman caffe shop. Awas ia menatap mobil itu. Mengulum bibir ketika melihat pintu bagian kemudi dibuka dan seorang lelaki yang memang ia tunggu telah melangkah turun.Lingga, lelaki yang sampai detik ini tetap paling tampan di mata Adis. Lelaki yang bagi Adis telah mendekati sempurna, tapi sayangnya… dia tak berjodoh.“Lingga,” sapa Adis, mengangkat sedikit tangannya.Lingga yang baru memasuki pintu caffe mendekat. Mengulurkan tangan ke Adis, mengajak jabatan.Tak langsung meraih tangan itu, Adis menunduk menatap telapak tangan yang mengarah padanya lebih dulu.“Lama sekali tak pernah bertemu. Kabar baik, kan hari ini?” tanya Lingga.Adis tersenyum, menyambut tangan
“Aaahh,” desah Lingga sambil terus bergerak di atas tubuh Nada. Tangannya memegangi kedua kaki Nada yang dikangkangkan lebar.Nada menggigit bibir, menutup mulut agar tidak mendesah kencang karna takut mengganggu tidur Yoona. Kepalanya menggeleng ketika pergerakan Lingga semakin cepat, dan dia sendiri sedikit menggelinjang karna telah mencapai titik puncak. Nada mengamati suami yang masih diam di depannya. Tubuh putih berotot Lingga dipenuhi oleh keringat. Rambutnya yang sedikit memanjang itu pun sampai basah dan ada keringat yang menetes dari pelipisnya.Pelan Lingga menarik barangnya sambil mengamati barang berharga milik istrinya yang ia tinggalkan. Cairan putih kentalnya mengalir keluar dari milik Nada. Lingga mengambil tissu, mengusap milik istrinya itu dengan tissu. Setelahnya membersihkan miliknya sendiri sambil duduk di tepi ranjang menunggu keringatnya habis.Nada beranjak dari kasur, masuk ke kamar mandi sambil membawa dress tidurnya. Cuma sebentar, karna Cuma membersihkan y
Bali.Yang Nada pilih adalah pulau Bali. Lingga sudah menawari untuk ke Prancis, atau ke Korea, atau ke negara yang lainnya. Tapi Nada tetep, pengennya ke Bali. Pengen mengunjungi yang masih ada di satu negara lebih dulu. Dan jika masih diberi waktu lagi, baru dia ingin mencoba ke luar negri.Lingga memilih villa yang privat. Hanya orang-orang penghuni villa VIP saja yang bisa mengunjungi pantai. Villanya ada tepat di tebing, di atas pantai dan bisa dikatakan jika ada di atas bebatuan tebing. Dengan lift mereka berdua turun.Nada tersenyum bahagia ketika kakinya yang memakai sendal jepit itu menginjak pasir putih, pasir pantai Bali. “Yaampun, indah banget….” Pujinya dengan wajah berbinar dan matanya mengelilingi pemandangan yang memang indah, sejuk serta … serasa dunia milik mereka berdua.Lingga memeluk Nada dari belakang, dagunya bertopan di bahu sebelah kanan sambil menikmati belaian angin pantai yang menerpa wajahnya.Nada memejamkan kedua mata, kedua tangan terlentang dan menghir