Selepas kepergian suaminya, bu Haliza segera mengunci pintu kamar dan menghampiri Davin dan Daffa.
“Lagi main apa sih? Serius amat?” tanya bu Haliza senatural mungkin.Pasangan suami istri itu memang begitu menyayangi kedua anak Atira itu. Mereka telah menganggap Davin dan Daffa sebagai cucu kandungnya, meskipun pada kenyataannya Davin dan Daffa hanyalah cucu tiri alias cucu sambung bagi mereka.“Oma, lihat deh! Aku menang dari ka Davin,” kekeh bocah berusia lima tahun lebih itu. Ia memang begitu lihai memainkan stik seolah usianya sudah jauh lebih besar dari daripada sebenarnya.“Enak aja. Aku yang menang! Sebentar lagi juga... “ ralat Davin yang memang dirinya tak bisa memungkiri jika Daffa mengalahkannya dalam permainan.“Sudah, sudah! Kalah menang udah biasa, bukan jadi alasan buat berantem!” ucap bu Haliza membuat Davin dan Daffa cengengesan.“Oma Cuma mau nanya, siapa yang mau dibikinin jus kiwi baru, juga emmmmhhhh... “ ucap bu Haliza seola“Ada apa?” teriak bu Haliza sambil menghampiri pak Rudi. Namun, lelaki itu segera masuk ke kamar mandi. “Astaghfirullah!” ucap bu Haliza saat melihat kondisi mengenaskan dari bu Retno. Bahkan, lantai kamar mandi pun sudah berubah warna menjadi merah. “Masih ada, Bu!” ucap pak Rudi setelah ia memeriksa nafas bu Retno. “Cepat! Bawa ke rumah sakit!” titah bu Haliza dengan panik. Pak Rudi segera mengangkat tubuh tak berdaya bu Retno. Ia pun melewati bu Haliza dengan segera. Bu Retno mengekorinya di belakang tanpa berbicara sepatah katapun. “Bu, sebaiknya ibu di rumah saja sama anak-anak. Masalah bu Retno, biar Bagus yang handle!” ucap pak Rudi setelah meletakkan bu Retno di kursi belakang. “Tapi, Bagus, dia bisa handle?” tanya bu Haliza bingung dengan keputusan apa yang harus ia ambil. Jika saja tidak ada anak-anak, dengan yakin ia akan menemani bu Retno sampai ke rumah sakit. Apalagi, ia butuh wanita paruh baya itu agar tetap hidup. “Bagus, jag
“Davin!” seru bu Haliza panik. Ia tak mengetahui jika Davin memiliki trauma tersendiri saat ia pernah diculik. Ya, Davin pernah diculik tepat di hari yang sama saat Atira ditalak Bayu, juga hari yang sama saat Atira bertemu lagi dengan Zafran. Bu Haliza melonggarkan baju yang dipakai Davin, kemudian ia berusaha memberi Davin minum air putih. Ia cukup takut dan panik karena tidak pernah menghadapi orang tremor, bahkan dia pun tak pernah tahu bagaimana cara mengatasi orang yang mengalami tremor. “Daffa, kakak Davin pernah begini?” tanya bu Haliza sambil menoleh ke arah Daffa. Anak lelaki itu nampak ketakutan dan hanya berdiri mematung di belakang bu Haliza. Tentunya ia merasa sangat bersalah karena telah membangkitkan penyebab tremor Davin. “Sudah! Kamu jangan takut begitu! Oma tidak marah sama kamu, tapi kita harus secepatnya mencari bantuan,” ungkap bu Haliza yang masih tidak mendapatkan respon dari Daffa. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya bu Haliza memutuskan untuk tet
Pak Suwardi masih merasakan jika tangannya bergetar. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak semata wayangnya. “Zafi, maafin Papah!” ucapnya lirih sambil berjalan limbung menuju ruang IGD. Sesampainya di depan bilik yang tadi ditempati oleh Zafran, pak Suwardi hanya menemukan petugas kebersihan yang sedang membersihkan brankar tersebut. “Pasiennya mana?” tanyanya panik. Ia teringat dengan tanda tangan yang ia bubuhkan barusan. Apakah Zafran sudah tak terselamatkan Sehingga pihak rumah sakit memintanya menandatangani surat pernyataan untuk tak menuntut apapun terhadap mereka? Pikirannya benar-benar kalut, bahkan ia lupa bahwa istrinya memiliki seperempat saham rumah sakit tersebut. “Dibawa ke ruang operasi, Pak!” jawab lelaki yang bertugas membersihkan brankar dan beberapa bercak darah di sana. “Ah, ya,” jawab pak Suwardi yang langsung tahu kemana kakinya harus melangkah. Sebenarnya ia tahu letak dan posisi ruangan-ruangan penting di sana. Namun saat ia berba
Pak Suwardi meminta maaf atas perlakuan istrinya. Ia beralasan bahwa istrinya sedang kalut dan banyak beban pikiran. Ia pun meminta Davin agar segera dipindahkan ke kamar VIP. Pak Suwardi mengejar bu Haliza yang sudah berada di depan pintu ruang operasi. Wanita itu meraung dan terduduk lemas di depan pintu ruang operasi. Kali ini tak ada yang berani menegur wanita paruh baya itu karena beberapa pekerja di sana mengenalinya, berbeda dengan mereka yang bertugas di IGD. “Mah!” panggil pak Suwardi lirih. Ia pun mengelus punggung bu Haliza lembut. “Papah!” Tak disangka bahwa wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu langsung berhambur memeluk suaminya. “Pah, Zafi Pah!” ucapnya masih dengan raungan yang memekakan telinga. Bu Haliza tak begitu ambil pusing saat Zafran memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Tapi, jika kondisinya seperti ini, maka dia berpikir bisa jadi dia akan kehilangan Zafran untuk selama-lamanyaselama-lamanya, dan hal itu sangatlah ia takuti. Zafran, anak
“Ati!” panggil Fajar sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan Atira. Tak ada respon sama sekali dari Atira. Mata lentik nan indah itu tak juga merespon gerakan tangannya. Fajar menyugar rambutnya. Wanita yang ia selamatkan ternyata mengalami kebutaan. “Kang Fajar, mati lampu? Tadi saya sempat lihat cahaya sampai-sampai mata saya silau, tapi sekarang malah gelap,” keluh Atira yang membuat Fajar terdiam. “Ati, dengar! Ini sudah hampir dua minggu kamu tak sadarkan diri. Aku khawatir keluargamu mencari!” ucap Fajar segera, mengalihkan pertanyaan Atira. Atira tertunduk karena ia masih meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi menimpanya. “Aaagghhh... “ Atira merasakan sakit di kepalanya saat ia berusaha mengingat kronologi kejadian yang menimpanya. Hanya ia ingat jika dirinya sedang bersama Nirma, temannya. “Sudah... sudah! Jangan dipaksa! Kamu istirahat saja dulu!” ucap bu Nurul yang langsung membawa Atira ke dalam pelukannya. Wanita tua itu sigap dengan keadaan Atir
“Mana anak saya? Huhuhuhuhu... “ tangis Atira yang kini terdengar lebih lirih. Ia pun ambruk dipelukan bu Nurul yang sigap saat melihat Atira terlihat lemah. Fajar pun mendekati Atira yang kini lebih tenang dari sebelumnya. Di tangannya sudah siap suntikan bius yang awalnya akan ia suntikan kepada Atira. Bu Nurul menggelengkan kepalanya ke arah Fajar. Wanita itu merasa Atira masih bisa tenang dengan sendirinya, tanpa perlu disuntikkan obat bius. “Bantu bawa ke atas ranjang Mih!” pinta Fajar kepada bu Nurul. Wanita paruh baya itu pun menganggukkan kepalanya. Ia membawa Atira, memapahnya untuk segera berbaring di atas ranjang queen di kamar tamu rumah mereka. Melihat Atira yang langsung tenang dan nampak tertidur, Bu Nurul melirik ke arah jarum suntik yang dipegang oleh Fajar. Menyadari tangannya diperhatikan oleh ibunya, Fajar pun segera mengangkat jarum suntik itu ke hadapan bu Nurul. “Enggak, Mih. Masih penuh,” ucap Fajar yang membuat bu Nurul manggut-manggut. “Aku mau
Sinta terus mengamati wajah Atira dari dekat. Ia berpikir keras ketika memandanginya, mengapa perasaanyya begitu familiar melihat wajah cantik Atira? Namun, seberapa keras pun ia berpikir, ia tak menemukan jawaban dari dalam ingatannya. “Hufftt... mungkin perasaanku saja,” gumamnya sambil menjauhkan dirinya dari Atira. Atira yang merasakan ada pergerakan di dekat dirinya, segera terbangun. “Siapa itu?” tanyanya dengan waspada. Namun, ia menyadari bahwa di tangannya tertancap jarum infus. “Ini saya, Sinta. Perawat di sini. Enggak usah takut ya, mbak sudah berada di tangan orang yang tepat. Dokter Fajar dengan sukarela membantu mbak setelah bu Nurul menemukan mbak nyangkut di pinggir sungai, enggak jauh dari halaman belakang rumah.” Sinta menyadari gelagat ketakutan dari Atira sehingga ia membeberkan semuanya tanpa ia tutupi. “Nyangkut... di sungai?” tanya Atira sambil mengernyitkan keningnya. Ia berusaha mengingat sesuatu. “Iya, mbak. Memangnya mbak kenapa seb
“Hey!” lirih suara perempuan. “Kenapa Sayang?” tanya sang lelaki sedikit lebih keras. Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Yang Atira dengar hanya bisik-bisik yang tak sampai di telinga Atira apa yang mereka ucapkan. Biarlah, Atira memang sudah memejamkan matanya sedari tadi. Jadi, iapun melanjutkan aksinya sehingga kedua orang itu mengira bahwa ia tak mendengar apapun karena sedang tidur. Tak lama, terdengar suara pintu dibuka dan ditutup dengan sangat pelan. Atira tak peduli, ia pun tetap menutup matanya. Percuma saja ia membuka mata karena ia tak bisa melihat apapun, juga siapapun. Cekrekkk... Beberapa waktu berlalu, terdengar derit pintu kembali terbuka. “Eh, ada Neng Yasmin. Dari kapan di sini?” tanya bu Nurul dengan membawa harum kuah ayam kuning dari bubur yang ia bawa. “Ah, Tante. Saya baru masuk ke sini,” jawab Yasmin tanpa ragu. “Oh, neng Ati-nya udah tidur lagi,” keluh bu Nurul lirih. “Kenapa Tante?” tanya Yasmin. “Enggak, ini loh, Ati. Fajar
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.