Pak Suwardi meminta maaf atas perlakuan istrinya. Ia beralasan bahwa istrinya sedang kalut dan banyak beban pikiran. Ia pun meminta Davin agar segera dipindahkan ke kamar VIP. Pak Suwardi mengejar bu Haliza yang sudah berada di depan pintu ruang operasi. Wanita itu meraung dan terduduk lemas di depan pintu ruang operasi. Kali ini tak ada yang berani menegur wanita paruh baya itu karena beberapa pekerja di sana mengenalinya, berbeda dengan mereka yang bertugas di IGD. “Mah!” panggil pak Suwardi lirih. Ia pun mengelus punggung bu Haliza lembut. “Papah!” Tak disangka bahwa wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu langsung berhambur memeluk suaminya. “Pah, Zafi Pah!” ucapnya masih dengan raungan yang memekakan telinga. Bu Haliza tak begitu ambil pusing saat Zafran memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Tapi, jika kondisinya seperti ini, maka dia berpikir bisa jadi dia akan kehilangan Zafran untuk selama-lamanyaselama-lamanya, dan hal itu sangatlah ia takuti. Zafran, anak
“Ati!” panggil Fajar sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan Atira. Tak ada respon sama sekali dari Atira. Mata lentik nan indah itu tak juga merespon gerakan tangannya. Fajar menyugar rambutnya. Wanita yang ia selamatkan ternyata mengalami kebutaan. “Kang Fajar, mati lampu? Tadi saya sempat lihat cahaya sampai-sampai mata saya silau, tapi sekarang malah gelap,” keluh Atira yang membuat Fajar terdiam. “Ati, dengar! Ini sudah hampir dua minggu kamu tak sadarkan diri. Aku khawatir keluargamu mencari!” ucap Fajar segera, mengalihkan pertanyaan Atira. Atira tertunduk karena ia masih meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi menimpanya. “Aaagghhh... “ Atira merasakan sakit di kepalanya saat ia berusaha mengingat kronologi kejadian yang menimpanya. Hanya ia ingat jika dirinya sedang bersama Nirma, temannya. “Sudah... sudah! Jangan dipaksa! Kamu istirahat saja dulu!” ucap bu Nurul yang langsung membawa Atira ke dalam pelukannya. Wanita tua itu sigap dengan keadaan Atir
“Mana anak saya? Huhuhuhuhu... “ tangis Atira yang kini terdengar lebih lirih. Ia pun ambruk dipelukan bu Nurul yang sigap saat melihat Atira terlihat lemah. Fajar pun mendekati Atira yang kini lebih tenang dari sebelumnya. Di tangannya sudah siap suntikan bius yang awalnya akan ia suntikan kepada Atira. Bu Nurul menggelengkan kepalanya ke arah Fajar. Wanita itu merasa Atira masih bisa tenang dengan sendirinya, tanpa perlu disuntikkan obat bius. “Bantu bawa ke atas ranjang Mih!” pinta Fajar kepada bu Nurul. Wanita paruh baya itu pun menganggukkan kepalanya. Ia membawa Atira, memapahnya untuk segera berbaring di atas ranjang queen di kamar tamu rumah mereka. Melihat Atira yang langsung tenang dan nampak tertidur, Bu Nurul melirik ke arah jarum suntik yang dipegang oleh Fajar. Menyadari tangannya diperhatikan oleh ibunya, Fajar pun segera mengangkat jarum suntik itu ke hadapan bu Nurul. “Enggak, Mih. Masih penuh,” ucap Fajar yang membuat bu Nurul manggut-manggut. “Aku mau
Sinta terus mengamati wajah Atira dari dekat. Ia berpikir keras ketika memandanginya, mengapa perasaanyya begitu familiar melihat wajah cantik Atira? Namun, seberapa keras pun ia berpikir, ia tak menemukan jawaban dari dalam ingatannya. “Hufftt... mungkin perasaanku saja,” gumamnya sambil menjauhkan dirinya dari Atira. Atira yang merasakan ada pergerakan di dekat dirinya, segera terbangun. “Siapa itu?” tanyanya dengan waspada. Namun, ia menyadari bahwa di tangannya tertancap jarum infus. “Ini saya, Sinta. Perawat di sini. Enggak usah takut ya, mbak sudah berada di tangan orang yang tepat. Dokter Fajar dengan sukarela membantu mbak setelah bu Nurul menemukan mbak nyangkut di pinggir sungai, enggak jauh dari halaman belakang rumah.” Sinta menyadari gelagat ketakutan dari Atira sehingga ia membeberkan semuanya tanpa ia tutupi. “Nyangkut... di sungai?” tanya Atira sambil mengernyitkan keningnya. Ia berusaha mengingat sesuatu. “Iya, mbak. Memangnya mbak kenapa seb
“Hey!” lirih suara perempuan. “Kenapa Sayang?” tanya sang lelaki sedikit lebih keras. Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Yang Atira dengar hanya bisik-bisik yang tak sampai di telinga Atira apa yang mereka ucapkan. Biarlah, Atira memang sudah memejamkan matanya sedari tadi. Jadi, iapun melanjutkan aksinya sehingga kedua orang itu mengira bahwa ia tak mendengar apapun karena sedang tidur. Tak lama, terdengar suara pintu dibuka dan ditutup dengan sangat pelan. Atira tak peduli, ia pun tetap menutup matanya. Percuma saja ia membuka mata karena ia tak bisa melihat apapun, juga siapapun. Cekrekkk... Beberapa waktu berlalu, terdengar derit pintu kembali terbuka. “Eh, ada Neng Yasmin. Dari kapan di sini?” tanya bu Nurul dengan membawa harum kuah ayam kuning dari bubur yang ia bawa. “Ah, Tante. Saya baru masuk ke sini,” jawab Yasmin tanpa ragu. “Oh, neng Ati-nya udah tidur lagi,” keluh bu Nurul lirih. “Kenapa Tante?” tanya Yasmin. “Enggak, ini loh, Ati. Fajar
Atira tak ingin mengambil pusing dengan urusan orang lain. Mau Fajar berpura-pura agar tak ketahuan ibunya pun, ia tak ingin terlalu ambil pusing. Urusan dirinya sendiri pun masih mengantri banyak untuk diselesaikan. Yang paling penting saat ini adalah siapa dirinya. “Ah, iya. Maaf Sayang, tadi aku penasaran sama pasien kamu. Aku kira ada di klinik, tapi katanya di sini. Jadi aku masuk aja. Enggak lama, datang Tante,” kilahnya cukup panjang. “Maaf ya, Sayang. Aku ninggalin kamu tadi,” ucapnya serius. “It's okay. Aku juga kan harus terbiasa di sini. Iya kan, Tan?” goda Yasmin sambil mengangkat alisnya ke arah bu Nurul. “Iya,” senyum bu Nurul. “Ya sudah. Jadi, aku kenalin aja sama Ati, ya!” ucap Fajar sambil ikut duduk di dekat bu Nurul. “Hai, Ati! Aku dokter Yasmin. Kamu dengar jelas kan apa yang aku bilang?” tanya Yasmin dengan senyum terkembang. Namun, entah mengapa di telinga Atira, semua ucapan Yasmin seolah terbalut sarkastik yang menusuk di hati. “Hai, Dok. Aku deng
Pak Suwardi menoleh ke belakang, tepatnya ke arah teriakan seorang wanita. Ponselnya masih ia tempelkan di depan telinga kanannya. Taka ada yang menarik, hanya seorang wanita yang mungkin baru kehilangan anggota keluarga, itu pikirnya sehingga ia terus melangkahkan kakinya mengikuti brankar pasien. Zafran dibawa ke ruang rawat vvip, pelayanan terbaik yang harus ia terima karena bu Haliza merupakan pemilik saham terbesar kedua di rumah sakit ini. “Davin, Daffa!” panggil pak Suwardi saat ia mendapati kedua bocah itu berada di dalam ruang rawat. “Opa!” panggil mereka sambil berlari untuk memeluk pak Suwardi. “Kok kalian boleh masuk ke sini?” tanya pak Suwardi sambil mengelus-elus pucuk kepala kedua bocah itu secara bergantian. “Enggak tahu, tadi Oma yang bawa ke sini,” jawab Davin yang diangguki oleh Daffa.“Papah!” panggil Davin yang kini beralih ke dekat brankar Zafran yang sudah terpasang rapi. Daffa pun segera melepaskan rangkumannya ke pinggang pak Suwardi, kemudian i
“Mah! Kenapa... Ahhh!” geram pak Suwardi karena tingkah istrinya yang tak bisa menahan ucapan di depan anak kecil. “Huhuhuhuhu... “ tangis kedua bocah itu pecah sambil berpelukan. “Sudah... sudah! Enggak akan terjadi apa-apa sama Nenek kalian!” ucap pak Suwardi sambil mensejajarkan tingginya dengan Daffa, kemudian ia membawa kedua bocah itu ke dalam dekapannya. “Jadi, gimana nasib kita Opa?” tanya Davin di tengah isak tangisnya. “Gimana Nenek? Kasihan, udah tua. Huhuhuhuhu... “ tangisnya semakin pecah. “Apa Opa juga mau pergi ninggalin kita?” tanya Daffa. Pertanyaan itu sungguh diluar ekspektasi karena keluar dari mulut kecil anak usia TK. “Enggak sayang, Opa enggak bakalan ninggalin kalian. Kalian berdua cucu opa!” jawab pak Suwardi yang ikut meluruhkan air matanya. “Opa bakal ninggalin kalian, karena kalau enggak, opa enggak bakalan ketemu sama oma lagi!” ucap bu Haliza tiba-tiba. “Mah!” sentak pak Suwardi geram dengan tingkah bu Haliza. Mendengar bentakan pak Suward