“Mah! Kenapa... Ahhh!” geram pak Suwardi karena tingkah istrinya yang tak bisa menahan ucapan di depan anak kecil. “Huhuhuhuhu... “ tangis kedua bocah itu pecah sambil berpelukan. “Sudah... sudah! Enggak akan terjadi apa-apa sama Nenek kalian!” ucap pak Suwardi sambil mensejajarkan tingginya dengan Daffa, kemudian ia membawa kedua bocah itu ke dalam dekapannya. “Jadi, gimana nasib kita Opa?” tanya Davin di tengah isak tangisnya. “Gimana Nenek? Kasihan, udah tua. Huhuhuhuhu... “ tangisnya semakin pecah. “Apa Opa juga mau pergi ninggalin kita?” tanya Daffa. Pertanyaan itu sungguh diluar ekspektasi karena keluar dari mulut kecil anak usia TK. “Enggak sayang, Opa enggak bakalan ninggalin kalian. Kalian berdua cucu opa!” jawab pak Suwardi yang ikut meluruhkan air matanya. “Opa bakal ninggalin kalian, karena kalau enggak, opa enggak bakalan ketemu sama oma lagi!” ucap bu Haliza tiba-tiba. “Mah!” sentak pak Suwardi geram dengan tingkah bu Haliza. Mendengar bentakan pak Suward
Beberapa suster segera masuk ke ruangan Zafran. Mereka pun segera melakukan pemeriksaan sesuai SOP. “Alhamdulillah Bu, meskipun pasien belum sepenuhnya sadar, tapi ini sudah menunjukkan tanda-tanda baik,” ucap suster sambil tersenyum. “Mana dokternya?!” sentak bu Haliza yang merasa tak puas dengan ucapan suster. Ia sangat khawatir karena Zafran belum membuka matanya, meskipun ia sudah mengigau dan menggerakkan kepala serta jari jemarinya. “Dokter akan tiba satu jam lagi, Bu! Harap tenang!” tukas sang suster. “Tenang katamu, hah? Saya bisa membuatmu dipecat dari pekerjaan ini kalau kerjamu enggak becus kaya gini!” bentaknya lagi. Ia betul-betul tak bisa berpikir jernih ketika berhadapan dengan masalah Zafran. “Bu...!” ucap suster akan membela diri, namun ia ditenangkan oleh oleh suster satunya lagi dengan memberikan kode mata agar ia tak melawan. “Apa? Hah? Berani nantang saya?” sarkas bu Haliza seraya mengayunkan tangannya hendak memukul suster, namun urung. “Kami akan s
“Emmmhhh, pelik ya! Kalau memungkinkan sih, demi kebaikan pasien istrinya tadi dihadirkan dulu, urusan lain belakangan. Tapi kalau tidak bisa, tunggu nanti dokter Andri saja, Bu. Bagaimana menurut beliau,” ucap dokter cantik itu yang kemudian langsung pamit setelah pembicaraan terakhir mereka. Bu Haliza mondar-mandir di ruangan itu, ia menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan. Jujur saja, ia benar-benar takut jika Zafran dekat dengan Atira lagi, akan ada kesialan-kesialan lain. Tapi jika tidak, akankan anaknya tak berniat bangun dari tidurnya? Di saat ia sedang berpikir keras, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Di sana ada pak Suwardi dan kedua mantan besannya. “Kenapa, Mah? Tadi papah lihat dokter baru keluar dari sini!” tanya pak Suwardi langsung. “Ah, pemeriksaan biasa,” jawabnya sambil memalingkan wajah. “Mah, ini ada pak Syahid,” ucap pak Suwardi membuat bu Haliza mengalihkan atensinya. “Ah, iya. Bagaimana Helen? Apa dia membusuk di p
“Apa sudah datang dokter Andri nya?” tanya bu Haliza berusaha mengalihkan pembicaraan. “Mohon maaf Bu, pas datang dokter Andri langsung melakukan tindakan sama pasien. Tadi ada korban laka lantas yang bagian kepalanya terbentur keras dan harus segera ditolong. Tapi, tadi dokter Andri sempat komunikasi dengan dokter Lastri, beliau meminta dokter Yasmin untuk memeriksa pak Zafran,” ucap suster panjang lebar. “Memangnya anak saya tidak lebih penting, hah?” sarkas bu Haliza. “Mohon maaf Bu!”“Mah, sudahlah jangan diperbesar. Orang korban laka lantas memang harus diprioritaskan. Sama seperti Zafran saat tertembak kemarin,” ucap pak Suwardi sedikit ketus. Lelaki paruh baya itu merasa tak lagi mengenali wanita yang sudah berpuluh tahun menemaninya itu. Sungguh, tak biasanya bu Haliza bersikap demikian. “Jadi, kapan dokter Yasmin datang?” tanya pak Suwardi lagi. “Tadi sudah ada di sini, kebetulan beliau ada penanganan pasien, jadi k
Atira berteriak menahan sakit yang sangat dari kepalanya. Ia tak mengerti, mengapa ia tiba-tiba merasakan sakit tanpa sebab. Ia hanya mendengar suara brankar didorong dan berisik orang-orang yang berbicara langsung maupun lewat telepon. Beberapa perawat berlari memberikan pertolongannya kepada Atira, sehingga ia pun dibawa ke IGD untuk diberikan tindakan. Namun, saat Atira sudah merasa agak tenang karena diberikan obat antinyeri dengan dosis yang cukup tinggi dan memiliki efek rasa ngantuk, samar-samar ia melihat seseorang masuk ke bilik tempat brankarnya berada. “Atira, jangan pernah kamu ganggu kehidupan anak saya lagi. Sudah cukup kamu membuatnya menderita. Pergilah, cari kebahagiaanmu sendiri tanpa melibatkan Zafran didalamnya! Bawa juga kedua anakmu, Davin dan Daffa! Aku memang sudah menyayangi mereka, tapi Zafran lebih berharga bagiku. Lagipula, Zafran tak mencarimu sekarang, ia bahkan sedang berbahagia dengan wanita lain. Pergi sejauh mungkin, sejauh yang kau bisa!” ucap
Atira mendengar keributan di luar. Ia pun segera membuka matanya perlahan. “Silau!” ucapnya pelan sambil mengerutkan keningnya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata sampai akhirnya kembali gelap yang ia lihat. “Hemmmh, aku hampir lupa kalau aku hanya melihat gelap,” ucap Atira pelan. Ia pun menghembuskan nafasnya, merasa bahwa dirinya kembali tersadar dengan keadaan saat ini. Atira duduk perlahan. Ia meraba kasur yang ia tiduri. “Ini kok, bukan rumah sakit,” tukasnya sambil terus meraba-raba kasur tempat tadi ia terbaring. “Rumah dokter Fajar... kah?” tanyanya bermonolog. Atira pun bangkit dari tempat duduknya dan mulai berjalan perlahan, namun ia tersungkur karena ia tak menyadari bahwa tangannya terpasang selang infus. Bahkan, ia menubruk tiang infus yang bertengger di samping ranjang queen di kamar tamu rumah dokter Fajar. Brakkk... “Aww, sakit!” keluh Atira sambil memegang pergelangan tangannya yang kini terlepas dari jar um infusnya. “Ya Allah, air,” keluhnya sambil menci
Atira terpaku, seolah ia hanya berupa mannequin yang dikagumi seorang customer karena kecantikannya dalam mengenakan baju yang sedang diincar. Pak Syahid mengikuti istrinya, kemudian meraih bu Mira dan Atira ke dalam satu pelukannya. Ia pun tergugu tanpa henti. “Maaf, maaf ayah karena baru tahu hal ini. Maaf!” kembali ia terisak dengan sangat lemah. Tanpa sadar, Salim yang memiliki perawakan seperti atlet binaragawan pun menitikkan air matanya. Bahkan, bu Nurul pun ikut haru dan menangis sampai bersuara. Sinta yang kembali lagi dengan nampan kesehatan pun hanya bisa terbengong saat melihat pemandangan di hadapannya, sebelum akhirnya ia sadar bahwa pasien harus dibantu menghentikan darah yang mungkin masih menetes keluar. “Maaf, tapi saya harus perban dulu luka pasiennya!” ujar Sinta sambil berdiri tepat di belakang pak Syahid. “Ah, ya. Silakan!” kata Pak Syahid Seraya menyingkir dari dekat Athira. Begitupun dengan bu Mira, ia segera menyingkir dan memberi ruang untuk Sint
Mengalirlah cerita dari pak Syahid dan bu Mira. Mereka menceritakan siapa mereka sebenarnya bagi Atira. Bagaimana awal mulai mereka terpaku saat menatap Atira sebagai calon istri Zafran. Tak ada sakit hati atau kekecewaan saat Zafran memilih Atira daripada Helen yang waktu itu mereka kira sebagai anak kandung. Pertemuan selanjutnya setelah mereka tahu kebusukan Helen yang diawali saat wanita itu berusaha mencelakai Atira, sampai akhirnya mereka melakukan tes DNA dengan Atira secara sembunyi-sembunyi. Atira Diam terpaku. Ia belum menanggapi ucapan demi ucapan dari Pak Syahid dan bu Mira. Ya, tanggapannya cukup datar. Jujur saja, hatinya tak merasakan apapun karena dia belum bisa mengingat sesuatupun. Atau, ia memang tidak menyimpan memori apapun dengan kedua pasangan paruh baya itu, sehingga tak ada yang terselip sedikitpun. Untuk membuat saraf kepalanya kesakitan sekalipun, tidak. “Mungkin, karena ini pertemuan pertamamu sebagai orang tua dan anak yang membuat kamu tidak merasakan