Atira mendengar keributan di luar. Ia pun segera membuka matanya perlahan. “Silau!” ucapnya pelan sambil mengerutkan keningnya. Beberapa kali ia mengerjapkan mata sampai akhirnya kembali gelap yang ia lihat. “Hemmmh, aku hampir lupa kalau aku hanya melihat gelap,” ucap Atira pelan. Ia pun menghembuskan nafasnya, merasa bahwa dirinya kembali tersadar dengan keadaan saat ini. Atira duduk perlahan. Ia meraba kasur yang ia tiduri. “Ini kok, bukan rumah sakit,” tukasnya sambil terus meraba-raba kasur tempat tadi ia terbaring. “Rumah dokter Fajar... kah?” tanyanya bermonolog. Atira pun bangkit dari tempat duduknya dan mulai berjalan perlahan, namun ia tersungkur karena ia tak menyadari bahwa tangannya terpasang selang infus. Bahkan, ia menubruk tiang infus yang bertengger di samping ranjang queen di kamar tamu rumah dokter Fajar. Brakkk... “Aww, sakit!” keluh Atira sambil memegang pergelangan tangannya yang kini terlepas dari jar um infusnya. “Ya Allah, air,” keluhnya sambil menci
Atira terpaku, seolah ia hanya berupa mannequin yang dikagumi seorang customer karena kecantikannya dalam mengenakan baju yang sedang diincar. Pak Syahid mengikuti istrinya, kemudian meraih bu Mira dan Atira ke dalam satu pelukannya. Ia pun tergugu tanpa henti. “Maaf, maaf ayah karena baru tahu hal ini. Maaf!” kembali ia terisak dengan sangat lemah. Tanpa sadar, Salim yang memiliki perawakan seperti atlet binaragawan pun menitikkan air matanya. Bahkan, bu Nurul pun ikut haru dan menangis sampai bersuara. Sinta yang kembali lagi dengan nampan kesehatan pun hanya bisa terbengong saat melihat pemandangan di hadapannya, sebelum akhirnya ia sadar bahwa pasien harus dibantu menghentikan darah yang mungkin masih menetes keluar. “Maaf, tapi saya harus perban dulu luka pasiennya!” ujar Sinta sambil berdiri tepat di belakang pak Syahid. “Ah, ya. Silakan!” kata Pak Syahid Seraya menyingkir dari dekat Athira. Begitupun dengan bu Mira, ia segera menyingkir dan memberi ruang untuk Sint
Mengalirlah cerita dari pak Syahid dan bu Mira. Mereka menceritakan siapa mereka sebenarnya bagi Atira. Bagaimana awal mulai mereka terpaku saat menatap Atira sebagai calon istri Zafran. Tak ada sakit hati atau kekecewaan saat Zafran memilih Atira daripada Helen yang waktu itu mereka kira sebagai anak kandung. Pertemuan selanjutnya setelah mereka tahu kebusukan Helen yang diawali saat wanita itu berusaha mencelakai Atira, sampai akhirnya mereka melakukan tes DNA dengan Atira secara sembunyi-sembunyi. Atira Diam terpaku. Ia belum menanggapi ucapan demi ucapan dari Pak Syahid dan bu Mira. Ya, tanggapannya cukup datar. Jujur saja, hatinya tak merasakan apapun karena dia belum bisa mengingat sesuatupun. Atau, ia memang tidak menyimpan memori apapun dengan kedua pasangan paruh baya itu, sehingga tak ada yang terselip sedikitpun. Untuk membuat saraf kepalanya kesakitan sekalipun, tidak. “Mungkin, karena ini pertemuan pertamamu sebagai orang tua dan anak yang membuat kamu tidak merasakan
“Tolong...tolong!”Terdengar suara teriakan wanita yang meminta pertolongan. Semua yang ada di kamar itu langsung mencari sumber suara, sampai-sampai Atira pun sedikit melupakan tentang Zafran sesaat. “Ada apa?” mereka pun segera berlari meninggalkan Athira yang tinggal berdua dengan bu Mira. “Duduk dulu, Sayang! takutnya ada apa-apa,” pinta bu Mira sambil merengkuh kedua pundak Atira. “Enggak Bu, saya mau ketemu suami saya, ...tapi,” ucap Atira yang terhenti. “Tapi apa, Tira?” tanya bu Mira. “Tapi apa?” tanya bu Mira sambil mengerutkan keningnya. “Apa dia mau sama saya, kalau tahu saya enggak bisa melihat begini?” kilah Atira yang kemudian terdiam. “Kita akan melakukan pengobatan ke luar negeri, Sayang! Kita cari pengobatan terbaik. Kita bantu dulu suamimu untuk bangun, setelah itu kita pergi. Kita usahakan yang terbaik untuk kesembuhanmu,” ucap bu Mira sambil membawa Atira ke dalam pelukannya. Baru sekarang Atira merasakan kasih
“Mas, maafin aku, Mas!” pinta Yasmin yang kini memeluk paksa Fajar. “Jangan sentuh aku lagi! Kita tunangan baik-baik, berpisah juga baik-baik, meskipun caranya tak baik. Tenang saja, nanti aku akan datang ke rumah orang tuamu untuk mengembalikanmu!” ucap Fajar tegas sambil mendorong Yasmin agak kasar. Bayangan saat Yasmin memagut bibir dengan Heru barusan membuatnya jijik dan tak berniat sedikit pun untuk berbalik. Bagaimana bisa? Wanita yang enam bulan lagi akan menjadi istrinya itu sedang bercumbu dengan Heru, karyawan magang di klinik Fajar. Usianya saja masih sembilan belas, baru lulus tahun ini dari SMK kesehatan. Apalagi, tak sekalipun ia pernah menyentuh Yasmin. “Fajar, ada apa ini?” tanya bu Nurul dengan wajah yang terlihat shock. Yasmin menjatuhkan dirinya di lantai sambil menangis pilu. “Ayo, Bu. Maaf Pak, jadi menonton hal ini,” ucap Fajar kepada pak Syahid. Pak Syahid dan yang lainnya tersenyum, kemudian mereka melangkah lebih dulu ke arah ruang tamu. Fajar berba
“Setahu Ayah, ibu mertuamu tak jahat. Hanya saja, setelah Zafran tertembak, dia jadi sedikit berubah,” ucap pak Syahid membuat Atira nampak berpikir. “Ayo, Nak! Kita harus secepatnya ke rumah sakit, bertemu Davin dan Daffa serta kita harus segera ke luar negri untuk pengobatanmu,” ungkap bu Mira sambil meraih tangan Atira. “Ah, iya,” ucap Atira saat ia mengingat nama Davin dan Daffa. “Tunggu! Maaf, kembali ke pertanyaan awal saya tadi. Apa buktinya jika kalian memang orang tua Ati?” tanya Fajar dengan mata menelisik. “Setahu saya, ibunya Atira bernama Asih. Wajahnya juga saya tahu. Bukan anda!” ucap Fajar tegas. Ia pun memasang posisi waspada menghadapi beberapa tamu di hadapannya. “Loh, kok tahu? Kamu dapat kabar darimana, Fajar?” tanya bu Nurul yang baru saja tahu hal itu dari cerita pak Syahid tadi. Fajar terpaksa mengungkapkan apa yang ia ketahui tentang Atira demi menjaga wanita itu dari orang-orang yang berniat jahat. “Fajar! Darimana kau tahu hal itu, Nak?” tanya bu
“Dimana sekarang menantuku?” tanya pak Suwardi dengan mata berkaca-kaca. “Dia ada di sini. Dengan kerendahan hatinya, ia bersedia mengunjungi suaminya. Hanya saja, saya yang tak mau,” ucap pak Syahid dengan tegas. “Tolonglah, Pak!” saya juga ingin bertemu dengan Atira. Saya ingin tahu bagaimana keadaannya, apa dia baik-baik saja?” mohon pak Suwardi dengan suara yang sangat memelas.“Mohon maaf Pak Suwardi, bukannya saya tidak mau membantu Zafran dalam penyembuhannya, tapi Atira juga, sesungguhnya butuh pertolongan, itu yang pertama. Yang kedua, saya nggak mau mentalnya lebih jatuh lagi ketika mendapatkan penolakan dan kebencian dari ibu mertuanya,” ucap pak Syahid beralasan. “Kita bisa pertemukan mereka ketika istri saya nggak ada. Saya janji, saya akan minta istri saya pergi dulu tanpa memberitahunya tentang rencana kita mempertemukan Zafran dan Atira. Mereka saling mencintai Pak, jangan kita pisahkan mereka!” ucap pak Suwardi dengan tegas. Memang jawaban itulah yang diharapk
“Kita tunggu saja, mereka sedang menuju kemari,” ucap pak Syahid sambil duduk di atas sofa berhadapan dengan brankar Zafran. Matanya terus menatap layar monitor holter yang menuliskan garis kusut, pergerakan jantung Zafran. Cekrekk... pintu pun terbuka. Pak Suwardi segera berdiri dan menghampiri pintu tersebut. Namun, saat ia melihat ke arah orang yang datang, ternyata bukan Atira yang sedari tadi ia nantikan kehadirannya. Yang datang adalah Rudi bersama Davin dan Daffa. “Ah, cucu Opa. Sini sayang, sini!” pinta Pak Suwardi sambil memeluk Davin dan Daffa bergantian. Kali ini kedua bocah itu tidak langsung berhambur ke pelukan pak Suwardi. Bahkan, ketika dipeluk pun seolah mereka segan. Mereka berdua masih trauma dengan penolakan yang dilakukan oleh Bu Haliza. Pak Suwardi segera duduk dengan bertumpu pada kedua lututnya. Ia mensejajarkan diri dengan tinggi kedua cucunya itu. “Kenapa? Ada apa?” tanya Pak Suwardi sambil mengelus kedua pucuk kepala cucunya.