Sinta terus mengamati wajah Atira dari dekat. Ia berpikir keras ketika memandanginya, mengapa perasaanyya begitu familiar melihat wajah cantik Atira? Namun, seberapa keras pun ia berpikir, ia tak menemukan jawaban dari dalam ingatannya. “Hufftt... mungkin perasaanku saja,” gumamnya sambil menjauhkan dirinya dari Atira. Atira yang merasakan ada pergerakan di dekat dirinya, segera terbangun. “Siapa itu?” tanyanya dengan waspada. Namun, ia menyadari bahwa di tangannya tertancap jarum infus. “Ini saya, Sinta. Perawat di sini. Enggak usah takut ya, mbak sudah berada di tangan orang yang tepat. Dokter Fajar dengan sukarela membantu mbak setelah bu Nurul menemukan mbak nyangkut di pinggir sungai, enggak jauh dari halaman belakang rumah.” Sinta menyadari gelagat ketakutan dari Atira sehingga ia membeberkan semuanya tanpa ia tutupi. “Nyangkut... di sungai?” tanya Atira sambil mengernyitkan keningnya. Ia berusaha mengingat sesuatu. “Iya, mbak. Memangnya mbak kenapa seb
“Hey!” lirih suara perempuan. “Kenapa Sayang?” tanya sang lelaki sedikit lebih keras. Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Yang Atira dengar hanya bisik-bisik yang tak sampai di telinga Atira apa yang mereka ucapkan. Biarlah, Atira memang sudah memejamkan matanya sedari tadi. Jadi, iapun melanjutkan aksinya sehingga kedua orang itu mengira bahwa ia tak mendengar apapun karena sedang tidur. Tak lama, terdengar suara pintu dibuka dan ditutup dengan sangat pelan. Atira tak peduli, ia pun tetap menutup matanya. Percuma saja ia membuka mata karena ia tak bisa melihat apapun, juga siapapun. Cekrekkk... Beberapa waktu berlalu, terdengar derit pintu kembali terbuka. “Eh, ada Neng Yasmin. Dari kapan di sini?” tanya bu Nurul dengan membawa harum kuah ayam kuning dari bubur yang ia bawa. “Ah, Tante. Saya baru masuk ke sini,” jawab Yasmin tanpa ragu. “Oh, neng Ati-nya udah tidur lagi,” keluh bu Nurul lirih. “Kenapa Tante?” tanya Yasmin. “Enggak, ini loh, Ati. Fajar
Atira tak ingin mengambil pusing dengan urusan orang lain. Mau Fajar berpura-pura agar tak ketahuan ibunya pun, ia tak ingin terlalu ambil pusing. Urusan dirinya sendiri pun masih mengantri banyak untuk diselesaikan. Yang paling penting saat ini adalah siapa dirinya. “Ah, iya. Maaf Sayang, tadi aku penasaran sama pasien kamu. Aku kira ada di klinik, tapi katanya di sini. Jadi aku masuk aja. Enggak lama, datang Tante,” kilahnya cukup panjang. “Maaf ya, Sayang. Aku ninggalin kamu tadi,” ucapnya serius. “It's okay. Aku juga kan harus terbiasa di sini. Iya kan, Tan?” goda Yasmin sambil mengangkat alisnya ke arah bu Nurul. “Iya,” senyum bu Nurul. “Ya sudah. Jadi, aku kenalin aja sama Ati, ya!” ucap Fajar sambil ikut duduk di dekat bu Nurul. “Hai, Ati! Aku dokter Yasmin. Kamu dengar jelas kan apa yang aku bilang?” tanya Yasmin dengan senyum terkembang. Namun, entah mengapa di telinga Atira, semua ucapan Yasmin seolah terbalut sarkastik yang menusuk di hati. “Hai, Dok. Aku deng
Pak Suwardi menoleh ke belakang, tepatnya ke arah teriakan seorang wanita. Ponselnya masih ia tempelkan di depan telinga kanannya. Taka ada yang menarik, hanya seorang wanita yang mungkin baru kehilangan anggota keluarga, itu pikirnya sehingga ia terus melangkahkan kakinya mengikuti brankar pasien. Zafran dibawa ke ruang rawat vvip, pelayanan terbaik yang harus ia terima karena bu Haliza merupakan pemilik saham terbesar kedua di rumah sakit ini. “Davin, Daffa!” panggil pak Suwardi saat ia mendapati kedua bocah itu berada di dalam ruang rawat. “Opa!” panggil mereka sambil berlari untuk memeluk pak Suwardi. “Kok kalian boleh masuk ke sini?” tanya pak Suwardi sambil mengelus-elus pucuk kepala kedua bocah itu secara bergantian. “Enggak tahu, tadi Oma yang bawa ke sini,” jawab Davin yang diangguki oleh Daffa.“Papah!” panggil Davin yang kini beralih ke dekat brankar Zafran yang sudah terpasang rapi. Daffa pun segera melepaskan rangkumannya ke pinggang pak Suwardi, kemudian i
“Mah! Kenapa... Ahhh!” geram pak Suwardi karena tingkah istrinya yang tak bisa menahan ucapan di depan anak kecil. “Huhuhuhuhu... “ tangis kedua bocah itu pecah sambil berpelukan. “Sudah... sudah! Enggak akan terjadi apa-apa sama Nenek kalian!” ucap pak Suwardi sambil mensejajarkan tingginya dengan Daffa, kemudian ia membawa kedua bocah itu ke dalam dekapannya. “Jadi, gimana nasib kita Opa?” tanya Davin di tengah isak tangisnya. “Gimana Nenek? Kasihan, udah tua. Huhuhuhuhu... “ tangisnya semakin pecah. “Apa Opa juga mau pergi ninggalin kita?” tanya Daffa. Pertanyaan itu sungguh diluar ekspektasi karena keluar dari mulut kecil anak usia TK. “Enggak sayang, Opa enggak bakalan ninggalin kalian. Kalian berdua cucu opa!” jawab pak Suwardi yang ikut meluruhkan air matanya. “Opa bakal ninggalin kalian, karena kalau enggak, opa enggak bakalan ketemu sama oma lagi!” ucap bu Haliza tiba-tiba. “Mah!” sentak pak Suwardi geram dengan tingkah bu Haliza. Mendengar bentakan pak Suward
Beberapa suster segera masuk ke ruangan Zafran. Mereka pun segera melakukan pemeriksaan sesuai SOP. “Alhamdulillah Bu, meskipun pasien belum sepenuhnya sadar, tapi ini sudah menunjukkan tanda-tanda baik,” ucap suster sambil tersenyum. “Mana dokternya?!” sentak bu Haliza yang merasa tak puas dengan ucapan suster. Ia sangat khawatir karena Zafran belum membuka matanya, meskipun ia sudah mengigau dan menggerakkan kepala serta jari jemarinya. “Dokter akan tiba satu jam lagi, Bu! Harap tenang!” tukas sang suster. “Tenang katamu, hah? Saya bisa membuatmu dipecat dari pekerjaan ini kalau kerjamu enggak becus kaya gini!” bentaknya lagi. Ia betul-betul tak bisa berpikir jernih ketika berhadapan dengan masalah Zafran. “Bu...!” ucap suster akan membela diri, namun ia ditenangkan oleh oleh suster satunya lagi dengan memberikan kode mata agar ia tak melawan. “Apa? Hah? Berani nantang saya?” sarkas bu Haliza seraya mengayunkan tangannya hendak memukul suster, namun urung. “Kami akan s
“Emmmhhh, pelik ya! Kalau memungkinkan sih, demi kebaikan pasien istrinya tadi dihadirkan dulu, urusan lain belakangan. Tapi kalau tidak bisa, tunggu nanti dokter Andri saja, Bu. Bagaimana menurut beliau,” ucap dokter cantik itu yang kemudian langsung pamit setelah pembicaraan terakhir mereka. Bu Haliza mondar-mandir di ruangan itu, ia menimbang-nimbang apa yang harus ia lakukan. Jujur saja, ia benar-benar takut jika Zafran dekat dengan Atira lagi, akan ada kesialan-kesialan lain. Tapi jika tidak, akankan anaknya tak berniat bangun dari tidurnya? Di saat ia sedang berpikir keras, pintu ruangan terbuka dengan tiba-tiba. Di sana ada pak Suwardi dan kedua mantan besannya. “Kenapa, Mah? Tadi papah lihat dokter baru keluar dari sini!” tanya pak Suwardi langsung. “Ah, pemeriksaan biasa,” jawabnya sambil memalingkan wajah. “Mah, ini ada pak Syahid,” ucap pak Suwardi membuat bu Haliza mengalihkan atensinya. “Ah, iya. Bagaimana Helen? Apa dia membusuk di p
“Apa sudah datang dokter Andri nya?” tanya bu Haliza berusaha mengalihkan pembicaraan. “Mohon maaf Bu, pas datang dokter Andri langsung melakukan tindakan sama pasien. Tadi ada korban laka lantas yang bagian kepalanya terbentur keras dan harus segera ditolong. Tapi, tadi dokter Andri sempat komunikasi dengan dokter Lastri, beliau meminta dokter Yasmin untuk memeriksa pak Zafran,” ucap suster panjang lebar. “Memangnya anak saya tidak lebih penting, hah?” sarkas bu Haliza. “Mohon maaf Bu!”“Mah, sudahlah jangan diperbesar. Orang korban laka lantas memang harus diprioritaskan. Sama seperti Zafran saat tertembak kemarin,” ucap pak Suwardi sedikit ketus. Lelaki paruh baya itu merasa tak lagi mengenali wanita yang sudah berpuluh tahun menemaninya itu. Sungguh, tak biasanya bu Haliza bersikap demikian. “Jadi, kapan dokter Yasmin datang?” tanya pak Suwardi lagi. “Tadi sudah ada di sini, kebetulan beliau ada penanganan pasien, jadi k
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.