“Ada apa?” teriak bu Haliza sambil menghampiri pak Rudi. Namun, lelaki itu segera masuk ke kamar mandi.
“Astaghfirullah!” ucap bu Haliza saat melihat kondisi mengenaskan dari bu Retno. Bahkan, lantai kamar mandi pun sudah berubah warna menjadi merah.“Masih ada, Bu!” ucap pak Rudi setelah ia memeriksa nafas bu Retno.“Cepat! Bawa ke rumah sakit!” titah bu Haliza dengan panik.Pak Rudi segera mengangkat tubuh tak berdaya bu Retno. Ia pun melewati bu Haliza dengan segera. Bu Retno mengekorinya di belakang tanpa berbicara sepatah katapun.“Bu, sebaiknya ibu di rumah saja sama anak-anak. Masalah bu Retno, biar Bagus yang handle!” ucap pak Rudi setelah meletakkan bu Retno di kursi belakang.“Tapi, Bagus, dia bisa handle?” tanya bu Haliza bingung dengan keputusan apa yang harus ia ambil. Jika saja tidak ada anak-anak, dengan yakin ia akan menemani bu Retno sampai ke rumah sakit. Apalagi, ia butuh wanita paruh baya itu agar tetap hidup.“Bagus, jag“Davin!” seru bu Haliza panik. Ia tak mengetahui jika Davin memiliki trauma tersendiri saat ia pernah diculik. Ya, Davin pernah diculik tepat di hari yang sama saat Atira ditalak Bayu, juga hari yang sama saat Atira bertemu lagi dengan Zafran. Bu Haliza melonggarkan baju yang dipakai Davin, kemudian ia berusaha memberi Davin minum air putih. Ia cukup takut dan panik karena tidak pernah menghadapi orang tremor, bahkan dia pun tak pernah tahu bagaimana cara mengatasi orang yang mengalami tremor. “Daffa, kakak Davin pernah begini?” tanya bu Haliza sambil menoleh ke arah Daffa. Anak lelaki itu nampak ketakutan dan hanya berdiri mematung di belakang bu Haliza. Tentunya ia merasa sangat bersalah karena telah membangkitkan penyebab tremor Davin. “Sudah! Kamu jangan takut begitu! Oma tidak marah sama kamu, tapi kita harus secepatnya mencari bantuan,” ungkap bu Haliza yang masih tidak mendapatkan respon dari Daffa. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya bu Haliza memutuskan untuk tet
Pak Suwardi masih merasakan jika tangannya bergetar. Ia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada anak semata wayangnya. “Zafi, maafin Papah!” ucapnya lirih sambil berjalan limbung menuju ruang IGD. Sesampainya di depan bilik yang tadi ditempati oleh Zafran, pak Suwardi hanya menemukan petugas kebersihan yang sedang membersihkan brankar tersebut. “Pasiennya mana?” tanyanya panik. Ia teringat dengan tanda tangan yang ia bubuhkan barusan. Apakah Zafran sudah tak terselamatkan Sehingga pihak rumah sakit memintanya menandatangani surat pernyataan untuk tak menuntut apapun terhadap mereka? Pikirannya benar-benar kalut, bahkan ia lupa bahwa istrinya memiliki seperempat saham rumah sakit tersebut. “Dibawa ke ruang operasi, Pak!” jawab lelaki yang bertugas membersihkan brankar dan beberapa bercak darah di sana. “Ah, ya,” jawab pak Suwardi yang langsung tahu kemana kakinya harus melangkah. Sebenarnya ia tahu letak dan posisi ruangan-ruangan penting di sana. Namun saat ia berba
Pak Suwardi meminta maaf atas perlakuan istrinya. Ia beralasan bahwa istrinya sedang kalut dan banyak beban pikiran. Ia pun meminta Davin agar segera dipindahkan ke kamar VIP. Pak Suwardi mengejar bu Haliza yang sudah berada di depan pintu ruang operasi. Wanita itu meraung dan terduduk lemas di depan pintu ruang operasi. Kali ini tak ada yang berani menegur wanita paruh baya itu karena beberapa pekerja di sana mengenalinya, berbeda dengan mereka yang bertugas di IGD. “Mah!” panggil pak Suwardi lirih. Ia pun mengelus punggung bu Haliza lembut. “Papah!” Tak disangka bahwa wanita paruh baya yang masih sangat cantik itu langsung berhambur memeluk suaminya. “Pah, Zafi Pah!” ucapnya masih dengan raungan yang memekakan telinga. Bu Haliza tak begitu ambil pusing saat Zafran memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Tapi, jika kondisinya seperti ini, maka dia berpikir bisa jadi dia akan kehilangan Zafran untuk selama-lamanyaselama-lamanya, dan hal itu sangatlah ia takuti. Zafran, anak
“Ati!” panggil Fajar sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan Atira. Tak ada respon sama sekali dari Atira. Mata lentik nan indah itu tak juga merespon gerakan tangannya. Fajar menyugar rambutnya. Wanita yang ia selamatkan ternyata mengalami kebutaan. “Kang Fajar, mati lampu? Tadi saya sempat lihat cahaya sampai-sampai mata saya silau, tapi sekarang malah gelap,” keluh Atira yang membuat Fajar terdiam. “Ati, dengar! Ini sudah hampir dua minggu kamu tak sadarkan diri. Aku khawatir keluargamu mencari!” ucap Fajar segera, mengalihkan pertanyaan Atira. Atira tertunduk karena ia masih meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi menimpanya. “Aaagghhh... “ Atira merasakan sakit di kepalanya saat ia berusaha mengingat kronologi kejadian yang menimpanya. Hanya ia ingat jika dirinya sedang bersama Nirma, temannya. “Sudah... sudah! Jangan dipaksa! Kamu istirahat saja dulu!” ucap bu Nurul yang langsung membawa Atira ke dalam pelukannya. Wanita tua itu sigap dengan keadaan Atir
“Mana anak saya? Huhuhuhuhu... “ tangis Atira yang kini terdengar lebih lirih. Ia pun ambruk dipelukan bu Nurul yang sigap saat melihat Atira terlihat lemah. Fajar pun mendekati Atira yang kini lebih tenang dari sebelumnya. Di tangannya sudah siap suntikan bius yang awalnya akan ia suntikan kepada Atira. Bu Nurul menggelengkan kepalanya ke arah Fajar. Wanita itu merasa Atira masih bisa tenang dengan sendirinya, tanpa perlu disuntikkan obat bius. “Bantu bawa ke atas ranjang Mih!” pinta Fajar kepada bu Nurul. Wanita paruh baya itu pun menganggukkan kepalanya. Ia membawa Atira, memapahnya untuk segera berbaring di atas ranjang queen di kamar tamu rumah mereka. Melihat Atira yang langsung tenang dan nampak tertidur, Bu Nurul melirik ke arah jarum suntik yang dipegang oleh Fajar. Menyadari tangannya diperhatikan oleh ibunya, Fajar pun segera mengangkat jarum suntik itu ke hadapan bu Nurul. “Enggak, Mih. Masih penuh,” ucap Fajar yang membuat bu Nurul manggut-manggut. “Aku mau
Sinta terus mengamati wajah Atira dari dekat. Ia berpikir keras ketika memandanginya, mengapa perasaanyya begitu familiar melihat wajah cantik Atira? Namun, seberapa keras pun ia berpikir, ia tak menemukan jawaban dari dalam ingatannya. “Hufftt... mungkin perasaanku saja,” gumamnya sambil menjauhkan dirinya dari Atira. Atira yang merasakan ada pergerakan di dekat dirinya, segera terbangun. “Siapa itu?” tanyanya dengan waspada. Namun, ia menyadari bahwa di tangannya tertancap jarum infus. “Ini saya, Sinta. Perawat di sini. Enggak usah takut ya, mbak sudah berada di tangan orang yang tepat. Dokter Fajar dengan sukarela membantu mbak setelah bu Nurul menemukan mbak nyangkut di pinggir sungai, enggak jauh dari halaman belakang rumah.” Sinta menyadari gelagat ketakutan dari Atira sehingga ia membeberkan semuanya tanpa ia tutupi. “Nyangkut... di sungai?” tanya Atira sambil mengernyitkan keningnya. Ia berusaha mengingat sesuatu. “Iya, mbak. Memangnya mbak kenapa seb
“Hey!” lirih suara perempuan. “Kenapa Sayang?” tanya sang lelaki sedikit lebih keras. Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Yang Atira dengar hanya bisik-bisik yang tak sampai di telinga Atira apa yang mereka ucapkan. Biarlah, Atira memang sudah memejamkan matanya sedari tadi. Jadi, iapun melanjutkan aksinya sehingga kedua orang itu mengira bahwa ia tak mendengar apapun karena sedang tidur. Tak lama, terdengar suara pintu dibuka dan ditutup dengan sangat pelan. Atira tak peduli, ia pun tetap menutup matanya. Percuma saja ia membuka mata karena ia tak bisa melihat apapun, juga siapapun. Cekrekkk... Beberapa waktu berlalu, terdengar derit pintu kembali terbuka. “Eh, ada Neng Yasmin. Dari kapan di sini?” tanya bu Nurul dengan membawa harum kuah ayam kuning dari bubur yang ia bawa. “Ah, Tante. Saya baru masuk ke sini,” jawab Yasmin tanpa ragu. “Oh, neng Ati-nya udah tidur lagi,” keluh bu Nurul lirih. “Kenapa Tante?” tanya Yasmin. “Enggak, ini loh, Ati. Fajar
Atira tak ingin mengambil pusing dengan urusan orang lain. Mau Fajar berpura-pura agar tak ketahuan ibunya pun, ia tak ingin terlalu ambil pusing. Urusan dirinya sendiri pun masih mengantri banyak untuk diselesaikan. Yang paling penting saat ini adalah siapa dirinya. “Ah, iya. Maaf Sayang, tadi aku penasaran sama pasien kamu. Aku kira ada di klinik, tapi katanya di sini. Jadi aku masuk aja. Enggak lama, datang Tante,” kilahnya cukup panjang. “Maaf ya, Sayang. Aku ninggalin kamu tadi,” ucapnya serius. “It's okay. Aku juga kan harus terbiasa di sini. Iya kan, Tan?” goda Yasmin sambil mengangkat alisnya ke arah bu Nurul. “Iya,” senyum bu Nurul. “Ya sudah. Jadi, aku kenalin aja sama Ati, ya!” ucap Fajar sambil ikut duduk di dekat bu Nurul. “Hai, Ati! Aku dokter Yasmin. Kamu dengar jelas kan apa yang aku bilang?” tanya Yasmin dengan senyum terkembang. Namun, entah mengapa di telinga Atira, semua ucapan Yasmin seolah terbalut sarkastik yang menusuk di hati. “Hai, Dok. Aku deng