Tut... tut... tut... “Ya hallo,” ucap Atira setelah ia menggeser ikon begambar telepon yang berwarna hijau. “Oke, aku tunggu di lobby aja!”“Jangan, aku bukan anak kecil. Aku bisa turun sendiri,” kekeh Atira yang kemudian segera menutup panggilannya. “Bu, Tira berangkat dulu ya! Baik-baik di rumah!” pesan Atira sambil mencium tangan bu Retno. “Cantik sekali kamu, Tira. Cantik wajah dan cantik hati,”puji bu Retno sambil mengelus pipi Atira. “Jangan terlalu memuji, Bu! Nanti aku besar kepala. Kalau kepalaku besar, nanti enggak muat lagi jilbabnya,” tawa Atira yang disambut tawa juga oleh bu Retno. Atira membuka pintu kamar bu Asih pelan. Ia ingin berpamitan jiwa wanita paruh baya itu belum tidur, atau Davin yang belum tidur. Tapi, nampaknya mereka berdua tidur dengan sangat lelap. Atira pun segera menutup kembali pintunya. Ia menghembuskan nafas terdalamnya setelah pintu kamar itu tertutup rapat. “Aku harus kuat, untuk anak-anakku!” liriknya sambil menutup mata, sedangkan
“Ya sudah,” ucap Atira sambil tersenyum dan segera berdiri, kemudian pergi. Atira bukannya tak melihat mendung yang menggelayut di mata bu Asih. Hanya saja, ia tak tahu bagaimana membuat mendung itu sirna. Ia tahu betul apa yang menyebabkan mendung itu ada. Bu Asih menginginkan jika ia dan Bayu baik-baik saja dan seperti dulu dimana Bayu begitu mencintai dirinya. Harus bagaimana lagi karena Bayu sudah tidak menginginkannya. Katakanlah jika Bayu di bawah alam sadarnya ketika mengucapkan kata pisah yang sangat tabu itu, tapi apa dikata, talak itu diucapkan dengan talak tiga dan nampak sadar, bahkan sangat sadar sehingga sudah tak ada jalan lagi untuk menuju Roma. “Ah, sudahlah. Life must go on. Aku mencintai Ibu, tapi aku juga mencintai diriku sendiri. Lagipula, Ibu tak pernah jelas mengatakan keinginannya. Ibu itu ibu yang super baik, dia bukan ibu yang egois, dia itu...” ucap Atira meskipun di dalam hatinya. “Ehemmm...” deheman seseorang tak mampu menghentika
Atira memalingkan wajahnya dari Zafran, bagaimana pun ini adalah hubungan pura-pura untuk Atira. Jangan sampai ia bermain hati dan terluka nantinya. “Ayo ah, kita mulai ke tempat acara aja!” ajak Atira sambil berjalan keluar tanpa menoleh ke arah Zafran. Perasaannya sungguh sudah tak karuan. Zafran tersenyum saat melihat kepergian Atira. Ia pun lantas mengikuti langkah wanita yang sudah ia puja sedari dulu, sedari ia masih menutupi identitas sebenarnya. Ya, meskipun kali ini pun Atira hanya mengetahui jika Zafran adalah kepala sekolah Davin saja. *** “Hai, perkenalkan... aku Ateera. Di film ini aku berperan sebagai Arum, seorang wanita malam yang mendapatkan hidayahnya setelah ia mengalami kecelakaan dan amnesia. Ia pun bertemu dengan cinta sejatinya, Rafli yang diperankan oleh Hans Randy. Kisah mereka sungguh sangat romantis,” ucap Atira sambil menunjuk ke arah Hans, lawan mainnya di film. “Semoga kalian terhibur dan dapat memetik hikmah dari film Jilbab Wanita Malam,” ucap A
“Sindy maaf, itu kursiku!” ucap Atira semanis mungkin. Ia cukup berteman baik dengan Sindy meskipun sekedar say hallo saja. Tentunya ia tak mau menjadikan Sindy musuh hanya karena perasaannya yang aneh seperti saat ini. “Tira! Tapi, kata Mas Zafran ini free. Iya kan?” tanya Sindy sambil melihat Zafran. Zafran memang mengatakan hal itu kepada Sindy untuk menutupi amarahnya karena Hans menyatakan I love you kepada Atira di depan umum, sedangkan wanita itu mengangguk dan hanya tersenyum. “Ya,” jawab Zafran sambil menganggukkan kepalanya dengan sikap cool. “Tira di depan aja, kamu kan pemeran utama. Masa...” Atira langsung berjalan menaiki tangga lagi, mencari bangku yang masih kosong di belakang. Ia memang sengaja tak mau menonton di barisan depan dan lebih memilih barisan kursi yang lebih sejajar dengan layar besar bioskop. Saat pergi, wajahnya kusut karena marah dengan Zafran. Namun saat para fans menyapanya, ia pun langsung menyunggingkan senyumnya.
“Hai!” Orang itu malah mengucapkan kalimat sapaan dengan suara bariton yang khas. Atira membuka ponsel pintarnya dan cahanyanya ia arahkan kepada orang itu. Seketika lelaki itu menutupi wajahnya agar tak terkena sorot cahaya ponsel, meskipun sebenarnya cahaya ponsel itu redup karena otomatis mengikuti kondisi ruangan. “Zafran!” ucap Atira agak kencang sambil memukulkan tasnya ke tangan Zafran. “Awww... “ ringis Zafran pura-pura kesakitan. “Mana Zafran?” tanya lelaki yang tadi membawa Atira duduk di sana. Zafran langsung mengambil ponsel milik Atira dari tangan wanita itu. Kemudian, cahayanya ia arahkan kepada lelaki itu. Ya, adanya lelaki itu menjadi penyebab Zafran melepas mode ngambeknya. Sedari awal, dia melihat Atira ditarik oleh seseorang. “Fatan!” dengus Zafran kesal. “Fatan? Dokter Fatan?” tanya Atira sambil melihat ke arah Fatan. “Sssttt!” beberapa orang yang berada di depan mereka merasa terganggu dengan kehebohan yang ada di belakangnya. Mereka meminta Atira
Semua orang yang sedang berdecak kagum karena merasa puas dengan alur film yang baru saja mereka tonton, tiba-tiba hening saat melihat adegan romantis sang pemeran utama di depan mata mereka. Cekrik... Tiba-tiba terdengar suara jepretan kamera yang diarahkan kepada Zafran dan Atira, disertai dengan silaunya blitz. Setelah itu, cahaya kamera seolah terus saling bersahutan. Zafran segera memeluk pinggang Atira dan mengajaknya menangkupkan kedua tangan sebagai penghormatan. “Apakah anda berdua berpacaran?”“Apa hubungan anda berdua?”“Apakah anda berselingkuh?”“Apa artinya pernyataan cinta Hans tadi?”Berbagai macam pertanyaan wartawan terus bersahutan seperti suara lebah yang mendengung di pendengaran. Atira shock dan hanya terdiam, ia tak tahu harus menanggapinya dengan cara bagaimana. Zafran memberi kode kepada Roni. Lelaki itu pun segera memahami maksud dari tatapan bos nya. Beberapa orang yang ikut nonton dan merupakan bodyguard Zafran, segera merapikan orang-oran
Atira melirik tajam ke arah Zafran. Saat ini mereka sedang berada di parkiran sehingga wanita itu tak ingin menutupi lagi semua gerak-geriknya. Biarkan saja ia menampakkan amarahnya kepada Zafran, toh tak ada paparazzi di sana. “Tira, please!” mohon Zafran yang tak berani lagi menyentuh tangan Atira. Ia hanya mengekori wanita berjilbab nude itu. Atira pun tak mendengarkan Zafran. Ia hanya berjalan dan terus berjalan dengan setengah berlari, wajah cantiknya pun ditekuk. Sang supir yang melihat majikannya demikian dari kantin khusus para penunggu, langsung lari tunggang langgang dan menekan remot kontrol mobil dari kejauhan. Atira pun segera membuka pintu belakang mobil, namun segera ditutup lagi oleh Zafran. Atira bertambah melotot, amarahnya semakin menggunung. “Duduk di depan, please!” mohon Zafran dengan tangan yang tetap menahan pintu mobil. Atira mendelik saja, namun ia tetap memutar ke pintu penumpang bagian depan. Zafran yang melihat hal itu seketika berlari agar i
Zafran hanya menatap Atira tanpa menjawab ajakannya. Ia berusaha meyakinkan bahwa apa yang didengarnya bukanlah halusinasi belaka. “Kamu enggak mau? Ya udah kalau emang enggak mau. Antar aku pulang aja!” titah Atira sambil mengerucutkan bibirnya. “Bukan. Bukan begitu. Aku mau, mau banget bahkan.” Zafran segera merapat keterdiamannya. “Jangan kalau terpaksa.” Atira kembali menatap lurus ke depan. “Jalan deh, tolong antar aku pulang sekarang!” titah Atira dengan muka datar. “Tapi aku mau banget nikah sama kamu. Apa yang harus aku lakuin?” tanya Zafran meyakinkan keinginannya. “Kalau kamu yakin, besok pagi jemput aku di apartemen, ya sekitar jam 6. Aku mau kita tanda tangani perjanjian pra nikah. Anggap saja pernikahan kita itu layaknya kupu-kupu dan bunga, ada simbiosis mutualisme yang sama-sama menguntungkan. Aku... ehmm, karirku akan aman. Kamu juga bisa mendompleng popularitas sekolah. Ya, sama-sama saling menguntungkan bukan?” tanya Atira dengan serius. Zafran mengulum s