Setelah minum obat yang sempat diresepkan oleh dokter Ressa, Ateera pun terlelap di ruang kerja Zafran. Wanita itu bersikeras untuk tetap berada di kantor. Niatnya, setelah dirasa cukup istirahat, ia akan langsung bekerja dengan mencari pengganti Sella. Setelah itu, minggu depan sudah harus tersusun lagi semua jadwal yang sempat tertunda. Waktu seminggu inilah yang akan ia manfaatkan untuk menemukan bu Asih. Zafran meletakkan pena, kemudian ia duduk bersender di kursi kebesarannya. Ia melirik ke arah Atira dan kedua anak lelakinya yang sedang terlelap. Ruang kerja Zafran memang didesign senyaman mungkin. Di sana, dia memiliki wall bed berukuran king size. Awalnya, Zafran mengetahui perselingkuhan Helen sehingga membuatnya muak, tapi tak ingin melakukan apapun kepadanya. Ya, dia tak ingin menyakiti hati orang tua dan mertua, ia pun tak memiliki seseorang yang bisa ia cintai selain Atira, teman kuliahnya yang entah berada di mana saat itu. Jadilah dia membuat wall bed di r
Zafran segera mengenyahkan pikirannya yang tak berdasar. Dia sudah sejauh ini bersama Atira, tak mungkin hanya karena pikiran yang tak berdasar, ia akan menghancurkan hubungannya dengan wanita cantik itu. “Kok diam?” tanya Atira saat menyadari keterdiaman Zafran. Ia menegakkan duduknya setelah sebelumnya bersender di bahu lelaki tampan yang menjadi suaminya itu. “Emmhh, enggak... enggak apa... apa!” jawab Zafran tergagap. “Jangan bohong! Kamu punya mata jernih yang enggak bisa berbohong!” ungkap Atira membuat Zafran sebisa mungkin mengontrol rasa gugupnya. Setelah Zafran bisa mengikis perasaan gugupnya, ia pun segera merangkul Atira lagi dan berbisik lembut di telinga Atira, “Aku hanya bahagia, kita menjadi lengkap dan akan semakin lengkap,” bisiknya seraya menghirup ceruk leher Atira yang menjadi candu baginya. “Sayang, aku mau!” ucap Zafran dengan suara yang berat. Ini adalah kali pertama lagi setelah mereka terpisah oleh keadaan. Atira menunduk sambil tersenyum malu, wajahnya
Atira dan Zafran menunggu di ruang tunggu, sedangkan Bayu sedang dipanggilkan oleh sipir penjara. Atira mengetuk-ngetuk meja dengan kuku telunjuk sebelah kanannya, mencoba menyalurkan rasa gugup yang masih ada. Sampai saatnya terdengar suara seseorang memanggil, “Tira!”Atira dan Zafran segera menoleh ke arah sumber suara. Deggg... Betapa kagetnya jantung Atira saat ia tak mengenali wajah Bayu, mantan suami sekaligus ayah kandung dari kedua anaknya. Begitupun dengan Zafran, lelaki tampan itu memandang iba dengan kondisi Zafran saat ini. “Temui mereka!” tegur sang sipir karena Bayu hanya diam mematung di tempatnya. Dengan terpaksa dan tertatih-tatih, Bayu pun menghampiri Atira dan Zafran yang kini berdiri dari duduknya. “Duduklah!” titah Bayu saat ia sudah hampir berada di kursi untuknya. Tanpa melihat ke arah Atira dan Zafran, Bayu pun segera duduk sambil meringis. Nampak sekali jika ia menahan sakit saat ia harus duduk. “Berdirilah kalau tak bisa!” titah Zafran yang dija
“Benarkah apa yang dikatakannya?” tanya Bayu seraya menatap ke kedalaman mata Atira. Wanita itu tak bergeming, bahkan ia nampak tak berniat menjawab pertanyaan Bayu. Wajahnya datar, tanpa ekspresi sama sekali. “Tira!” panggil Bayu lagi. “Maaf Mas, aku ke sini cuma mau nanya dimana kamu menyembunyikan Ibu?!” tanya Atira yang kini menatap Bayu dengan tatapan intimidatif. “Demi Tuhan, Tira. Aku tidak menyekap Ibu. Mana bisa aku menyakiti ibuku sendiri! Mereka yang menyekap Ibu, Tira. Nita dan ayahnya adalah pelaku penyekapan itu. Aku bersumpah bahwa aku tak pernah terlibat. Bahkan, aku tak begitu mengingat kalimat talak yang kuucapkan selain dari rekaman ponsel.” Bayu menyangkal semua tuduhan Atira. “Katakan saja, dimana lokasinya? Rumah mereka kosong dan tak bisa digeledah polisi karena... “ Zafran menghentikan ucapannya saat ia ingin mengatakan bahwa ada polisi yang mendekeng mereka. Ia tak mau gegabah, terlebih lagi saat ini mereka sedang ada di dalam s
“Silakan, Pak!” Pak Bambang menyerahkan bungkusan yang sudah ia dapatkan dari petugas kepolisian. Lelaki yang bertindak sebagai pengacara keluarga Zafran tersebut menyerahkan beberapa benda dibungkus dengan plastik dan memiliki tanda pengenal. “Oke, makasih banyak Pak!” sahut Zafran seraya mengambilnya dari tangan Pak Bambang. “Ya, Sama-sama Pak!” sahut lelaki itu lagi seraya sedikit membungkukkan badannya. “Kami pamit, Pak!” ucap Zafran setelah mendapatkan apa yang ia mau. “Silakan!” ucap pak Bambang lagi. “Jalan, pak Andi!” titah Zafran. Tanpa jawaban apapun, Andi segera menekan pedal gas. Untungnya, lelaki itu tak bisa bicara sehingga membuat suasana di mobil tak semenegangkan jika Andi bisa protes seperti Agus. Tut... tut... tut... Zafran melihat ke arah ponsel dan mengernyitkan keningnya. Ia heran dengan nomor unik dari sang penelepon tak dikenal. Nomernya +44*******.Zafran mengabaikannya karena menganggap bahwa sang penelepon adalah seorang penipu. Sampai akhirny
Atira tak terlalu peduli dan memilih untuk mengotak-atik ponsel milik Bayu. Melihat hal itu, Zafran merasa jealous dan mulai membuat suasana tak nyaman. “Ceileeee... yang manggil Yayang dengan sebutan Mas. Haduh, serasa dunia milik berdua ya!” ucap Zafran sambil mengibas-ngibas bawah dagu dengan tangannya, bergaya seperti lelaki kemayu yang kegerahan. Atira hanya mendelik tak suka mendengar ucapan Zafran yang menyindir dirinya, mendelik sesaat kemudian fokus lagi dengan ponsel milik Bayu. Ia memang terbiasa memanggil Mas Bayu kepada mantan suaminya dari sebelum mereka menikah. Alasan awalnya karena perbedaan usia yang cukup jauh, sehingga membuat Atira memanggilnya demikian. Sedangkan Zafran, tentunya dia teman kuliah sehingga tak ada embel-embel dari panggilan nama masing-masing. “Boro-boro ngademin lakinya. Yang ada, dia fokus sama ponsel milik sang man... tan!” ketusnya sambil berbalik keluar jendela. “Gotcha...!” teriak Atira seraya tertawa. Wanita itu, bukannya berusaha m
Zafran sudah menghubungi beberapa orang kompeten di bidangnya, juga puluhan anak buahnya ia kerahkan. Pak Syamsul pun sudah ia hubungi, hanya untuk berjaga-jaga saja. Ia sadar bahwa mereka mendatangi lokasi Nita belum tentu mereka menemukan bu Asih di sana. “Memangnya, kenapa enggak langsung digempur aja?” tanya Atira yang merasa pergerakan Zafran terlalu lamban. “Kita enggak tahu Nita ada dimana. Bahkan, lihat saja kalau dia masih bergerak kan? Nanti malah kita yang terkena masalah!” jawab Zafran penuh kesabaran saat menjelaskannya kepada Atira. Ia pun menunjukkan titik Nita yang ada di GPS yang masih saja bergerak. Tut... tut... tut. “Hallo, Ron!” ucap Zafran saat sambungan telepon dari Roni itu ia jawab. “Hallo, Bos. Kita udah nemuin rumah yang sesuai dengan ciri-ciri yang disebutkan pak Bayu. Kita juga sudah cek bahwa ini memang ada dalam properti milik pak Ray. Tapi... menurut masyarakat terdekat, tak ada kegiatan mencurigakan di sini. Paling juga, beberapa kali pemilik
Atira mengernyitkan keningnya tatkala mereka berhenti di tepi jalan, tepatnya di depan sebuah warung. “Mau beli minum dulu?” tanya Atira seraya menepuk pundak Zafran pelan. Lelaki tampan yang sedang mandangi ke sebrang jalan pun segera menarik kesadaran nya kembali. “Eh, ya. Kenapa?” tanya Zafran kikuk. “Kamu kenapa sih? Dari tadi ditanya, Cuma lihat keluar aja. Lihat apa sih?” tanya Atira seraya meluruskan arah pandangannya persis seperti arah pandangan Zafran tadi. “Cuma klinik. Kamu pengen berobat?” tanya Atira lagi. Zafran kembali menggelengkan kepalanya pertanda ia tak berniat untuk berobat. “Aku mau beli itu aja!” tunjuk Zafran ke arah warung, tepatnya ke arah jajanan yang digantungkan, khas display makanan ringan ala warung pribumi. “Yang mana? Biar aku beliin,” ucap Atira seraya memegang handle pintu mobil, bersiap untuk turun. “Enggak usah. Biar aku aja yang turun. Yuk, Di! Ajak Zafran kepada Andi, agar supirnya itu tak memiliki celah untuk berduaan dengan Atira.