"Sayang, Kamu udah bangun? " Zafran segera duduk lagi dan mengelus lembut tangan Atira. Tangan kirinya ia gunakan untuk mengelus kening dan dahi Atira. Raut wajahnya begitu menggambarkan rasa senang yang tak terhingga"Udah sadar?" tanya dokter Ressa seraya mendekat ke arah brankar Atira. "Iya.” Jawab Zafran. “Sebentar ya, aku mau panggil dokter lagi, "ucap Zafran sambil memegangi lembut tangan Atira yang terasa semakin mencengkram, meminta izin dari sang istri."Sayang!" Zafran mengulangi ucapannya seraya kembali memegangi tangannya yang agak sedikit sakit karena cengkraman Atira."Syukurlah. Sebentar, biar aku aja yang periksa,” ucap dokter Ressa sambil meraba stetoskop yang biasanya tergantung di lehernya, namun kini tidak ada. Bahkan, saat ini dia pun tak mengenakan jas prakteknya. “Sebentar ya, biar aku panggil dokter yang jaga aja, " ucap dokter Ressa dengan sukarela. Wanita cantik itu pun segera keluar dari ruangan tempat Athira dirawat, tanpa menunggu jawaban dari Zafran m
“Memangnya harus bilang dulu ya?” tanya Atira sarkas. Dokter dan perawat, yang baru saja menangani Athira paham akan kondisi wanita cantik itu hendak, Mereka pun segera pamit demi menghindari luapan lahar panas dari hati-hati. " kami permisi dulu ya! Kalau ada apa-apa, bisa hubungi perawat di depan! " basa-basi sama dokter."Baik, docsus. Terima kasih banyak! "Jawab Zafran yang kembali memikirkan tentang dokter Reza yang tiba-tiba pulang tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Lelaki itu berjalan ke arah meja, tempat di mana dokter Reza meletakkan bungkusan nasi padangnya. Zafran pun mengambilBerbeda dengan dokter dan perawat yang memahami perasaan Athira, Zafran tidak mengerti sedikitpun dengan kecemburuan yang ditunjukkan oleh Athira. Bahkan, dengan santainya ia menyiapkan piring dan meletakkan sebungkus nasi padang di atasnya, tepat di samping Atira. “Lapar?” tanya Atira dengan nada yang masih sarkas. “Iya. Kamu mau nasi padang juga? Tapi kamu kan sakit!” tanya dan protes Zafran
Atira sedang dalam mode tak baik-baik saja. Ada banyak PR yang harus segera ia temukan jawabannya, setelah beberapa lama ia sempat kehilangan penglihatan, terlebih kehilangan ingatannya. Saat ini dia tak memiliki petunjuk tentang keberadaan bu Asih, mama mertua yang sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Dia juga harus membantu bu Retno untuk mendapatkan pengampunan, agar wanita itu tak mendekam di penjara karena kesalahan yang tak ingin ia lakukan. Kali ini, masalah pun bertambah. Davin dan Daffa tak bisa masuk ke rumah sakit karena Zafran lebih memilih mengamankan keduanya dari kejaran paparazzi. Setelah Zafran mengirimkan sample air seni istrinya ke laboratorium rumah sakit, ia melihat ke luar jendela di lantai dua yang kebetulan satu view dengan lobby rumah sakit. Di sana mulai berdatangan banyak wartawan pencari berita dari media-media infotainment yang terlihat dari atribut yang mereka pakai. Setelah mencari tahu untuk apa para wartawan itu datang, barulah Zafran tahu bahwa m
Setelah memakai hoodie yang diberikan oleh Nia, Zafran segera menggiring Atira untuk mengikuti langkah Nia sambil menarik koper kecil berwarna mint, juga tas yang berada di punggungnya. Sedangkan Atira, ia membawa tas kecil yang memang ia bawa ke kafe sewaktu kejadian. Untung saja tas miliknya selamat dan tak ada yang kurang sesuatu pun. Ternyata, dari ujung lorong ruang rawat inap Atira, nampak keluar beberapa orang dengan membawa peralatan yang biasa dibawa oleh wartawan. Untungnya mereka masih menghadap ke arah lain sehingga tak memperhatikan Zafran dan Atira. “Shit!” Zafran tak bisa menahan umpatan dari mulutnya. “Astagfirullah!” Atira tak bisa berbicara apapun selain istigfar. Ia baru yakin tentang kebenaran ucapan Zafran yang mengatakan bahwa mereka kemungkinan bisa masuk ke dalam rumah sakit karena andil ibu mertuanya. “Lewat sini, cepat!” Nia membawa mereka melipir, lewat tangga darurat satu lantai, kemudian menyusuri lorong belakang di lantai bawah s
Nia kembali lagi menghampiri Zafran dan Atira yang terdiam memaku dirinya sendiri, tepat di dekat pintu. Padahal, ia sudah hampir sampai di pintu lain ruangan itu. “Ayo!” Nia berbisik sehingga membuyarkan lamunan mereka. “Ayo, cepat!” bisik Nia yang membuat Atira dan Zafran mengembalikan kesadarannya. Mereka pun kembali bergerak dan melangkah mengikuti Nia. “Nyasar, Sus?” tanya seorang koki karena melihat Nia, suster rumah sakit bolak-balik di dapur rumah sakit. Ya, ruangan yang mereka lewati adalah dapur rumah sakit yang memiliki 3 koki dan sekitar 14 asisten di sana. 1 dapur untuk mengurusi makanan satu rumah sakit, tentu saja banyak orang di sana. Mereka semua sibuk menyiapkan makanan untuk pasien tiga kali dalam satu hari, belum lagi mereka harus menyiapkan snack. “Iya Chef, sedikit lupa,” kilah Nia menghentikan langkahnya sesaat, namun kembali lagi berjalan secepatnya. “Bener kok, lewat situ kalau mau ke parkiran,” ucap sang koki berusia sekitar tahun em
“Shit!” Zafran kembali mengumpat. Ia kesal tak henti-hentinya karena merasa tak tenang dengan keadaan seperti ini. Benarkah ini ulah ibunya? Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran bu Haliza, padahal pada awalnya, wanita itulah yang merayu pak Suwardi untuk memberikan restu pada pernikahan kedua Zafran dengan Atira.“Kita ke rumah Papa!”“Kita ke rumah Papa!”Zafran dan Atira berkata berbarengan, membuat mereka tertawa karena merasa lucu, sedikit melupakan ketegangan yang sedang terjadi. Setelah derai tawanya mereda, Atira pun kembali bersuara, “Papa siapa?” tanya Atira masih memeluk Zafran. “Papa?” Zafran tak mengerti maksud Atira, karena ia terlalu terbiasa memiliki satu Papa sebelumnya, bahkan ketika mereka sudah menikah sekalipun. “Papa mertuaku, atau Papaku?” Atira menjabarkan maksud dari ucapannya. “Ah, iya. Maaf aku lupa.” Zafran baru menyadari lagi bahwa Atira adalah anak dari pak Syahid, mantan mertuanya saat ia menikahi Helen. Ia pun menimbang untung dan r
Zafran langsung menghubungi, Roni, sedangkan Athira dan kedua orang tua kandungnya melanjutkan langkahnya menuju ke dalam rumah.Tut... tut... tut. Tak menunggu lama, Roni pun segera mengangkat sambungan telepon dari Zafran."Halo, Bos!" ucapnya dari seberang telepon. "Di mana kamu, Ron?" tanya Zafran tanpa basa-basi. Ia kesal mengapa Roni tak menjaga kedua anaknya ketika di Apartemen." Saya sudah di depan gerbang rumah Pak Syahid, Bos! " jawab Roni membuat Zafran mengerutkan keningnya. Baru saja Roni mengatakan hal itu, terdengar suara klakson mobil, membuat satpam yang bertugas melongok keluar gerbang, kemudian ia kembali ke pos untuk membukakan gerbang. Tak berselang lama, pintu pagar pun terbuka dan mobil Roni masuk ke pekarangan rumah Pak Syahid yang luas.Rumah Pak Syahid memang cukup luas, dibangun di atas tanah seluas 2000 meter meter persegi. Luas bangunan setengahnya dari luas keseluruhan, sehingga luas halaman depan pun masih sangat cukup untuk berolahraga lari. Ap
“Siap?” tanya Zafran sembari memegang tangan Atira. Ia berusaha menenangkan istrinya yang nampak tegang. “Hemmmhhh... “ Atira menarik nafas terdalam, kemudian menghembuskannya. “Do’ain aku, ya!” pinta Atira seraya menatap lembut wajah suaminya. “Ya. Aku selalu ada di sini!” jawab Zafran seraya menunjuk ke arah dada Atira, dimana letak jantungnya bersembunyi. “Entah kenapa aku deg-degan kaya gini, kaya pertama kali lagi,” kekeh Atira seraya membetulkan jilbabnya yang tidak salah sama sekali. “Tarik nafas lagi! Hembuskan!” Zafran membimbing Atira untuk menarik nafas dalam-dalam, sampai tiga kali hembusan. “Oke. I'm ready, Bismillah.” ucapnya sambil tersenyum, berusaha menetralkan perasaan gugupnya. Athira melirik ke arah bu Mira yang sudah memandangnya lekat sedari tadi. Ia pun melepaskan genggaman tangannya dengan Zafran, kemudian ia berjalan ke arah bu Mira “Do’ain aku ya!" pinta Athira seraya meraih tangan ibu kandungnya itu, kemudian ia mencium