Zafran langsung menghubungi, Roni, sedangkan Athira dan kedua orang tua kandungnya melanjutkan langkahnya menuju ke dalam rumah.Tut... tut... tut. Tak menunggu lama, Roni pun segera mengangkat sambungan telepon dari Zafran."Halo, Bos!" ucapnya dari seberang telepon. "Di mana kamu, Ron?" tanya Zafran tanpa basa-basi. Ia kesal mengapa Roni tak menjaga kedua anaknya ketika di Apartemen." Saya sudah di depan gerbang rumah Pak Syahid, Bos! " jawab Roni membuat Zafran mengerutkan keningnya. Baru saja Roni mengatakan hal itu, terdengar suara klakson mobil, membuat satpam yang bertugas melongok keluar gerbang, kemudian ia kembali ke pos untuk membukakan gerbang. Tak berselang lama, pintu pagar pun terbuka dan mobil Roni masuk ke pekarangan rumah Pak Syahid yang luas.Rumah Pak Syahid memang cukup luas, dibangun di atas tanah seluas 2000 meter meter persegi. Luas bangunan setengahnya dari luas keseluruhan, sehingga luas halaman depan pun masih sangat cukup untuk berolahraga lari. Ap
“Siap?” tanya Zafran sembari memegang tangan Atira. Ia berusaha menenangkan istrinya yang nampak tegang. “Hemmmhhh... “ Atira menarik nafas terdalam, kemudian menghembuskannya. “Do’ain aku, ya!” pinta Atira seraya menatap lembut wajah suaminya. “Ya. Aku selalu ada di sini!” jawab Zafran seraya menunjuk ke arah dada Atira, dimana letak jantungnya bersembunyi. “Entah kenapa aku deg-degan kaya gini, kaya pertama kali lagi,” kekeh Atira seraya membetulkan jilbabnya yang tidak salah sama sekali. “Tarik nafas lagi! Hembuskan!” Zafran membimbing Atira untuk menarik nafas dalam-dalam, sampai tiga kali hembusan. “Oke. I'm ready, Bismillah.” ucapnya sambil tersenyum, berusaha menetralkan perasaan gugupnya. Athira melirik ke arah bu Mira yang sudah memandangnya lekat sedari tadi. Ia pun melepaskan genggaman tangannya dengan Zafran, kemudian ia berjalan ke arah bu Mira “Do’ain aku ya!" pinta Athira seraya meraih tangan ibu kandungnya itu, kemudian ia mencium
Atira berjalan dengan elegan menuju kursi yang telah disediakan untuknya. Suasana masih hening tanpa ada sepatah katapun. Atira tak menghiraukannya, ia pun duduk di kursi, kemudian ia menarik mic yang dipasangkan di standing mic mini, di atas meja. “Ehemmm... Hai semuanya!” ucap Atira dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. Lesung pipinya yang cantik, menghiasi pipi kanannya. Semua wartawan yang sedari tadi terdiam tak bergeming karena shock dengan siapa yang mereka lihat, seketika riuh. “Hallo!”“Hai!”Bahkan ada yang bersiul dan dilanjutkan dengan tepuk tangan. Ruangan yang hanya diisi oleh sekitar dua puluh orang dengan membawa kamera dari tujuh media itu, berubah menjadi aula yang seolah diisi oleh ratusan orang. Setelah cukup hening, Ateera pun segera mengucapkan rangkaian kalimatnya lagi. “Assalamu’alaikum!” ucapnya masih dengan senyuman yang menghiasi. “Waalaikumsalam!” jawab mereka serempak. Setelah itu, hening kembali terjadi. Mereka ingin memereteli Ateera den
Setelah minum obat yang sempat diresepkan oleh dokter Ressa, Ateera pun terlelap di ruang kerja Zafran. Wanita itu bersikeras untuk tetap berada di kantor. Niatnya, setelah dirasa cukup istirahat, ia akan langsung bekerja dengan mencari pengganti Sella. Setelah itu, minggu depan sudah harus tersusun lagi semua jadwal yang sempat tertunda. Waktu seminggu inilah yang akan ia manfaatkan untuk menemukan bu Asih. Zafran meletakkan pena, kemudian ia duduk bersender di kursi kebesarannya. Ia melirik ke arah Atira dan kedua anak lelakinya yang sedang terlelap. Ruang kerja Zafran memang didesign senyaman mungkin. Di sana, dia memiliki wall bed berukuran king size. Awalnya, Zafran mengetahui perselingkuhan Helen sehingga membuatnya muak, tapi tak ingin melakukan apapun kepadanya. Ya, dia tak ingin menyakiti hati orang tua dan mertua, ia pun tak memiliki seseorang yang bisa ia cintai selain Atira, teman kuliahnya yang entah berada di mana saat itu. Jadilah dia membuat wall bed di r
Zafran segera mengenyahkan pikirannya yang tak berdasar. Dia sudah sejauh ini bersama Atira, tak mungkin hanya karena pikiran yang tak berdasar, ia akan menghancurkan hubungannya dengan wanita cantik itu. “Kok diam?” tanya Atira saat menyadari keterdiaman Zafran. Ia menegakkan duduknya setelah sebelumnya bersender di bahu lelaki tampan yang menjadi suaminya itu. “Emmhh, enggak... enggak apa... apa!” jawab Zafran tergagap. “Jangan bohong! Kamu punya mata jernih yang enggak bisa berbohong!” ungkap Atira membuat Zafran sebisa mungkin mengontrol rasa gugupnya. Setelah Zafran bisa mengikis perasaan gugupnya, ia pun segera merangkul Atira lagi dan berbisik lembut di telinga Atira, “Aku hanya bahagia, kita menjadi lengkap dan akan semakin lengkap,” bisiknya seraya menghirup ceruk leher Atira yang menjadi candu baginya. “Sayang, aku mau!” ucap Zafran dengan suara yang berat. Ini adalah kali pertama lagi setelah mereka terpisah oleh keadaan. Atira menunduk sambil tersenyum malu, wajahnya
Atira dan Zafran menunggu di ruang tunggu, sedangkan Bayu sedang dipanggilkan oleh sipir penjara. Atira mengetuk-ngetuk meja dengan kuku telunjuk sebelah kanannya, mencoba menyalurkan rasa gugup yang masih ada. Sampai saatnya terdengar suara seseorang memanggil, “Tira!”Atira dan Zafran segera menoleh ke arah sumber suara. Deggg... Betapa kagetnya jantung Atira saat ia tak mengenali wajah Bayu, mantan suami sekaligus ayah kandung dari kedua anaknya. Begitupun dengan Zafran, lelaki tampan itu memandang iba dengan kondisi Zafran saat ini. “Temui mereka!” tegur sang sipir karena Bayu hanya diam mematung di tempatnya. Dengan terpaksa dan tertatih-tatih, Bayu pun menghampiri Atira dan Zafran yang kini berdiri dari duduknya. “Duduklah!” titah Bayu saat ia sudah hampir berada di kursi untuknya. Tanpa melihat ke arah Atira dan Zafran, Bayu pun segera duduk sambil meringis. Nampak sekali jika ia menahan sakit saat ia harus duduk. “Berdirilah kalau tak bisa!” titah Zafran yang dija
“Benarkah apa yang dikatakannya?” tanya Bayu seraya menatap ke kedalaman mata Atira. Wanita itu tak bergeming, bahkan ia nampak tak berniat menjawab pertanyaan Bayu. Wajahnya datar, tanpa ekspresi sama sekali. “Tira!” panggil Bayu lagi. “Maaf Mas, aku ke sini cuma mau nanya dimana kamu menyembunyikan Ibu?!” tanya Atira yang kini menatap Bayu dengan tatapan intimidatif. “Demi Tuhan, Tira. Aku tidak menyekap Ibu. Mana bisa aku menyakiti ibuku sendiri! Mereka yang menyekap Ibu, Tira. Nita dan ayahnya adalah pelaku penyekapan itu. Aku bersumpah bahwa aku tak pernah terlibat. Bahkan, aku tak begitu mengingat kalimat talak yang kuucapkan selain dari rekaman ponsel.” Bayu menyangkal semua tuduhan Atira. “Katakan saja, dimana lokasinya? Rumah mereka kosong dan tak bisa digeledah polisi karena... “ Zafran menghentikan ucapannya saat ia ingin mengatakan bahwa ada polisi yang mendekeng mereka. Ia tak mau gegabah, terlebih lagi saat ini mereka sedang ada di dalam s
“Silakan, Pak!” Pak Bambang menyerahkan bungkusan yang sudah ia dapatkan dari petugas kepolisian. Lelaki yang bertindak sebagai pengacara keluarga Zafran tersebut menyerahkan beberapa benda dibungkus dengan plastik dan memiliki tanda pengenal. “Oke, makasih banyak Pak!” sahut Zafran seraya mengambilnya dari tangan Pak Bambang. “Ya, Sama-sama Pak!” sahut lelaki itu lagi seraya sedikit membungkukkan badannya. “Kami pamit, Pak!” ucap Zafran setelah mendapatkan apa yang ia mau. “Silakan!” ucap pak Bambang lagi. “Jalan, pak Andi!” titah Zafran. Tanpa jawaban apapun, Andi segera menekan pedal gas. Untungnya, lelaki itu tak bisa bicara sehingga membuat suasana di mobil tak semenegangkan jika Andi bisa protes seperti Agus. Tut... tut... tut... Zafran melihat ke arah ponsel dan mengernyitkan keningnya. Ia heran dengan nomor unik dari sang penelepon tak dikenal. Nomernya +44*******.Zafran mengabaikannya karena menganggap bahwa sang penelepon adalah seorang penipu. Sampai akhirny
Atira menutup buku Yasin yang ia baca di depan makam bu Asih. Ia pun memandangi makam yang berada di sebelah kanannya, yang masih tertutup gundukan tanah merah, tanda makam itu masih baru. Sedangkan, sebelah kirinya ada makam kecil yang juga masih bergunduk tanah Merah, makam anak yang belum pernah lahir ke dunia bahkan belum diketahui jenis kelaminnya. Hanya saja, Zafran dan Atira sepakat menamainya dengan nama Ahmad, sebuah nama yang ia sandarkan kepada sosok agung yang ia kagumi. “Sayang, ayo!” Zafran meletakkan tangan di atas pundak Atira. Dengan penuh kelembutan, lelaki itu mengajak Atira untuk beranjak dari sana. Atira mengangguk tanpa menoleh. Ia pun menghapus sisa air matanya, kemudian ia bangkit dan berbalik, mengikuti langkah Zafran. Mereka pun berjalan ke arah mobil dengan bergandengan tangan. Zafran mempersilakan Atira untuk menaiki mobil jenis high MPV milik mereka terlebih dahulu. “Sayang, bagaimana dengan kasus mas Bayu dan... Emmhh... “ pertan
“Jadi, kapan hubungan kalian putus?” tanya pak Hilman saat dokter Fajar baru duduk. “Mohon maaf, Pa! Saya belum sempat datang menghadap Papa!” ucap Fajar masih dengan kepala tertunduk. Sedari dulu, Ia memang begitu segan dengan pak Hilman yang merupakan cendikiawan dalam bidang kesehatan. Sedangkan, keluarga besarnya merupakan pejabat publik yang memiliki pengaruh besar di negri ini, mulai dari orang tua sampai saudara-saudaranya, semua merupakan pejabat pemerintahan. “Heemmmmhhh,” Pak Hilman menghembuskan nafas panjangnya. Ia diliputi perasaan kecewa, tapi ia pun tak bisa menuntut apapun karena ia mengetahui bahwa Yasmin lah yang salah. “Jadi, sesibuk apa kamu? Sampai-sampai tak sekalipun sempat untuk mengembalikan Yasmin padaku!” tanya pak Hilman tanpa menatap dokter Fajar, namun lelaki itu seolah ditelanjangi oleh pertanyaan lelaki paruh baya itu. “Maaf.” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Fajar. Ia tak membela diri sedikitpun. “Kau juga sibuk mengejar istri orang.” Tiba
“Ah, enggak apa-apa,” sangkal bu Retno yang merasa tak perlu banyak berbasa-basi dengan orang yang baru dikenalnya. Bu Retno memang tahu bahwa bu Nurul dan putranya adalah dua orang yang telah menyelamatkan Atira. Ia berbuat baik kepada wanita yang ia sayangi seperti anaknya sendiri, tapi ia belum mau begitu terbuka dengan apa yang ada di dalam pikirannya. Ia masih harus berhati-hati. Bahkan, dirinya pun sudah pernah menjadi orang yang membahayakan bagi orang-orang yang berada di sekitar Atira. “Bu Asih,” lirihnya pelan. Ia masih merasakan sakit luar biasa saat mengetahui fakta bahwa bu Asih telah tiada. Padahal, ia pernah akan meracuni pak Suwardi dan istrinya, hanya untuk ditukar dengan keselamatan bu Asih. Janji orang jahat memang tak dapat dipercaya. “Kenapa, Bu?” tanya bu Nurul yang masih mendengar ucapannya, meskipun pelan. “Ah, emmhh... itu... “ bu Retno tergagap mendengar pertanyaan dari bu Nurul. “Nenek, ayo masuk!” seru Davin yang tiba-tiba mu
“Mama! Mama!” Suara itu terdengar begitu nyata bagi Atira. Ia merasa mendengar panggilan dari kedua anak kesayangannya. “Heemmm.” Hanya ucapan itu yang mampu keluar dari mulutnya. “Mama!” Terdengar lagi panggilan itu, panggilan Davin dan Daffa yang kini terdengar lebih nyaring bagi Atira. “Hemmm.” Kembali, hanya suara itu yang mampu ia katakan untuk menjawab panggilan dari kedua anaknya. “Mama! Mama bangun, Ma! Mama jangan tinggalin kita!”“Iya, jangan tinggalin kita kaya Nenek! Bangun, Ma!” Atira tersentak dari ketakberdayaannya. Ia harus menggaris bawahi kalimat meninggalkan kami seperti Nenek. Apakah suara-suara itu isi hati Davin dan Daffa. Dengan keinginannya yang kuat, Ia meminta pertolongan Tuhan agar segera membawanya kembali. “Davin, Daffa!” lirihnya seraya membuka mata dan langsung mencari sosok orang yang ia cari. “Mama! Papa, Mama sadar,” pekik Davin sambil mengalihkan pandangannya ke belakang. Zafran
“Tolong istri saya, Pak!” pinta Zafran seraya menunjuk ke arah Atira yang kini terkulai lemas di pangkuannya. “Dia Bos saya Pak, korban,” ucap Aji yang tiba-tiba muncul dari belakang polisi tersebut. “Kami butuh tenaga medis. Di dalam sudah kondusif,” ucap polisi tersebut berbicara lewat walkie talkie yang dia sampirkan di pinggangnya. Setelah itu, ia menodongkan senjata ke beberapa orang lain yang menjadi pelaku kejahatan. Beberapa polisi itu melumpuhkan mereka, menelungkupkan dan menyimpan tangan mereka di belakang. Suasana di dalam cukup menegangkan. Mirip seperti polisi kriminal yang sedang menangkap teroris. Untung saja Aji membersamai mereka sehingga Roni dan Zafran tak ikut dilumpuhkan. Aji menghampiri Zafran yang masih memeluk Atira, menguatkan wanita itu. Sedangkan Roni, ia membantu melepaskan ikatan Ressa, kemudian membantunya untuk duduk. Ressa melepas sendiri kain yang menyumpal mulutnya, sebelum akhirnya pecah tangisannya. “Yasmin! Yasmin!”
Atira langsung meninggalkan pekerjaannya untuk membuka tali yang mengikat kaki Ressa. Ia tak peduli apakah ia akan sempat menyelamatkan Ressa atau tidak, yang pasti ia harus secepatnya mencoba. Buggg... Prang... “Awww... “ Lelaki itu tersungkur tepat di depan wajah Ressa yang masih menangis tanpa bisa mengeluarkan suara, karena mulutnya masih tersumpal. Sedangkan kapak itu jatuh ke lantai, setelah sebelumnya sempat melukai orang ber-hoodie yang berada di sisi lain kepala Ressa. Yang saat terkena parang, ia sedang merapalkan mantra sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya. Atira cukup kaget karena dia belum melakukan apapun kepada lelaki itu. Orang yang menggagalkan niat lelaki ber-hoodie untuk mencelakai Ressa adalah wanita ber-hoodie yang sudah dilumpuhkan oleh Atira di awal. Wanita ber-hoodie itu kembali terjatuh setelah melakukan aksinya tadi. Atira tak begitu peduli, ia langsung menyerang lelaki ber-hoodie yang saat ini masih tersungkur di depan Ressa. Buggg... A
“Mantra?” tanya Zafran meyakinkan. Atira menganggukkan kepalanya, “Sepertinya begitu!” jawab wanita cantik itu. Tanpa sepengetahuan Zafran, kini Atira sudah siap dengan senjata apinya, yang dia sembunyikan tepat di belakang pinggulnya. Untung saja, tadi dia sempat membuka penguncinya. Zafran sudah tiba di mulut lorong tangga. Ia langsung mengintip ke sumber suara, dimana terdengar kalimat-kalimat yang terdengar kuno kini diucapkan. Zafran menahan nafasnya saat netranya melihat pemandangan yang cukup mengerikan. Meskipun dia tidak begitu terpengaruh dengan hal-hal yang diluar nalar, tapi ketika dia melihat seorang wanita yang diikat di atas meja, layaknya sebuah hidangan dan dikelilingi oleh orang-orang yang menggunakan hoodie hitam panjang, perasaannya menjadi tak karuan. Tanpa pikir panjang, Zafran langsung keluar dari persembunyiannya. Ia bermaksud ingin memukul empat orang berhoodie yang kini sedang mengelilingi wanita yang nampak sangat lemah. Tanga
Atira menyiramkan air dingin dari gayung itu tepat di wajah Zafran. Rasanya tak tega, tapi ia harus melakukannya. “Apaan ini?” teriak Zafran langsung berdiri dan mundur. “Maafin aku, Zafi! Tapi syukurlah, kamu sadar,” cicit Atira seraya mendekati Zafran, memegang pundaknya dengan maksud menenangkan. Sepersekian detik, Zafran langsung menyadari apa yang terjadi padanya. “Sayang, kenapa kamu disini?” tanya Zafran tak terima karena istrinya berada dalam bahaya jika bersamanya di sana. “Aku udah bantu kamu, loh!” protes Atira sambil mencebikkan mulutnya. “Andi juga si...!”Byurrr... Belum selesai Atira mengucapkan kalimatnya, Deni sudah menyiram Andi dengan air dingin yang ia ambil dari kamar mandi. Namun sayang, hal itu tak lantas membuat Andi terbangun seperti Zafran. “Lagi!” titah Roni seraya menepuk-nepuk pipi Andi cukup kencang. Tak ada sahutan sama sekali. Lelaki itu masih lelap dalam ketaksadarannya. “
Sejurus kemudian, lelaki itu mengangkat kakinya untuk menendang Atira yang jatuh di lantai. Refleks, Atira menangkap kaki lelaki tersebut dan menariknya sampai lelaki itu kini terjatuh tepat di samping Atira, setelah wanita itu sedikit bergeser. Dengan cepat, Atira menekan leher lelaki itu dengan sikunya sekuat yang ia bisa. Menekan semua rasa kaget dan khawatir dengan keadaan sang suami. Lelaki itu menepuk-nepuk lantai tanda menyerah, tapi Atira tak peduli. Ia terus menekannya sampai tak ada pergerakan lagi dari lelaki itu. Atira melepaskannya, kemudian ia memeriksa denyut nadi di lehernya. Bagaimana pun, dia bukanlah seorang pembunuh dan ia tak mau melakukan hal itu walaupun dalam keadaan terdesak. Saat ia masih merasakan ada denyutan di sana, ia pun merasa lega. Ia meninggalkan kedua lelaki itu di sana, kemudian mengunci pintu kamar dengan kunci yang memang tergantung di lubang handlenya. Tanpa banyak kata, Atira segera berbalik melihat keadaan Zafran.