Setelah memakai hoodie yang diberikan oleh Nia, Zafran segera menggiring Atira untuk mengikuti langkah Nia sambil menarik koper kecil berwarna mint, juga tas yang berada di punggungnya. Sedangkan Atira, ia membawa tas kecil yang memang ia bawa ke kafe sewaktu kejadian. Untung saja tas miliknya selamat dan tak ada yang kurang sesuatu pun.
Ternyata, dari ujung lorong ruang rawat inap Atira, nampak keluar beberapa orang dengan membawa peralatan yang biasa dibawa oleh wartawan. Untungnya mereka masih menghadap ke arah lain sehingga tak memperhatikan Zafran dan Atira.“Shit!” Zafran tak bisa menahan umpatan dari mulutnya.“Astagfirullah!” Atira tak bisa berbicara apapun selain istigfar. Ia baru yakin tentang kebenaran ucapan Zafran yang mengatakan bahwa mereka kemungkinan bisa masuk ke dalam rumah sakit karena andil ibu mertuanya.“Lewat sini, cepat!” Nia membawa mereka melipir, lewat tangga darurat satu lantai, kemudian menyusuri lorong belakang di lantai bawah sNia kembali lagi menghampiri Zafran dan Atira yang terdiam memaku dirinya sendiri, tepat di dekat pintu. Padahal, ia sudah hampir sampai di pintu lain ruangan itu. “Ayo!” Nia berbisik sehingga membuyarkan lamunan mereka. “Ayo, cepat!” bisik Nia yang membuat Atira dan Zafran mengembalikan kesadarannya. Mereka pun kembali bergerak dan melangkah mengikuti Nia. “Nyasar, Sus?” tanya seorang koki karena melihat Nia, suster rumah sakit bolak-balik di dapur rumah sakit. Ya, ruangan yang mereka lewati adalah dapur rumah sakit yang memiliki 3 koki dan sekitar 14 asisten di sana. 1 dapur untuk mengurusi makanan satu rumah sakit, tentu saja banyak orang di sana. Mereka semua sibuk menyiapkan makanan untuk pasien tiga kali dalam satu hari, belum lagi mereka harus menyiapkan snack. “Iya Chef, sedikit lupa,” kilah Nia menghentikan langkahnya sesaat, namun kembali lagi berjalan secepatnya. “Bener kok, lewat situ kalau mau ke parkiran,” ucap sang koki berusia sekitar tahun em
“Shit!” Zafran kembali mengumpat. Ia kesal tak henti-hentinya karena merasa tak tenang dengan keadaan seperti ini. Benarkah ini ulah ibunya? Ia benar-benar tak habis pikir dengan pemikiran bu Haliza, padahal pada awalnya, wanita itulah yang merayu pak Suwardi untuk memberikan restu pada pernikahan kedua Zafran dengan Atira.“Kita ke rumah Papa!”“Kita ke rumah Papa!”Zafran dan Atira berkata berbarengan, membuat mereka tertawa karena merasa lucu, sedikit melupakan ketegangan yang sedang terjadi. Setelah derai tawanya mereda, Atira pun kembali bersuara, “Papa siapa?” tanya Atira masih memeluk Zafran. “Papa?” Zafran tak mengerti maksud Atira, karena ia terlalu terbiasa memiliki satu Papa sebelumnya, bahkan ketika mereka sudah menikah sekalipun. “Papa mertuaku, atau Papaku?” Atira menjabarkan maksud dari ucapannya. “Ah, iya. Maaf aku lupa.” Zafran baru menyadari lagi bahwa Atira adalah anak dari pak Syahid, mantan mertuanya saat ia menikahi Helen. Ia pun menimbang untung dan r
Zafran langsung menghubungi, Roni, sedangkan Athira dan kedua orang tua kandungnya melanjutkan langkahnya menuju ke dalam rumah.Tut... tut... tut. Tak menunggu lama, Roni pun segera mengangkat sambungan telepon dari Zafran."Halo, Bos!" ucapnya dari seberang telepon. "Di mana kamu, Ron?" tanya Zafran tanpa basa-basi. Ia kesal mengapa Roni tak menjaga kedua anaknya ketika di Apartemen." Saya sudah di depan gerbang rumah Pak Syahid, Bos! " jawab Roni membuat Zafran mengerutkan keningnya. Baru saja Roni mengatakan hal itu, terdengar suara klakson mobil, membuat satpam yang bertugas melongok keluar gerbang, kemudian ia kembali ke pos untuk membukakan gerbang. Tak berselang lama, pintu pagar pun terbuka dan mobil Roni masuk ke pekarangan rumah Pak Syahid yang luas.Rumah Pak Syahid memang cukup luas, dibangun di atas tanah seluas 2000 meter meter persegi. Luas bangunan setengahnya dari luas keseluruhan, sehingga luas halaman depan pun masih sangat cukup untuk berolahraga lari. Ap
“Siap?” tanya Zafran sembari memegang tangan Atira. Ia berusaha menenangkan istrinya yang nampak tegang. “Hemmmhhh... “ Atira menarik nafas terdalam, kemudian menghembuskannya. “Do’ain aku, ya!” pinta Atira seraya menatap lembut wajah suaminya. “Ya. Aku selalu ada di sini!” jawab Zafran seraya menunjuk ke arah dada Atira, dimana letak jantungnya bersembunyi. “Entah kenapa aku deg-degan kaya gini, kaya pertama kali lagi,” kekeh Atira seraya membetulkan jilbabnya yang tidak salah sama sekali. “Tarik nafas lagi! Hembuskan!” Zafran membimbing Atira untuk menarik nafas dalam-dalam, sampai tiga kali hembusan. “Oke. I'm ready, Bismillah.” ucapnya sambil tersenyum, berusaha menetralkan perasaan gugupnya. Athira melirik ke arah bu Mira yang sudah memandangnya lekat sedari tadi. Ia pun melepaskan genggaman tangannya dengan Zafran, kemudian ia berjalan ke arah bu Mira “Do’ain aku ya!" pinta Athira seraya meraih tangan ibu kandungnya itu, kemudian ia mencium
Atira berjalan dengan elegan menuju kursi yang telah disediakan untuknya. Suasana masih hening tanpa ada sepatah katapun. Atira tak menghiraukannya, ia pun duduk di kursi, kemudian ia menarik mic yang dipasangkan di standing mic mini, di atas meja. “Ehemmm... Hai semuanya!” ucap Atira dengan senyuman yang menghiasi bibirnya. Lesung pipinya yang cantik, menghiasi pipi kanannya. Semua wartawan yang sedari tadi terdiam tak bergeming karena shock dengan siapa yang mereka lihat, seketika riuh. “Hallo!”“Hai!”Bahkan ada yang bersiul dan dilanjutkan dengan tepuk tangan. Ruangan yang hanya diisi oleh sekitar dua puluh orang dengan membawa kamera dari tujuh media itu, berubah menjadi aula yang seolah diisi oleh ratusan orang. Setelah cukup hening, Ateera pun segera mengucapkan rangkaian kalimatnya lagi. “Assalamu’alaikum!” ucapnya masih dengan senyuman yang menghiasi. “Waalaikumsalam!” jawab mereka serempak. Setelah itu, hening kembali terjadi. Mereka ingin memereteli Ateera den
Setelah minum obat yang sempat diresepkan oleh dokter Ressa, Ateera pun terlelap di ruang kerja Zafran. Wanita itu bersikeras untuk tetap berada di kantor. Niatnya, setelah dirasa cukup istirahat, ia akan langsung bekerja dengan mencari pengganti Sella. Setelah itu, minggu depan sudah harus tersusun lagi semua jadwal yang sempat tertunda. Waktu seminggu inilah yang akan ia manfaatkan untuk menemukan bu Asih. Zafran meletakkan pena, kemudian ia duduk bersender di kursi kebesarannya. Ia melirik ke arah Atira dan kedua anak lelakinya yang sedang terlelap. Ruang kerja Zafran memang didesign senyaman mungkin. Di sana, dia memiliki wall bed berukuran king size. Awalnya, Zafran mengetahui perselingkuhan Helen sehingga membuatnya muak, tapi tak ingin melakukan apapun kepadanya. Ya, dia tak ingin menyakiti hati orang tua dan mertua, ia pun tak memiliki seseorang yang bisa ia cintai selain Atira, teman kuliahnya yang entah berada di mana saat itu. Jadilah dia membuat wall bed di r
Zafran segera mengenyahkan pikirannya yang tak berdasar. Dia sudah sejauh ini bersama Atira, tak mungkin hanya karena pikiran yang tak berdasar, ia akan menghancurkan hubungannya dengan wanita cantik itu. “Kok diam?” tanya Atira saat menyadari keterdiaman Zafran. Ia menegakkan duduknya setelah sebelumnya bersender di bahu lelaki tampan yang menjadi suaminya itu. “Emmhh, enggak... enggak apa... apa!” jawab Zafran tergagap. “Jangan bohong! Kamu punya mata jernih yang enggak bisa berbohong!” ungkap Atira membuat Zafran sebisa mungkin mengontrol rasa gugupnya. Setelah Zafran bisa mengikis perasaan gugupnya, ia pun segera merangkul Atira lagi dan berbisik lembut di telinga Atira, “Aku hanya bahagia, kita menjadi lengkap dan akan semakin lengkap,” bisiknya seraya menghirup ceruk leher Atira yang menjadi candu baginya. “Sayang, aku mau!” ucap Zafran dengan suara yang berat. Ini adalah kali pertama lagi setelah mereka terpisah oleh keadaan. Atira menunduk sambil tersenyum malu, wajahnya
Atira dan Zafran menunggu di ruang tunggu, sedangkan Bayu sedang dipanggilkan oleh sipir penjara. Atira mengetuk-ngetuk meja dengan kuku telunjuk sebelah kanannya, mencoba menyalurkan rasa gugup yang masih ada. Sampai saatnya terdengar suara seseorang memanggil, “Tira!”Atira dan Zafran segera menoleh ke arah sumber suara. Deggg... Betapa kagetnya jantung Atira saat ia tak mengenali wajah Bayu, mantan suami sekaligus ayah kandung dari kedua anaknya. Begitupun dengan Zafran, lelaki tampan itu memandang iba dengan kondisi Zafran saat ini. “Temui mereka!” tegur sang sipir karena Bayu hanya diam mematung di tempatnya. Dengan terpaksa dan tertatih-tatih, Bayu pun menghampiri Atira dan Zafran yang kini berdiri dari duduknya. “Duduklah!” titah Bayu saat ia sudah hampir berada di kursi untuknya. Tanpa melihat ke arah Atira dan Zafran, Bayu pun segera duduk sambil meringis. Nampak sekali jika ia menahan sakit saat ia harus duduk. “Berdirilah kalau tak bisa!” titah Zafran yang dija