“Mas pengen nanya banyak pertanyaan sama kamu, La. Tapi Mas lebih milih nunggu kamu yang bicara.”Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu keduanya hanya duduk berhadapan tanpa bicara apapun. Lila bahkan tak berani mengangkat wajahnya dan hanya terpekur menatap isi cangkirnya yang mulai dingin.“A-aku nggak tahu mau bicara apa, Mas.” Masih dengan kepalanya yang tertunduk, Lila menutupi rasa gugupnya.Tetapi Lila lupa jika kepekaan Adam sangat luar biasa. Sedari dulu Adam selalu bisa menebak isi kepala Lila meski Lila tak mengucapkannya secara lantang. Pada akhirnya Lila akan mengakui segalanya pada Adam.Ah, momen ini mengingatkan Lila pada waktu lalu. Haruskah Lila mengungkapkan kegundahannya sekarang?“Kalau kamu ngerasa nggak enak sama Mas, sebaiknya cepat buang pikiran itu dari benak kamu, La. Sejujurnya Mas tahu apa yang mengganggumu, tapi Mas mau kamu yang bicara langsung.”“Aku beneran nggak punya apa-apa yang harus dibicarain, Mas. Aku sama sekali nggak mau ambil pusing soa
Sejak tadi Risma hanya mengamati dua sosok yang duduk saling berhadapan di ruang makan itu. Sesekali Risma melirik pada Lila lalu beralih pada Adam. Lama-kelamaan Risma tak nyaman juga dengan atmosfer aneh yang muncul.“Gimana kerjaan di kantor, Dam? Ada masalah nggak? Eh-iya, kalian jadi liburannya, kan?”“Aku nggak jadi pergi, Ma.” Lila yang bersuara.“Kenapa?” Kini giliran Adam yang memprotes.Risma pun hendak melakukan hal serupa namun memilih untuk mendengarkan penjelasan Lila dulu.“Kayaknya nggak perlu aja sih, Ma.” Dalam benaknya Lila terus mencari alasan.“Ada hal lain yang mau kamu lakuin?” tanya Adam yang juga penasaran atas alasan Lila membatalkan rencana beberapa hari lalu itu.Sebisa mungkin Lila menebar senyumnya meski enggan. Jika sebelumnya dia yakin akan bersikap biasa saja di hadapan Adam setelah kejadian kemarin di kantor, nyatanya Lila tak bisa.“Aku cuma ngerasa nggak perlu aja, Mas. Lagi pula aku juga nggak enak sama Mbak Maya kalau harus minta Mas temenin buat
Lila terus bersimpuh di sisi pusara Raka. Tangisnya tak kunjung reda, malah menyatu dengan hujan yang sama derasnya. Jemarinya yang kedinginan, pucat dan gemetar hanya bisa menyentuh rerumputan hijau di atasnya. Pandangannya begitu mendamba sosok mungil yang bersemayam di bawah sana namun tak bisa didekapnya erat.“Mama kangen sama Raka. Mama kangen banget, Sayang.”Entah sudah berapa lama Lila berada di sana. Sejak shubuh tadi setelah Lila mendapatkan telepon dari rumah sakit, tanpa berpikir panjang lagi Lila pergi. Dia bahkan tak memberitahu Adam.“Apa yang harus Mama lakukan sekarang, Nak? Mama bahkan nggak tahu lagi harus hidup untuk apa.” Tatapan sendu yang semula tertunduk kini beralih menatap nama yang terukir pada nisan. “Mama pengen ketemu Raka. Mama pengen meluk Raka lagi. Rasanya Mama mungkin bisa lakuin apa saja asal bisa ketemu Raka.”Gelegar suara guntur semakin mengerikan terdengar. Tetapi gelapnya langit sama sekali tak membuat Lila berpindah. Dia hanya terus menangis
Semburat merah masih saja menjalar di wajah Lila. Jika ada kata yang bisa mewakili selain ‘rasa memalukan’, maka itulah yang akan Lila gunakan untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Bagaimana tidak, dengan begitu percaya dirinya Lila terus berbisik dalam hati jika Adam akan menciumnya tepat di bibir. Meski malu tapi Lila juga tak bisa mengingkari bisikan hatinya berharap seperti itu. Hanya saja akhir cerita menjadi adegan paling memalukan dalam hidupnya. Sehingga meski sekarang sudah siang bolong sekalipun Lila tak berani keluar kamar dan bertemu mata dengan Adam.“Pasti saking panasnya badan aku kemarin, otakku juga ikut hilang fungsinya.” Lila mengusap wajahnya gusar. “Ya ampun, La! Makin diingat makin bikin malu aja!”“Gimana ini? Kalau ketemu Mas Adam, mau ditaruh di mana muka ini?” Lila terus menggerutu. “Kenapa sih, La? Kenapa kamu bodoh amat sih? Bisa-bisanya mikir kalau Mas Adam itu su-““La? Ini Mas. Boleh masuk, enggak? Mama nyuruh Mas bawain puding nih.”Duh! Perhati
Diam-diam Adam terus melirik Lila yang sedang melamun sementara jemari wanita itu tengah memilin ujung blouse-nya. Setiap gerakan kecil dari kedutan bibir Lila, juga gerakan mata Lila dari kanan ke kiri membuat Adam gemas. Kebiasaan itu tak kunjung berubah. Masih sama semenjak Lila remaja jika sedang memikirkan sesuatu dengan serius.“Asyik banget sih yang duduk sendirian di sini? Enggak ngajak-ngajak, ya.”“Mas Adam…” cicit Lila kemudian segera membetulkan posisi duduknya. Adam tak yakin tapi dia merasa jika Lila malah menjauhkan diri. Lila memundurkan badannya dan memberikan jarak yang cukup kentara dengan Adam yang sebetulnya tak begitu berpengaruh karena memang kursi yang mereka duduki juga terpisah.“Mas ganggu, ya?” “Oh eng-enggak kok.” Lila menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Mas baru pulang?”Lila memang memperhatikan penampilan Adam yang masih lengkap dengan jas dan dasi. Hanya saja Lila penasaran karena hari masih cukup siang sementara Adam sudah tiba di rumah. Sangat
“Mas? Ke-kenapa ada di sini?”Kehadiran Adam tepat di hadapan Lila lebih dari harapannya yang terkabul. Tadinya pesan lewat telepon meski hanya sebatas ucapan selamat tinggal sudah cukup bagi Lila. Setidaknya Adam masih punya sedikit kepedulian padanya meski sudah memiliki wanita idaman lain.Nyatanya, Adam sekarang tepat berdiri dan menatapnya lekat. Intens. Seperti ada sesuatu lain yang ditangkap mata Lila. Hanya saja entah apa itu, Lila tak ingin lagi berasumsi.“Ayo!”Tangan Lila ditarik begitu saja oleh Adam. Tak kuat atau menyakiti, lebih seperti seseorang yang tak ingin melepaskan genggaman orang terkasih.Astaga! Lila buru-buru menepis khayalan tak masuk akalnya itu. ‘Ingat, La! Mas Adam udah ada yang punya. Kamu cuma adiknya, enggak lebih!’ batin Lila.Meski begitu, pandangan Lila terus tertuju pada tangan Adam hingga dia dikagetkan oleh langkah Adam yang mendadak berhenti.“Tiket kamu mana, La?”“Hah?”Adam mengeluarkan selembar kertas dari saku jaketnya. Lila sempat menyip
“Kamu yakin di sini lokasinya?”Duh, entah sudah berapa kali Adam terus bertanya tentang lokasi kost yang akan ditempati Lila itu. Sejak mereka keluar dari area bandara, Adam terus mengekori Lila seperti anak itik yang takut kehilangan induknya. Selama itu pula Adam terus bertanya ini-itu namun hanya dibalas singkat saja oleh Lila.Lila pikir jika Adam akan berhenti karena mengira Lila yang malas membicarakan apapun dengannya. Tetapi ternyata sisi ketidakpekaan Adam yang satu ini baru diketahui Lila sekarang. Seolah Adam begitu terobsesi dengan informasi yang akan didapatnya itu, Adam terus menanyakan banyak hal meski balasan Lila terkesan enggan.“Mama bilang sih benar di sini,” sahut Lila sembari memperlihatkan pesan terakhir sang ibu pada Adam.Dengan kerutan di kening yang semakin tercetak tebal, Adam terus mengamati isi pesan itu. Cukup lama bagi Adam hingga tatapan pria itu menjauh dari layar ponsel. Embusan napas berat Lila seakan menjadi balasan atas tingkah Adam yang super an
“Mas bisa loh cariin tempat kost lain sekarang juga. Enggak akan butuh waktu lama kok, La.”Untuk kesekian kalinya Adam tak menyerah meyakinkan Lila agar membatalkan rencananya tinggal di paviliun itu. Memang kondisi bangunan mungil itu cukup nyaman dan bersih, seperti layaknya rumah yang selalu rutin dibersihkan meski kosong sudah lama.Jika bukan karena kehadiran lelaki yang mengusik Adam, tentu Adam tak akan terus mendesak Lila agar mengubah pikirannya. Membayangkan Lila akan tinggal dekat dengan lelaki tengil, membuatnya tak tenang. Alarm kewaspadaan dalam tubuh Adam seketika berbunyi tak henti.“Aku bakalan tetap tinggal di sini, Mas. Aku udah buat kesepakatan sama Bu Indri. Mama juga udah setuju kok. Malah Mama yang nyaranin aku buat tinggal di sini.”“Tapi, Mama enggak ngasih tahu kan kalau ada cowok aneh yang juga tinggal di sini? Mama enggak mungkin ngijinin kamu tinggal di sini kalau tahu ada cowoknya, La.”“Aku kan nggak tinggal bareng sama dia, Mas.” Lila tak terima. Kenya