“Mas tega banget! Anak sendiri sakit tapi malah mentingin nongkrong sama teman-teman Mas! Raka demam tinggi, Mas. Aku mau bawa dia ke dokter. Udah lebih dari dua hari demamnya nggak turun juga. Aku mau minta uangnya sama Mas.”Bukannya melunak, hati yang lebih keras dari baja itu malah semakin menjadi. Tamparan keras melayang ke pipi kanan Lila. Panas dan nyeri menjalar di sekitar pipi Lila lantas membuat gendang telinganya berdenging kencang.Kerongkongan Lila mendadak kering. Untuk menelan ludahnya sendiri pun sulit sekali. Kedua matanya yang kini terpaku menatap sang suami mulai berair.“Kasih saja obat yang ada di warung. Kalau cuma panas aja, minum obat sekali dua kali juga nanti sembuh sendiri.”Lila masih berdiri dengan satu tangannya menyentuh permukaan pipinya yang masih terasa nyeri itu.“Aku kan kemarin udah ngasih uang lima puluh ribu sama kamu. Masih aja minta lagi,” cetus Ridwan dengan kesal.“Aku bakalan pulang malam banget jadi pintunya jangan kamu kunci lagi. Malu kal
Keluar dari rumahnya, Lila bisa melihat tetangga-tetangganya diam saja. Bahkan ada yang langsung masuk ke rumah seperti baru saja melihat hantu. Tak ada yang membantu Lila satu orang pun. “Toloong… toloong…” Suara Lila sudah seperti desisan yang tak terdengar. Energi Lila pun sudah hampir habis karena selama dua hari ini Lila memutuskan untuk puasa. Tidak ada cara lain baginya karena persediaan uang di tangan sangat menipis dan hanya cukup dibelikan beras untuk dijadikan bubur bagi Raka. “Cepat sedikit!” perintah pria yang sejak tadi menarik tangan Lila kasar. Kaki Lila terseok-seok. Lila hampir terjatuh saat dia tak sengaja menginjak beberapa kerikil. Pria satunya memperhatikan kanan-kirinya. Masih banyak kendaraan yang lalu-lalang di jalanan yang tak terlalu besar itu. Akan menimbulkan keributan lain jika ada orang yang memperhatikan lantas melaporkan mereka pada aparat setempat. “Masukkan dia!” Baru saja Lila hendak dimasukkan ke mobil, Lila melihat pria yang tadi menyeretny
Lila semakin frustasi melihat keadaan Raka yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Entah sudah berapa banyak air mata yang jatuh setiap kali dia mengompres dahi Raka. Obat warung yang dia beli kemarin sudah tinggal satu butir saja, namun kondisi Raka malah semakin memburuk.“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku memang ibu yang nggak becus.”Isakan demi isakan yang terdengar di kamar sempit itu. Semalaman Lila tak bisa tidur karena terus terjaga demi Raka. Lila tak ingin lengah pada kondisi putranya. Jujur saja, Lila bahkan sering membayangkan Raka kejang-kejang.Astaga! Berulang kali pula Lila menepis pikiran buruk itu. Tidak! Raka pasti akan sembuh. Kata-kata itu yang terus dikuatkannya dalam hati.“Mas Ridwan nggak pulang lagi. Udah jam tiga shubuh. Ke mana lagi kamu, Mas?”“Mama… Mama… sakit…”Rengekan Raka membuyarkan lamunan Lila. Tangannya yang tadi terhenti saat memeras handuk kecil untuk kompres bergerak cepat. Handuk kompres yang ada di tangannya lantas ditempelkan ke
“Sepertinya kondisi ananda Raka semakin membaik. Jika visit dokter nanti hasilnya bagus, bisa jadi putra Ibu bisa segera pulang.”Senyum ramah seorang perawat yang baru saja memberikan obat dan vitamin untuk Raka dibalas Lila dengan senyum serupa. Lila lega jika ucapan perawat itu benar. Sudah cukup lama rasanya Raka harus berbaring terus seperti saat ini dan Lila yakin jika Raka pasti bosan.Pun Lila sudah suntuk sekali dengan suasana di rumah sakit. Dia rindu dengan udara bebas di luar sana.“Mudah-mudahan hasilnya memang baik dan seperti yang diharapkan, Sus. Kayaknya Raka juga udah pengen lari kesana-kemari,” sahut Lila sembari mengusap lembut pucuk kepala Raka.“Insya Allah ya, Ibu. Mudah-mudahan saja.”Suara pintu terbuka membuat perhatian Lila teralihkan. Rupanya Adam dan ibunya baru saja kembali dari supermarket. Katanya tadi Risma memang ingin membeli kue yang diminta Raka.“Saya permisi dulu, Bu.”“Terima kasih, Sus.”Lila menghampiri Adam dan membantunya mengeluarkan isi ka
“Lila, dari mana? Tadi Raka sempat nyariin.”Tepat saat Lila masuk ke rumah, dia berpapasan dengan Adam. Sikap Lila yang mendadak canggung tentu saja membuat Adam merasa janggal. Pandangan Adam terus menyelidik sehingga membuat Lila merasa tak nyaman.“Hmm… itu, Mas. Tadi aku kirain ada yang datang, tapi ternyata nggak ada.”Adam hanya mengernyitkan dahi. Meski alasan Lila terdengar mengherankan, namun Adam hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis di bibir.“Raka di mana, Mas?” Lila segera mengalihkan topik pembicaraan dan bergegas mencari keberadaan Raka.“Lagi ngambil minum ke dapur.”“Oh.”Sikap Lila berubah semenjak itu. Dia lebih banyak diam dan sering kali Adam mendapati Lila yang tengah melamun. Hanya saja setiap kali ditanya Lila selalu menjawab baik-baik saja.“Ada yang lagi kamu pikirkan ya, La?”Adam yang baru keluar kamar kemudian mendapati Lila sedang duduk sendirian di ruang keluarga memilih duduk di sebelah Lila. Dia juga menyodorkan lemon tea hangat yang baru saja di
“Raka… Raka… Mama nggak bisa kehilangan Raka. Tolong, Nak. Jangan begini…” Lila terus berjalan cepat mengikuti tim medis yang mendorong emergency bed menuju IGD. Wajahnya sudah basah, bercampur antara keringat dan air mata. Pucat pasi. “Harap tunggu di luar. Pasien akan kami tangani.” Seorang dokter lelaki menginterupsi Lila yang hendak masuk. Sepertinya karena kondisi yang tak memungkinkan, juga agar para tim medis bisa bekerja maksimal, siapapun tak boleh menemani Raka. “Tapi, Dokter. Anak saya…” Suara Lila terdengar tak jelas karena gemetar dan menahan tangis. “Maafkan kami, Dok. Kami akan tunggu di sini.” Adam menahan lengan Lila dan memintanya menurut. “Kita biarkan mereka melakukan tugasnya, La. Kita berdoa saja agar Raka bisa melewati semua ini.” Lila tak punya pilihan. Dari jarak yang sebenarnya tak terlampau jauh, Lila bahkan tak bisa melihat wajah anaknya. Penyesalan demi penyesalan terus bergumul dalam hatinya. Rasa bersalah itu terus mencuat, membuat dadanya bertambah
Rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang tak kunjung menemui titik akhir. Setiap kali Lila terlelap, bayang wajah Raka yang menangis dan memanggilnya terus menyayat hati.Berulang kali Lila meyakini dirinya jika akhir yang tak diinginkannya adalah suratan takdir, berulang kali pula rasa bersalah itu memenuhi dadanya. Sejak kepergian Raka, setiap malam Lila terus menangis sendirian di kamarnya hingga dia terlelap saking lelahnya.“Ini udah lebih dari seminggu, La. Kamu bahkan seharian bisa nggak makan. Minum pun Mas lihat cuma sedikit. Ini udah cukup, La. Kamu nggak bisa menyiksa dirimu terus seperti ini.”Suara Adam yang entah untuk kesekian kali hanya lewat di telinga Lila. Memang Lila mendengarnya, namun dia tak benar-benar mengindahkan. Hatinya seakan masih terkunci rapat untuk mendengarkan ucapan siapapun tentang Raka dan dirinya.“La…” Adam pun ikut frustasi melihat kondisi Lila yang memprihatinkan. Beberapa kali dia menghela napasnya berat.“Mas tahu kamu sangat merindukan Raka.
Plong!Harusnya Lila merasakan itu setelah melaporkan segalanya, kan? Tetapi nyatanya, hanya kehampaan yang ada. Hatinya masih saja terasa kosong sekuat apapun dia berusaha untuk mengisinya kembali.“Kamu baik-baik aja, La? Maaf karena kamu harus menjalani ini.”Adam yang berdiri di hadapan menatapnya sendu. Jelas sekali rasa khawatir itu dari kedua matanya.“Kenapa Mas malah minta maaf?” Lila menggelengkan kepala, mengisyaratkan jika dia baik-baik saja.“Mas nggak salah apa-apa. Jadi, jangan terus minta maaf sama aku, Mas.”Tak ingin berdebat kosong, Adam pun hanya mengangguk mengiyakan. Tetapi tetap saja Adam masih belum merasa tenang jika melihat wajah Lila yang masam. Untuk senyum saja, Lila susah sekali. Padahal sebelumnya setiap kali mereka bertemu, Lila tak akan pernah absen melayangkan senyumnya.Seakan mengerti arti raut wajah Adam, Lila segera merangkulkan tangannya pada lengan Adam. Adam yang tak menduga sikap Lila itu tergelak meski berusaha menyembunyikan keterkejutannya