Keluar dari rumahnya, Lila bisa melihat tetangga-tetangganya diam saja. Bahkan ada yang langsung masuk ke rumah seperti baru saja melihat hantu. Tak ada yang membantu Lila satu orang pun.
“Toloong… toloong…”
Suara Lila sudah seperti desisan yang tak terdengar. Energi Lila pun sudah hampir habis karena selama dua hari ini Lila memutuskan untuk puasa. Tidak ada cara lain baginya karena persediaan uang di tangan sangat menipis dan hanya cukup dibelikan beras untuk dijadikan bubur bagi Raka.
“Cepat sedikit!” perintah pria yang sejak tadi menarik tangan Lila kasar.
Kaki Lila terseok-seok. Lila hampir terjatuh saat dia tak sengaja menginjak beberapa kerikil.
Pria satunya memperhatikan kanan-kirinya. Masih banyak kendaraan yang lalu-lalang di jalanan yang tak terlalu besar itu. Akan menimbulkan keributan lain jika ada orang yang memperhatikan lantas melaporkan mereka pada aparat setempat.
“Masukkan dia!”
Baru saja Lila hendak dimasukkan ke mobil, Lila melihat pria yang tadi menyeretnya tiba-tiba saja terjatuh.
“Beraninya kau menyentuhnya!”
Lila tercengang saat mendapati Adam muncul di depannya. Adam sudah kembali bersiap melayangkan serangan selanjutnya. Tangannya sudah terkepal dan hendak dilayangkan ke wajah pria yang terjatuh tadi. Tak pikir panjang Lila maju, menahan lengan Adam.
“Mas Adam, cukup!” seru Lila dengan suaranya yang gemetar.
Sesaat kedua mata mereka beradu. Lila bisa dengan jelas melihat amarah yang berapi-api di sana. Tetapi tak lama Adam pun menurut. Dengan lembut giliran tangan Adam yang menarik lengan Lila. Memposisikan Lila agar berada di belakangnya. Adam tak segan menjadikan badannya sebagai tameng bagi wanita itu.
“Siapa loe, hah?”
Suara lain berbaur. Pria yang terjatuh tadi pun ikut bangkit dan mendekati si pemilik suara itu.
“Dia milik kami!” Pria yang paling gemuk itu kembali bersuara. “Pergi loe! Loe nggak ada urusan soal ini. Bawa dia!”
Dengan gerakan dagu yang menjurus pada Lila, memberikan tanda agar dua rekannya segera merebut Lila.
Kedua pria itu pun merangsek maju dan hendak menarik paksa Lila. Namun Adam sudah lebih dahulu menghalangi.
“Kenapa kalian membawanya? Sebenarnya siapa kalian?”
Tak takut, Adam balik menyerang dengan sorot tajamnya. Dia masih melindungi Lila di balik badannya yang tinggi. Sementara itu, di belakang Adam, Lila terus mengeratkan jari-jemarinya pada kemeja milik Adam.
“Hei!” seru pria itu lagi. “Dia itu udah dijual sama suaminya buat nebus hutang. Jadi, dia itu udah jadi milik kami. Loe yang sebaiknya pergi atau nggak-“
Pria itu terdiam saat memperhatikan Adam yang tengah mengeluarkan ponsel dari sakunya. Pandangan curiga dilayangkan rentenir itu pada Adam.
“Ya, bawa polisi ke sini. Saya ada di sekitar Jalan Bolang Timur.” Merasa sedang diamati, Adam balik menatap tajam pada si rentenir. “Oke, 10 menit lagi sampai? Saya tunggu.”
Mendengar perkataan Adam barusan, ketiga pria berbaju hitam itu saling pandang. Mereka mulai ragu dan tampak cemas. Jika benar polisi akan datang ke tempat mereka sekarang, maka mereka bisa dalam masalah.
“Jangan menggertak!” Salah seorang dari mereka bersuara, mencoba untuk menghilangkan ketakutan kedua rekannya meski dia sendiri tak yakin.
“Heh! Apa kalian pikir saya sedang bercanda di situasi seperti ini? Biar saya beritahu, saya kenal baik dengan jaksa yang akan menuntut kalian sampai kalian mendekam busuk di penjara sangat lama. Dan tentu saja itu nggak akan lama terjadi. Setelah polisi datang, maka-“
“Sialan! Kita pergi!”
Belum selesai Adam bicara, ketiga pria itu berbalik pergi dengan kesal.
Adam diam cukup lama sepeninggal ketiga pria tadi. Dia hanya ingin memastikan jika ketiganya tak akan kembali.
“Mas beneran manggil polisi?” tanya Lila tiba-tiba.
“Nggak,” sahut Adam dengan wajah tersenyum. “Trik kecil seperti itu cukup untuk membuat para cecurut itu pergi.”
Lantas Adam mengamati wajah Lila yang pucat. Dia benar-benar mengkhawatirkan Lila karena sudah lama Lila tak memberi kabar. Itulah alasan Adam nekat mengunjungi Lila ke rumahnya meski mungkin tak disetujui Lila.
Pertengkaran Lila dengan ibunya karena sang ibu tak setuju atas pernikahannya membuat Lila memutuskan pergi dari rumah. Adam yang sempat menahan saat itu sama sekali tak digubris Lila. Karena itu, Adam tak punya pilihan lain kecuali mengunjungi Lila dan Raka jika waktunya luang.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Adam lirih.
“Aku baik-baik aja, Mas. Tapi… kenapa Mas ada di sini?”
“Mas khawatir sama kamu. Kenapa lama nggak ngasih kabar? Kamu sama Raka baik-baik aja, kan?”
“Raka… aku harus pulang, Mas.” Lila bergegas pergi, meninggalkan Adam sendiri.
“Lila, tunggu!”
Jelas sekali rasa cemas yang bisa dilihat Lila dari kedua mata Adam. Tetapi Lila juga tak mungkin menceritakan persoalan keluarganya itu pada Adam. Kakak angkatnya itu sudah terlalu banyak dia repotkan.
“Lila!” Adam berhasil mengejar Lila dan menahan lengan wanita itu. “Ada apa? Kenapa kamu kelihatan panik begitu?”
“A-aku baik-baik aja, Mas. Raka lagi kurang sehat, tapi sebentar lagi juga sembuh sih. Aku cuma nggak mau ninggalin dia sendirian,” tutur Lila agar Adam tak curiga.
Lila melayangkan senyumnya yang sejujurnya tampak dipaksakan.
“Terus yang tadi itu…” Adam diam sejenak. “Siapa mereka? Kenapa mereka bicara soal nebus hutang dan ngebawa kamu kayak gitu? Memangnya ada apa sebenarnya? Apa suami kamu-“
“Kenapa kamu malah ada di sini? Bukankah-“ Ridwan menatap sengit pada Adam. “Ngapain dia di sini?“
Seperti halnya Ridwan, Adam pun tak suka pada suami Lila ini. Tetapi Adam hanya bisa menahan ketidaksukaannya itu karena Lila.
Karena tak mendapat jawaban dari Lila, Adam akan menyasar Ridwan untuk berkata jujur. “Apa yang kamu lakukan, Ridwan? Kenapa Lila-“
“Mas Adam cuma mampir aja. Katanya kebetulan lagi ada kerjaan di dekat sini. Iya kan, Mas?” Lila buru-buru menyela ucapan Adam.
Lila tak ingin ada perselisihan lagi diantara Adam dan Ridwan. Masalah yang ada saat ini sudah cukup rumit dan Lila tak ingin semakin memperparahnya.
Adam menoleh pada Lila seakan ingin mengonfirmasi sesuatu. “Apa yang sebenarnya terjadi, La? Apa suamimu berbuat jahat padamu?”
“Sembarangan! Dasar kau-“ Hampir saja Ridwan melayangkan pukulannya ke wajah Adam jika Lila tidak segera beralih lantas berdiri di depan Ridwan, memunggunginya.
“Sebaiknya Mas pulang sekarang,” ujar Lila.
“Tapi kita harus bicara, La.” Adam tak menyerah. “Mas khawatir sama kamu. Kalau memang suami kamu-“
“Mas, aku mohon. Sebaiknya Mas pulang sekarang. Aku baik-baik aja, Mas. Jadi, Mas nggak perlu khawatir.”
“Tapi, La…”
“Kamu sudah dengar kan tadi? Dia bilang nggak ada apa-apa. Cepetan, sana pergi!” Ridwan semakin jumawa mendengar ucapan Lila.
Sesaat Adam terus menatap Lila. Dari tatapannya seakan Adam ingin Lila berpikir ulang memintanya pergi. Sayangnya Lila hanya diam saja, menatapnya lirih.
“Tolong, Mas. Pergilah sekarang. Aku mohon.”
Lila semakin frustasi melihat keadaan Raka yang semakin hari semakin mengkhawatirkan. Entah sudah berapa banyak air mata yang jatuh setiap kali dia mengompres dahi Raka. Obat warung yang dia beli kemarin sudah tinggal satu butir saja, namun kondisi Raka malah semakin memburuk.“Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku memang ibu yang nggak becus.”Isakan demi isakan yang terdengar di kamar sempit itu. Semalaman Lila tak bisa tidur karena terus terjaga demi Raka. Lila tak ingin lengah pada kondisi putranya. Jujur saja, Lila bahkan sering membayangkan Raka kejang-kejang.Astaga! Berulang kali pula Lila menepis pikiran buruk itu. Tidak! Raka pasti akan sembuh. Kata-kata itu yang terus dikuatkannya dalam hati.“Mas Ridwan nggak pulang lagi. Udah jam tiga shubuh. Ke mana lagi kamu, Mas?”“Mama… Mama… sakit…”Rengekan Raka membuyarkan lamunan Lila. Tangannya yang tadi terhenti saat memeras handuk kecil untuk kompres bergerak cepat. Handuk kompres yang ada di tangannya lantas ditempelkan ke
“Sepertinya kondisi ananda Raka semakin membaik. Jika visit dokter nanti hasilnya bagus, bisa jadi putra Ibu bisa segera pulang.”Senyum ramah seorang perawat yang baru saja memberikan obat dan vitamin untuk Raka dibalas Lila dengan senyum serupa. Lila lega jika ucapan perawat itu benar. Sudah cukup lama rasanya Raka harus berbaring terus seperti saat ini dan Lila yakin jika Raka pasti bosan.Pun Lila sudah suntuk sekali dengan suasana di rumah sakit. Dia rindu dengan udara bebas di luar sana.“Mudah-mudahan hasilnya memang baik dan seperti yang diharapkan, Sus. Kayaknya Raka juga udah pengen lari kesana-kemari,” sahut Lila sembari mengusap lembut pucuk kepala Raka.“Insya Allah ya, Ibu. Mudah-mudahan saja.”Suara pintu terbuka membuat perhatian Lila teralihkan. Rupanya Adam dan ibunya baru saja kembali dari supermarket. Katanya tadi Risma memang ingin membeli kue yang diminta Raka.“Saya permisi dulu, Bu.”“Terima kasih, Sus.”Lila menghampiri Adam dan membantunya mengeluarkan isi ka
“Lila, dari mana? Tadi Raka sempat nyariin.”Tepat saat Lila masuk ke rumah, dia berpapasan dengan Adam. Sikap Lila yang mendadak canggung tentu saja membuat Adam merasa janggal. Pandangan Adam terus menyelidik sehingga membuat Lila merasa tak nyaman.“Hmm… itu, Mas. Tadi aku kirain ada yang datang, tapi ternyata nggak ada.”Adam hanya mengernyitkan dahi. Meski alasan Lila terdengar mengherankan, namun Adam hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis di bibir.“Raka di mana, Mas?” Lila segera mengalihkan topik pembicaraan dan bergegas mencari keberadaan Raka.“Lagi ngambil minum ke dapur.”“Oh.”Sikap Lila berubah semenjak itu. Dia lebih banyak diam dan sering kali Adam mendapati Lila yang tengah melamun. Hanya saja setiap kali ditanya Lila selalu menjawab baik-baik saja.“Ada yang lagi kamu pikirkan ya, La?”Adam yang baru keluar kamar kemudian mendapati Lila sedang duduk sendirian di ruang keluarga memilih duduk di sebelah Lila. Dia juga menyodorkan lemon tea hangat yang baru saja di
“Raka… Raka… Mama nggak bisa kehilangan Raka. Tolong, Nak. Jangan begini…” Lila terus berjalan cepat mengikuti tim medis yang mendorong emergency bed menuju IGD. Wajahnya sudah basah, bercampur antara keringat dan air mata. Pucat pasi. “Harap tunggu di luar. Pasien akan kami tangani.” Seorang dokter lelaki menginterupsi Lila yang hendak masuk. Sepertinya karena kondisi yang tak memungkinkan, juga agar para tim medis bisa bekerja maksimal, siapapun tak boleh menemani Raka. “Tapi, Dokter. Anak saya…” Suara Lila terdengar tak jelas karena gemetar dan menahan tangis. “Maafkan kami, Dok. Kami akan tunggu di sini.” Adam menahan lengan Lila dan memintanya menurut. “Kita biarkan mereka melakukan tugasnya, La. Kita berdoa saja agar Raka bisa melewati semua ini.” Lila tak punya pilihan. Dari jarak yang sebenarnya tak terlampau jauh, Lila bahkan tak bisa melihat wajah anaknya. Penyesalan demi penyesalan terus bergumul dalam hatinya. Rasa bersalah itu terus mencuat, membuat dadanya bertambah
Rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang tak kunjung menemui titik akhir. Setiap kali Lila terlelap, bayang wajah Raka yang menangis dan memanggilnya terus menyayat hati.Berulang kali Lila meyakini dirinya jika akhir yang tak diinginkannya adalah suratan takdir, berulang kali pula rasa bersalah itu memenuhi dadanya. Sejak kepergian Raka, setiap malam Lila terus menangis sendirian di kamarnya hingga dia terlelap saking lelahnya.“Ini udah lebih dari seminggu, La. Kamu bahkan seharian bisa nggak makan. Minum pun Mas lihat cuma sedikit. Ini udah cukup, La. Kamu nggak bisa menyiksa dirimu terus seperti ini.”Suara Adam yang entah untuk kesekian kali hanya lewat di telinga Lila. Memang Lila mendengarnya, namun dia tak benar-benar mengindahkan. Hatinya seakan masih terkunci rapat untuk mendengarkan ucapan siapapun tentang Raka dan dirinya.“La…” Adam pun ikut frustasi melihat kondisi Lila yang memprihatinkan. Beberapa kali dia menghela napasnya berat.“Mas tahu kamu sangat merindukan Raka.
Plong!Harusnya Lila merasakan itu setelah melaporkan segalanya, kan? Tetapi nyatanya, hanya kehampaan yang ada. Hatinya masih saja terasa kosong sekuat apapun dia berusaha untuk mengisinya kembali.“Kamu baik-baik aja, La? Maaf karena kamu harus menjalani ini.”Adam yang berdiri di hadapan menatapnya sendu. Jelas sekali rasa khawatir itu dari kedua matanya.“Kenapa Mas malah minta maaf?” Lila menggelengkan kepala, mengisyaratkan jika dia baik-baik saja.“Mas nggak salah apa-apa. Jadi, jangan terus minta maaf sama aku, Mas.”Tak ingin berdebat kosong, Adam pun hanya mengangguk mengiyakan. Tetapi tetap saja Adam masih belum merasa tenang jika melihat wajah Lila yang masam. Untuk senyum saja, Lila susah sekali. Padahal sebelumnya setiap kali mereka bertemu, Lila tak akan pernah absen melayangkan senyumnya.Seakan mengerti arti raut wajah Adam, Lila segera merangkulkan tangannya pada lengan Adam. Adam yang tak menduga sikap Lila itu tergelak meski berusaha menyembunyikan keterkejutannya
“Jangan dengarkan ucapannya, La.” Saking tak tahannya Adam melihat Lila yang terus terdiam, dia angkat bicara juga. “Ridwan hanya merasa tersudut karena posisinya yang kini ditahan dan nggak ada seorang pun yang membela dia.”Ya. Lila ingin sekali menganggapnya seperti itu. Sikap dan perkataan Ridwan yang membuatnya sakit hati itu semata-mata karena Ridwan tak bisa berbuat apa-apa untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Hanya saja Lila tak bisa mengendalikan pikirannya yang terus overthinking.Usapan lembut tangan Adam di pucuk kepalanya membuat Lila terhenyak. Tatapan keduanya saling beradu dan tanpa bisa dicegah ada desiran aneh dalam dada Lila. Tiba-tiba saja Lila teringat ucapan Ridwan tadi. Tetapi tak mungkin, Lila pasti hanya salah paham.“Kenapa? Ada sesuatu yang kamu pikirin?”“E-eh? Nggak ada kok, Mas. Nggak ada apa-apa.”Tanpa disadari sepenuhnya, Lila menggeser duduknya menjauh dari Adam. Meski sebenarnya tak begitu berguna karena toh posisi tempat duduknya di mobil itu t
“Mas pengen nanya banyak pertanyaan sama kamu, La. Tapi Mas lebih milih nunggu kamu yang bicara.”Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu keduanya hanya duduk berhadapan tanpa bicara apapun. Lila bahkan tak berani mengangkat wajahnya dan hanya terpekur menatap isi cangkirnya yang mulai dingin.“A-aku nggak tahu mau bicara apa, Mas.” Masih dengan kepalanya yang tertunduk, Lila menutupi rasa gugupnya.Tetapi Lila lupa jika kepekaan Adam sangat luar biasa. Sedari dulu Adam selalu bisa menebak isi kepala Lila meski Lila tak mengucapkannya secara lantang. Pada akhirnya Lila akan mengakui segalanya pada Adam.Ah, momen ini mengingatkan Lila pada waktu lalu. Haruskah Lila mengungkapkan kegundahannya sekarang?“Kalau kamu ngerasa nggak enak sama Mas, sebaiknya cepat buang pikiran itu dari benak kamu, La. Sejujurnya Mas tahu apa yang mengganggumu, tapi Mas mau kamu yang bicara langsung.”“Aku beneran nggak punya apa-apa yang harus dibicarain, Mas. Aku sama sekali nggak mau ambil pusing soa