“Sepertinya kondisi ananda Raka semakin membaik. Jika visit dokter nanti hasilnya bagus, bisa jadi putra Ibu bisa segera pulang.”
Senyum ramah seorang perawat yang baru saja memberikan obat dan vitamin untuk Raka dibalas Lila dengan senyum serupa. Lila lega jika ucapan perawat itu benar. Sudah cukup lama rasanya Raka harus berbaring terus seperti saat ini dan Lila yakin jika Raka pasti bosan.
Pun Lila sudah suntuk sekali dengan suasana di rumah sakit. Dia rindu dengan udara bebas di luar sana.
“Mudah-mudahan hasilnya memang baik dan seperti yang diharapkan, Sus. Kayaknya Raka juga udah pengen lari kesana-kemari,” sahut Lila sembari mengusap lembut pucuk kepala Raka.
“Insya Allah ya, Ibu. Mudah-mudahan saja.”
Suara pintu terbuka membuat perhatian Lila teralihkan. Rupanya Adam dan ibunya baru saja kembali dari supermarket. Katanya tadi Risma memang ingin membeli kue yang diminta Raka.
“Saya permisi dulu, Bu.”
“Terima kasih, Sus.”
Lila menghampiri Adam dan membantunya mengeluarkan isi kantong kanvas berwarna biru di meja. Tepat saat itu pertanyaan Risma membuat aktivitas Lila terhenti.
“Oiya, Mas juga mau nanyain itu sama kamu, La. Sehabis Raka sembuh, kamu nggak berniat pulang ke rumah laki-laki itu, kan?”
Adam tak sudi menyebut nama lelaki yang telah membuat Lila sengsara selama ini. Andai saja Adam tahu lebih awal, dia pasti sudah melakukan sesuatu. Adam tak akan membiarkan Lila berkubang dalam kesedihan dan rasa sakit yang juga membuat hatinya nyeri.
“Tapi aku dan Raka nggak punya tempat buat pulang selain di sana, Mas.” Lila tak berani menatap Adam. Dia hanya tertunduk bingung.
“Lalu, kamu sebut apa tempat tinggal yang kamu diami lebih dari dua puluh tahun itu, Lila?”
Suara Risma meninggi. Sepertinya Risma tak bisa lagi menahan diri. Setelah pertemuan pertamanya dengan Lila di rumah sakit kala itu, Risma memilih untuk banyak diam. Bicara hanya seperlunya saja dan tak mengungkit apapun tentang kejadian masa lalu.
Tetapi sekarang Risma tak tahan lagi. Dia sungguh sangat gemas pada putri tunggalnya itu. Jika saja Lila menuruti perkataan Risma dulu, kejadian seperti ini tak akan ada.
“Ma, tenang dulu. Lila mungkin masih bingung. Tapi…” Sesaat Adam terdiam. Sengaja dia menjeda perkataannya untuk melihat reaksi Lila. “Tapi Adam yakin jika Lila akan mengambil keputusan terbaik. Benar kan, La?”
Awalnya Lila ragu namun Adam benar. Kejadian serupa mungkin akan dialaminya lagi jika dia kembali ke rumah Ridwan. Kontrakan itu hanya menjadi kenangan buruk baginya. Terlebih kebahagiaan Raka sekarang menjadi prioritas Lila.
“Kalau Lila pulang ke rumah Mama, apa yang akan terjadi, Mas? Selama ini aku udah bikin Mama kecewa dan-“
“Mama akan sangat senang, La.” Adam menyela Lila. “Selama ini Mama selalu nungguin kamu pulang. Bahkan setiap malam Mama selalu tidur di kamar kamu, La. Mas yakin kamu pasti juga merasakan rindu sebesar yang Mama rasakan. Hanya kamu putri kandung Mama, satu-satunya yang bisa membuat Mama tersenyum bahagia.”
“Mas…” Kedua mata Lila berkaca-kaca. Cepat dia menyeka ujung matanya yang mulai basah. “Mas juga sama berartinya buat Mama.”
Langkah Lila terhenti saat pandangannya mendapati sebuah foto yang terpajang di dinding ruang depan rumah masa kecilnya itu. Sudah berapa tahun Lila tak pernah menginjakkan kakinya di sana? Rasanya seperti masuk ke rumah yang bukanlah miliknya. Perasaan asing itu ternyata masih membuat hatinya janggal.
“Ayo, La.”
Lengan Adam yang melingkar di bahunya menyadarkan Lila. Sekilas Lila menoleh sembari tersenyum canggung. Bukannya dia tak bersyukur atas perhatian dan bantuan ibu dan kakak angkatnya itu, hanya saja Lila merasa jika dia tak pantas. Dirinya yang telah mengecewakan sang ibu seharusnya sudah tak dianggap lagi sebagai keluarga. Begitu pikirnya.
“Mama sendiri yang rapihin semua yang ada di kamar ini, La. Gimana menurut kamu, La? Raka juga suka kan sama kamar ini?” Kini Risma berjalan ke sisi kanan kamar dekat jendela besar. “Oiya, Mama cuma nambahin rak di sini. Buat nyimpen mainan-mainan yang kemarin Mama beli buat Raka.”
Melihat ibunya yang begitu antusias membuat Lila malah menitikkan air mata. Dia tak bisa lagi menyembunyikan perasaannya itu. Sungkan, namun sejujurnya dia sangat rindu dengan semua perhatian itu.
“Mama kok nangis?” Raka yang pertama kali menyadari.
“Nangis?” Risma ikut panik. “Kenapa, La? Kamu nggak suka, ya? Ya udah nanti biar Adam-“
“Nggak, Ma. Aku suka… aku suka…” Menanggalkan egonya, Lila lantas berhambur memeluk sang ibu. “Maafin Lila, Ma. Tolong maafin Lila…”
Tak bisa Lila tampik jika keputusannya untuk tinggal di rumah sang ibu adalah benar. Seperti saat ini saja Lila tak bisa berhenti tersenyum melihat Raka yang terus berlarian di taman kecil belakang rumah itu. Ditemani Adam yang memilih cuti hari ini, sengaja untuk menghabiskan waktu dengan Raka.
“Mbak Lila, maaf…”
Seorang pembantu di rumah itu menghampiri Lila yang duduk di kursi taman. Lila pun memberikan senyum paling ramah meski dia baru beberapa hari ini mengenal wanita paruh baya itu.
“Iya Bi Inah, kenapa?”
“Itu, Mbak. Di depan ada orang yang nyariin Mbak Lila.”
“Siapa?”
“Orangnya nggak bilang, Mbak. Tapi katanya Mbak pasti kenal.”
Lila berpikir keras. Siapa yang mendatangi rumahnya itu dan hendak bertemu dengannya? Seingatnya tak seorang pun tahu kalau dia ada di sana.
“Gimana, Mbak? Mau ditemui atau saya bilang Mbak-nya nggak ada aja?”
Lila lantas bangkit sembari tersenyum lagi.
“Saya temui aja, Bi. Makasih ya, Bi.”
Awalnya Lila tak yakin dengan penglihatannya sekarang. Tak mungkin jika Ridwan yang datang. Pria itu nekat sekali jika sampai melakukannya. Tetapi postur tubuh dan punggung pria yang berdiri di depan pagar rumahnya itu sama persis dengan Ridwan.
Tepat saat sosok itu berbalik, tubuh Lila seketika menegang. Wajahnya berubah pias. Tangannya gemetar. Rasa takut itu kembali.
“Akhirnya kamu keluar juga,” cetus Ridwan, menyeringai.
“Mas… mau apa Mas kesini?” Lila masih berdiri agak jauh dengan Ridwan.
Ridwan melesak masuk melalui pintu gerbang yang sedikit terbuka. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan Lila kuat.
“Sakit, Mas.” Lila berusaha untuk melepaskan tangannya namun nihil.
“Berani ya kamu kabur ke sini, hah?” cetus Ridwan lagi dengan mata yang penuh amarah.
“Mas, lepas!”
Ridwan malah menarik tangan Lila lebih kuat dan membuat tubuh Lila ikut tertarik juga. Sekarang Lila berada di dalam dekapan Ridwan. Lila bisa merasakan udara panas dari mulut Ridwan di dekat telinganya.
“Kamu nggak akan bisa lepas dariku, Lila. Suka atau nggak, kamu akan tetap kembali padaku. Itulah takdirmu.”
“Lila, dari mana? Tadi Raka sempat nyariin.”Tepat saat Lila masuk ke rumah, dia berpapasan dengan Adam. Sikap Lila yang mendadak canggung tentu saja membuat Adam merasa janggal. Pandangan Adam terus menyelidik sehingga membuat Lila merasa tak nyaman.“Hmm… itu, Mas. Tadi aku kirain ada yang datang, tapi ternyata nggak ada.”Adam hanya mengernyitkan dahi. Meski alasan Lila terdengar mengherankan, namun Adam hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis di bibir.“Raka di mana, Mas?” Lila segera mengalihkan topik pembicaraan dan bergegas mencari keberadaan Raka.“Lagi ngambil minum ke dapur.”“Oh.”Sikap Lila berubah semenjak itu. Dia lebih banyak diam dan sering kali Adam mendapati Lila yang tengah melamun. Hanya saja setiap kali ditanya Lila selalu menjawab baik-baik saja.“Ada yang lagi kamu pikirkan ya, La?”Adam yang baru keluar kamar kemudian mendapati Lila sedang duduk sendirian di ruang keluarga memilih duduk di sebelah Lila. Dia juga menyodorkan lemon tea hangat yang baru saja di
“Raka… Raka… Mama nggak bisa kehilangan Raka. Tolong, Nak. Jangan begini…” Lila terus berjalan cepat mengikuti tim medis yang mendorong emergency bed menuju IGD. Wajahnya sudah basah, bercampur antara keringat dan air mata. Pucat pasi. “Harap tunggu di luar. Pasien akan kami tangani.” Seorang dokter lelaki menginterupsi Lila yang hendak masuk. Sepertinya karena kondisi yang tak memungkinkan, juga agar para tim medis bisa bekerja maksimal, siapapun tak boleh menemani Raka. “Tapi, Dokter. Anak saya…” Suara Lila terdengar tak jelas karena gemetar dan menahan tangis. “Maafkan kami, Dok. Kami akan tunggu di sini.” Adam menahan lengan Lila dan memintanya menurut. “Kita biarkan mereka melakukan tugasnya, La. Kita berdoa saja agar Raka bisa melewati semua ini.” Lila tak punya pilihan. Dari jarak yang sebenarnya tak terlampau jauh, Lila bahkan tak bisa melihat wajah anaknya. Penyesalan demi penyesalan terus bergumul dalam hatinya. Rasa bersalah itu terus mencuat, membuat dadanya bertambah
Rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang tak kunjung menemui titik akhir. Setiap kali Lila terlelap, bayang wajah Raka yang menangis dan memanggilnya terus menyayat hati.Berulang kali Lila meyakini dirinya jika akhir yang tak diinginkannya adalah suratan takdir, berulang kali pula rasa bersalah itu memenuhi dadanya. Sejak kepergian Raka, setiap malam Lila terus menangis sendirian di kamarnya hingga dia terlelap saking lelahnya.“Ini udah lebih dari seminggu, La. Kamu bahkan seharian bisa nggak makan. Minum pun Mas lihat cuma sedikit. Ini udah cukup, La. Kamu nggak bisa menyiksa dirimu terus seperti ini.”Suara Adam yang entah untuk kesekian kali hanya lewat di telinga Lila. Memang Lila mendengarnya, namun dia tak benar-benar mengindahkan. Hatinya seakan masih terkunci rapat untuk mendengarkan ucapan siapapun tentang Raka dan dirinya.“La…” Adam pun ikut frustasi melihat kondisi Lila yang memprihatinkan. Beberapa kali dia menghela napasnya berat.“Mas tahu kamu sangat merindukan Raka.
Plong!Harusnya Lila merasakan itu setelah melaporkan segalanya, kan? Tetapi nyatanya, hanya kehampaan yang ada. Hatinya masih saja terasa kosong sekuat apapun dia berusaha untuk mengisinya kembali.“Kamu baik-baik aja, La? Maaf karena kamu harus menjalani ini.”Adam yang berdiri di hadapan menatapnya sendu. Jelas sekali rasa khawatir itu dari kedua matanya.“Kenapa Mas malah minta maaf?” Lila menggelengkan kepala, mengisyaratkan jika dia baik-baik saja.“Mas nggak salah apa-apa. Jadi, jangan terus minta maaf sama aku, Mas.”Tak ingin berdebat kosong, Adam pun hanya mengangguk mengiyakan. Tetapi tetap saja Adam masih belum merasa tenang jika melihat wajah Lila yang masam. Untuk senyum saja, Lila susah sekali. Padahal sebelumnya setiap kali mereka bertemu, Lila tak akan pernah absen melayangkan senyumnya.Seakan mengerti arti raut wajah Adam, Lila segera merangkulkan tangannya pada lengan Adam. Adam yang tak menduga sikap Lila itu tergelak meski berusaha menyembunyikan keterkejutannya
“Jangan dengarkan ucapannya, La.” Saking tak tahannya Adam melihat Lila yang terus terdiam, dia angkat bicara juga. “Ridwan hanya merasa tersudut karena posisinya yang kini ditahan dan nggak ada seorang pun yang membela dia.”Ya. Lila ingin sekali menganggapnya seperti itu. Sikap dan perkataan Ridwan yang membuatnya sakit hati itu semata-mata karena Ridwan tak bisa berbuat apa-apa untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Hanya saja Lila tak bisa mengendalikan pikirannya yang terus overthinking.Usapan lembut tangan Adam di pucuk kepalanya membuat Lila terhenyak. Tatapan keduanya saling beradu dan tanpa bisa dicegah ada desiran aneh dalam dada Lila. Tiba-tiba saja Lila teringat ucapan Ridwan tadi. Tetapi tak mungkin, Lila pasti hanya salah paham.“Kenapa? Ada sesuatu yang kamu pikirin?”“E-eh? Nggak ada kok, Mas. Nggak ada apa-apa.”Tanpa disadari sepenuhnya, Lila menggeser duduknya menjauh dari Adam. Meski sebenarnya tak begitu berguna karena toh posisi tempat duduknya di mobil itu t
“Mas pengen nanya banyak pertanyaan sama kamu, La. Tapi Mas lebih milih nunggu kamu yang bicara.”Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu keduanya hanya duduk berhadapan tanpa bicara apapun. Lila bahkan tak berani mengangkat wajahnya dan hanya terpekur menatap isi cangkirnya yang mulai dingin.“A-aku nggak tahu mau bicara apa, Mas.” Masih dengan kepalanya yang tertunduk, Lila menutupi rasa gugupnya.Tetapi Lila lupa jika kepekaan Adam sangat luar biasa. Sedari dulu Adam selalu bisa menebak isi kepala Lila meski Lila tak mengucapkannya secara lantang. Pada akhirnya Lila akan mengakui segalanya pada Adam.Ah, momen ini mengingatkan Lila pada waktu lalu. Haruskah Lila mengungkapkan kegundahannya sekarang?“Kalau kamu ngerasa nggak enak sama Mas, sebaiknya cepat buang pikiran itu dari benak kamu, La. Sejujurnya Mas tahu apa yang mengganggumu, tapi Mas mau kamu yang bicara langsung.”“Aku beneran nggak punya apa-apa yang harus dibicarain, Mas. Aku sama sekali nggak mau ambil pusing soa
Sejak tadi Risma hanya mengamati dua sosok yang duduk saling berhadapan di ruang makan itu. Sesekali Risma melirik pada Lila lalu beralih pada Adam. Lama-kelamaan Risma tak nyaman juga dengan atmosfer aneh yang muncul.“Gimana kerjaan di kantor, Dam? Ada masalah nggak? Eh-iya, kalian jadi liburannya, kan?”“Aku nggak jadi pergi, Ma.” Lila yang bersuara.“Kenapa?” Kini giliran Adam yang memprotes.Risma pun hendak melakukan hal serupa namun memilih untuk mendengarkan penjelasan Lila dulu.“Kayaknya nggak perlu aja sih, Ma.” Dalam benaknya Lila terus mencari alasan.“Ada hal lain yang mau kamu lakuin?” tanya Adam yang juga penasaran atas alasan Lila membatalkan rencana beberapa hari lalu itu.Sebisa mungkin Lila menebar senyumnya meski enggan. Jika sebelumnya dia yakin akan bersikap biasa saja di hadapan Adam setelah kejadian kemarin di kantor, nyatanya Lila tak bisa.“Aku cuma ngerasa nggak perlu aja, Mas. Lagi pula aku juga nggak enak sama Mbak Maya kalau harus minta Mas temenin buat
Lila terus bersimpuh di sisi pusara Raka. Tangisnya tak kunjung reda, malah menyatu dengan hujan yang sama derasnya. Jemarinya yang kedinginan, pucat dan gemetar hanya bisa menyentuh rerumputan hijau di atasnya. Pandangannya begitu mendamba sosok mungil yang bersemayam di bawah sana namun tak bisa didekapnya erat.“Mama kangen sama Raka. Mama kangen banget, Sayang.”Entah sudah berapa lama Lila berada di sana. Sejak shubuh tadi setelah Lila mendapatkan telepon dari rumah sakit, tanpa berpikir panjang lagi Lila pergi. Dia bahkan tak memberitahu Adam.“Apa yang harus Mama lakukan sekarang, Nak? Mama bahkan nggak tahu lagi harus hidup untuk apa.” Tatapan sendu yang semula tertunduk kini beralih menatap nama yang terukir pada nisan. “Mama pengen ketemu Raka. Mama pengen meluk Raka lagi. Rasanya Mama mungkin bisa lakuin apa saja asal bisa ketemu Raka.”Gelegar suara guntur semakin mengerikan terdengar. Tetapi gelapnya langit sama sekali tak membuat Lila berpindah. Dia hanya terus menangis