“Lila, dari mana? Tadi Raka sempat nyariin.”
Tepat saat Lila masuk ke rumah, dia berpapasan dengan Adam. Sikap Lila yang mendadak canggung tentu saja membuat Adam merasa janggal. Pandangan Adam terus menyelidik sehingga membuat Lila merasa tak nyaman.
“Hmm… itu, Mas. Tadi aku kirain ada yang datang, tapi ternyata nggak ada.”
Adam hanya mengernyitkan dahi. Meski alasan Lila terdengar mengherankan, namun Adam hanya mengangguk kecil dengan senyum tipis di bibir.
“Raka di mana, Mas?” Lila segera mengalihkan topik pembicaraan dan bergegas mencari keberadaan Raka.
“Lagi ngambil minum ke dapur.”
“Oh.”
Sikap Lila berubah semenjak itu. Dia lebih banyak diam dan sering kali Adam mendapati Lila yang tengah melamun. Hanya saja setiap kali ditanya Lila selalu menjawab baik-baik saja.
“Ada yang lagi kamu pikirkan ya, La?”
Adam yang baru keluar kamar kemudian mendapati Lila sedang duduk sendirian di ruang keluarga memilih duduk di sebelah Lila. Dia juga menyodorkan lemon tea hangat yang baru saja dibuatnya. Adam pikir jika Lila lebih membutuhkannya, mungkin bisa untuk sedikit menenangkan suasana hati wanita di sampingnya itu.
Lila menyambut mug itu dengan kikuk. Lantas Lila tersenyum tipis namun pandangannya segera ia edarkan ke sisi lain. Lila tak sanggup rasanya jika harus berlama-lama menatap Adam.
“Handphone-nya bunyi, La.”
Benar. Lila hampir saja menjatuhkan mug di tangannya karena kaget. Beberapa kali Lila menelan salivanya lantas dengan cepat dia mengambil ponsel dari atas meja dan menggenggamnya erat.
“Nggak dijawab?” tanya Adam yang semakin penasaran.
Sejujurnya pria itu ingin tahu sebenarnya siapa yang terus menghubungi Lila itu. Ponsel yang digunakan Lila saat ini baru dan Adam pikir jika nomor kontak di dalamnya pasti masih terhitung jari. Bahkan mungkin hanya ada namanya dan nama sang ibu. Lantas, siapa yang sejak tadi terus menghubungi Lila itu namun tak dijawabnya?
“Oh-nggak usah,” sahut Lila. “Itu… hmm… Mbak Mila yang tinggal di dekat rumah aku dulu, Mas. Mbak Mila terus nanyain kapan aku pulang. Aku nggak tahu mau jawab apa jadi nggak usah dijawab aja.”
Sebisa mungkin Lila terus mengembangkan senyumnya. Tetapi entah mengapa Adam tetap merasa ada yang tidak beres.
“Ya sudah.” Adam tak mau memperpanjang persoalan.
Saat Adam kembali menemani Raka bermain, diam-diam Lila membuka isi pesan yang berderet banyak. Semuanya berasal dari satu orang yang sama. Ridwan. Suaminya itu terus saja menerornya dengan segala macam keinginan ini-itu jika Lila tak mau pulang.
Minta diberi uang yang jelas tak bisa Lila penuhi. Dari mana Lila mendapatkan uang jutaan rupiah? Meminta dari ibunya? Jelas tak mungkin.
“Harusnya aku nggak pernah ngasih nomor handphone sama Mas Ridwan,” sesal Lila.
Sayangnya, keputusannya beberapa hari lalu saat Ridwan datang menemuinya itu tak bisa diputar ulang. Nasi sudah terlanjur menjadi bubur.
“La, kalau memang ada sesuatu yang mau kamu ceritain sama Mas. Cerita aja, ya.” Tiba-tiba saja Adam membuka pembicaraan semenjak mereka meninggalkan rumah untuk mengajak Raka ke area playground di sebuah mall.
“Belum ada sih, Mas.” Lila melengkungkan senyum, kikuk. “Kalau ada nanti pasti Lila bilang sama Mas Adam.”
Adam hanya menatap Lila sesaat. Adam mengangguk pelan namun Lila bisa mendengar helaan napas berat Adam. Tetapi Lila tak bisa berbuat apa-apa. Sudah cukup dia merepotkan Adam, kali ini biar Lila yang menangani sendiri.
Lila yakin jika Ridwan akan berhenti mengusiknya jika dia tak menggubris. Buktinya, berbeda dengan hari-hari sebelumnya, hari ini Ridwan tak mengirimkan chat pada Lila atau berusaha meneleponnya lagi.
“Sebentar ya, La. Ada telepon dulu.”
“Iya, nggak apa-apa, Mas. Biar aku yang jagain Raka.”
Adam pun berjalan ke sisi lain untuk menerima sambungan telepon itu, sementara Lila kembali berfokus pada Raka yang sedang berlari ke arahnya.
“Ma, Raka mau nyoba main yang lain.” Raka tampak mengedarkan pandangannya ke sekitar. “Itu! Raka mau ke mainan yang ada mobil-mobil gede itu.”
Lila menyipitkan mata sedikit. Rupanya telunjuk Raka mengarah pada arena Bom Bom Car. Berbekal uang yang diberikan Adam sebelum mereka pergi tadi, Lila pun mengiyakan keinginan Raka itu. Biar nanti saja Lila memberitahu Adam jika pria itu menghubunginya.
“Raka!”
Di tengah jalan Lila merasakan tangannya yang ditarik dari belakang. Rupanya tangan Raka yang menariknya. Lila tercengang saat mendapati sosok lain yang memegang Raka. Lengan pria bertopi itu sudah membelit badan Raka dan satu tangan lagi membekap mulut Raka.
Sosok itu cepat sekali membawa Raka pergi. Menuju lorong sepi yang mengarah ke tangga darurat, Lila mencoba mengejarnya. Sayang sekali, kecepatan kakinya kurang gesit dibandingkan dengan Ridwan yang sudah membawa Raka pergi jauh.
“Apa yang kamu lakukan, Mas?” Lila bisa melihat Ridwan yang sudah berada di anak tangga di bawahnya.
“Kamu yang memulainya, Lila!” ketus Ridwan. “Harusnya kamu menurut saja! Sudah kubilang kalau kamu mencoba untuk macam-macam, maka aku akan membuatmu menyesal seumur hidup kamu!”
Lila masih berusaha untuk mengejar Ridwan. Meski terus berlari ke bawah, namun entah mengapa energinya terkuras sangat cepat. Lila tak bisa mengejar Ridwan.
“Mas, hati-hati!” Lila ngeri sendiri melihat turunan tangga yang tampak curam jika dilihat dari atas.
“Mama!” Suara Raka terdengar putus asa, membuat Lila segera mempercepat langkahnya.
“Diam kau, Bocah!” Ridwan kembali menarik Raka yang hendak melepaskan diri.
Raka yang berusaha lari ke atas ditarik Ridwan lagi. Raka yang ketakutan nekat menggigit tangan Ridwan sehingga pria itu berteriak kesakitan.
“Raka, jangan! Raka, hati-hati, Nak.”
Lila bisa melihat Raka yang kembali berlari menuju ke arahnya, namun entah apa yang terjadi tiba-tiba saja badan Raka malah berguling-guling dari satu anak tangga menuju anak tangga lain di bawahnya.
Tubuh Lila seketika menegang. Kedua matanya bahkan tak bisa berkedip sama sekali. Dunianya seakan terhenti selama beberapa saat. Membuat jeda yang mencekam.
“Sialan! Dasar Bocah Gendeng!” seru Ridwan sembari pergi begitu saja.
Seruan Ridwan membuat Lila tersadar. Apa yang dilihatnya barusan bukanlah halusinasi. Raka benar-benar terjatuh dari tangga dan sekarang tergeletak begitu saja, tak sadarkan diri.
“Raka! Raka, tunggu Mama, Nak. Tunggu…”
Lila terus bergerak menuju lokasi Raka sekarang. Pandangannya mulai buram oleh air mata yang terus menggenang. Perlahan tangannya yang gemetar terulur pada wajah Raka. Disentuhnya pipi Raka ragu-ragu.
“Raka… bangun, Nak. Raka…”
Saat Lila mencoba untuk mengangkat tubuh Raka, tangannya merasakan sesuatu yang aneh di belakang kepala Raka. Basah. Kedua matanya membeliak lebar saat dia mendapati darah di telapak tangannya. Dunia Lila seakan runtuh dalam sekejap.
“Raka…”
“Raka… Raka… Mama nggak bisa kehilangan Raka. Tolong, Nak. Jangan begini…” Lila terus berjalan cepat mengikuti tim medis yang mendorong emergency bed menuju IGD. Wajahnya sudah basah, bercampur antara keringat dan air mata. Pucat pasi. “Harap tunggu di luar. Pasien akan kami tangani.” Seorang dokter lelaki menginterupsi Lila yang hendak masuk. Sepertinya karena kondisi yang tak memungkinkan, juga agar para tim medis bisa bekerja maksimal, siapapun tak boleh menemani Raka. “Tapi, Dokter. Anak saya…” Suara Lila terdengar tak jelas karena gemetar dan menahan tangis. “Maafkan kami, Dok. Kami akan tunggu di sini.” Adam menahan lengan Lila dan memintanya menurut. “Kita biarkan mereka melakukan tugasnya, La. Kita berdoa saja agar Raka bisa melewati semua ini.” Lila tak punya pilihan. Dari jarak yang sebenarnya tak terlampau jauh, Lila bahkan tak bisa melihat wajah anaknya. Penyesalan demi penyesalan terus bergumul dalam hatinya. Rasa bersalah itu terus mencuat, membuat dadanya bertambah
Rasanya seperti mimpi. Mimpi buruk yang tak kunjung menemui titik akhir. Setiap kali Lila terlelap, bayang wajah Raka yang menangis dan memanggilnya terus menyayat hati.Berulang kali Lila meyakini dirinya jika akhir yang tak diinginkannya adalah suratan takdir, berulang kali pula rasa bersalah itu memenuhi dadanya. Sejak kepergian Raka, setiap malam Lila terus menangis sendirian di kamarnya hingga dia terlelap saking lelahnya.“Ini udah lebih dari seminggu, La. Kamu bahkan seharian bisa nggak makan. Minum pun Mas lihat cuma sedikit. Ini udah cukup, La. Kamu nggak bisa menyiksa dirimu terus seperti ini.”Suara Adam yang entah untuk kesekian kali hanya lewat di telinga Lila. Memang Lila mendengarnya, namun dia tak benar-benar mengindahkan. Hatinya seakan masih terkunci rapat untuk mendengarkan ucapan siapapun tentang Raka dan dirinya.“La…” Adam pun ikut frustasi melihat kondisi Lila yang memprihatinkan. Beberapa kali dia menghela napasnya berat.“Mas tahu kamu sangat merindukan Raka.
Plong!Harusnya Lila merasakan itu setelah melaporkan segalanya, kan? Tetapi nyatanya, hanya kehampaan yang ada. Hatinya masih saja terasa kosong sekuat apapun dia berusaha untuk mengisinya kembali.“Kamu baik-baik aja, La? Maaf karena kamu harus menjalani ini.”Adam yang berdiri di hadapan menatapnya sendu. Jelas sekali rasa khawatir itu dari kedua matanya.“Kenapa Mas malah minta maaf?” Lila menggelengkan kepala, mengisyaratkan jika dia baik-baik saja.“Mas nggak salah apa-apa. Jadi, jangan terus minta maaf sama aku, Mas.”Tak ingin berdebat kosong, Adam pun hanya mengangguk mengiyakan. Tetapi tetap saja Adam masih belum merasa tenang jika melihat wajah Lila yang masam. Untuk senyum saja, Lila susah sekali. Padahal sebelumnya setiap kali mereka bertemu, Lila tak akan pernah absen melayangkan senyumnya.Seakan mengerti arti raut wajah Adam, Lila segera merangkulkan tangannya pada lengan Adam. Adam yang tak menduga sikap Lila itu tergelak meski berusaha menyembunyikan keterkejutannya
“Jangan dengarkan ucapannya, La.” Saking tak tahannya Adam melihat Lila yang terus terdiam, dia angkat bicara juga. “Ridwan hanya merasa tersudut karena posisinya yang kini ditahan dan nggak ada seorang pun yang membela dia.”Ya. Lila ingin sekali menganggapnya seperti itu. Sikap dan perkataan Ridwan yang membuatnya sakit hati itu semata-mata karena Ridwan tak bisa berbuat apa-apa untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Hanya saja Lila tak bisa mengendalikan pikirannya yang terus overthinking.Usapan lembut tangan Adam di pucuk kepalanya membuat Lila terhenyak. Tatapan keduanya saling beradu dan tanpa bisa dicegah ada desiran aneh dalam dada Lila. Tiba-tiba saja Lila teringat ucapan Ridwan tadi. Tetapi tak mungkin, Lila pasti hanya salah paham.“Kenapa? Ada sesuatu yang kamu pikirin?”“E-eh? Nggak ada kok, Mas. Nggak ada apa-apa.”Tanpa disadari sepenuhnya, Lila menggeser duduknya menjauh dari Adam. Meski sebenarnya tak begitu berguna karena toh posisi tempat duduknya di mobil itu t
“Mas pengen nanya banyak pertanyaan sama kamu, La. Tapi Mas lebih milih nunggu kamu yang bicara.”Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu keduanya hanya duduk berhadapan tanpa bicara apapun. Lila bahkan tak berani mengangkat wajahnya dan hanya terpekur menatap isi cangkirnya yang mulai dingin.“A-aku nggak tahu mau bicara apa, Mas.” Masih dengan kepalanya yang tertunduk, Lila menutupi rasa gugupnya.Tetapi Lila lupa jika kepekaan Adam sangat luar biasa. Sedari dulu Adam selalu bisa menebak isi kepala Lila meski Lila tak mengucapkannya secara lantang. Pada akhirnya Lila akan mengakui segalanya pada Adam.Ah, momen ini mengingatkan Lila pada waktu lalu. Haruskah Lila mengungkapkan kegundahannya sekarang?“Kalau kamu ngerasa nggak enak sama Mas, sebaiknya cepat buang pikiran itu dari benak kamu, La. Sejujurnya Mas tahu apa yang mengganggumu, tapi Mas mau kamu yang bicara langsung.”“Aku beneran nggak punya apa-apa yang harus dibicarain, Mas. Aku sama sekali nggak mau ambil pusing soa
Sejak tadi Risma hanya mengamati dua sosok yang duduk saling berhadapan di ruang makan itu. Sesekali Risma melirik pada Lila lalu beralih pada Adam. Lama-kelamaan Risma tak nyaman juga dengan atmosfer aneh yang muncul.“Gimana kerjaan di kantor, Dam? Ada masalah nggak? Eh-iya, kalian jadi liburannya, kan?”“Aku nggak jadi pergi, Ma.” Lila yang bersuara.“Kenapa?” Kini giliran Adam yang memprotes.Risma pun hendak melakukan hal serupa namun memilih untuk mendengarkan penjelasan Lila dulu.“Kayaknya nggak perlu aja sih, Ma.” Dalam benaknya Lila terus mencari alasan.“Ada hal lain yang mau kamu lakuin?” tanya Adam yang juga penasaran atas alasan Lila membatalkan rencana beberapa hari lalu itu.Sebisa mungkin Lila menebar senyumnya meski enggan. Jika sebelumnya dia yakin akan bersikap biasa saja di hadapan Adam setelah kejadian kemarin di kantor, nyatanya Lila tak bisa.“Aku cuma ngerasa nggak perlu aja, Mas. Lagi pula aku juga nggak enak sama Mbak Maya kalau harus minta Mas temenin buat
Lila terus bersimpuh di sisi pusara Raka. Tangisnya tak kunjung reda, malah menyatu dengan hujan yang sama derasnya. Jemarinya yang kedinginan, pucat dan gemetar hanya bisa menyentuh rerumputan hijau di atasnya. Pandangannya begitu mendamba sosok mungil yang bersemayam di bawah sana namun tak bisa didekapnya erat.“Mama kangen sama Raka. Mama kangen banget, Sayang.”Entah sudah berapa lama Lila berada di sana. Sejak shubuh tadi setelah Lila mendapatkan telepon dari rumah sakit, tanpa berpikir panjang lagi Lila pergi. Dia bahkan tak memberitahu Adam.“Apa yang harus Mama lakukan sekarang, Nak? Mama bahkan nggak tahu lagi harus hidup untuk apa.” Tatapan sendu yang semula tertunduk kini beralih menatap nama yang terukir pada nisan. “Mama pengen ketemu Raka. Mama pengen meluk Raka lagi. Rasanya Mama mungkin bisa lakuin apa saja asal bisa ketemu Raka.”Gelegar suara guntur semakin mengerikan terdengar. Tetapi gelapnya langit sama sekali tak membuat Lila berpindah. Dia hanya terus menangis
Semburat merah masih saja menjalar di wajah Lila. Jika ada kata yang bisa mewakili selain ‘rasa memalukan’, maka itulah yang akan Lila gunakan untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Bagaimana tidak, dengan begitu percaya dirinya Lila terus berbisik dalam hati jika Adam akan menciumnya tepat di bibir. Meski malu tapi Lila juga tak bisa mengingkari bisikan hatinya berharap seperti itu. Hanya saja akhir cerita menjadi adegan paling memalukan dalam hidupnya. Sehingga meski sekarang sudah siang bolong sekalipun Lila tak berani keluar kamar dan bertemu mata dengan Adam.“Pasti saking panasnya badan aku kemarin, otakku juga ikut hilang fungsinya.” Lila mengusap wajahnya gusar. “Ya ampun, La! Makin diingat makin bikin malu aja!”“Gimana ini? Kalau ketemu Mas Adam, mau ditaruh di mana muka ini?” Lila terus menggerutu. “Kenapa sih, La? Kenapa kamu bodoh amat sih? Bisa-bisanya mikir kalau Mas Adam itu su-““La? Ini Mas. Boleh masuk, enggak? Mama nyuruh Mas bawain puding nih.”Duh! Perhati