Plong!
Harusnya Lila merasakan itu setelah melaporkan segalanya, kan? Tetapi nyatanya, hanya kehampaan yang ada. Hatinya masih saja terasa kosong sekuat apapun dia berusaha untuk mengisinya kembali.
“Kamu baik-baik aja, La? Maaf karena kamu harus menjalani ini.”
Adam yang berdiri di hadapan menatapnya sendu. Jelas sekali rasa khawatir itu dari kedua matanya.
“Kenapa Mas malah minta maaf?” Lila menggelengkan kepala, mengisyaratkan jika dia baik-baik saja.
“Mas nggak salah apa-apa. Jadi, jangan terus minta maaf sama aku, Mas.”
Tak ingin berdebat kosong, Adam pun hanya mengangguk mengiyakan. Tetapi tetap saja Adam masih belum merasa tenang jika melihat wajah Lila yang masam. Untuk senyum saja, Lila susah sekali. Padahal sebelumnya setiap kali mereka bertemu, Lila tak akan pernah absen melayangkan senyumnya.
Seakan mengerti arti raut wajah Adam, Lila segera merangkulkan tangannya pada lengan Adam. Adam yang tak menduga sikap Lila itu tergelak meski berusaha menyembunyikan keterkejutannya itu.
“Aku beneran nggak apa-apa, Mas.” Senyum Lila kembali terukir. “Memang sih belum sembuh seutuhnya, tapi hati aku udah bisa mulai menerima. Apapun yang terjadi sekarang, pasti ada hikmahnya. Itu yang aku coba yakinin ke hati aku, Mas.”
Mendengarnya Adam tak tahan untuk mengusap pucuk kepala Lila. Seharusnya Lila bersikap biasa saja karena memang wajar jika seorang kakak menunjukkan sisi perhatiannya seperti itu, namun entah mengapa hatinya malah terusik.
Bisa Lila rasakan kalau sekarang wajahnya sudah menghangat. Rona merah itu pasti sudah menguar di wajahnya. Bahkan ada sekelebit perasaan yang terasa janggal di hatinya.
Mereka berjalan keluar. Adam membukakan pintu mobil, namun melihat Lila hanya termenung membuatnya ragu.
“Ada apa, La?”
Lila hanya menatap Adam dengan sorot berbeda. Sekilas Adam seperti melihat kedua manik indah itu kini tengah berkaca-kaca. Sontak panik pun mulai menggerogoti hatinya lagi.
“La, ada apa?” tanyanya lagi mendesak Lila agar segera bicara. Demi Tuhan, Adam tak sanggup jika harus bermain teka-teki lagi tentang perasaan Lila.
“Hmm… aku nggak tahu apa ini sesuatu yang benar atau salah. Tapi, aku pengen mastiin sesuatu, Mas.”
“Mastiin apa, La? Bicara lebih jelas biar Mas ngerti.” Kesabaran Adam sudah di ujung tanduk.
Pandangan Lila kembali tertuju pada kantor yang baru saja mereka jambangi itu. Adam yang keheranan mengikuti arah pandang Lila dan seketika raut wajahnya berubah. Ada emosi yang tengah bercampur-aduk pada wajahnya itu.
“Aku mau ketemu Mas Ridwan.”
Benar saja tebakan Adam. Sejujurnya Adam tak suka dengan pengakuan itu.
“Kamu serius? Tapi buat apa lagi, La? Yang penting kamu udah bikin laporan dan pengakuan kamu atas tindakan kekerasan Ridwan. Jadi-“
“Aku cuma pengen mastiin sesuatu pada Mas Ridwan. Sesuatu yang sejak lama terus bercokol di hati aku, Mas. Dan aku pengen mendengar semua itu dari mulut Mas Ridwan sendiri.” Sorot mata Lila berubah seperti tengah memohon. “Kalau nggak ngerepotin, bisakah Mas bantu aku buat bicara sama Mas Ridwan?”
Adam terus berdiri dan mengamati dengan mata elangnya pada dua sosok yang sekarang sedang duduk berhadapan itu. Tadinya Adam tak diperbolehkam masuk. Tetapi karena Adam terus memohon dan berjanji tak akan menginterupsi apa-apa, juga berjanji tak akan membuat keributan, maka pihak polisi jaga memberikan kelonggaran. Hanya saja Adam boleh berdiri di dekat ambang pintu saja.
Sebenarnya Adam tak mau menyetujui permintaan Lila itu, namun Lila terus membujuknya. Sehingga Adam pun tak bisa menolak. Adam yang tak pernah bisa menolak ucapan Lila akhirnya menyerah dengan syarat Lila tak berlama-lama bicara dengan Ridwan.
“Kamu pasti senang kan lihat keadaanku kayak gini sekarang? Bikin suami sendiri masuk penjara dan sekarang kamu senang-senang sama cowok lain.”
Kernyitan di dahi Lila tak bisa disembunyikan saat mendengar ucapan Ridwan itu. Bagaimana bisa Ridwan bicara seperti itu tentangnya?
“Kenapa? Ucapanku benar, kan?” Ridwan mendengus lantas meludah tepat di hadapan Lila. Beruntungnya, ada kaca pemisah di antara mereka sehingga cipratan air liur itu tak mengenai Lila.
Adam yang juga melihat tingkah Ridwan refleks melangkahkan kakinya hendak mendekati Lila.
“Nggak apa-apa, Mas. Aku baik-baik aja.”
Sempat melirik dan mendapati Adam yang hendak mendekatinya, Lila memberikan isyarat dengan tangannya pada Adam. Pun Adam yang mengerti dengan tanda itu meski enggan tetap kembali pada posisinya. Dalam diam Adam terus mengawasi apa yang tengah terjadi.
“Aku akan memutuskan sesuatu yang sangat penting dalam hubungan kita, Mas. Tapi sebelumnya aku cuma mastiin sesuatu sama Mas Ridwan. Dan aku mohon Mas jawab pertanyaanku itu dengan jujur.”
Ridwan malah memalingkan muka. Sudut bibirnya terangkat seakan meremehkan Lila. Tapi, Lila pantang mundur. Sejak lama pertanyaan itu muncul di benaknya namun selalu berakhir dengan pembelaan oleh dirinya sendiri.
Tetapi sekarang berbeda. Tak ada lagi sosok yang harus dilindungi dan dibahagiakannya. Apapun keputusan yang akan diambilnya kelak bulat atas kesadarannya sendiri. Terlebih, Lila tak harus mengorbankan kebahagiaan lain.
“Apa sekali saja Mas Ridwan pernah cinta atau sayang sama aku?” Lila terhenti sejenak sebelum dia melanjutkan ucapannya lagi. “Pernahkah sekali saja Mas mikirin kebahagiaan aku? Sejak kita bertemu sampai kita menikah lalu memiliki Raka. Tolong, jawab aku, Mas. Beri aku alasan paling bisa aku terima atas semua perlakuan Mas sama aku selama ini.”
Getir dalam suara Lila begitu kentara. Bukan hanya Lila yang merasa terluka, tetapi juga Adam yang hanya bisa mendengarkan. Berbanding terbalik dengan Ridwan yang malah menatap Lila dengan senyum merekah.
Lila meremas jemarinya kuat. Reaksi Ridwan baru saja meruntuhkan harapan terakhir Lila.
“Apa kamu pikir selama ini kamu terlihat menarik di mataku? Cuih!” Lagi-lagi Ridwan meludah dengan lancangnya sembari menatap Lila penuh emosi. “Uangmu bahkan lebih menarik dibandingkan dengan badan kurus keringmu itu! Hahaha! Astaga… seharusnya kamu ngaca, Lila, nggak ada lelaki yang mau sama wanita yang bahkan nggak bisa bikin lelaki puas di ranjang!”
Gebrakan di kaca pemisah antara Lila dan Ridwan membuat Lila terperanjat. Kemarahannya sesaat lalu sekarang malah tergantikan oleh kecemasannya pada Adam. Pria itu kini tengah berdiri dan menatap Ridwan tajam, seolah hendak melahap suami Lila itu hidup-hidup.
“Jaga mulutmu itu, Dasar Berengsek!” Adam memperingati dengan telunjuknya yang menempel di kaca, tepat mengarah ke wajah Ridwan.
Bukannya takut, Ridwan malah semakin menjadi-jadi.
“Wow! Wow! Wow! Kenapa marah sekali, Bung? Ada apa dengan kalian, hah?” Mata Ridwan beralih dari Adam pada Lila. Lalu, sekali lagi berbalik menatap Adam dengan tatapan liciknya.
“Kalian pikir aku nggak tahu kalau kalian bukan saudara kandung? Tinggal bersama selama bertahun-tahun semakin membuatku yakin kalau kalian melakukan sesuatu lebih dari sekadar hubungan kakak adik.”
“Jangan dengarkan ucapannya, La.” Saking tak tahannya Adam melihat Lila yang terus terdiam, dia angkat bicara juga. “Ridwan hanya merasa tersudut karena posisinya yang kini ditahan dan nggak ada seorang pun yang membela dia.”Ya. Lila ingin sekali menganggapnya seperti itu. Sikap dan perkataan Ridwan yang membuatnya sakit hati itu semata-mata karena Ridwan tak bisa berbuat apa-apa untuk melepaskan diri dari jeratan hukum. Hanya saja Lila tak bisa mengendalikan pikirannya yang terus overthinking.Usapan lembut tangan Adam di pucuk kepalanya membuat Lila terhenyak. Tatapan keduanya saling beradu dan tanpa bisa dicegah ada desiran aneh dalam dada Lila. Tiba-tiba saja Lila teringat ucapan Ridwan tadi. Tetapi tak mungkin, Lila pasti hanya salah paham.“Kenapa? Ada sesuatu yang kamu pikirin?”“E-eh? Nggak ada kok, Mas. Nggak ada apa-apa.”Tanpa disadari sepenuhnya, Lila menggeser duduknya menjauh dari Adam. Meski sebenarnya tak begitu berguna karena toh posisi tempat duduknya di mobil itu t
“Mas pengen nanya banyak pertanyaan sama kamu, La. Tapi Mas lebih milih nunggu kamu yang bicara.”Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu keduanya hanya duduk berhadapan tanpa bicara apapun. Lila bahkan tak berani mengangkat wajahnya dan hanya terpekur menatap isi cangkirnya yang mulai dingin.“A-aku nggak tahu mau bicara apa, Mas.” Masih dengan kepalanya yang tertunduk, Lila menutupi rasa gugupnya.Tetapi Lila lupa jika kepekaan Adam sangat luar biasa. Sedari dulu Adam selalu bisa menebak isi kepala Lila meski Lila tak mengucapkannya secara lantang. Pada akhirnya Lila akan mengakui segalanya pada Adam.Ah, momen ini mengingatkan Lila pada waktu lalu. Haruskah Lila mengungkapkan kegundahannya sekarang?“Kalau kamu ngerasa nggak enak sama Mas, sebaiknya cepat buang pikiran itu dari benak kamu, La. Sejujurnya Mas tahu apa yang mengganggumu, tapi Mas mau kamu yang bicara langsung.”“Aku beneran nggak punya apa-apa yang harus dibicarain, Mas. Aku sama sekali nggak mau ambil pusing soa
Sejak tadi Risma hanya mengamati dua sosok yang duduk saling berhadapan di ruang makan itu. Sesekali Risma melirik pada Lila lalu beralih pada Adam. Lama-kelamaan Risma tak nyaman juga dengan atmosfer aneh yang muncul.“Gimana kerjaan di kantor, Dam? Ada masalah nggak? Eh-iya, kalian jadi liburannya, kan?”“Aku nggak jadi pergi, Ma.” Lila yang bersuara.“Kenapa?” Kini giliran Adam yang memprotes.Risma pun hendak melakukan hal serupa namun memilih untuk mendengarkan penjelasan Lila dulu.“Kayaknya nggak perlu aja sih, Ma.” Dalam benaknya Lila terus mencari alasan.“Ada hal lain yang mau kamu lakuin?” tanya Adam yang juga penasaran atas alasan Lila membatalkan rencana beberapa hari lalu itu.Sebisa mungkin Lila menebar senyumnya meski enggan. Jika sebelumnya dia yakin akan bersikap biasa saja di hadapan Adam setelah kejadian kemarin di kantor, nyatanya Lila tak bisa.“Aku cuma ngerasa nggak perlu aja, Mas. Lagi pula aku juga nggak enak sama Mbak Maya kalau harus minta Mas temenin buat
Lila terus bersimpuh di sisi pusara Raka. Tangisnya tak kunjung reda, malah menyatu dengan hujan yang sama derasnya. Jemarinya yang kedinginan, pucat dan gemetar hanya bisa menyentuh rerumputan hijau di atasnya. Pandangannya begitu mendamba sosok mungil yang bersemayam di bawah sana namun tak bisa didekapnya erat.“Mama kangen sama Raka. Mama kangen banget, Sayang.”Entah sudah berapa lama Lila berada di sana. Sejak shubuh tadi setelah Lila mendapatkan telepon dari rumah sakit, tanpa berpikir panjang lagi Lila pergi. Dia bahkan tak memberitahu Adam.“Apa yang harus Mama lakukan sekarang, Nak? Mama bahkan nggak tahu lagi harus hidup untuk apa.” Tatapan sendu yang semula tertunduk kini beralih menatap nama yang terukir pada nisan. “Mama pengen ketemu Raka. Mama pengen meluk Raka lagi. Rasanya Mama mungkin bisa lakuin apa saja asal bisa ketemu Raka.”Gelegar suara guntur semakin mengerikan terdengar. Tetapi gelapnya langit sama sekali tak membuat Lila berpindah. Dia hanya terus menangis
Semburat merah masih saja menjalar di wajah Lila. Jika ada kata yang bisa mewakili selain ‘rasa memalukan’, maka itulah yang akan Lila gunakan untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Bagaimana tidak, dengan begitu percaya dirinya Lila terus berbisik dalam hati jika Adam akan menciumnya tepat di bibir. Meski malu tapi Lila juga tak bisa mengingkari bisikan hatinya berharap seperti itu. Hanya saja akhir cerita menjadi adegan paling memalukan dalam hidupnya. Sehingga meski sekarang sudah siang bolong sekalipun Lila tak berani keluar kamar dan bertemu mata dengan Adam.“Pasti saking panasnya badan aku kemarin, otakku juga ikut hilang fungsinya.” Lila mengusap wajahnya gusar. “Ya ampun, La! Makin diingat makin bikin malu aja!”“Gimana ini? Kalau ketemu Mas Adam, mau ditaruh di mana muka ini?” Lila terus menggerutu. “Kenapa sih, La? Kenapa kamu bodoh amat sih? Bisa-bisanya mikir kalau Mas Adam itu su-““La? Ini Mas. Boleh masuk, enggak? Mama nyuruh Mas bawain puding nih.”Duh! Perhati
Diam-diam Adam terus melirik Lila yang sedang melamun sementara jemari wanita itu tengah memilin ujung blouse-nya. Setiap gerakan kecil dari kedutan bibir Lila, juga gerakan mata Lila dari kanan ke kiri membuat Adam gemas. Kebiasaan itu tak kunjung berubah. Masih sama semenjak Lila remaja jika sedang memikirkan sesuatu dengan serius.“Asyik banget sih yang duduk sendirian di sini? Enggak ngajak-ngajak, ya.”“Mas Adam…” cicit Lila kemudian segera membetulkan posisi duduknya. Adam tak yakin tapi dia merasa jika Lila malah menjauhkan diri. Lila memundurkan badannya dan memberikan jarak yang cukup kentara dengan Adam yang sebetulnya tak begitu berpengaruh karena memang kursi yang mereka duduki juga terpisah.“Mas ganggu, ya?” “Oh eng-enggak kok.” Lila menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Mas baru pulang?”Lila memang memperhatikan penampilan Adam yang masih lengkap dengan jas dan dasi. Hanya saja Lila penasaran karena hari masih cukup siang sementara Adam sudah tiba di rumah. Sangat
“Mas? Ke-kenapa ada di sini?”Kehadiran Adam tepat di hadapan Lila lebih dari harapannya yang terkabul. Tadinya pesan lewat telepon meski hanya sebatas ucapan selamat tinggal sudah cukup bagi Lila. Setidaknya Adam masih punya sedikit kepedulian padanya meski sudah memiliki wanita idaman lain.Nyatanya, Adam sekarang tepat berdiri dan menatapnya lekat. Intens. Seperti ada sesuatu lain yang ditangkap mata Lila. Hanya saja entah apa itu, Lila tak ingin lagi berasumsi.“Ayo!”Tangan Lila ditarik begitu saja oleh Adam. Tak kuat atau menyakiti, lebih seperti seseorang yang tak ingin melepaskan genggaman orang terkasih.Astaga! Lila buru-buru menepis khayalan tak masuk akalnya itu. ‘Ingat, La! Mas Adam udah ada yang punya. Kamu cuma adiknya, enggak lebih!’ batin Lila.Meski begitu, pandangan Lila terus tertuju pada tangan Adam hingga dia dikagetkan oleh langkah Adam yang mendadak berhenti.“Tiket kamu mana, La?”“Hah?”Adam mengeluarkan selembar kertas dari saku jaketnya. Lila sempat menyip
“Kamu yakin di sini lokasinya?”Duh, entah sudah berapa kali Adam terus bertanya tentang lokasi kost yang akan ditempati Lila itu. Sejak mereka keluar dari area bandara, Adam terus mengekori Lila seperti anak itik yang takut kehilangan induknya. Selama itu pula Adam terus bertanya ini-itu namun hanya dibalas singkat saja oleh Lila.Lila pikir jika Adam akan berhenti karena mengira Lila yang malas membicarakan apapun dengannya. Tetapi ternyata sisi ketidakpekaan Adam yang satu ini baru diketahui Lila sekarang. Seolah Adam begitu terobsesi dengan informasi yang akan didapatnya itu, Adam terus menanyakan banyak hal meski balasan Lila terkesan enggan.“Mama bilang sih benar di sini,” sahut Lila sembari memperlihatkan pesan terakhir sang ibu pada Adam.Dengan kerutan di kening yang semakin tercetak tebal, Adam terus mengamati isi pesan itu. Cukup lama bagi Adam hingga tatapan pria itu menjauh dari layar ponsel. Embusan napas berat Lila seakan menjadi balasan atas tingkah Adam yang super an