Sejak tadi Risma hanya mengamati dua sosok yang duduk saling berhadapan di ruang makan itu. Sesekali Risma melirik pada Lila lalu beralih pada Adam. Lama-kelamaan Risma tak nyaman juga dengan atmosfer aneh yang muncul.“Gimana kerjaan di kantor, Dam? Ada masalah nggak? Eh-iya, kalian jadi liburannya, kan?”“Aku nggak jadi pergi, Ma.” Lila yang bersuara.“Kenapa?” Kini giliran Adam yang memprotes.Risma pun hendak melakukan hal serupa namun memilih untuk mendengarkan penjelasan Lila dulu.“Kayaknya nggak perlu aja sih, Ma.” Dalam benaknya Lila terus mencari alasan.“Ada hal lain yang mau kamu lakuin?” tanya Adam yang juga penasaran atas alasan Lila membatalkan rencana beberapa hari lalu itu.Sebisa mungkin Lila menebar senyumnya meski enggan. Jika sebelumnya dia yakin akan bersikap biasa saja di hadapan Adam setelah kejadian kemarin di kantor, nyatanya Lila tak bisa.“Aku cuma ngerasa nggak perlu aja, Mas. Lagi pula aku juga nggak enak sama Mbak Maya kalau harus minta Mas temenin buat
Lila terus bersimpuh di sisi pusara Raka. Tangisnya tak kunjung reda, malah menyatu dengan hujan yang sama derasnya. Jemarinya yang kedinginan, pucat dan gemetar hanya bisa menyentuh rerumputan hijau di atasnya. Pandangannya begitu mendamba sosok mungil yang bersemayam di bawah sana namun tak bisa didekapnya erat.“Mama kangen sama Raka. Mama kangen banget, Sayang.”Entah sudah berapa lama Lila berada di sana. Sejak shubuh tadi setelah Lila mendapatkan telepon dari rumah sakit, tanpa berpikir panjang lagi Lila pergi. Dia bahkan tak memberitahu Adam.“Apa yang harus Mama lakukan sekarang, Nak? Mama bahkan nggak tahu lagi harus hidup untuk apa.” Tatapan sendu yang semula tertunduk kini beralih menatap nama yang terukir pada nisan. “Mama pengen ketemu Raka. Mama pengen meluk Raka lagi. Rasanya Mama mungkin bisa lakuin apa saja asal bisa ketemu Raka.”Gelegar suara guntur semakin mengerikan terdengar. Tetapi gelapnya langit sama sekali tak membuat Lila berpindah. Dia hanya terus menangis
Semburat merah masih saja menjalar di wajah Lila. Jika ada kata yang bisa mewakili selain ‘rasa memalukan’, maka itulah yang akan Lila gunakan untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Bagaimana tidak, dengan begitu percaya dirinya Lila terus berbisik dalam hati jika Adam akan menciumnya tepat di bibir. Meski malu tapi Lila juga tak bisa mengingkari bisikan hatinya berharap seperti itu. Hanya saja akhir cerita menjadi adegan paling memalukan dalam hidupnya. Sehingga meski sekarang sudah siang bolong sekalipun Lila tak berani keluar kamar dan bertemu mata dengan Adam.“Pasti saking panasnya badan aku kemarin, otakku juga ikut hilang fungsinya.” Lila mengusap wajahnya gusar. “Ya ampun, La! Makin diingat makin bikin malu aja!”“Gimana ini? Kalau ketemu Mas Adam, mau ditaruh di mana muka ini?” Lila terus menggerutu. “Kenapa sih, La? Kenapa kamu bodoh amat sih? Bisa-bisanya mikir kalau Mas Adam itu su-““La? Ini Mas. Boleh masuk, enggak? Mama nyuruh Mas bawain puding nih.”Duh! Perhati
Diam-diam Adam terus melirik Lila yang sedang melamun sementara jemari wanita itu tengah memilin ujung blouse-nya. Setiap gerakan kecil dari kedutan bibir Lila, juga gerakan mata Lila dari kanan ke kiri membuat Adam gemas. Kebiasaan itu tak kunjung berubah. Masih sama semenjak Lila remaja jika sedang memikirkan sesuatu dengan serius.“Asyik banget sih yang duduk sendirian di sini? Enggak ngajak-ngajak, ya.”“Mas Adam…” cicit Lila kemudian segera membetulkan posisi duduknya. Adam tak yakin tapi dia merasa jika Lila malah menjauhkan diri. Lila memundurkan badannya dan memberikan jarak yang cukup kentara dengan Adam yang sebetulnya tak begitu berpengaruh karena memang kursi yang mereka duduki juga terpisah.“Mas ganggu, ya?” “Oh eng-enggak kok.” Lila menggelengkan kepalanya beberapa kali. “Mas baru pulang?”Lila memang memperhatikan penampilan Adam yang masih lengkap dengan jas dan dasi. Hanya saja Lila penasaran karena hari masih cukup siang sementara Adam sudah tiba di rumah. Sangat
“Mas? Ke-kenapa ada di sini?”Kehadiran Adam tepat di hadapan Lila lebih dari harapannya yang terkabul. Tadinya pesan lewat telepon meski hanya sebatas ucapan selamat tinggal sudah cukup bagi Lila. Setidaknya Adam masih punya sedikit kepedulian padanya meski sudah memiliki wanita idaman lain.Nyatanya, Adam sekarang tepat berdiri dan menatapnya lekat. Intens. Seperti ada sesuatu lain yang ditangkap mata Lila. Hanya saja entah apa itu, Lila tak ingin lagi berasumsi.“Ayo!”Tangan Lila ditarik begitu saja oleh Adam. Tak kuat atau menyakiti, lebih seperti seseorang yang tak ingin melepaskan genggaman orang terkasih.Astaga! Lila buru-buru menepis khayalan tak masuk akalnya itu. ‘Ingat, La! Mas Adam udah ada yang punya. Kamu cuma adiknya, enggak lebih!’ batin Lila.Meski begitu, pandangan Lila terus tertuju pada tangan Adam hingga dia dikagetkan oleh langkah Adam yang mendadak berhenti.“Tiket kamu mana, La?”“Hah?”Adam mengeluarkan selembar kertas dari saku jaketnya. Lila sempat menyip
“Kamu yakin di sini lokasinya?”Duh, entah sudah berapa kali Adam terus bertanya tentang lokasi kost yang akan ditempati Lila itu. Sejak mereka keluar dari area bandara, Adam terus mengekori Lila seperti anak itik yang takut kehilangan induknya. Selama itu pula Adam terus bertanya ini-itu namun hanya dibalas singkat saja oleh Lila.Lila pikir jika Adam akan berhenti karena mengira Lila yang malas membicarakan apapun dengannya. Tetapi ternyata sisi ketidakpekaan Adam yang satu ini baru diketahui Lila sekarang. Seolah Adam begitu terobsesi dengan informasi yang akan didapatnya itu, Adam terus menanyakan banyak hal meski balasan Lila terkesan enggan.“Mama bilang sih benar di sini,” sahut Lila sembari memperlihatkan pesan terakhir sang ibu pada Adam.Dengan kerutan di kening yang semakin tercetak tebal, Adam terus mengamati isi pesan itu. Cukup lama bagi Adam hingga tatapan pria itu menjauh dari layar ponsel. Embusan napas berat Lila seakan menjadi balasan atas tingkah Adam yang super an
“Mas bisa loh cariin tempat kost lain sekarang juga. Enggak akan butuh waktu lama kok, La.”Untuk kesekian kalinya Adam tak menyerah meyakinkan Lila agar membatalkan rencananya tinggal di paviliun itu. Memang kondisi bangunan mungil itu cukup nyaman dan bersih, seperti layaknya rumah yang selalu rutin dibersihkan meski kosong sudah lama.Jika bukan karena kehadiran lelaki yang mengusik Adam, tentu Adam tak akan terus mendesak Lila agar mengubah pikirannya. Membayangkan Lila akan tinggal dekat dengan lelaki tengil, membuatnya tak tenang. Alarm kewaspadaan dalam tubuh Adam seketika berbunyi tak henti.“Aku bakalan tetap tinggal di sini, Mas. Aku udah buat kesepakatan sama Bu Indri. Mama juga udah setuju kok. Malah Mama yang nyaranin aku buat tinggal di sini.”“Tapi, Mama enggak ngasih tahu kan kalau ada cowok aneh yang juga tinggal di sini? Mama enggak mungkin ngijinin kamu tinggal di sini kalau tahu ada cowoknya, La.”“Aku kan nggak tinggal bareng sama dia, Mas.” Lila tak terima. Kenya
Lila sangka jika perasaannya akan berubah lebih baik saat dia meninggalkan Jakarta. Melupakan segala momen yang pernah disinggahi Adam di sana. Nyatanya, perbedaan koordinat tempat tinggalnya sekarang tak berdampak apa-apa. Malah rasa rindu itu semakin menjadi. Membuat lubang lain dalam hatinya yang bahkan tak bisa diisi oleh apapun. “Enggak baik loh kalau pagi-pagi aja udah diisi sama ngelamunin sesuatu yang belum tentu pasti adanya.” Suara seseorang di sebelah Lila mengusik pendengarannya. Pria sama yang sejak kemarin itu rupanya belum menemukan titik kebosanan mengganggu Lila. Jika bukan karena rasa sungkannya pada Bu Indri, sudah sejak pertemuan kedua mereka di rumah itu Lila akan meminta Kala berhenti menemuinya. Apapun alasannya Lila tak mau melihat wajah pria muda itu. “Permisi.” Lila melenggang pergi dari depan taman bunga itu. Keuntungan baginya karena tak jadi membatalkan kesepakatan untuk tinggal di paviliun itu adalah satu tempat indah ini. Tepat saat matahari mulai m
Jika dibilang Lila tak peduli dengan keabsenan Adam selama beberapa minggu terakhir, sungguh itu hanyalah omong kosong belaka. Jujur, di dalam hatinya dia ingin berteriak kencang, menangis sambil mencari pria itu. Bahkan Lila amati juga jika pria itu jarang sekali online.“Mungkin memang Mas Adam lagi sibuk banget. Makanya dia enggak sempat ngasih kabar, kan?”Lila terus menyenangkan diri dengan anggapan positif itu.“Tapi, pantas juga kan kalau Mas Adam marah dan enggak mau tau lagi apapun soal aku? Kamu yang membuat semua situasi ini sendiri, Lila.”Ya, benar. Lila sangat menyadarinya. Untuk kesekian kalinya Lila hanya bisa mengembuskan napasnya berat setiap kali ingatannya kembali ke masa itu. Secara tak langsung Lila sudah menyuruh Adam untuk pergi dari hidupnya. Selamanya.“Lila?”Sebuah suara menyita perhatian Lila sedetik lalu. Sentuhan kecil dan sebentar di pundaknya membuatnya menoleh dengan pandangan penuh tanya.Jika saja lawan bicaranya itu peka dengan sikapnya, seharusnya
Lila tak banyak bicara saat kembali ke paviliun. Memang tak lama Lila menghabiskan waktunya bersama Risma, Kala juga Indri saat makan bersama tadi. Meski bibir Lila mengatakan jika dia akan menurut pada ucapan sang ibu, namun hatinya pun tak bisa dibohongi jika semua itu tak lain karena alasan terpaksa.Maka Lila pun pamit karena tak ingin terus memakai topengnya. Hatinya terus meronta dan ingin memberontak setiap kali bayangan dirinya kelak yang akan menjalin hubungan dengan Kala. Pria yang bahkan sama sekali terlintas dalam benak Lila untuk menjadi pasangannya.“Ini rasanya terlalu terburu-buru. Mama harusnya memikirkan hal ini lebih matang lagi. Kala bahkan enggak tahu kalau aku adalah seorang janda.” Lila terus bergumam sendiri sambil mencuci mangkuk yang sudah beberapa kali dia bilas.Pikirannya yang sedang melanglang-buana itu membuatnya tak fokus. Dia bahkan tak menyadari jika sejak tadi tangannya hanya terus berkutat dengan satu benda tersebut.Saking tak fokusnya, tangannya y
Lila terus mengulang perkataan Adam barusan. Tak mungkin pria selogis dan sepenurut itu melontarkan ide yang bisa menghancurkan hubungan baiknya dengan Risma. Wanita yang telah merawat Adam sejak kecil itu. Wanita yang selalu Adam lindungi seperti halnya dia yang selalu berusaha menjaga Lila.“Mas Adam enggak serius, kan?” cetus Lila masih setengah tak percaya.Ajakan itu sungguh di luar ekspektasi.“Mas harus lakuin apa agar kamu mau setuju? Bicara sama Mama lagi? Nyiapin passport kamu? Untuk urusan perlengkapan biar kita beli di sana aja. Kita bawa yang simple aja dari sini, La.”Sungguh keras kepala! Lila memicing kesal mendengar ucapan Adam yang terus nyerocos asal.“Mas nyebelin banget hari ini. Aku pulang.”Lila bangkit dan meraih tas di kursi samping. Percuma saja bicara dengan Adam saat pria itu sedang ada dalam mode sangat teramat menyebalkan seperti sekarang. Apapun yang diucapkan Lila hanya akan menjadi angin lalu saja.“Mas antar kamu,” tahan Adam dengan menggaet jemari Li
Bukan hanya Adam yang kaget atas pernyataan Lila sesaat lalu. Pun Lila yang baru saja berucap. Sejujurnya Lila pun tak yakin dengan pemikirannya tadi. Melontarkan ungkapan yang akan menentukan nasib cintanya nanti bukanlah hal yang mudah.“Apa yang kamu katakan pada Mama barusan, Lila?”Risma ingin memastikan seandainya pendengarannya salah. Konfirmasi dari bibir Lila langsung sangatlah mutlak baginya. Hanya itu satu-satunya yang bisa menyadarkan Adam jika keinginan putra angkatnya itu mustahil.“Lila…” Sejenak Lila menarik napasnya untuk mengumpulkan kembali keberanian itu. “Lila akan menghapus semua perasaan ini. Hubungan Lila dan Mas Adam akan selalu seperti kakak dan adik pada umumnya.”Gurat luka pada netra Adam yang legam bisa dengan jelas dilihat Lila. Seandainya saja Adam pun mengerti lukanya saat ini. Perasaan mereka yang begitu polos. Harapan mereka yang sebenarnya sangat sederhana. Keduanya harus direlakan Lila demi menjaga martabat keluarga.Pilihan yang begitu sulit itu m
Satu langkah saja rasanya begitu berat bagi Lila. Apalagi saat dia berhasil menemukan sesosok yang tengah menunggunya itu. Wanita yang sejak tadi meneleponnya dengan nada ketus dan kesal.Lalu, pandangan Lila berakhir pada sosok pria yang membuat jantungnya tak bisa berdegup normal sejak saat itu. Tepat ketika pernyataan cinta mereka terungkap sehingga membuat Lila seperti dibawa melayang ke atas awan.“Ma, maaf udah nunggu Lila lama.”Kikuk. Canggung. Bingung. Sejujurnya Lila bahkan tak tahu harus bersikap seperti apa di hadapan ibunya sendiri saat ini. Lalu, pandangan Lila diam-diam menuju Adam. Raut lelah dan cemas dari wajah Adam malah semakin membuat Lila keheranan.‘Ada apa ini sebenarnya?’ batin Lila sambil meremas bagian atas tas ransel di tangan.“Duduk dulu. Pesan apa yang kamu mau. Kamu pasti buru-buru ke sini, kan? Udah makan?”Gempuran pertanyaan Risma hanya bisa direspon Lila dengan satu sahutan saja.“Sudah, Ma.”Diam-diam Adam pun memperhatikan perlakuan Risma pada Lil
Berulang kali Lila mengecek ponselnya. Seketika rasa penasaran menggelitik. Ada keinginan untuk menghubungi Adam duluan, namun sisi hatinya yang lain berkata jika itu ide yang buruk. Bukan apa-apa, Lila masih merasa gugup jika tiba-tiba saja ada suara ibunya juga di sana. Seolah Lila baru saja kepergok melakukan sesuatu yang terlarang.“Kamu enggak makan?” Suara di depannya memecah fokus Lila. Ah benar, ada Kala di depannya sekarang. Mereka tengah duduk di kantin karena tiba-tiba saja Kala menghampirinya dan memaksa Lila makan siang bersama.Tadinya Lila sudah menolak namun Kala yang terus memaksa tak memberikan Lila celah untuk kabur. Tangannya sudah digandeng Kala menuju kantin, dibarengi lirikan tajam dan penuh penasaran dari beberapa mahasiswa yang mereka lewati.“Iya, ini mau makan.”Lila tak ingin berpanjang-lebar lagi. Dia malas berlama-lama duduk di sana, berhadapan dengan Kala sambil memasang topengnya. Tetapi diam-diam Lila kembali menunduk untuk memastikan tak ada notifika
Derap langkah kaki menggema di koridor tempat Adam menunggu. Sudah bisa dipastikan jika derap langkah itu adalah milik Risma. Setelah kejadian tak terduga di rumah Maya tadi, Adam memang segera menghubungi Risma setelah memastikan kondisi Maya stabil.“Adam, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba saja Maya masuk rumah sakit? Kenapa dengannya?”Sepertinya Risma tak peduli jika selain dirinya dan Adam di sana ada beberapa perawat yang baru saja melintas. Sekilas Adam bisa melihat delikan tajam salah satu perawat kepada mereka saat memergoki suara lantang sang ibu.“Ma, tenang dulu.”Adam meminta Risma duduk. Kebetulan di dekat mereka memang berjajar bangku kosong. Risma menurut saja. Meski napasnya masih belum bisa diatur normal, dia ingin segera mengetahui asal-muasal kejadian yang membuatnya kaget setengah mati saat berada di butik.“Gimana keadaan Maya sekarang?” Risma tak sabar. “Apa sakit yang sebelumnya itu kambuh?”Hanya itu sesuatu yang bisa diterima logika Risma. Karena terakhir kali Ri
“KAMU SADAR APA YANG BARUSAN KAMU BILANG, DAM?”Seruan itu lebih mirip pekikan lantang di telinga Adam. Sebelumnya Adam memang bisa memperkirakan kemarahan Maya atas keputusannya tersebut. Tetapi, ternyata beda halnya saat dia harus menghadapinya langsung. Teramat melelahkan.“Apa sih yang bikin kamu tiba-tiba buat keputusan gila kayak gini? Jelasin sama aku, Dam! Terus-terang sama aku! KENAPA?”Maya masih saja terus berteriak. Setiap kali Adam bicara satu kalimat pendek, maka balasan Maya sudah seperti kereta patas yang tak kunjung berhenti sebelum sampai tujuan akhir. Pengang sekali rasanya telinga Adam saat ini.“Gimana aku mau jelasin kalau kamu terus nyela ucapanku, May? Kayak gini.”Adam berusaha bersikap setenang mungkin menghadapi kemarahan Maya sekarang. Jika dia sama kerasnya seperti sikap Maya saat ini, permasalahannya pasti akan bertambah rumit. Adam hanya perlu mengatakan jika rencana pernikahan mereka adalah ide yang hanya akan menyakiti perasaan mereka masing-masing, te
“Aku pasti bermimpi.”Masih dengan menatap langit-langit kamar Lila terus bergumam yang sama. Ya, semua yang dia dengar dan alami hari ini memang seperti mimpi. Ilusi yang hanya muncul saat kedua matanya terpejam erat.Bahkan untuk meyakinkan dirinya, Lila mencubit pipinya berkali-kali hingga kemerahan. Nyerinya nyata sekali. Sama seperti kisah indah tadi. Nyata terjadi.“Jantungku enggak bisa berhenti berdegup kencang seperti ini. Dari tadi tiap kali aku ngucapin nama Mas Adam di dalam hati, debarannya malah makin enggak terkendali. Duh, mulai lagi kan.”Telapak tangannya Lila taruh tepat di depan dada. Bisa dirasakannya setiap degup itu. Semakin bertalu rasanya semakin merdu baginya. Inikah rasanya cinta itu?“Kenapa beda rasanya? Waktu aku dekat sama Mas Ridwan aja enggak kayak gini. Malah sampe nikah dan…” Lila menghentikan kalimatnya.Bayangan kelam itu dengan cepat menyerbu hati dan ingatannya lagi. Tidak, Lila tak ingin kembali ke titik terendahnya itu lagi.Buru-buru Lila meng