“Mas? Ke-kenapa ada di sini?”Kehadiran Adam tepat di hadapan Lila lebih dari harapannya yang terkabul. Tadinya pesan lewat telepon meski hanya sebatas ucapan selamat tinggal sudah cukup bagi Lila. Setidaknya Adam masih punya sedikit kepedulian padanya meski sudah memiliki wanita idaman lain.Nyatanya, Adam sekarang tepat berdiri dan menatapnya lekat. Intens. Seperti ada sesuatu lain yang ditangkap mata Lila. Hanya saja entah apa itu, Lila tak ingin lagi berasumsi.“Ayo!”Tangan Lila ditarik begitu saja oleh Adam. Tak kuat atau menyakiti, lebih seperti seseorang yang tak ingin melepaskan genggaman orang terkasih.Astaga! Lila buru-buru menepis khayalan tak masuk akalnya itu. ‘Ingat, La! Mas Adam udah ada yang punya. Kamu cuma adiknya, enggak lebih!’ batin Lila.Meski begitu, pandangan Lila terus tertuju pada tangan Adam hingga dia dikagetkan oleh langkah Adam yang mendadak berhenti.“Tiket kamu mana, La?”“Hah?”Adam mengeluarkan selembar kertas dari saku jaketnya. Lila sempat menyip
“Kamu yakin di sini lokasinya?”Duh, entah sudah berapa kali Adam terus bertanya tentang lokasi kost yang akan ditempati Lila itu. Sejak mereka keluar dari area bandara, Adam terus mengekori Lila seperti anak itik yang takut kehilangan induknya. Selama itu pula Adam terus bertanya ini-itu namun hanya dibalas singkat saja oleh Lila.Lila pikir jika Adam akan berhenti karena mengira Lila yang malas membicarakan apapun dengannya. Tetapi ternyata sisi ketidakpekaan Adam yang satu ini baru diketahui Lila sekarang. Seolah Adam begitu terobsesi dengan informasi yang akan didapatnya itu, Adam terus menanyakan banyak hal meski balasan Lila terkesan enggan.“Mama bilang sih benar di sini,” sahut Lila sembari memperlihatkan pesan terakhir sang ibu pada Adam.Dengan kerutan di kening yang semakin tercetak tebal, Adam terus mengamati isi pesan itu. Cukup lama bagi Adam hingga tatapan pria itu menjauh dari layar ponsel. Embusan napas berat Lila seakan menjadi balasan atas tingkah Adam yang super an
“Mas bisa loh cariin tempat kost lain sekarang juga. Enggak akan butuh waktu lama kok, La.”Untuk kesekian kalinya Adam tak menyerah meyakinkan Lila agar membatalkan rencananya tinggal di paviliun itu. Memang kondisi bangunan mungil itu cukup nyaman dan bersih, seperti layaknya rumah yang selalu rutin dibersihkan meski kosong sudah lama.Jika bukan karena kehadiran lelaki yang mengusik Adam, tentu Adam tak akan terus mendesak Lila agar mengubah pikirannya. Membayangkan Lila akan tinggal dekat dengan lelaki tengil, membuatnya tak tenang. Alarm kewaspadaan dalam tubuh Adam seketika berbunyi tak henti.“Aku bakalan tetap tinggal di sini, Mas. Aku udah buat kesepakatan sama Bu Indri. Mama juga udah setuju kok. Malah Mama yang nyaranin aku buat tinggal di sini.”“Tapi, Mama enggak ngasih tahu kan kalau ada cowok aneh yang juga tinggal di sini? Mama enggak mungkin ngijinin kamu tinggal di sini kalau tahu ada cowoknya, La.”“Aku kan nggak tinggal bareng sama dia, Mas.” Lila tak terima. Kenya
Lila sangka jika perasaannya akan berubah lebih baik saat dia meninggalkan Jakarta. Melupakan segala momen yang pernah disinggahi Adam di sana. Nyatanya, perbedaan koordinat tempat tinggalnya sekarang tak berdampak apa-apa. Malah rasa rindu itu semakin menjadi. Membuat lubang lain dalam hatinya yang bahkan tak bisa diisi oleh apapun. “Enggak baik loh kalau pagi-pagi aja udah diisi sama ngelamunin sesuatu yang belum tentu pasti adanya.” Suara seseorang di sebelah Lila mengusik pendengarannya. Pria sama yang sejak kemarin itu rupanya belum menemukan titik kebosanan mengganggu Lila. Jika bukan karena rasa sungkannya pada Bu Indri, sudah sejak pertemuan kedua mereka di rumah itu Lila akan meminta Kala berhenti menemuinya. Apapun alasannya Lila tak mau melihat wajah pria muda itu. “Permisi.” Lila melenggang pergi dari depan taman bunga itu. Keuntungan baginya karena tak jadi membatalkan kesepakatan untuk tinggal di paviliun itu adalah satu tempat indah ini. Tepat saat matahari mulai m
“Akhirnya ketemu juga.”Lila tak percaya melihat sosok di sebelahnya itu sekarang. Baru saja Lila bisa menghela napas lega, sekarang dia malah kembali disudutkan dengan percakapan satu arah yang hanya menguras energi dan kesabarannya.Tetapi setiap kali diusir, Kala malah semakin gencar mengusik Lila. Bahkan sikap ketus yang ditunjukkan Lila tak mempan sekali padanya. Entah harus bagaimana lagi Lila menghindari Kala dan tingkahnya yang absurd itu.“Kenapa kamu terus ngikutin aku sih?” Kali ini Lila tak bisa diam lagi.“Cuma mau ngajakin sarapan.” Kala malah menyengir lebar tanpa rasa bersalah. “Kamu pasti belum makan, kan?”“Aku enggak lapar.”“Kamu bohong lagi. Udah ayo!”Seakan tangan Lila sudah disahkan sebagai milik Kala, tanpa sungkan Kala menggenggam jemari Lila lantas menariknya lembut. Lila yang tak menduga kelancangan Kala kali ini menghempaskan tangan Kala tanpa basa-basi lagi.Wajah Lila sudah memerah menahan geram. Kala benar-benar sudah membuat kesabarannya habis. Ditamba
Sekali lagi Lila mengecek suhu tubuhnya. Tak ada termometer di dalam kamarnya itu, jadi dia hanya bisa mengira-ngira dengan menempelkan tangan ke kening.“Enggak terlalu panas kayaknya, tapi kenapa dingin banget kerasanya?”Dengan menguatkan kakinya bertumpu di lantai kamar, Lila mencari sweater yang sudah lama tak dipakainya itu. Lila harus berterima kasih pada ibunya yang bersikukuh membujuknya untuk tetap membawa benda itu, berjaga-jaga seandainya dibutuhkan.Terbukti perkataan Risma benar. Saat ini Lila memang sangat membutuhkannya agar tubuhnya tak terus menggigil kedinginan.“Permisi.”Suara dari depan menghentikan kegiatan Lila yang sedang memakai sweater. Tadinya Lila ingin menyahuti namun tenaganya mendadak habis. Suaranya lemah yang dia yakini tak akan bisa didengar oleh sosok yang entah siapa itu.“Lila? Kamu ada di dalam, kan?”Lila baru menyadari pemilik suara itu. Tangannya yang sudah terulur hendak menggerakkan handle pintu itu urung. Kejadian hari ini sudah melewati ba
Sementara itu Adam terus memijat keningnya, gusar. Situasi malah semakin rumit dan dia bahkan tak bisa keluar dengan mudah. Adam sadar jika pada akhirnya nanti situasi seperti ini akan muncul, namun dia tak mengira akan secepat ini. Sejujurnya Adam belum siap. “Kamu belum tidur, Dam?” Risma yang terbangun hendak mengambil segelas air dapur saat dia menemukan Adam sedang duduk dalam gelap. Khawatir dengannya, Risma memilih duduk setelah menyalakan lampu di ruang tengah itu. Diperhatikannya raut wajah Adam yang kusut, tak sengaja embusan napasnya malah meluncur begitu saja. “Maaf kalau aku jadi bikin Mama cemas.” “Ah, rupanya kamu peka juga ya sama perasaan Mama, Dam.” Sejak obrolan penting yang tak diduga-duga itu mencuat di rumah sakit, Risma memang terus kepikiran. Keputusan Adam yang disadari Risma juga dipicu oleh paksaan dari keadaan memang cukup membuat Risma was-was. Entah mengapa, Risma sekarang malah tak ingin Adam segera menikah dengan Maya. Berbeda dengan sebelumnya keti
“La? Lila? Ada kiriman nih, La. Lila?”Lila memperhatikan angka di jam dinding dengan kening berkerut, keheranan. Rasanya masih terlalu pagi baginya untuk menerima tamu saat ini. Meskipun tamu itu adalah ibu kost-nya sendiri, tapi Lila juga butuh waktu sendiri. Apalagi ini masih terlampau pagi bagi orang untuk memanggilnya dengan setengah berteriak seperti itu.Tanpa sadar embusan napasnya keluar begitu saja. Bukannya dia tak menghormati sang ibu kost, namun ini bukan waktunya, kan?Meski enggan Lila tetap membuka pintu. Dan kali ini kerutan di keningnya menebal dua kali lipat. Bu Indri yang tampak sangat khawatir menjadi satu-satunya pemandangan di mata Lila sekarang.“Ah, akhirnya kamu keluar juga.”Lila yang kikuk hanya bisa mengulas senyum yang terpaksa.“Ada apa, Bu?” Sebisa mungkin Lila bersikap sopan.“Itu loh.” Bu Indri langsung menunjuk ke arah area utama rumah itu. Tepatnya ke halaman depan rumah besar tersebut.Lila masih belum mengerti. Tetapi sebelum Lila menanyakan kejel